Aku datang, menghadapmu. Menyodorkan seonggok
hati yang penuh luka. Aku tawarkan padamu apa yang tersisa dariku. Bagian
diriku yang kiranya masih manusia. Hati yang walau tak indah tapi setidaknya
dia masih manusia. Satu-satunya bagian diriku yang masih hidup walau ribuan
kali terluka dan hampir meregang nyawa. Aku tawarkan padamu, berharap kau mau
menjaganya.
Petang menjelang. Aku belum juga selesai
menghias wajah ini dengan segala tetek-bengek-penyedap-pandang aneka warna,
rupa, dan nama. Bukannya aku sengaja terus menunda, tapi memang aku ingin
tampil sempurna. Agar kau tak lagi pernah lupa bahwa orang yang kau tinggal ini
adalah makhluk terindah yang pernah tercipta di dunia. Berkali-kali riasan ini
menempel lalu kuhapus dan kutempel ulang. Belum juga aku merasa puas. Kalau aku
tak puas, maka kau pun tak akan puas. Bukankah begitu, kekasih ? Mantan
kekasih. Riasan ini berulang kali hampir sempurna sebelum akhirnya rusak
kembali oleh butiran air mata yang kubendung sejak lama. Sadarkah kau bahwa aku
terluka, kekasih ? Mantan kekasih. Aku tak mengharapkan dirimu tetap baik
ketika kau tak lagi mencintai aku seperti layaknya awal kita bertemu. Aku tak
ingin kau hadir dalam hidupku hanya untuk menjadi bayang-bayang pengingat
indahnya masa lalu. Air mata ini menitik lagi. Bukankah kau yang dulu berkata
akan menjagaku agar tak lagi tersakiti, kekasih ? Mantan kekasih. Ketika
cintamu berubah haluan, apakah kau masih mengingat janji itu, kekasih ? Mantan
kekasih. Kau meniadakan bagian terakhir diriku yang masih hidup. Aku tak lagi
hidup karenamu, kekasih. Mantan kekasih.
Perjuangan panjang penuh air mata hingga
setidaknya aku harus merasa puas karena jarum jam menunjukku dengan geram. Tak
ada waktu panjang tersisa bagiku untuk bermutasi menjadi makhluk dalam
khayalanku. Aku tetaplah aku. Wujud yang sama yang sempat membuatmu jatuh
cinta. Setidaknya sudah kau nikmati hingga kau merasa bosan dan kau tinggal. Geram
sekali lagi membuatku terpaku dalam diam, menatap bayangan dalam cermin yang
terlihat tanpa ekspresi namun menyimpan dendam. Makhluk yang cantik. Aku puas.
Seharusnya kau pun puas saat melihatku nanti.
Ponselku berdering, sebuah panggilan dari
taksi online yang kupesan untuk mengantarkan mahluk paling indah di dunia ini
ke hadapanmu, kekasih. Mantan kekasih. Aku bahkan sempat mengagumi makhluk
dalam cermin ini berkali-kali sebelum kuputuskan beranjak sebelum ponselku
meledak dihujam dering tiada henti, atau jarum jam di dinding meloncat dan
menusukku hingga mati karena kesal terlalu lama kuabaikan. Dan lagi, makhluk
terindah di dunia ini harus menghadiri pesta sekali seumur hidupmu, kekasih. Mantan
kekasih. Aku pun berbalik untuk keluar dari ruangan bisu ini. Saat aku
berbalik, aku merasakan kedua kaki-ku tertinggal di belakang. Mereka enggan
beranjak karena tahu aku hanya akan terluka melihatmu bersanding dengan kekasih
barumu di pelaminan. Dasar, kaki-kaki sok perhatian. Kemana saja kalian ketika
dulu aku meminta kalian membawaku lari dari kenyataan ? Kalian sama saja dengan
dia. Sok perhatian tapi nyatanya kalian tak pernah benar-benar ada untukku. Aku
pun terpaksa mencubit kedua kaki manja itu agar mereka menurut dan membawaku
segera keluar. Aku tahu mereka enggan, tapi mereka tak berdaya. Aku pun tak
pusingkan itu. Sama seperti mereka seharusnya tak perlu memusingkan diriku,
cukup menjadi alat penopang dan membawaku ke mana aku mau. Bukankah begitu,
kekasih ? Mantan kekasih.
