Sinis sorot mata mengerling
langkah anggun bagai melayang
liuk tubuh menebar pesona
senyum licik melengkapinya
Kucing liar
penuh dendam
Terbuang dari kehidupan
bertualang di jalanan
berteman dengan maut
mencari jati diri
Menjadi dosa yang tak diingini
hanya bisa menyalahi diri
membalas angkuh dunia dengan kejamnya
tak henti mencari cinta yang entah dimana
Kucing liar
penuh dendam
Terlahir tanpa merasakan cinta
selalu sepi dan sendiri
tak percaya pada manusia
mencoba bertahan hidup dari kejamnya dunia
Sedikit tumpahan jiwa dalam bentuk kata-kata yang mengungkap sejengkal sejarah hidup dan isi hati penulis selama ajal belum (sempat) menjemput.
Jumat, 15 Agustus 2008
Burung Gereja
Di reruntuhan ini aku berpijak
dengan kaki lemahku yang hampir lumpuh oleh cedera
dan sayapku yang basah oleh hujan
dingin subuh seakan membenarkan kekejaman dunia
walau aku dalam hatiku terus mengulang
bahwa dunia tak lebih kejam dari penghuninya
mataku terpejam penuh sesal
tangisku tak lagi didengar
gempita suka cita ditelan pahitnya kebisuan
kicauku enggan terdengar
aku dan sekelilingku seakan beku membatu
dan jiwaku terkurung didalam
walau tak lama hangat surya menyusul
percuma
ku tahu bumi tak lagi hidup
hanya waktu menunggu kapan tiba
hari dimana jiwa ini bebas
terbang sebagai ganti ku
mengitari langit diatas sana
mengicaukan bahagiaku yang tak terkira
terbang tinggi sebagai burung gereja
dengan kaki lemahku yang hampir lumpuh oleh cedera
dan sayapku yang basah oleh hujan
dingin subuh seakan membenarkan kekejaman dunia
walau aku dalam hatiku terus mengulang
bahwa dunia tak lebih kejam dari penghuninya
mataku terpejam penuh sesal
tangisku tak lagi didengar
gempita suka cita ditelan pahitnya kebisuan
kicauku enggan terdengar
aku dan sekelilingku seakan beku membatu
dan jiwaku terkurung didalam
walau tak lama hangat surya menyusul
percuma
ku tahu bumi tak lagi hidup
hanya waktu menunggu kapan tiba
hari dimana jiwa ini bebas
terbang sebagai ganti ku
mengitari langit diatas sana
mengicaukan bahagiaku yang tak terkira
terbang tinggi sebagai burung gereja
Bumi
Ketika kau melihat pada langit
seperti apa warnanya
apakah biru seperti beku
apakah putih selembut kapas
apakah ia merah sepekat darah
Ketika kau menatap lautan
apa yang kau rasakan
apakah tenang dan damai
apakah takut seakan tenggelam
apakah bersatu dengan alam
Jasad ini terus mendamba
suatu waktu nanti
kembali bersatu dengan alam
merasakan hebatnya deburan ombak
kuatnya hembusan angin
dan gunung perkasa tak tergoyahkan
kita manusia begitu angkuh
lupa tempat kita bepijak
mungkin lupa juga darimana ia hidup
Ketika kau menghirup udara
apa yang kau pikirkan
Apakah hutan yang menghilang
Apakah ozon yang menipis
Apakah akhir dunia
Bumi ini menjerit
tak mampu lagi melindungimu
tak mampu lagi bertahan karena ulahmu
seperti apa warnanya
apakah biru seperti beku
apakah putih selembut kapas
apakah ia merah sepekat darah
Ketika kau menatap lautan
apa yang kau rasakan
apakah tenang dan damai
apakah takut seakan tenggelam
apakah bersatu dengan alam
Jasad ini terus mendamba
suatu waktu nanti
kembali bersatu dengan alam
merasakan hebatnya deburan ombak
kuatnya hembusan angin
dan gunung perkasa tak tergoyahkan
kita manusia begitu angkuh
lupa tempat kita bepijak
mungkin lupa juga darimana ia hidup
Ketika kau menghirup udara
apa yang kau pikirkan
