Jumat, 24 Desember 2010

Happy New Year 2011


All images in this account belong to Jony Kho. Comercial usage without my permition will charged US$3000,- each.

Senin, 08 November 2010

Bukan

"Bukan."
"Bukan karena itu, dan tak akan pernah aku kembali padamu dengan alasan seperti itu."

Selang waktu yang cukup panjang menyela di antara delapan tahun kebersamaan kita. Perpisahan yang sebentar itu menghancurkan delapan tahun di belakangnya. Dan kita, pelaku dalam cerita ini, masih juga saling menjaga kesombongan diri. Yang satu takut disakiti, dan menyangkal kejujuran bahwa dirinya telah ada yang lain. yang lain tak berani mengambil keputusan yang cukup berani untuk mengakhiri percintaan lainnya. Kita terjebak dalam dilema yang tak ketahuan kemana ujungnya. Walau dalam hati kita berharap delapan tahun kebersamaan itu akan menjadi kunci untuk menyatukan kita. Tapi berharap saja tak akan pernah cukup tanpa pernah berbuat.

"jadi, alasan apa lagi selain itu ?" Aku bertanya dengan hati yang getir, menahan hasratku untuk mendekapmu erat dan menghisap habis cinta itu dari bibirmu.

"Kau tahu apa alasan yang sebenarnya. Kau tahu kenapa tak akan ada yang bisa menggantikanmu di hatiku."

"Mungkin aku tahu, tapi aku ingin mendengar langsung darimu."

"Kau egois, dan itu tak pernah berubah." suaramu terdengar lebih mirip berbisik.

Dan kita kembali diam, sambil kau menunduk dan bersiap menumpahkan air mata. Aku pun diam, sedikit bangga karena pada akhirnya kau menyerah juga. 




......

Senin, 11 Oktober 2010

Tentang Laut

Mimpi adalah bagian dari hidup.
Walau ia bukan bagian dari kenyataan
Tapi ia berpeluang ke sana
Menyeberang,
dan menjadi nyata


Laut menyimpan kekuatan terbesar dari alam. Ia mampu menenggelamkan daratan dalam sekali hantam. Tapi ia memilih proses yang pelan, perlahan mengikis daratan dengan ombak kecilnya yang menghanyutkanku dalam lamunan panjang. Pantai.

***
"La-ut"
"La-ut.. la...ut."
Ia terus mengulang kata yang sama dengan jedah yang sama. Stroke yang menyerangnya tiga tahun lalu telah membuat kekasihku lumpuh dan sulit bicara. Tapi itu tak menghentikan kegemarannya bermain di tepi laut, tempat kami bertemu lima tahun silam. Aku mencintainya melebihi siapa pun yang pernah mencoba bercinta denganku. Ikatan di antara aku dan dia adalah ikatan batin. Karenanya, aku terus bertahan dalam kondisi ini, berharap suatu hari nanti ia akan sembuh dari kelumpuhannya dan memelukku erat seolah tak akan pernah ia lepas. Seperti pelukan hangat yang kuberi setiap pagi, setiap malam.

Sejak kelumpuhannya, emosiku menjadi labil. Perlahan teman-teman terdekatku semakin berkurang. Mereka tak tahan melihatku menderita karena mempertahankan dia. Tapi mereka tak pernah mau tahu bahwa tanpa dia aku merasa hampa. Tanpa dia aku tak akan mampu bertahan di dunia nyata. Karena itu aku memilih dia, dan melepas teman-teman terbaikku satu demi satu. Hidup selalu memaksaku untuk memilih. Tak pernah aku diberi lebih.

Dia adalah curahan hatiku, pelipur lara-ku. Demi dia, kuhabiskan segalanya. Bahkan air mata dan seisi hatiku.

