Rabu, 27 Mei 2020

Luka Abadi


Dulu, kau menanamkan pedih dalam hatiku.
Sakitnya lagi, kau taburi luka menyayat itu dengan kalimat 
“Akan ada orang yang lebih baik untukmu nanti, bukan aku.”
Lalu kau beranjak, tanpa perduli.
Bertahun-tahun kemudian, rasa sakit itu tak kunjung hilang.
Bukan karena aku terpaku dalam kenangan masa lalu.
Kalimat sakti darimu saat itu, menjadi kutukan abadi yang tak bisa kuhapus dari ingatan.
Lebih mengerikan dari bayangan masa itu ketika langkahmu kian menjauh.
Kurasa, kau pun tak pernah memikirkan bagaimana hidupku berjalan tanpamu.
Aku pun tak lagi pernah mendengar kabar tentangmu.
Hanya luka ini yang tetap sama
Menjadi pengingat
Bahwa yang telah pergi, memang lebih baik tak pernah kembali.

- Ony -
090520

Minggu, 26 Januari 2020

Yang Aku Tahu, Aku Memang Tahu


Jemari lentiknya lincah menari, seolah tengah meraba senar-senar takdir yang tak kasat mata. Bibir tipisnya bergumam tak jelas. Tak ada juga yang akan perduli setiap kata yang akan tumpah dari sana. Perempuan itu menghabiskan hari-harinya dalam ruang kecil tanpa celah. Pasrah menunggu hari ketika namanya akan dipanggil. Untuk diakhiri hidupnya.

Namanya Nila. Janda karena pilihan. Ia perempuan sakti yang telah berhasil membunuh suaminya-yang berpostur tiga kali lipat darinya-dengan sebilah pisau dapur. Suaminya adalah preman buronan polisi yang telah lama dalam pelarian. Entah memang jawara atau akal-akalan petugas saja yang enggan menangkap penjahat kelas kakap yang kerap menghabisi aparat tanpa kenal ampun. Setelah pembunuhan itu, nama Nila menjadi bahan pembicaraan sampai ke pelosok negeri. Kau tahu kenapa ? karena yang dia bunuh adalah orang paling keji yang kerap membunuh tanpa pandang bulu. Lalu bagaimana mungkin seorang Nila bias membunuh bajingan itu, jika tidak memiliki kesaktian ?

Pemberitaan atas dirinya, lengkap dengan pujian-pujian di media massa yang datangnya dari keluarga korban kekejian suaminya, tidak sama sekali meringankan hukuman atas dirinya. Setiap pembelaan atas nama Nila seperti surat kepada Tuhan yang tidak pernah diketahui alamatnya. Hukum membutuhkan kambing hitam. Walau kambing itu adalah seorang Nila, perempuan yang menikah pun karena terpaksa. Ia adalah korban penculikan hanya karena parasnya yang cantik. Setelah dinikahi pun ia tak pernah merasakan Bahagia. Mulai dari perkosaan di malam pertama, kekerasan secara mental dan fisik yang datangnya setiap hari. Semua ia telan demi kelangsungan hidup kedua orang tuanya. Suaminya selalu mengancam akan membakar hidup-hidup kedua orang tua Nila di depan matanya bila ia berani mencoba kabur. Tak ada yang berani menolong seorang Nila yang teraniaya. Tak ada yang berani bahkan untuk sekedar mengobati luka di punggungnya, bekas cambukan suaminya. Melirik saja harus diam-diam karena tabiat suaminya yang sangat posesif. Hidupnya terpenjara melebihi burung dalam sangkar. Air matanya mengering perlahan dalam penderitaan berlarut-larut. Ia berhenti berdoa karena Tuhan seolah tidak melihat penderitaannya. Ia mengutuk kecantikan yang Tuhan titipkan padanya. Dulu ia kebanggaan kedua orang tuanya karena dikira kelak akan mendapat suami rupawan kaya raya anak bangsawan. Nyatanya, ia justru diculik dan diperlakukan layaknya budak nafsu belaka. Seperti bunga yang dipetik hanya untuk disia-sia.

Ruang sempit tanpa celah ini tak menjadi tempat yang aman untuk tubuh kecilnya. Tak jarang petugas hidung belang menghampirinya ketika malam tiba. Nila tak perduli juga dengan apa yang mereka perbuat pada tubuhnya yang memang telah penuh luka dari siksa suaminya. Nila menganggap kerelaannya sebagai bentuk amal sebelum ajalnya datang menjemput. Setidaknya ia bisa berguna untuk orang lain. Untuk serigala-serigala kelaparan yang kalap melahap sisa-sisa kecantikannya. Dalam hati, Nila hanya berharap semoga saja serigala-serigala itu tidak menyesali perbuatannya kelak ketika mereka tahu bahwa kembang yang mereka lahap ini adalah muara dari segala penyakit kelamin yang dititip secara paksa oleh suaminya. Andai mereka tahu, mereka tak akan mungkin sanggup menyentuhnya. Melihat saja pasti jijik dan muntah. Begitulah manusia, pikirnya. Selalu melihat dari tampilan luar saja. Mereka tak melihat bahwa di dalamnya, perempuan mungil ini hanyalah bangkai abadi. Tak lagi hidup. Bukan lagi manusia seutuhnya.