Apakah hutan yang menghilang
Apakah ozon yang menipis
Apakah akhir dunia
Bumi ini menjerit
tak mampu lagi melindungimu
tak mampu lagi bertahan karena ulahmu
Ego
Di atas putih si hitam menggores
Satu aliran selayak sungai berkilau
Mengisahkan kesedihan empunya diri
Hatinya busuk mengharap kematian
Empunya berhati tak kalah hitam
Pekat dan dalam tersembunyi diam
Bunyinya teredam bumi nan gersang
Tak ada nyawa di sana
Sesungguhnya putih adalah jasadnya
Bersih tak bernoda, berkilau bak mutiara
Hitam adalah jiwanya
Menuliskan sejarah empunya
Satu aliran selayak sungai berkilau
Mengisahkan kesedihan empunya diri
Hatinya busuk mengharap kematian
Empunya berhati tak kalah hitam
Pekat dan dalam tersembunyi diam
Bunyinya teredam bumi nan gersang
Tak ada nyawa di sana
Sesungguhnya putih adalah jasadnya
Bersih tak bernoda, berkilau bak mutiara
Hitam adalah jiwanya
Menuliskan sejarah empunya
Penat
Ada bisikan di otak ketika kutatap bulan menjulang tinggi di sana
"Apa yang kau lihat ? sendiri dan beku terdiam di atap."
Dingin di sini aku sendiri,
bersama asap rokok dan segelas teh hangat mengepul
menyulam memori yang lampau menjadi satu helaian panjang
yang aku sendiri tak tahu untuk apa itu nantinya.
Perjalanan panjang yang belum terlihat ujungnya
masih membentang di depan tak terlihat kasat mata.
Apalah artinya aku disini.... tak kuhirau bisikan di otak itu.
Teringat aku betapa mudah nyawa ini hilang ketika melihat ke bawah.
Andai aku loncat sekarang... perjalanan ini akan berakhir,
akan seperti apa jalan di depanku itu.
Akankah seperti kudirikan tenda untuk rehat,
ataukah akan berakhir seperti rusa mati di jalan raya.
Lelah, jujur aku ingin berhenti di sini...
Aku tak tahu siapa diri ini... Tak tahu apa mau ku...
Signal yang hilang di rimba, mungkin itulah aku.
Terperangkap di jasad ini walau sesungguhnya jiwaku
terbang bebas di angkasa sana, menunggu kapan jasad ini
menyusul ke atas.
Apa ku sanggup ?
Hati ini tak tahan memikul sepi tanpa jiwa.
Jasad ini lemah tanpa jiwa.
Kuhabiskan sisa rokok dan teh di cangkirku.
Sesak dan perih mataku melihat ke bawah.
Setitik air mata jatuh membayangkan kematian di depan mata.
Ketika tiba waktuku, kumau tak seorangpun menangis untukku.
Aku pergi menyusul jiwaku...
Tinggi, bebas di angkasa.
Jiwaku
menunggu keberanianku...
Kebebasanku...
"Apa yang kau lihat ? sendiri dan beku terdiam di atap."
Dingin di sini aku sendiri,
bersama asap rokok dan segelas teh hangat mengepul
menyulam memori yang lampau menjadi satu helaian panjang
yang aku sendiri tak tahu untuk apa itu nantinya.
Perjalanan panjang yang belum terlihat ujungnya
masih membentang di depan tak terlihat kasat mata.
Apalah artinya aku disini.... tak kuhirau bisikan di otak itu.
Teringat aku betapa mudah nyawa ini hilang ketika melihat ke bawah.
Andai aku loncat sekarang... perjalanan ini akan berakhir,
akan seperti apa jalan di depanku itu.
Akankah seperti kudirikan tenda untuk rehat,
ataukah akan berakhir seperti rusa mati di jalan raya.
Lelah, jujur aku ingin berhenti di sini...
Aku tak tahu siapa diri ini... Tak tahu apa mau ku...
Signal yang hilang di rimba, mungkin itulah aku.
Terperangkap di jasad ini walau sesungguhnya jiwaku
terbang bebas di angkasa sana, menunggu kapan jasad ini
menyusul ke atas.
Apa ku sanggup ?
Hati ini tak tahan memikul sepi tanpa jiwa.