Setiap pagi aku mengantarnya ke pantai untuk melihat laut. Pagi, bahkan sebelum manusia-manusia pagi terbangun dari mimpinya. Dia mengulang-ulang kata 'laut' diucapkan 'la-ut' olehnya. Siapa juga yang tak akan terbangun kalau kekasihnya terus mengulang kata yang sama, tepat di samping tempatnya tidur. Kadang aku berpikir, apa mungkin dia tak tidur hanya untuk membangunkanku tepat waktu ?

kesibukanku setiap hari adalah menemani dia ke pantai, melihat matahari terbit. Lalu pulang ke rumah kami yang tak jauh dari sana. Sejak kekasihku lumpuh, kami pindah ke rumah dekat pantai, untuk memudahkanku mengantarnya ke sana setiap pagi. Saat aku kerja, ia ditemani seorang perawat sampai malam. Kadang aku menemaninya melihat matahari terbenam bila aku bisa pulang cepat. Jarang, tapi sangat menyenangkan. Saat aku bersandar di kedua lututnya, mencium lembut kedua lututnya, sambil menatap matahari terbenam. Hidupku terasa jauh lebih bermakna saat bersamanya. Semua kekesalanku seperti hilang seketika ketika tanganku bersentuhan dengan tangannya. Kadang aku bahkan menangis bahagia di sela jemarinya.

"Berapa lama kamu akan diam ? Cepatlah bangun, agar aku bisa lagi bermanja padamu."

Kalimat terakhir yang kuucap padanya di pantai. Keesokan harinya, aku menemukan kursi roda itu kosong di dekat pantai. Aku tak tahu bagaimana caranya ia sampai ke sana. Awalnya aku berharap bahagia, mungkinkah ia lepas dari kelumpuhannya dan berjalan meninggalkan kursi roda. Tapi kenyataannya berbeda. Tubuhnya kutemukan beberapa ratus meter dari kursi roda. Kekasihku menenggelamkan diri ke laut tanpa mengajakku ikut.




...................................

Jumat, 17 September 2010

Satu Yang Tak Boleh Lepas

Sembilan dari sepuluh adalah kamu
Sisa satu adalah aku
Sembilan dari sepuluh milikmu
Sisa satu tak boleh kau sentuh

Satu itu adalah harga diriku


***
Tengah malam aku duduk sendiri, menatap cermin yang pecah kutinju dengan kepalan tanganku. Bukan aksi pelampiasan emosi, hanya muak dengan apa yang kulihat dipantulannya.

Sepenggal lagu pengisi film favoritku melantun memasuki setengah telingaku yang masih tertinggal di kamar ini.

Midnight workings, weather down the storyline
I try to find the truth between all the lies
When Bleeding is feeling and feeling ain't real
Will I see you when I open my eyes?
Will I see you when I open my eyes?

(Megan McCauley - Wonder)

Memar di pipi kiri, dan sobekan perih di sudut bibir kanan. Mataku bengkak sebelah kanan, kepalaku sobek di kiri. Untung jiwaku sudah terbiasa dengan siksaan seperti ini. Cuma hati saja yang belum terbiasa menerima kepahitan bertubi-tubi. Cintamu menyakitiku, tapi cintamu segalanya buatku. Tanpamu aku tak merasa hidup, tapi denganmu hidupku tak lebih baik. Dilema yang tak henti-hentinya meracuni pikiranku untuk bunuh diri.

Tanganku tak tahan untuk terus menyentuh luka di wajahku. Saat ku sentuh, luka di bibirku berdarah lagi. Perasaan yang sejak tadi kutambal kini kembali terkoyak. Bukan karena perihnya luka di bibir tapi perasaanku di hati. Dengan ogah kuangkat pantat ini dari kursi, berjalan setengah sadar ke lemari mengambil pakaian ganti dan handuk bersih. Secepat itu juga tubuhku pasrah diguyur air hangat dari pancuran. Perih di kulit buatku sudah biasa. Aku menggigil justru saat teringat eksperimu ketika menghajar aku, kekasihmu, istrimu yang tak sah di mata hukum. Mungkin memang salahku mempercayakan hidupku di tangan lelaki sepertimu. Seharusnya aku menurut nasehat Ibuku, lelaki sepertimu hanya manis di awal saja. Tapi aku menyerah pada kutukan wanita yang sedang jatuh cinta. Aku pasrah cintaku kau ambil dan tubuhku tersakiti. Aku tetap cinta.

