Selasa, 16 Desember 2008

Sebuah Renungan

Kemana arus ini mengiring
kesana aku mengarah
bukan mauku kemana berada
hanya Tuhan saja yang tahu segala

Dimana langit menitipkan bahagia
aku cari sampai ujung dunia
tak lelah aku susuri seisi cakrawala
peluh dan darah rela kutumpah

Tuhan adil katanya
juga berhati mulia
derita manusia dikata musibah
bahagia hanyalah berkah

Dimana adilNya ketika air mata bercucuran
dimana mulianNya ketika anak manusia dijajakan
setan-setan mengoyak hati manusia
tawa iblis menggelegar kemana-mana

Tuhan itu ada
menunggu tiba saatnya
pengadilan surga
bukan oleh manusia

Cinta

Berapa kali perlu ku ulang
ucapan dari hatiku terdalam
bukan gombal lelaki hidung belang
bukan juga rayuan jalang

Aku dan segenap rasaku
menitipkan murni cintaku
kusemat di jantung hatimu
tumbuhkan dengan siraman sayangmu

Bila kau tak mau
buang saja ke parit
walau kotor dan bau
dia tetap hidup

Cintaku lugu dan polos
walau tak berbalas
akan ia tetap ada
bernyali untuk dirasa

Pagi Di Makam Tua

Sehelai lembut bulu angsa putih
menyentuh kulitku yang usang berpeluh
ibarat sentuhan tangan bidadari surgawi
butir embun yang datang pada Sahara

Aku rindu pada momen itu
ketika pertama aku melihatmu
binar tubuhmu diantara batu
nisan beku tanpa sudut bersiku

Andai aku lebih lama disitu
menempatkan diri didekatmu
tentu tak lagi ku merindu
atau rindu ini boleh membunuhku

Aku ingin bersamamu
seperti masa lalu
walau rindu membunuhku
asal bisa bersamamu

Teknologi

Hari ini teknologi begitu hebatnya
semua bisa otomatis dibuatnya
komunikasi semakin mudah diguna
bak telepati layaknya
manusia bahagia sebagai pengguna
dan bangga sekali tentunya
walau sayang sekali kiranya
teknologi tak menolong dunia
dari kerusakan oleh manusia

Jumat, 12 Desember 2008

Kangguru Mama

Suatu hari mama bercerita untuk mengantarku tidur.
Malam ini kisah kangguru dan anaknya.
"Kangguru binatang berkantung yang suka gendong anaknya."
"Anak kangguru aman di dalam kantung mamanya..."
Imajinasiku mulai menerawang jauh di langit-langit kamar.
Aku mengkhayal kalau mama menggendongku di perutnya.
Walau mama gendut dan galak
tapi aku tahu mama sayang aku.
Mama terus bercerita dan aku mulai menguap.
"Ma.. makasih dah cerita..."
bisikku pada mama.
Mama senyum manis seperti gambar di buku cerita.
Kangguru mama yang senyum walau capek gendong anaknya.



*Dear Mom, I love u.

Uraikan Dengan Jelas

Apa maksud hatimu
jangan kau simpan dalam kalbu
bisikkan lembut padaku
biar aku tahu

Apa yang membuatmu pilu
ceritakan dihadapku
biar aku melihatmu
tersenyum usai sendu

Apa yang kau rindu
Beritahu aku
agar kucari tahu
dimana boleh bertemu

Uraikan dengan jelas maksudmu
apakah kau cinta aku
karena dalam titik tangismu
tak mengandung kisahku


KELUARGA GILA

Kakekku duda gila yang mengawini janda gila.
Janda gila yang punya anak gila.
Kakekku duda gila yang juga punya anak gila.
jadi, kakek dan nenek tiriku dan anak-anaknya semua gila.
Aku cucu gila yang menuliskan famili nya yang gila.
Gila sudah mengakar di generasi keluarga gila.
Walau terlihat sempurna dan bahagia,
tapi semua isi rumah ini gila.
Kakekku yang gila mati dengan wasiat tak nyata.
Nenekku belum mati menyusul suami gilanya.
Anak-anaknya semua makin menggila.
Cucu-cucunya gak kalah gila.
Kurasa karena anak-anaknya yang gila saling mengutuk dengan gila.
kasihan generasi mudanya yang jadi gila
gara-gara orang tua gila.