Penantian adalah pekerjaan yang sangat melelahkan. Apalagi kalau kita tidak tahu kapan berakhirnya. Sesekali Nila berdendang tak jelas, ala kadarnya. Satu-satunya penghiburan yang dia punya. Lagu nya pun terbatas, yang bisa dia ingat saja. Beberapa lagu daerah dan tembang jawa yang kerap dinyanyikan sebagai pengantar tidurnya. Apakah kedua orang tuanya tahu keadaan Nila sekarang ? kenapa mereka tidak pernah datang menjenguk ? apakah mereka tidak tahu bahwa anak perempuan mereka telah menjadi pahlawan yang telah berhasil membunuh monster legendaris ? apakah pemberitaan besar-besaran itu tidak pernah sampai pada mereka ??? atau mereka memilih untuk menjadi Tuhan yang tak lagi memiliki alamat di bumi ini sehingga berita-berita itu tak lagi menemukan jalan ke sana ? ah, peduli apa, lebih baik mereka tak tahu saja. Tak perlu menambah penderitaan mereka untuk mengetahui bahwa anak perempuan yang pernah mereka banggakan ini sebentar lagi akan meregang nyawa atas nama keadilan yang timpang sebelah. Keadilan memang hanya nama di negeri ini. Semua orang juga tahu itu. Maka dari itu mereka terus bersuara walau tak pernah didengar. Setidaknya mereka tidak diam. Tidak merelakan kebenaran disepelekan. Bukankah kebenaran selalu menang pada akhirnya ? apabila satu nyawa Nila bisa menjadi bahan bakar untuk menghidupkan bara perjuangan atas nama kebenaran, ia sangat rela. Seperti yang telah kukatakan sebelumnya. Selama masih bisa bermanfaat, ia rela.

Penantian panjang seperti tak berujung, dengan amal perbuatan hampir setiap malam, akhirnya tiba waktunya nama Nila disebut. Tanggal kepastian dibacakan. Tiga hari dari sekarang. Nila akan diperlakukan istimewa. Ia boleh makan apa pun yang dia mau. Menuliskan surat terakhir untuk nantinya dikirim ketika ia telah tiada. Beberapa lembar kertas tanpa amplop dan sebatang kecil pensil. Hanya itu yang diberikan. Tangannya sempat hampir menuliskan segalanya di atas kertas-kertas itu. Tapi diurungkan. Ia tak ingin penderitaanya tumpah dan menulari siapa saja nanti yang membacanya. Tak ada pembelaan dari bibirnya hingga akhir. Tak ada juga kata-kata memelas untuk sedikit pengampunan. ia tahu bahwa apa yang telah dilakukannya tak lebih biadab dari kelakuan suaminya. Semua orang pun tahu itu, tapi mereka memilih diam. Lalu untuk apa seorang Nila harus membela diri kalau semua yang ingin dikatakan sebenarnya telah diketahui semua orang ? tak ada gunanya. Ia memilih bungkam menunggu hingga akhir. Ia hanya berharap untuk kali terakhirnya, Tuhan sendiri yang akan datang menjemputnya, agar ia bisa mempertanyakan ketidakadilan yang telah ia terima. Tapi harapan itu tak berani ia pupuk lebih jauh. Doa saja tidak didengar, apalagi berharap untuk dijemput pulang ? terlalu lancang, pikirnya. Siapalah Nila. Hanya perempuan tanah seberang yang ternoda dan jatuh dalam kubangan dosa.

Hari yang ditentukan telah tiba. Nila hanya meminta sayur asem dengan sambal terasi dan tongkol balado, juga sepotong gaun ungu tua sebagai permintaan terakhirnya. Tanpa riasan wajah ataupun alas kaki. Santapan terakhir itu hanya disentuh satu suapan saja. Rasanya begitu nikmat. Mirip racikan ibunya. Satu suapan terakhir yang tak akan mungkin terlupakan. Lebih dari cukup. Gaun ungu dikenakan, dengan rambut diikat ala kadarnya, Nila siap menghadap ajal. Dikawal oleh dua serigala yang sering meminta jatah amal, Nila hanya menatap lurus ke depan. Tak perduli dengan apa pun di sekitarnya. Matanya kosong seperti biasa. Bibirnya bungkam. Ia dikawal hingga ke mimbar untuk menyampaikan setidaknya satu kali penyesalan atas perbuatannya. Ditonton oleh banyak orang dan media yang siap mengabadikan. Saat ia telah tiba di depan mimbar, semua mata tertuju padanya. Tak sedikit yang sesengukan menangisi nasib perempuan malang itu. Sebagian lagi menatap haru penuh rasa terima kasih atas keberaniannya membalaskan perbuatan keji suaminya terhadap keluarga mereka. Tapi semuanya tak berkata-kata. Mereka menunggu bibir Nila menyampaikan kata-kata terakhir.