Beberapa tetes darah menitik setelah keran kuputar. Nampaknya mandi tak menghentikan pendarahan di bibirku. Semoga saja bentuknya tak berubah seperti bibir unta. Sempat-sempatnya aku nyengir saat bibirku menjerit pedih tersiram air. Selesai mengeringkan tubuhku dengan sangat pelan, takut memar di sekujur tubuhku histeris tersentuh benda asing, aku segera mencari kotak P3K untuk mengobati ala kadarnya. Kekasihku tak akan pulang malam ini, seperti biasanya dia akan pergi menginap ke rumah Ibunya dengan alasan sedang bertengkar denganku. Bukan alasan juga sebenarnya karena kami memang sedang bertengkar. Tapi menjadi tak masuk akal karena aktingnya seolah-olah aku ini istri laknat yang suka menyiksa suami. Andai mertuaku ada di sini menyaksikan kelakuan anak semata wayangnya. Agak merinding juga membayangkan sifat asli wanita yang melahirkan anak cacat mental seperti suamiku itu, jangan-jangan otaknya beberapa derajat lebih miring dari lelakiku itu. Aku jarang bertemu mertuaku, hanya beberapa kali sejak resepsi pernikahan ala kadarnya yang dihadiri beberapa keluarga pihak pria saja. Tak ada teman atau saudara dari pihak wanita. Yang disebut pernikahan pun hanya nikah siri, tak pernah tercatat sah secara hukum.

Selesai mengobati luka-luka dan memar di sekujur tubuhku, aku bergegas ke dapur untuk mengambil segelas bir. Ternyata dia sedang duduk sambil menekan kepalanya dengan kedua tangan. Kupikir malam ini dia kabur ke rumah Ibunya. Tubuhku gemetaran, bukan karena dingin yang menyerangku. Walau sekarang aku tak mengenakan sehelai pun benang, tapi aku merinding karena ketakutan. Memikirkan kemungkinan malam ini tubuhku harus rela ditumpangi beberapa tambahan luka lagi. Aku masih diam terpaku saat matanya menjilati tubuhku dengan api kemarahannya. Tubuhku disergap olehnya, terjatuh dan membentur lantai. Kali ini aku memilih pasrah. Pertama adalah tendangan tepat di lambung. Sakitnya bukan main. Aku ditendang tanpa belas kasihan, seperti binatang. Sementara jeritanku tertahan oleh rasa sakit, tendangan berikutnya mendarat di dada kananku. Oh Tuhan, besok pasti dadaku bengkak sebelah. Pikiranku sudah agak kacau nampaknya, bukannya berusaha mencari pertolongan malah asik memikirkan kondisi tubuhku esok hari. Masih syukur kalau nafasku bersambung sampai matahari terbit.

Sakiti aku semaumu
Sakiti sampai aku mati
Tapi jangan ambil harga diriku


***
Malam ini pertama kalinya ia berusaha menyetubuhiku. Aku tak terima itu. Perjanjian dari awal adalah aku tak akan pernah mau disetubuhi oleh lelaki mana pun. Tak terkecuali suamiku. Selama ini dia bebas mencari wanita atau pria mana yang dia suka. Pernikahan kami hanya kedok saja. Lelaki yang kucintai ini bukan manusia yang mau terikat batin dengan manusia yang terikat fisik dengannya. Baginya, aku adalah kekasih yang semurni air, suci seperti malaikat Tuhan. Tak sekali pun kami melakukan kontak fisik yang berhubungan dengan syahwat. Aku adalah manekin cantik yang selalu tampil menarik di pesta-pesta kantornya (kecuali saat wajahku yang cantik ini rusak oleh hantamannya). Sedangkan aku, wanita yang terlahir dengan kelainan psikis. Takut yang berlebihan terhadap kelamin laki-laki. Atau mungkin aku ini lesbian yang takut menerima kenyataan. Pernikahan ini kujalani agar kedua orang tuaku tak lagi membesar-besarkan statusku yang masih sendiri walau sudah cukup usia untuk dinikahi pria. Terkutuk dengan mereka yang memaksaku menerima hidup semacam ini. Tak seharusnya aku jatuh cinta pada hidupku yang begini. Seharusnya aku akhiri saja hidupku dari awal aku disakiti. Aku meringkuk dan menangis dengan pisau di tangan dan sekujur tubuhku bersimbah darah dari tubuh lelaki yang paling kucinta.