Jasad ini lemah tanpa jiwa.
Kuhabiskan sisa rokok dan teh di cangkirku.
Sesak dan perih mataku melihat ke bawah.
Setitik air mata jatuh membayangkan kematian di depan mata.
Ketika tiba waktuku, kumau tak seorangpun menangis untukku.
Aku pergi menyusul jiwaku...
Tinggi, bebas di angkasa.
Jiwaku
menunggu keberanianku...
Kebebasanku...
Endless
Saat kau ada
Ku pinta kau selalu ada
Jangan ada berpisah
Saat kita berpisah
ku pinta kembali jumpa
tetaplah bersua
Saat kau tiada
Ku pinta tempatmu berada
Ku kan datang ke sana
Sebab cinta tak pernah berakhir dan tiada akhir
Ku pinta kau selalu ada
Jangan ada berpisah
Saat kita berpisah
ku pinta kembali jumpa
tetaplah bersua
Saat kau tiada
Ku pinta tempatmu berada
Ku kan datang ke sana
Sebab cinta tak pernah berakhir dan tiada akhir
Waktu, Ku Mohon Padamu
Masa berlalu tanpa pandang bulu
mengalir deras membawaku jauh
meninggalkan yang tlah berlalu
walau hatiku masih terpaku
Diriku kini hampa tersisa
seputih kertas tanpa noda
tanpa warna dan tanpa cinta
senyumku hilang terbawa
Dan waktu kumohon padamu
berbaliklah skali ini saja
biarkan cinta kembali
mengisi kekosongan hati
Dan waktu kumohon padamu
bila tak mungkin berbalik
biarkan cinta ini pergi
mencari hati yang lain
Masih kurasa setiap lembar kenangan
membelit menyesakkan jiwaku
menghabiskan nafas hidupku
walau aku sudah tak mau
Diriku kini hampa tersisa
seputih kertas tanpa noda
tanpa warna dan tanpa cinta
senyumku hilang terbawa
Dan waktu kumohon padamu
berilah sekali ini saja
kematian hati yang mendura
melepas sakitnya cinta
Dan waktu kumohon padamu
bila tak sanggup kau buat
kembalikan dia padaku
mengisi kekosongan hati
Dan waktu kumohon padamu
bila kau kasihan padaku
jangan kau biarkan aku
mati oleh rasa karenamu
mengalir deras membawaku jauh
meninggalkan yang tlah berlalu
walau hatiku masih terpaku
Diriku kini hampa tersisa
seputih kertas tanpa noda
tanpa warna dan tanpa cinta
senyumku hilang terbawa
Dan waktu kumohon padamu
berbaliklah skali ini saja
biarkan cinta kembali
mengisi kekosongan hati
Dan waktu kumohon padamu
bila tak mungkin berbalik
biarkan cinta ini pergi
mencari hati yang lain
Masih kurasa setiap lembar kenangan
membelit menyesakkan jiwaku
menghabiskan nafas hidupku
walau aku sudah tak mau
Diriku kini hampa tersisa
seputih kertas tanpa noda
tanpa warna dan tanpa cinta
senyumku hilang terbawa
Dan waktu kumohon padamu
berilah sekali ini saja
kematian hati yang mendura
melepas sakitnya cinta
Dan waktu kumohon padamu
bila tak sanggup kau buat
kembalikan dia padaku
mengisi kekosongan hati
Dan waktu kumohon padamu
bila kau kasihan padaku
jangan kau biarkan aku
mati oleh rasa karenamu
Story About Tears
sepenggal kisah tersisa dikota tua
jalan ini begitu sepi tak berpenghuni
kicau gagak menambah suram suasana
aku dengan bayanganku berjalan tak tentu arah
mencari dimana kerinduan ini bisa berteduh
tanganku tak kalah merindu hingga kusentuh dinding berdebu
gumpalan itu mengotori tanganku lalu hilang dihembus angin berlalu
dingin....