“Hari ini, takdir menggiring seorang Nila ke hadapan kalian, dengan atau tanpa persetujuanku. Sama seperti takdir menyeret seorang Nila dalam kegelapan tanpa ampun. Hari ini, aku, Nila, berdiri di sini, sebagai simbol perjuangan wanita. Bahwa hidup kita tidak harus tunduk di bawah kaki pria. Bahwa aku, Nila yang kecil dan terlihat rapuh, telah menghabisi suamiku karena apa yang kalian semua tahu telah ia perbuat. Yang aku tahu, aku memang tahu. Bahwa apa yang aku lakukan tidak dapat dibenarkan secara hukum. Tapi hukum siapa yang membiarkan seorang Nila mengalami semua ini ? Keadilan yang menempatkan seorang Nila menjadi tersangka. Keadilan yang pada akhirnya akan membungkam mulut seorang Nila. Keadilan yang itu… tak akan menghentikan Nila-Nila lain di luar sana untuk berbuat yang sama seperti Nila yang berdiri di depan kalian. Jangan biarkan Nila-Nila di luar sana harus mengalami apa yang aku alami. Membiarkan, lebih keji dari perbuatan-perbuatan suamiku.”

Air mata terakhir Nila menitik. Ia turun dari mimbar. Langkah kakinya diiringi sorak riuh usai keheningan panjang yang menyelimuti seluruh saksi yang hadir. Tak lama setelahnya, takdir menuntaskan kerjanya. Tiga tembakan diletuskan, salah satunya mengakhiri hidup Nila. Tapi, kata-kata terakhirnya menjadi gelombang raksasa yang membangunkan Nila-Nila lain di luar sana.

“Karena membiarkan, sama saja dengan membenarkan.”

Rabu, 10 April 2019

In My Dreams ~Papillon



Pertama kali bertemu dengannya, gadis itu tengah berjalan dalam kegelapan yang mengelilingi antara aku dengan dirinya. Hanya sebuah lentera mungil dalam tangannya yang menjadi penerang. Dia adalah manusia pertama yang aku temui setelah kegelapan yang panjang. Aku tak mengerti tempat apa ini, begitu gelap dan dingin. Begitu sunyi hingga detak jantungku pun tak terdengar. Aku sempat berpikir apakah aku  ini masih hidup ? atau mungkin aku secara tak sadar telah mati ? Semua pertanyaan-pertanyaan itu dan berbagai pertanyaan tak penting terus aku putar dalam kepalaku, menghalau rasa takutku. Tentu saja aku takut karena sekelilingku begitu gelap hingga ujung kaki pun aku tak bisa melihatnya. Yang jelas, aku masih bernapas. Aku merasakan hembusannya di wajahku setiap kali aku melangkah maju. Aku berteriak memanggil dan  menyapa berharap akan ada yang mendengar. Nihil... Entah berapa lama, hingga muncul secercah cahaya temaram dari kejauhan. Ya, cahaya dari lentera di tangan gadis itu. Gadis aneh yang mengenakan topeng binatang dengan lentera seperti akar tanaman dengan kupu-kupu bercahaya sebagai sumber penerangan. Gadis itu mengaku bernama Naisha. Kulitnya putih pucat, dengan rambut keperakan jika dilihat dari temaram lampu. Aku tak bisa memastikannya. Matanya terlihat berwarna biru kehijauan ketika ia mengangkat lenteranya untuk melihat wajahku lebih jelas. Naisha bertanya bagaimana aku bisa sampai ke tempat ini. Aku pun bingung. Tadi aku sedang rebah di ranjang, tubuhku terasa panas dan aku ingat sepertinya berkeringat banyak sekali. Tak lama kemudian aku tertidur. ketika aku membuka mata, ternyata aku telah berdiri dalam kegelapan. Aku ketakutan dan berteriak tapi tidak ada yang mendengar. Setelah itu aku berlari entah berapa lamanya, hingga akhirnya aku menyerah dan melanjutkan dengan berjalan karena aku bahkan tidak tahu melangkah kemana. 

Gadis itu tersenyum padaku, ia berkata tenang saja karena belum waktunya aku berada di sini. Ia berjanji akan mengantar aku pulang. Entah kenapa saat itu aku percaya begitu saja. Naisha bertanya banyak hal tentang duniaku. Aku bingung, apa maksudnya. Tapi aku menceritakan keseharianku, dan dia terlihat sangat senang. Sesekali ia berbalik dengan mata berkaca-kaca seolah apa yang aku ceritakan adalah sesuatu yang mengagumkan padahal aku hanya menceritakan tentang perjalanan wisata ke kebun binatang. Naisha sepertinya begitu asing dengan dunia. Setiap kali aku bertanya tentang dirinya, Naisha selalu mengelak. Dia menuntut aku menceritakan lebih banyak lagi tentang diriku, sambil kami terus berjalan. Aku merasa jalur kami semakin lama semakin sulit. Tadi aku tidak merasakan ada kerikil yang menghalangi. Sekarang, aku sadar di sekeliling kami dipenuhi rumput dan semakin ke depan seperti memasuki hutan. Hingga paling parahnya, kami menyeberangi sungai yang tidak terdengar suara airnya padahal aku merasakan ada arus setinggi pahaku. Aku begitu takut kalau ternyata kami akan jatuh terperosok semakin dalam dan lenyap ditelan aliran sungai. Tapi Naisha meyakinkanku bahwa ia tahu betul daerah ini. Aku pun berusaha tidak menghiraukan rasa takutku karena gengsi pada keberanian gadis pemberani di hadapanku.