Sabtu, 29 November 2008

Diam

Sejak lahir manusia terlahir dengan mulut untuk bersuara,
terbukti dari tangisan pertama akibat tepukan bidan di pantat kecilnya.
Lalu kembali suaranya terdengar ketika ia lapar dan buang berak di popoknya.
Kemudian dari ucapan pertama dari bibir kecilnya.
Bertambah usia banyak kosa kata dan semakin berisik ia berceloteh.
Makin dewasa tutur katanya mengisyaratkan wibawa.
Mulutnya tak berhenti berkoar sepanjang hayatnya.

Aku capek terus berkoar.
Aku mau diam.

Salahkah menjadi orang yang bosan dengan kebisingan?
Salahkan menjadi orang yang diam dalam pembicaraan?

Aku bosan bicara tak karuan.
Aku mau tenang.

Benarkah mereka yang tak henti berorasi?
Benarkah mereka yang tak berkompromi?

Mulutku diam terkunci kini
Tak lagi aku mau perduli
Bukankah diam tak berarti tuli
Aku masih punya nurani


Munafik

Sebaris demi sebaris kata
beralun seiring bibir tak henti bertutur
ditemani tetesan air mata tak kunjung kering
aku menuliskan perihnya hati yang disayat cinta

Darahnya semerah tinta di pena
tapi tak semerah marahku pada cinta
air mataku mengalir membanjiri goresan pena
seolah tak rela perasannya ditulis di sana

Berulang kali cinta datang menggoda
selalu ia pupus oleh dusta
beranjak pergi ketika kusadar ia hina
tapi kembali ia kudamba

Nadiku sudah kuputus semua
maut sudah siaga disamping raga
kulihat kembali goresan pena
merah dan hancur oleh air mata

Aku pergi meninggalkan cinta
dengan surat yang tak terbaca
dan air mata yang tak guna
dan rasa takut semata

Jumat, 21 November 2008

Semua Sama Salah

Setiap orang mencari pembenaran.
Tak perduli salah apa pernah dibuat,
semua dikata masa lalu.
Dan masa lalu sudah usang,
tak lagi dipermasalahkan.
Beribu kali dan Jutaan kali
setiap kita meng-iya-kan penyesalan.
Sebanyak itu juga kita melanggar tobat.
Lalu kapan nurani kita terbangun
dari mimpinya yang panjang
untuk melihat
bahwa kenyataan itu buruk rupa,
dan buahnya tak semua manis dikecap.
Atau mungkin kita yang salah,
takut menghadapi yang nyata.
Mimpi memang indah luar biasa.
Hanya berakhir ketika nafas reda.
Seketika itu juga mimpi binasa.


Senin, 10 November 2008

Bekuan Hati

Permainan tak berujung,
itu yang kunamakan hidup.
Antara terus, pause, atau stop.
Kau dapat terus mengulang
hingga kau puas.
Kau tak tahu dimana
semuanya akan berakhir.
Dan kau tak akan pernah tahu
karena hidup tak punya akhir,
karena akhir tak ada dalam hidup.
Kematian bukan alasan untuk berhenti.
Kita masih bisa continue
di dunia mati.
Dan kenangan hanyalah kubangan jalang
yang membatasi kematian dari dunia hidup.
Aku hidup untuk bermain
dan permainanku adalah hidup.
Untuk hidup aku bermain
mencari mati.
Aku ada di sana sebagai pusat.
Diluar aku menjadi pusat,
menjadi yang paling cerah bersinar
berteriak paling keras
dan bertopeng paling tebal,
hingga aku bisa terus menerus hingga akhir
sembunyikan gelap diriku yang tak terlihat.
Bagian diriku yang memalukan
yang membuatku tak mampu memandangi hidup.
Begitu kesepian,
begitu rapuh,
begitu sedih.
Dan tanpa sadar
menjadi kematian itu sendiri.

