Sabtu, 29 November 2008

Diam

Sejak lahir manusia terlahir dengan mulut untuk bersuara,
terbukti dari tangisan pertama akibat tepukan bidan di pantat kecilnya.
Lalu kembali suaranya terdengar ketika ia lapar dan buang berak di popoknya.
Kemudian dari ucapan pertama dari bibir kecilnya.
Bertambah usia banyak kosa kata dan semakin berisik ia berceloteh.
Makin dewasa tutur katanya mengisyaratkan wibawa.
Mulutnya tak berhenti berkoar sepanjang hayatnya.

Aku capek terus berkoar.
Aku mau diam.

Salahkah menjadi orang yang bosan dengan kebisingan?
Salahkan menjadi orang yang diam dalam pembicaraan?

Aku bosan bicara tak karuan.
Aku mau tenang.

Benarkah mereka yang tak henti berorasi?
Benarkah mereka yang tak berkompromi?

Mulutku diam terkunci kini
Tak lagi aku mau perduli
Bukankah diam tak berarti tuli
Aku masih punya nurani


Munafik

Sebaris demi sebaris kata
beralun seiring bibir tak henti bertutur
ditemani tetesan air mata tak kunjung kering
aku menuliskan perihnya hati yang disayat cinta

Darahnya semerah tinta di pena
tapi tak semerah marahku pada cinta
air mataku mengalir membanjiri goresan pena
seolah tak rela perasannya ditulis di sana

Berulang kali cinta datang menggoda
selalu ia pupus oleh dusta
beranjak pergi ketika kusadar ia hina
tapi kembali ia kudamba

Nadiku sudah kuputus semua
maut sudah siaga disamping raga
kulihat kembali goresan pena
merah dan hancur oleh air mata

Aku pergi meninggalkan cinta
dengan surat yang tak terbaca
dan air mata yang tak guna
dan rasa takut semata

Jumat, 21 November 2008

Semua Sama Salah

Setiap orang mencari pembenaran.
Tak perduli salah apa pernah dibuat,
semua dikata masa lalu.
Dan masa lalu sudah usang,
tak lagi dipermasalahkan.
Beribu kali dan Jutaan kali
setiap kita meng-iya-kan penyesalan.
Sebanyak itu juga kita melanggar tobat.
Lalu kapan nurani kita terbangun
dari mimpinya yang panjang
untuk melihat
bahwa kenyataan itu buruk rupa,
dan buahnya tak semua manis dikecap.
Atau mungkin kita yang salah,
takut menghadapi yang nyata.
Mimpi memang indah luar biasa.
Hanya berakhir ketika nafas reda.
Seketika itu juga mimpi binasa.


Senin, 10 November 2008

Bekuan Hati

Permainan tak berujung,
itu yang kunamakan hidup.
Antara terus, pause, atau stop.
Kau dapat terus mengulang
hingga kau puas.
Kau tak tahu dimana
semuanya akan berakhir.
Dan kau tak akan pernah tahu
karena hidup tak punya akhir,
karena akhir tak ada dalam hidup.
Kematian bukan alasan untuk berhenti.
Kita masih bisa continue
di dunia mati.
Dan kenangan hanyalah kubangan jalang
yang membatasi kematian dari dunia hidup.
Aku hidup untuk bermain
dan permainanku adalah hidup.
Untuk hidup aku bermain
mencari mati.
Aku ada di sana sebagai pusat.
Diluar aku menjadi pusat,
menjadi yang paling cerah bersinar
berteriak paling keras
dan bertopeng paling tebal,
hingga aku bisa terus menerus hingga akhir
sembunyikan gelap diriku yang tak terlihat.
Bagian diriku yang memalukan
yang membuatku tak mampu memandangi hidup.
Begitu kesepian,
begitu rapuh,
begitu sedih.
Dan tanpa sadar
menjadi kematian itu sendiri.

Sabtu, 08 November 2008

Jawab Sang BULAN

Suatu malam aku memandang bulan tinggi disana.
Betah aku berlama menatapnya.
Sedingin apa pun malam ini, aku tetap enggan berpaling pada hangat kasurku.
Ada kerinduan kupendam diruang terdalam benakku.
Berharap malam ini bulan akan menjawab tanyaku karena bosan kupandang.
Ya, satu minggu aku didepannya terus bertanya tanpa henti.
Satu minggu tanpa satu malam-pun kulewati tanpa menggoda bulan.
"Apa yang aku cari... kenapa tak pernah puas dengan yang ada ?"
"Apa yang aku mau... kenapa tak ada yang kurasa sempurna ?"
begitu tanyaku berulang-ulang.
Aku tak merasa bosan untuk bertanya lebih lama,
karena aku mau satu jawab dari bulan.
Malam ini...
bulan menjawabku dengan segan
"Kalian manusia memang tak pernah puas. Apa yang kalian punya akan terasa percuma bila kalian belum merasakan kehilangan. Begitu juga dengan kamu dan teman kamu dan saudara kau. Kalian semua sama. Dan kalian semua mengusik ketenanganku dengan milyaran pertanyaan dan berharap aku akan menjawab semua itu bersamaan. Egois kalian mengalahkan logika. Dan kalian bahkan berharap aku akan menjawab sementara kalian tahu akulah Bulan yang tak lebih dari kumpulan debu tanah yang tak punya organ bicara. Sadarkah kalian bahwa kalian sedang membangun mimpi yang tak kunjung habis ?"
Aku terdiam. Lalu kututup jendela kamarku, dan aku tidur.
"Kurasa aku sudah gila, tak mungkin bulan bisa bicara."