Setibanya di seberang sungai, aku melihat ada pendar cahaya lain dari kejauhan. Asalnya dari belakang kami, dari seberang sungai. Semakin lama semakin mendekat. Naisha menarik tanganku dan menyuruh aku untuk berlari. Ia terlihat begitu panik. Naisha bilang, itu adalah kupu-kupu kematian. Jika sampai tersentuh, aku tak akan pernah bisa kembali. Aku mulai panik dan berlari lebih kencang lagi.

Aku tidak tahu berapa lama kami berlari, yang pasti sangat lama. Aku kelelahan dan berhenti untuk menarik napas. Naisha bilang, kami sedang berada di alam bawah sadar. Dunia antara mimpi dan kenyataan. Bisa jadi lebih dalam daripada mimpi, hingga jarak yang tidak bisa ditentukan. Aku harus segera kembali ke dunia nyata sebelum 'penangkap mimpi' berwujud kupu-kupu hitam yang tadi disebut Naisha sebagai kupu-kupu kematian itu menyentuhku. Aku mulai bertanya-tanya siapa sebenarnya Naisha. Kenapa dia bisa tahu begitu banyak tentang dunia ini. Apakah dia adalah malaikat pelindungku ? dia hanya tersenyum. Kami melanjutkan perjalanan tak lama kemudian. Naisha bertanya apakah aku membawa sesuatu ke dunia ini ketika aku tidur ? aku tidak mengerti apa maksudnya. Kalau yang dia maksud adalah benda terakhir yang aku pegang ketika tidur, tentu saja selimut kesayanganku. Ia kemudian bertanya di mana kira-kira benda itu sekarang. Aku bingung. Naisha kemudian mengajarkanku bagaimana cara menemukannya. Bayangkan benda itu sambil tutup mata. Saat aku menutup mata dan membayangkannya dalam keadaan mata tertutup aku melihat bintang jatuh. Ya, di situ tempat keberadaan jalan pulang, kata Naisha. Kami pun bergegas ke arah yang terlihat olehku dalam keadaan mata tertutup. Naisha yang memandu langkahku. Saat tiba di sana, aku senang sekali. Akhirnya aku bisa keluar dari dunia ini, walau aku sedih karena Naisha tak bisa ikut. Sebagai hadiah perpisahan, ia memberiku lenteranya. Tak hanya itu, ia juga memberiku topengnya. Aku sempat terkagum sejenak melihat wajah dibalik topeng itu, ternyata Naisha gadis yang cantik dan senyumnya sangat manis. Setelah itu, Naisha kemudian mengambil selimutku dan menunjukkan bagaimana cara menggunakannya untuk pulang. Tunggu dulu... Naisha... Kenapa Naisha tiba-tiba menghilang ?  

Aku ketakutan dan terus memanggil-manggil namanya. Tidak, tak mungkin... Apakah Naisha telah menipuku ? Apakah aku terjebak di dunia ini menggantikannya ? Jangan-jangan Naisha adalah pemimpi yang terjebak di sini. Tidak, aku tak mau selamanya berada di tempat ini. Bagaimana aku bisa bertahan sendirian dari kejaran kupu-kupu kematian ? Lalu bagaimana dengan diriku di dunia nyata ? Aku menangis sejadi-jadinya... tapi tidak ada yang mendengarku. Tunggu dulu, sepertinya aku mendengar suara. Ada manusia lain... Mungkinkah ?








Senin, 28 Januari 2019

Peron

Denting gelas beradu manja
Sekian detik kemesraan yang ingin dipertahankan lebih lama
Agar sekiranya peristiwa ini boleh dikenang dalam durasi panjang
Percakapan kita melaju terlalu cepat
Perpisahan, datangnya selalu terlampau awal
Sesak...
Dua bibir yang mengatup rapat
Menolak ucapkan kata pisah
Kita adalah sepasang manusia yang berharap waktu berhenti melangkah
Dua pasang mata yang membendung asa
Dua hati yang ingin tetap bersama
Hingga panggilan itu memaksa pisahkan mereka
Karena kereta tak berhenti lama

Sabtu, 01 Desember 2018

Hujan Datang

Hujan datang selalu di saat yang tepat. Ketika aku sedang tak siap menyambut dingin dan sendunya. Sialnya, aku bukan makhluk super yang bisa menghentikan datangnya hujan. Aku hanya manusia biasa yang harus pasrah menyambut datang dan perginya tanpa diberi kesempatan untuk menawar.

Ritual wajib ketika hujan datang selalu diawali dengan secangkir teh hangat dengan pemanis gula aren. Aroma teh bercampur harum manis gula aren cocok untuk membalut celah sendu yang datang bersama hujan. Yang paling menyebalkan adalah bahwa hujan tidak pernah datang sendirian. Ia membawa serta kenangan. 