Sabtu, 08 November 2008

Jawab Sang BULAN

Suatu malam aku memandang bulan tinggi disana.
Betah aku berlama menatapnya.
Sedingin apa pun malam ini, aku tetap enggan berpaling pada hangat kasurku.
Ada kerinduan kupendam diruang terdalam benakku.
Berharap malam ini bulan akan menjawab tanyaku karena bosan kupandang.
Ya, satu minggu aku didepannya terus bertanya tanpa henti.
Satu minggu tanpa satu malam-pun kulewati tanpa menggoda bulan.
"Apa yang aku cari... kenapa tak pernah puas dengan yang ada ?"
"Apa yang aku mau... kenapa tak ada yang kurasa sempurna ?"
begitu tanyaku berulang-ulang.
Aku tak merasa bosan untuk bertanya lebih lama,
karena aku mau satu jawab dari bulan.
Malam ini...
bulan menjawabku dengan segan
"Kalian manusia memang tak pernah puas. Apa yang kalian punya akan terasa percuma bila kalian belum merasakan kehilangan. Begitu juga dengan kamu dan teman kamu dan saudara kau. Kalian semua sama. Dan kalian semua mengusik ketenanganku dengan milyaran pertanyaan dan berharap aku akan menjawab semua itu bersamaan. Egois kalian mengalahkan logika. Dan kalian bahkan berharap aku akan menjawab sementara kalian tahu akulah Bulan yang tak lebih dari kumpulan debu tanah yang tak punya organ bicara. Sadarkah kalian bahwa kalian sedang membangun mimpi yang tak kunjung habis ?"
Aku terdiam. Lalu kututup jendela kamarku, dan aku tidur.
"Kurasa aku sudah gila, tak mungkin bulan bisa bicara."

Senin, 27 Oktober 2008

Wandering Star

Jika aku adalah bintang
berkelana di angkasa
jutaan bintang lainnya dimana ?
satu langkah seribu cahaya
setiap jejak kutelusuri tanpa makna

Jika aku bintang pengelana
apa yang membuatku melangkah
sepi di dada
atau hampa di jiwa ?
aku mencari temanku berkelana
aku mencari cintaku di sana
aku bintang
yang sedang berkelana

Kamis, 04 September 2008

Hijau Yang Matang

Malam ini Tuhan datang padaku.
Aku pun mulai bercerita.

Tuhan... dalam perjalanan hidupku ini,begitu banyak macam manusia sudah

kutemui, begitu banyak cerita derita dan asmara dan bahagia kulalui dalam

usiaku yang tak seberapa. Tapi, setiap kali pulang pada mama, aku ini masih

hijau. Tak pernah mereka anggap aku ini sanggup berpijak pada kaki-ku

sendiri. Masih seperti bayi 22 tahun lalu yang hanya boleh keluar rumah

dalam naungan tangan orang tua. Betapa aku terkekang terpenjara dan

teraniaya dalam sangkar emas diawasi 24 jam.

Aku bosan, aku mau bebas. Sampai kapan sayap ini terhalang jeruji keras ?

Aku muak, Tuhan... muak dengan semua nasehat yang aku dengar 22 tahun

lamanya, berulang-ulang tanpa henti seperti mantra yang mengutuk dalam

nadi-ku. Betapa aku ingin sendiri dalam ruang-ku seperti yang aku lakukan

sejak 10 tahun silam Tuhan, mengurung diri dalam kamarku dengan musik

keras dan coretan di atas kertas, aku tuang semua hitam dalam batinku

pada sebentuk objek imajinasiku Tuhan, semua itu tetap tak mampu

membuatku lega. Aku butuh sebuah pengakuan...

Betapa mereka telah buta oleh norma kolot yang mengikat mereka dalam

dunia sempit yang terisolasi dari pengakuan zaman. Betapa mereka lupa

bahwa anaknya telah tumbuh dewasa. Tapi aku tak menyerah Tuhan, hingga

detik ini aku mencoba menjadi orang yang lebih bijak dalam bertindak,

walau sering aku jatuh dalam lubang cobaan yang Kau beri, aku tetap tegar

berdiri kembali. Semua ini aku simpan sendiri Tuhan... 22 tahun lamanya

aku menjadi kotak pandora bagi hidupku, menyimpan suka dan duka yang

baik dan yang buruk. Aku tak lagi percaya pada mereka yang melahirkan

dan mengasuhku, aku berdosa Tuhan... aku berdosa...

Malam ini aku berlutut Tuhan... seumur hidupku ini pertamaku berlutut atas

kehendakku sendiri. Tuhan... bukakan mata mereka, bahwa apa yang

mereka anggap benar belum tentu benar. Beri mereka kebijakan... bahwa

apa yang anak mereka lakukan belum tentu salah. Bahwa kami anak-anak

mereka telah menjadi dewasa... dan kami bukan lagi sehijau yang mereka

kira, bukan lagi bayi mereka tapi telah menjadi anak dewasa mereka.

Bahwa hijau dalam diri kami telah matang, Tuhan. Warna kami adalah hijau

yang matang.

Amien...