Sekali ini aku boleh bangga dengan keberanianku yang telah mengalahkan kekuatan seorang laki-laki. Pertama kali dalam hidupku, aku benar-benar menang dalam pertarungan menghadapi lawan jenis. Aku telah bangkit dengan gagah berani menghunuskan pedang menerjang musuh. ini lah aku yang selama ini bersembunyi dari keramaian, mengurung diri dalam tubuh lemah, yang terus diam walau disakiti berulang kali. Atau mungkin juga aku ini menikmati setiap rasa sakit itu hingga sengaja menyembunyikan keberanianku. Yang jelas, tak kuijinkan siapa pun termasuk dia yang paling ku cinta. Tak akan pernah kuijinkan harga diriku direnggut dariku.

Sempat beberapa kali aku melihat tubuhnya, berharap ada sedikit tanda kehidupan darinya. Harapan yang sia-sia setelah pisau ini kutancapkan sembilan puluh tiga kali ke tubuhnya. Hebat juga, aku sempat menghitung jumlahnya.

Isi kepalaku sekarang adalah bagaimana menjelaskan pada polisi tentang semua ini. Bagaimana menjelaskan keperawananku yang terjaga setelah tiga tahun tinggal satu atap bersama suamiku. Bagaimana menjelaskan pada mertuaku. Bagaimana aku harus meneruskan hidup, bagaimana dan bagaimana. Berbagai pertanyaan yang terus melintas hingga ketika polisi menemukan aku dalam keadaan shok dan telanjang bulat menggenggam pisau sambil gemetaran.

Aku memang lemah
Bukan berarti tanpa daya
Aku lemah karena terbiasa
Aku bisa berubah kapan saja
Seperti angin merontokkan bunga
Dengan mudahnya aku berubah

Senin, 13 September 2010

Penipu Ulung

Tentang rasa, tak ada yang tahu kebenarannya. Hanya si pemilik dan rasa itu sendiri yang mengetahui seperti apa dan bagaimana.

Tentang hati, mereka berbicara dengan bahasanya sendiri yang tak dimengerti orang lain. Bahkan kadang pemiliknya sendiri tak mampu menerjemahkan isinya dengan benar.

Tentang kawan, Tempat berbagi cerita, walau kadang pelampiasan emosi juga pada mereka. Kawan itu semacam tempat hiburan di saat kita jenuh.

Tentang sahabat, satu tingkat di bawah ikatan darah. Yang menyatukannya adalah rasa. Tak lebih kuat dari ikatan darah, tapi juga tak serapuh tali perkawinan.

Tentang cinta, luar biasa. Kadang membuatmu bimbang saat harus membelanya dari sahabat. Tapi cinta punya tempatnya sendiri di bilik nomor 4 dalam sekat hari :p (VIP room, heheheh)




"Rin, kamu yakin dengan keputusanmu ini ?" pria itu berbicara dengan suara serak menahan air mata. Mungkin juga kedinginan setelah berlarian di bawah guyuran hujan malam ini.

"Dy, kita sudahi saja. Aku sudah gak nyaman dengan hubungan seperti ini. Dua puluh tahun cukup kan, Dy ? Cukup untuk persahabatan kita. Buatku, sahabat gak mungkin jadi pacar." Gadis itu berbicara tanpa melihat ke arah lawan bicaranya.

Hujan terus menyiram mereka dengan buasnya. Nampaknya tak ada pilihan lain selain menikmati dingin malam ini. Tak ada tempat berteduh. Rina, gadis yang terus menyangkal perasaannya sebagai wanita, kini harus menerima kenyataan bahwa persahabatannya dengan Andy telah berubah menjadi cinta. Rina lebih memilih untuk lari dari kenyataan dan meninggalkan Andy di belakang.