Tiga tahun lalu, ketika hujan menemani perpisahan kita di bawah jembatan Cinta, lukanya membekas hingga saat ini dan terbuka kembali setiap kembalinya hujan. Aku yang saat itu terluka, tidak kau hiraukan. Tak juga kau berbalik untuk sekedar menyeka air mataku. Seolah masa-masa indah sebelumnya hanyalah cerita pengantar tidur yang kemudian terlupakan saat terbangun keesokan harinya. Kau seperti bunga tidur yang ingin aku lupakan tapi tak bisa. Mimpi buruk yang membekas hingga terbawa ketika aku bangun. Bayanganmu bahkan hilir mudik mengitari kepalaku hingga saat ini. Aku sempat berpikir bahwa aku ini gila. Aku bahkan sempat mencari dokter jiwa untuk menghilangkan bekas-bekasmu. Mereka semua berkata bahwa aku tidak gila, hanya butuh waktu untuk melupakan. Tapi sampai kapan ? sementara hujan terus membawamu kembali dalam ingatan. Dan aku tak mungkin menghapuskan hujan selamanya dari muka bumi hanya untuk menghapus bayanganmu. Aku tak akan mampu.

Titik-titik hujan di kaca jendela, seolah berusaha menerobos pertahananku. Hujan mengincarku. Percikannya membuat kaca jendela menjadi buram dari sekelilingku. Semakin buram aku dari dunia nyata, semakin mudah hujan memangsa  pikiranku. Hujan bekerja diam-diam namun tepat sasaran. Sangat jenius. 

Bukan tanpa upaya aku berusaha melupakanmu. Aku bahkan pindah dari kota asal kita berdua. Aku meninggalkan rumah, keluarga, teman, dan saudara. Aku meninggalkan semuanya bahkan barang-barang kesayanganku dan buku-buku yang menggunung karena tak muat lagi di dalam rak raksasa di kamarku. Tapi dengan segala upaya itu, kenangan akan dirimu tak juga tanggal dari kepalaku. Menancap dan seolah menjadi bagian diriku yang mustahil dipisahkan lagi. Beberapa kota telah aku singgahi, teman-teman baru, suasana baru, bahkan aku mengubah gaya berpakaianku, gaya rambutku, warna kesukaanku, semuanya percuma. Kenangan itu selalu tahu keberadaanku dan menghampiri bersaman setiap hujan datang. Aku berusaha mencari solusi dengan menceritakan kenangan itu bersama teman-teman baruku. Sebagian besar mereka berpendapat yang sama. Mereka menyela di tengah-tengah cerita. Tepat ketika aku menceritakan bagian ketika kau meninggalkan aku di bawah jembatan Cinta. Mereka bilang, kalau aku tak rela kau pergi, kenapa aku tak mengejarmu atau setidaknya berusaha menghentikanmu. Mereka menyela tanpa tahu yang sebenarnya. Mereka menyela karena mereka memang bukan saksi mata seperti hujan yang mendera di antara kita.

Tiga tahun lalu, ketika kau meninggalkan aku di sana, aku tak diam. Aku berjalan di belakangmu menangis dan terus memanggil namamu. Tak kau hiraukan. Kau terus berjalan menjauh menaiki anak tangga menuju parkir mobil. Kau benar-benar membulat dengan keputusanmu. Tak ada alasan yang masuk akal bagiku untuk perpisahan ini. Kau bilang tak ada restu dari kedua orang tuamu. Bukankah saat kita memulai pun kau sudah tahu itu. Kau bilang akan memperjuangkan aku. Itu juga alasan kenapa aku bersedia menjadi pendampingmu. Tapi kau melanggar janji itu. Kau berubah haluan. Tak kau sebut pihak ketiga tapi aku tahu, kau telah menemukan orang lain yang lebih pantas untukmu. Aku tahu itu dari teman-temanmu. Aku memilih diam awalnya, berharap kau pun akan diam dan bersedia membagi cintamu dengan adil. Tapi harapanku tak mewujud nyata. Kau memilih dia. Ketika aku memanggil pun kau tak berbalik untuk mendekapku erat seperti dulu ketika kita bertengkar hebat. Aku yakin kali itu berbeda. Kali itu adalah akhirnya.

Air mataku menitik jatuh. Aku benci kenangan itu. Aku benci setiap kali ia datang bersama hujan. Aku memalingkan wajah dari jendela, menyembunyikan tangisanku dari hujan. Tiga tahun bukan waktu yang singkat terutama ketika kita tidak bisa melupakan. Satu cangkir… dua cangkir… tiga cangkir… teh menemaniku dari hujan gerimis berubah jadi deras lalu mereda. Aku perhatikan sisa-sisa titik hujan di kaca jendela hingga bosan. Setelahnya, aku meraih jaket dan dompet untuk beranjak mencari makanan terdekat. 