Jumat, 15 Agustus 2008

Stray Cat

Sinis sorot mata mengerling
langkah anggun bagai melayang
liuk tubuh menebar pesona
senyum licik melengkapinya

Kucing liar
penuh dendam

Terbuang dari kehidupan
bertualang di jalanan
berteman dengan maut
mencari jati diri

Menjadi dosa yang tak diingini
hanya bisa menyalahi diri
membalas angkuh dunia dengan kejamnya
tak henti mencari cinta yang entah dimana

Kucing liar
penuh dendam

Terlahir tanpa merasakan cinta
selalu sepi dan sendiri
tak percaya pada manusia
mencoba bertahan hidup dari kejamnya dunia

Burung Gereja

Di reruntuhan ini aku berpijak
dengan kaki lemahku yang hampir lumpuh oleh cedera
dan sayapku yang basah oleh hujan

dingin subuh seakan membenarkan kekejaman dunia
walau aku dalam hatiku terus mengulang
bahwa dunia tak lebih kejam dari penghuninya

mataku terpejam penuh sesal
tangisku tak lagi didengar
gempita suka cita ditelan pahitnya kebisuan

kicauku enggan terdengar
aku dan sekelilingku seakan beku membatu
dan jiwaku terkurung didalam

walau tak lama hangat surya menyusul
percuma
ku tahu bumi tak lagi hidup

hanya waktu menunggu kapan tiba
hari dimana jiwa ini bebas
terbang sebagai ganti ku

mengitari langit diatas sana
mengicaukan bahagiaku yang tak terkira
terbang tinggi sebagai burung gereja

Bumi

Ketika kau melihat pada langit
seperti apa warnanya

apakah biru seperti beku
apakah putih selembut kapas
apakah ia merah sepekat darah

Ketika kau menatap lautan
apa yang kau rasakan

apakah tenang dan damai
apakah takut seakan tenggelam
apakah bersatu dengan alam

Jasad ini terus mendamba
suatu waktu nanti
kembali bersatu dengan alam

merasakan hebatnya deburan ombak
kuatnya hembusan angin
dan gunung perkasa tak tergoyahkan

kita manusia begitu angkuh
lupa tempat kita bepijak
mungkin lupa juga darimana ia hidup

Ketika kau menghirup udara
apa yang kau pikirkan

Apakah hutan yang menghilang
Apakah ozon yang menipis
Apakah akhir dunia

Bumi ini menjerit
tak mampu lagi melindungimu
tak mampu lagi bertahan karena ulahmu

Ego

Di atas putih si hitam menggores
Satu aliran selayak sungai berkilau
Mengisahkan kesedihan empunya diri
Hatinya busuk mengharap kematian

Empunya berhati tak kalah hitam
Pekat dan dalam tersembunyi diam
Bunyinya teredam bumi nan gersang
Tak ada nyawa di sana

Sesungguhnya putih adalah jasadnya
Bersih tak bernoda, berkilau bak mutiara
Hitam adalah jiwanya
Menuliskan sejarah empunya

Penat

Ada bisikan di otak ketika kutatap bulan menjulang tinggi di sana
"Apa yang kau lihat ? sendiri dan beku terdiam di atap."
Dingin di sini aku sendiri,
bersama asap rokok dan segelas teh hangat mengepul
menyulam memori yang lampau menjadi satu helaian panjang
yang aku sendiri tak tahu untuk apa itu nantinya.
Perjalanan panjang yang belum terlihat ujungnya
masih membentang di depan tak terlihat kasat mata.
Apalah artinya aku disini.... tak kuhirau bisikan di otak itu.
Teringat aku betapa mudah nyawa ini hilang ketika melihat ke bawah.
Andai aku loncat sekarang... perjalanan ini akan berakhir,
akan seperti apa jalan di depanku itu.
Akankah seperti kudirikan tenda untuk rehat,
ataukah akan berakhir seperti rusa mati di jalan raya.
Lelah, jujur aku ingin berhenti di sini...
Aku tak tahu siapa diri ini... Tak tahu apa mau ku...
Signal yang hilang di rimba, mungkin itulah aku.
Terperangkap di jasad ini walau sesungguhnya jiwaku
terbang bebas di angkasa sana, menunggu kapan jasad ini
menyusul ke atas.
Apa ku sanggup ?
Hati ini tak tahan memikul sepi tanpa jiwa.
Jasad ini lemah tanpa jiwa.