Sepanjang perjalanan, supir taksi online
terlihat melirikku dari kaca spion tengah. Matanya melirikku dengan tatapan
menjijikkan. Seperti lebah mengincar kembang ranum di hadapannya. Tak tahunya
kembang ini berisi racun serangga. Andai ia tahu betapa aku ingin mencungkil
mata binalnya, tentu ia tak lagi berani melirikku sebegitunya. Tapi sudahlah,
aku sedang berbaik hati malam ini. Aku tak ingin menghabiskan emosiku untuk
seonggok sampah di hadapanku. Aku melempar senyuman manis padanya lewat
pantulan kaca hingga ia tersipu-sipu malu. Entah malu atau menahan nafsu.
Buatku tak terlalu mengganggu. Selama dia aman membawaku sampai kepadamu,
kekasih. Mantan kekasih. Aku bersumpah, sepanjang perjalanan ini kami tak
saling berbicara sepatah kata pun. Hanya lirikan nakal bersambut senyum
mematikan. Jadi, kau tak perlu cemburu, kekasih. Mantan kekasih. Aku tahu dulu
kau pun berlaku curang lebih parah daripada ini. Aku tak pernah menyalahkanmu
juga. Jadi tolong jangan kau salahkan aku hanya karena permainan kecil ini,
kekasih. Mantan kekasih. Setibanya di lokasi, aku pun turun tanpa meninggalkan
jejak kemesraan. Hanya senyum manis tanpa makna dan tentunya bintang satu sebagai
perpisahan untuknya.
Kapel tua yang indah. Tempat yang sempurna
untuk pernikahanmu. Dindingnya serba putih dengan hiasan bunga lili putih dan
krisan kuning. Jujur saja aku iri, kekasih. Mantan kekasih. Aku iri dengan
kapel cantik ini. Tapi aku benci bunga lili. Kau tahu aku tak sesuci bunga
lili. Aku tentu akan memilih bunga lotus. Lambang kecantikan yang muncul dari
dalam kubangan dosa. Sudahlah, toh ini bukan pernikahan kita, kekasih. Mantan
kekasih. Tetap saja aku iri dengan kapel putih ini.
Aku duduk di barisan paling belakang,
kekasih. Mantan kekasih. Agar saat kau masuk, aku lah makhluk paling bersinar
yang kau tatap di ruangan ini. Bukan mempelaimu yang kau agung-agungkan di hadapanku
tanpa kau jaga perasaanku. Bukan juga lampu kristal mewah nan megah di
tengah-tengah kapel yang berkilauan dengan sombongnya walau hanya kristal
imitasi belaka. Ingatlah, kekasih. Mantan kekasih. Malam ini aku-lah makhluk
terindah yang pernah ada di dunia. Aku hadir untuk membuatmu sadar betapa
bodohnya dirimu yang telah meninggalkan aku.
Berkali-kali aku melihat jam di lenganku.
Berharap waktu tak menyiksaku terlalu lama melihat senyuman manusia-manusia di
depan sana yang seolah ikut mencicipi kolam kebahagiaan kalian malam ini.
Mereka bukanlah kalian berdua yang tengah dimabuk cinta hingga saling
menyerahkan janji sehidup-semati dalam ikatan pernikahan. Aku teringat lagi
dengan ucapanmu bahwa tak akan ada pernikahan lain untukmu selain denganku,
kekasih. Mantan kekasih. Andai kau masih ingat itu. Aku berharap janji itu
menjadi mimpi buruk di sisa hidupmu agar kau tau betapa aku telah kau lukai
hingga tak sanggup berkata-kata. Aku mengutukmu untuk merasakan pedih yang aku
rasa. Setidaknya agar kau tak mengira aku bahagia dengan semua perhatianmu
setelah kita putus. Aku tersiksa karena mengharapkan kau kembali, kekasih.