Kaki ini melangkah melompati genangan kecil air. Walau aku benci hujan, tapi aku suka dengan udara sehabis hujan. Ada bau tanah basah, bau segar rumput basah, sejuk melegakan. Beberapa belokan dari rumah, aku pun tiba di persimpangan jalan raya. Hari sudah mulai senja, ditambah cuaca sehabis hujan membuat hari ini lebih cepat tua. Di dekat persimpangan ini ada tempat makan kesukaanku. Mereka menjual ayam bakar dengan bumbu pedas asam manis. Rasanya unik di lidah. Ditambah sepiring nasi hangat dan lalapan petai goreng tentu nikmatnya tiada tara apalagi sehabis hujan dan air mata. Perutku berbunyi seketika aku terbayang menu barusan. Tak jauh dari persimpangan, aku melihat ada keramaian. Banyak orang berkumpul di satu sudut jalan. Terdengar mereka panik dan beberapa diantaranya sibuk mengambil gambar dengan ponsel. Tampaknya terjadi kecelakaan. Jalanan di sini memang terkenal berbahaya karena adanya persimpangan ditambah lagi sehabis hujan jalanan biasanya licin. Mungkin pengemudinya sedang terburu-buru dan tidak mengurangi kecepatan. Entahlah. Aku mendekat untuk sekedar melihat dan mungkin membantu bila aku mampu, setidaknya atas nama kemanusiaan aku tidak akan ikut-ikut mengambil gambar untuk masuk di media sosial. Korbannya seorang pria paruh baya, istrinya menangis histeris sambil memeluk jasad suaminya. Pengemudi mobil terlihat berlutut menangis dan memohon ampun, tanpa diindahkan oleh istri korban. Melihat pemandangan itu, kepalaku pening. Tiba-tiba rasanya seperti mau pecah. Aku terduduk di jalanan, seolah tiba-tiba aku teringat sesuatu yang tidak seharusnya aku ingat. Tak lama, aku menjerit histeris dan menangis sekeras-kerasnya. Semua orang tiba-tiba melihat ke arahku. Bahkan mereka yang semenjak tadi sibuk mengambil gambar, sekarang mengarah padaku. Hanya istri korban yang tak beranjak. Lalu, semua menjadi gelap. Aku hilang kesadaran.

Tiga tahun lalu, ketika hujan datang, kau pergi meninggalkan aku di bawah jembatan Cinta. Aku mengikutimu berjalan di belakang sambil terus memanggilmu. Tapi kau tak menghiraukan. Aku tak tahu apakah saat itu kau menangis, atau kau benar-benar tak lagi memiliki rasa. Kau terus berjalan menaiki anak tangga menuju parkir mobil. Aku, saat itu… Aku ketika itu… Aku… Aku tahu saat itu bahwa aku telah kehilanganmu selamanya. Aku berhenti mengikutimu. Langkahku berbalik meninggalkanmu sambil tak henti-hentinya menangis. Aku mendengar kau berteriak dari dalam mobil agar aku pulang segera ke rumah. Tapi aku pun tak lagi ingin mendengarmu. Aku berjalan terus menjauh, kemudian semakin lama semakin ke tengah jalan. Aku tak lagi ingin hidup. Aku melihat dari kejauhan ada truk melaju kencang. Setelah itu, semua menjadi gelap. Aku berpikir bahwa hidupku telah berakhir. Nyatanya, ketika aku membuka mata, aku melihat wajahmu terbaring di sampingku… bersimbah darah.

Tak ada perih melebihi sakitnya kehilangan. Tak ada kehilangan yang lebih menyakitkan dari perpisahan yang tak tuntas. Yang pergi dan yang ditinggalkan, sama-sama merasakan pahitnya kenangan yang menghampiri bersama hujan datang.


Jumat, 17 Agustus 2018

Turbulensi

  Aku datang, menghadapmu. Menyodorkan seonggok hati yang penuh luka. Aku tawarkan padamu apa yang tersisa dariku. Bagian diriku yang kiranya masih manusia. Hati yang walau tak indah tapi setidaknya dia masih manusia. Satu-satunya bagian diriku yang masih hidup walau ribuan kali terluka dan hampir meregang nyawa. Aku tawarkan padamu, berharap kau mau menjaganya.

  Petang menjelang. Aku belum juga selesai menghias wajah ini dengan segala tetek-bengek-penyedap-pandang aneka warna, rupa, dan nama. Bukannya aku sengaja terus menunda, tapi memang aku ingin tampil sempurna. Agar kau tak lagi pernah lupa bahwa orang yang kau tinggal ini adalah makhluk terindah yang pernah tercipta di dunia. Berkali-kali riasan ini menempel lalu kuhapus dan kutempel ulang. Belum juga aku merasa puas. Kalau aku tak puas, maka kau pun tak akan puas. Bukankah begitu, kekasih ? Mantan kekasih. Riasan ini berulang kali hampir sempurna sebelum akhirnya rusak kembali oleh butiran air mata yang kubendung sejak lama. Sadarkah kau bahwa aku terluka, kekasih ? Mantan kekasih. Aku tak mengharapkan dirimu tetap baik ketika kau tak lagi mencintai aku seperti layaknya awal kita bertemu. Aku tak ingin kau hadir dalam hidupku hanya untuk menjadi bayang-bayang pengingat indahnya masa lalu. Air mata ini menitik lagi. Bukankah kau yang dulu berkata akan menjagaku agar tak lagi tersakiti, kekasih ? Mantan kekasih. Ketika cintamu berubah haluan, apakah kau masih mengingat janji itu, kekasih ? Mantan kekasih. Kau meniadakan bagian terakhir diriku yang masih hidup. Aku tak lagi hidup karenamu, kekasih. Mantan kekasih.