hatiku menggigil
mengingat hangatnya suara yang menghidupi kota ini
mengingat setiap insan mengisinya dengan cerita drama bersahaja
langkahku tetap mencari ke ujung tiap belokan
hanya dinding kota tua yang rapuh
dan temaran pantul sinar senja di jendela kaca
dan sepi
dan sendiri
berharap kotaku hidup sekali lagi
walau oleh seribu tangisku
jalan ini begitu sepi tak berpenghuni
kicau gagak menambah suram suasana
aku dengan bayanganku berjalan tak tentu arah
mencari dimana kerinduan ini bisa berteduh
tanganku tak kalah merindu hingga kusentuh dinding berdebu
gumpalan itu mengotori tanganku lalu hilang dihembus angin berlalu
dingin....
hatiku menggigil
mengingat hangatnya suara yang menghidupi kota ini
mengingat setiap insan mengisinya dengan cerita drama bersahaja
langkahku tetap mencari ke ujung tiap belokan
hanya dinding kota tua yang rapuh
dan temaran pantul sinar senja di jendela kaca
dan sepi
dan sendiri
berharap kotaku hidup sekali lagi
walau oleh seribu tangisku
Seperti Matahari
Apalah berharga
ketika kita sadari bahwa cinta
seperti matahari
ada tapi tak kita hargai
walau sesungguhnya kita tak hidup tanpanya
baru kita sadar ketika malam tiba
dingin dan gelap tanpa nya
seperti hati yang kosong dan hampa
seperti itulah cinta
baru dirasa ketika perpisahan tiba
ketika kita sadari bahwa cinta
seperti matahari
ada tapi tak kita hargai
walau sesungguhnya kita tak hidup tanpanya
baru kita sadar ketika malam tiba
dingin dan gelap tanpa nya
seperti hati yang kosong dan hampa
seperti itulah cinta
baru dirasa ketika perpisahan tiba
Mati oleh rasa
Pelarianku dari kenyataan terus berlanjut
mencari kebenaran semu yang aku mau
menjadi egois semakin lama ku hidup
kebenaran yang kucari aku sendiri tak tahu
Beban kurasa semakin berat
pilu, peluh, pedihnya menetes di kulitku
bercampur tangisan air mata
dan darah dari hati yang luka
Aku mencari tapi tak kudapat
aku mendengar tapi tak melihat
sebagianku sudah mati oleh rasa
beku dan kaku aku masih bertahan
Rintihku jadi doa bagimu
salamku jadi mantra penyembuhmu
kenangan jadi kekuatanmu
mati ku.... jadi awal hidup mu
mencari kebenaran semu yang aku mau
menjadi egois semakin lama ku hidup
kebenaran yang kucari aku sendiri tak tahu
Beban kurasa semakin berat
pilu, peluh, pedihnya menetes di kulitku
bercampur tangisan air mata
dan darah dari hati yang luka
Aku mencari tapi tak kudapat
aku mendengar tapi tak melihat
sebagianku sudah mati oleh rasa
beku dan kaku aku masih bertahan
Rintihku jadi doa bagimu
salamku jadi mantra penyembuhmu
kenangan jadi kekuatanmu
mati ku.... jadi awal hidup mu
Jangan Berlalu
Dingin embun pagi di kaca jendela
Pertanda pagi menjelang mata
Bulan redup remang oleh Sang Surya
Keindahan mimpi tak menjadi nyata
Sehabis malam ditelan waktu
Pagi memaksamu berlalu
disela pintu pergimu
Ada wajah sendu mengharap panggilku
Pedih aku melihat pergimu
Ingin kudekap tanpa waktu berlalu
Biar ego ini bertemu
Bahagia ini biar bersatu
Aku mengutuk pagi yang mengusirmu
Aku mengutuk malam yang cepat berlalu
Aku ingin seribu tahun mendekapmu
Aku ingin selamanya denganmu
Pertanda pagi menjelang mata
Bulan redup remang oleh Sang Surya
Keindahan mimpi tak menjadi nyata
Sehabis malam ditelan waktu
Pagi memaksamu berlalu
disela pintu pergimu
Ada wajah sendu mengharap panggilku
Pedih aku melihat pergimu
Ingin kudekap tanpa waktu berlalu
Biar ego ini bertemu
Bahagia ini biar bersatu
Aku mengutuk pagi yang mengusirmu
Aku mengutuk malam yang cepat berlalu
Aku ingin seribu tahun mendekapmu
Aku ingin selamanya denganmu
Langganan:
Postingan (Atom)