Kuhabiskan sisa rokok dan teh di cangkirku.
Sesak dan perih mataku melihat ke bawah.
Setitik air mata jatuh membayangkan kematian di depan mata.
Ketika tiba waktuku, kumau tak seorangpun menangis untukku.
Aku pergi menyusul jiwaku...
Tinggi, bebas di angkasa.
Jiwaku
menunggu keberanianku...
Kebebasanku...

Endless

Saat kau ada
Ku pinta kau selalu ada
Jangan ada berpisah

Saat kita berpisah
ku pinta kembali jumpa
tetaplah bersua

Saat kau tiada
Ku pinta tempatmu berada
Ku kan datang ke sana


Sebab cinta tak pernah berakhir dan tiada akhir

Waktu, Ku Mohon Padamu

Masa berlalu tanpa pandang bulu
mengalir deras membawaku jauh
meninggalkan yang tlah berlalu
walau hatiku masih terpaku

Diriku kini hampa tersisa
seputih kertas tanpa noda
tanpa warna dan tanpa cinta
senyumku hilang terbawa

Dan waktu kumohon padamu
berbaliklah skali ini saja
biarkan cinta kembali
mengisi kekosongan hati

Dan waktu kumohon padamu
bila tak mungkin berbalik
biarkan cinta ini pergi
mencari hati yang lain

Masih kurasa setiap lembar kenangan
membelit menyesakkan jiwaku
menghabiskan nafas hidupku
walau aku sudah tak mau

Diriku kini hampa tersisa
seputih kertas tanpa noda
tanpa warna dan tanpa cinta
senyumku hilang terbawa

Dan waktu kumohon padamu
berilah sekali ini saja
kematian hati yang mendura
melepas sakitnya cinta

Dan waktu kumohon padamu
bila tak sanggup kau buat
kembalikan dia padaku
mengisi kekosongan hati

Dan waktu kumohon padamu
bila kau kasihan padaku
jangan kau biarkan aku
mati oleh rasa karenamu

Story About Tears

sepenggal kisah tersisa dikota tua
jalan ini begitu sepi tak berpenghuni
kicau gagak menambah suram suasana
aku dengan bayanganku berjalan tak tentu arah
mencari dimana kerinduan ini bisa berteduh

tanganku tak kalah merindu hingga kusentuh dinding berdebu
gumpalan itu mengotori tanganku lalu hilang dihembus angin berlalu
dingin....
hatiku menggigil
mengingat hangatnya suara yang menghidupi kota ini
mengingat setiap insan mengisinya dengan cerita drama bersahaja

langkahku tetap mencari ke ujung tiap belokan
hanya dinding kota tua yang rapuh
dan temaran pantul sinar senja di jendela kaca
dan sepi
dan sendiri
berharap kotaku hidup sekali lagi
walau oleh seribu tangisku

Seperti Matahari

Apalah berharga
ketika kita sadari bahwa cinta
seperti matahari

ada tapi tak kita hargai
walau sesungguhnya kita tak hidup tanpanya

baru kita sadar ketika malam tiba
dingin dan gelap tanpa nya
seperti hati yang kosong dan hampa

seperti itulah cinta
baru dirasa ketika perpisahan tiba

Mati oleh rasa

Pelarianku dari kenyataan terus berlanjut
mencari kebenaran semu yang aku mau
menjadi egois semakin lama ku hidup
kebenaran yang kucari aku sendiri tak tahu

Beban kurasa semakin berat
pilu, peluh, pedihnya menetes di kulitku
bercampur tangisan air mata
dan darah dari hati yang luka

Aku mencari tapi tak kudapat
aku mendengar tapi tak melihat
sebagianku sudah mati oleh rasa
beku dan kaku aku masih bertahan

Rintihku jadi doa bagimu
salamku jadi mantra penyembuhmu
kenangan jadi kekuatanmu
mati ku.... jadi awal hidup mu

Jangan Berlalu

Dingin embun pagi di kaca jendela
Pertanda pagi menjelang mata
Bulan redup remang oleh Sang Surya
Keindahan mimpi tak menjadi nyata

Sehabis malam ditelan waktu
Pagi memaksamu berlalu
disela pintu pergimu
Ada wajah sendu mengharap panggilku

Pedih aku melihat pergimu
Ingin kudekap tanpa waktu berlalu
Biar ego ini bertemu
Bahagia ini biar bersatu

Aku mengutuk pagi yang mengusirmu
Aku mengutuk malam yang cepat berlalu
Aku ingin seribu tahun mendekapmu
Aku ingin selamanya denganmu