  Perjuangan panjang penuh air mata hingga setidaknya aku harus merasa puas karena jarum jam menunjukku dengan geram. Tak ada waktu panjang tersisa bagiku untuk bermutasi menjadi makhluk dalam khayalanku. Aku tetaplah aku. Wujud yang sama yang sempat membuatmu jatuh cinta. Setidaknya sudah kau nikmati hingga kau merasa bosan dan kau tinggal. Geram sekali lagi membuatku terpaku dalam diam, menatap bayangan dalam cermin yang terlihat tanpa ekspresi namun menyimpan dendam. Makhluk yang cantik. Aku puas. Seharusnya kau pun puas saat melihatku nanti. 

  Ponselku berdering, sebuah panggilan dari taksi online yang kupesan untuk mengantarkan mahluk paling indah di dunia ini ke hadapanmu, kekasih. Mantan kekasih. Aku bahkan sempat mengagumi makhluk dalam cermin ini berkali-kali sebelum kuputuskan beranjak sebelum ponselku meledak dihujam dering tiada henti, atau jarum jam di dinding meloncat dan menusukku hingga mati karena kesal terlalu lama kuabaikan. Dan lagi, makhluk terindah di dunia ini harus menghadiri pesta sekali seumur hidupmu, kekasih. Mantan kekasih. Aku pun berbalik untuk keluar dari ruangan bisu ini. Saat aku berbalik, aku merasakan kedua kaki-ku tertinggal di belakang. Mereka enggan beranjak karena tahu aku hanya akan terluka melihatmu bersanding dengan kekasih barumu di pelaminan. Dasar, kaki-kaki sok perhatian. Kemana saja kalian ketika dulu aku meminta kalian membawaku lari dari kenyataan ? Kalian sama saja dengan dia. Sok perhatian tapi nyatanya kalian tak pernah benar-benar ada untukku. Aku pun terpaksa mencubit kedua kaki manja itu agar mereka menurut dan membawaku segera keluar. Aku tahu mereka enggan, tapi mereka tak berdaya. Aku pun tak pusingkan itu. Sama seperti mereka seharusnya tak perlu memusingkan diriku, cukup menjadi alat penopang dan membawaku ke mana aku mau. Bukankah begitu, kekasih ? Mantan kekasih.

  Sepanjang perjalanan, supir taksi online terlihat melirikku dari kaca spion tengah. Matanya melirikku dengan tatapan menjijikkan. Seperti lebah mengincar kembang ranum di hadapannya. Tak tahunya kembang ini berisi racun serangga. Andai ia tahu betapa aku ingin mencungkil mata binalnya, tentu ia tak lagi berani melirikku sebegitunya. Tapi sudahlah, aku sedang berbaik hati malam ini. Aku tak ingin menghabiskan emosiku untuk seonggok sampah di hadapanku. Aku melempar senyuman manis padanya lewat pantulan kaca hingga ia tersipu-sipu malu. Entah malu atau menahan nafsu. Buatku tak terlalu mengganggu. Selama dia aman membawaku sampai kepadamu, kekasih. Mantan kekasih. Aku bersumpah, sepanjang perjalanan ini kami tak saling berbicara sepatah kata pun. Hanya lirikan nakal bersambut senyum mematikan. Jadi, kau tak perlu cemburu, kekasih. Mantan kekasih. Aku tahu dulu kau pun berlaku curang lebih parah daripada ini. Aku tak pernah menyalahkanmu juga. Jadi tolong jangan kau salahkan aku hanya karena permainan kecil ini, kekasih. Mantan kekasih. Setibanya di lokasi, aku pun turun tanpa meninggalkan jejak kemesraan. Hanya senyum manis tanpa makna dan tentunya bintang satu sebagai perpisahan untuknya.

  Kapel tua yang indah. Tempat yang sempurna untuk pernikahanmu. Dindingnya serba putih dengan hiasan bunga lili putih dan krisan kuning. Jujur saja aku iri, kekasih. Mantan kekasih. Aku iri dengan kapel cantik ini. Tapi aku benci bunga lili. Kau tahu aku tak sesuci bunga lili. Aku tentu akan memilih bunga lotus. Lambang kecantikan yang muncul dari dalam kubangan dosa. Sudahlah, toh ini bukan pernikahan kita, kekasih. Mantan kekasih. Tetap saja aku iri dengan kapel putih ini. 

  Aku duduk di barisan paling belakang, kekasih. Mantan kekasih. Agar saat kau masuk, aku lah makhluk paling bersinar yang kau tatap di ruangan ini. Bukan mempelaimu yang kau agung-agungkan di hadapanku tanpa kau jaga perasaanku. Bukan juga lampu kristal mewah nan megah di tengah-tengah kapel yang berkilauan dengan sombongnya walau hanya kristal imitasi belaka. Ingatlah, kekasih. Mantan kekasih. Malam ini aku-lah makhluk terindah yang pernah ada di dunia. Aku hadir untuk membuatmu sadar betapa bodohnya dirimu yang telah meninggalkan aku. 