Mantan kekasih. Senyumku di hadapanmu seperti kuburan menganga tempatku
mengintipmu dari dalam dinginnya tanah, berusaha menggapaimu tapi tak pernah bisa.
Seperti itulah kita selama ini, kekasih. Mantan kekasih.
Jam berdentang tujuh kali. Lonceng raksasa di
atas kapel pun berdenting nyaring, membuatku pusing. Pintu di belakangku
terbuka pelan. Kamu ternyata berdiri di sana, kekasih. Mantan kekasih. Dengan
senyummu yang menempel sempurna menghiasi setelanmu yang tak kalah sempurna.
Kau sempurna, kekasih. Mantan kekasih. Aku terpukau. Perlahan kau melangkah
masuk ke dalam kapel. Sempat kau melempar senyum ke arahku. Jantungku
berdebar-debar seolah aku lah mempelaimu malam ini. Hanya sekian detik dan kau
terus melaju ke depan altar. Menatap lurus ke belakangku. Menunggu pintu
jahanam itu terbuka sekali lagi dan memunculkan calon pasangan hidupmu yang kau
tunggu-tunggu. Sayangnya bukan aku yang kau tunggu, kekasih. Mantan kekasih.
Hingga akhirnya, penghalang itu tak lagi mampu membendung makhluk yang paling
aku benci. Ia terlihat cantik. Sungguh, aku iri dengan kepolosan yang terpancar
darinya. Seperti patung pualam tanpa cacat. Beda sekali dengan diriku yang
seperti ampas siap dibuang. Aku malu dengan kepercayaan-diri-ku yang sempat aku
banggakan dari tadi. Wajar kau memilihnya daripada aku. Dia putih polos suci
seperti bunga lili. Sedangkan aku, walau cantik tapi aku hanyalah lotus yang
muncul dari kubangan dosa. Aku mengerti kenapa kau meninggalkan aku untuknya.
Aku menyerah, kekasih. Mantan kekasih. Air mata ini menitik pasrah menuruni
lengkungan senyum di bibirku. Semua mengira aku menangis bahagia melihat kalian
berpasangan malam ini. Hanya aku sendiri yang mengerti penderitaanku dalam
dinginnya tanah kubur tersembunyi di balik senyum, kekasih. Mantan kekasih. Aku
tak sanggup tersiksa lebih lama lagi untuk mendengarkan janji pernikahan
kalian. Aku beranjak dari tempatku dan sekali ini, kedua kakiku mengantarku
dalam diam. Mereka benar-benar mirip denganmu, kekasih. Mantan kekasih.
***
Aku terbangun di kamarku. Tenggorokanku
kering. Mataku sembab. Kepalaku terasa berat. Aku beranjak dari ranjangku
dengan enggan menuju dapur untuk segelas air dingin dari dalam kulkas. Aku
melihat jam di dinding. Kali ini tatapannya tak terlalu dingin padaku.
Tangan-tangannya menunjukkan pukul sepuluh pagi. Entah jam berapa aku pulang
semalam, aku tak terlalu ingat. TV masih menyala, siaran berita. Setengah sadar
aku mendengarkan sambil meneguk air dingin yang langsung menghibur kerongkongan
gersang ini.
“Tadi malam...
Kebakaran… Kapel… pemadam kebakaran… seluruhnya tewas.”
Aku tercekat. Kapel ? semalam ?
Selintas gambaran hadir dalam kepalaku. Tawa
menggelegar. Api menyala. Kapel terbakar. Pintu terkunci dari luar. Jeritan
histeris di dalam. Lampu diskotik. Tawa menggelegar sepanjang malam. Lalu
seketika semuanya buyar oleh bunyi lonceng di pintu. Aku bergegas menuju pintu
untuk mengintip siapa gerangan. Berdiri di depan pintu, ada petugas berseragam
dengan wajah garang. Rasanya sekarang aku mengingat jelas malam terakhir kita,
kekasih. Mantan kekasih.