  Berkali-kali aku melihat jam di lenganku. Berharap waktu tak menyiksaku terlalu lama melihat senyuman manusia-manusia di depan sana yang seolah ikut mencicipi kolam kebahagiaan kalian malam ini. Mereka bukanlah kalian berdua yang tengah dimabuk cinta hingga saling menyerahkan janji sehidup-semati dalam ikatan pernikahan. Aku teringat lagi dengan ucapanmu bahwa tak akan ada pernikahan lain untukmu selain denganku, kekasih. Mantan kekasih. Andai kau masih ingat itu. Aku berharap janji itu menjadi mimpi buruk di sisa hidupmu agar kau tau betapa aku telah kau lukai hingga tak sanggup berkata-kata. Aku mengutukmu untuk merasakan pedih yang aku rasa. Setidaknya agar kau tak mengira aku bahagia dengan semua perhatianmu setelah kita putus. Aku tersiksa karena mengharapkan kau kembali, kekasih. Mantan kekasih. Senyumku di hadapanmu seperti kuburan menganga tempatku mengintipmu dari dalam dinginnya tanah, berusaha menggapaimu tapi tak pernah bisa. Seperti itulah kita selama ini, kekasih. Mantan kekasih.

  Jam berdentang tujuh kali. Lonceng raksasa di atas kapel pun berdenting nyaring, membuatku pusing. Pintu di belakangku terbuka pelan. Kamu ternyata berdiri di sana, kekasih. Mantan kekasih. Dengan senyummu yang menempel sempurna menghiasi setelanmu yang tak kalah sempurna. Kau sempurna, kekasih. Mantan kekasih. Aku terpukau. Perlahan kau melangkah masuk ke dalam kapel. Sempat kau melempar senyum ke arahku. Jantungku berdebar-debar seolah aku lah mempelaimu malam ini. Hanya sekian detik dan kau terus melaju ke depan altar. Menatap lurus ke belakangku. Menunggu pintu jahanam itu terbuka sekali lagi dan memunculkan calon pasangan hidupmu yang kau tunggu-tunggu. Sayangnya bukan aku yang kau tunggu, kekasih. Mantan kekasih. Hingga akhirnya, penghalang itu tak lagi mampu membendung makhluk yang paling aku benci. Ia terlihat cantik. Sungguh, aku iri dengan kepolosan yang terpancar darinya. Seperti patung pualam tanpa cacat. Beda sekali dengan diriku yang seperti ampas siap dibuang. Aku malu dengan kepercayaan-diri-ku yang sempat aku banggakan dari tadi. Wajar kau memilihnya daripada aku. Dia putih polos suci seperti bunga lili. Sedangkan aku, walau cantik tapi aku hanyalah lotus yang muncul dari kubangan dosa. Aku mengerti kenapa kau meninggalkan aku untuknya. Aku menyerah, kekasih. Mantan kekasih. Air mata ini menitik pasrah menuruni lengkungan senyum di bibirku. Semua mengira aku menangis bahagia melihat kalian berpasangan malam ini. Hanya aku sendiri yang mengerti penderitaanku dalam dinginnya tanah kubur tersembunyi di balik senyum, kekasih. Mantan kekasih. Aku tak sanggup tersiksa lebih lama lagi untuk mendengarkan janji pernikahan kalian. Aku beranjak dari tempatku dan sekali ini, kedua kakiku mengantarku dalam diam. Mereka benar-benar mirip denganmu, kekasih. Mantan kekasih.
 
***
 
  Aku terbangun di kamarku. Tenggorokanku kering. Mataku sembab. Kepalaku terasa berat. Aku beranjak dari ranjangku dengan enggan menuju dapur untuk segelas air dingin dari dalam kulkas. Aku melihat jam di dinding. Kali ini tatapannya tak terlalu dingin padaku. Tangan-tangannya menunjukkan pukul sepuluh pagi. Entah jam berapa aku pulang semalam, aku tak terlalu ingat. TV masih menyala, siaran berita. Setengah sadar aku mendengarkan sambil meneguk air dingin yang langsung menghibur kerongkongan gersang ini. 

“Tadi malam... Kebakaran… Kapel… pemadam kebakaran… seluruhnya tewas.” 

  Aku tercekat. Kapel ? semalam ? 

  Selintas gambaran hadir dalam kepalaku. Tawa menggelegar. Api menyala. Kapel terbakar. Pintu terkunci dari luar. Jeritan histeris di dalam. Lampu diskotik. Tawa menggelegar sepanjang malam. Lalu seketika semuanya buyar oleh bunyi lonceng di pintu. Aku bergegas menuju pintu untuk mengintip siapa gerangan. Berdiri di depan pintu, ada petugas berseragam dengan wajah garang. Rasanya sekarang aku mengingat jelas malam terakhir kita, kekasih. Mantan kekasih.