***
Rina gemetaran di balik pintu rumahnya, terduduk lemas memeluk erat kedua lututnya. Kepalanya tertanam ke dalam pelukan. Telinganya ditajamkan untuk mendengar apakah ada suara Andy di luar rumah. ternyata tidak. Ia merasa aman sekarang, tapi tidak dengan perasaannya. Dalam tubuh yang meringkuk tak berdaya itu terdapat jiwa yang bergejolak. Bagaimana mungkin ia mengubah perasaannya terhadap Andy, tak pernah terbayang olehnya. Bukan berarti Andy adalah lelaki yang mudah menyakiti perasaan wanita. Rina sudah mengenalnya sejak kecil. Tapi kenangan itu jauh lebih bermakna dibandingkan cinta yang ditawarkan Andy padanya. Tidak, tak lebih berarti sedikitpun. Rina menangis, air matanya bercampur dengan air hujan yang membasahi lengan bajunya.



***
"Rin... yuk kita rampok mangga-mangganya Pak RT, udah matang semua tuh." Andy kecil berteriak dari atas sepedanya.
"Okay bos... aku ambil kantung dulu, bawa pisau sama garam gak ?" Rina kecil menyahut dari balik pagar rumahnya.
Kedua bocah itu melesat secepat tuyul beraksi, memetik beberapa kilo mangga ranum dari rumah Pak RT tanpa ketahuan pemiliknya, lalu menghabiskannya di pinggir sawah sambil tertawa cekikikan. Rumah Rina tepat di belakang rumah Andy. Tak heran keduanya sering bermain bersama. Andy tinggal bersama ibunya. Ayahnya sudah lama meninggalkan mereka. Ibu Andy bekerja sebagai penjaja cinta, tak heran keluarga mereka dikucilkan oleh warga kampung. Tapi Rina kecil tak menghiraukan omongan orang. Sahabat Andy dari kecil hanya Rina seorang. Gadis itu tomboi dan selalu melindungi Andy bahkan ketika harus melawan anak-anak kampung yang posturnya lebih besar dari mereka. Senjata andalan Rina adalah ketapel buatan kakaknya. Tak jarang orang tua korban ketapel Rina mendatangi kediamannya untuk mengadu. Tapi dasar Rina kecil yang tak pernah mau kalah, semua aduan itu tak mempan padanya. lama kelamaan, hanya ada Rina dan Andy. Tanpa gangguan dari anak-anak kampung lainnya. Mereka asyik dengan dunianya. Setiap hari adalah petualangan yang seru. Berlarian di sawah, bermain layangan, mencuri buah. Semua petualangan mereka berlanjut bahkan hingga bangku kuliah di Jakarta.

Ada satu kebiasaan lucu yang dilakukan Andy setiap kali mereka bertengkar. Andy akan pulang tanpa alas kaki, meninggalkan sandalnya di tempat mereka berpisah. Sandal itu (kalau tidak hilang diambil orang) adalah tempat mereka bertemu lagi keesokan harinya. Setiap kali bertengkar, Andy akan kabur dari rumah. Karena terlalu seringnya, Rina sampai hafal kemana harus mencari Andy. Tentu saja, di tempat yang tak jauh dari lokasi alas kaki itu berada. Andy akan terus menunggu di sana sampai Rina kembali.



***
Rina masih meringkuk di balik pintu, tak berani beranjak dari situ sebelum air matanya benar-benar kering. Tiba-tiba ia teringat, Andy.

Rina segera menghapus air matanya, berlari ke luar rumah secepat yang ia bisa, menuju ke tempat terakhir Andy berdiri tadi. Dengan nafas tersengal ia melihat sepasang sepatu di sana, sepatu milik Andy. Ia melihat ke sekeliling, taman kota. Tak ada siapa-siapa di sana, hanya Rina dan sepasang sepatu di depannya.

"Andy, keluar !!! Aku tahu kamu ada di sini. Keluar !!!"

Dan sampai hujan berhenti, sampai matahari terbit, tak ada Andy yang muncul menghadap Rina. Gadis itu berdiri membeku di sana dengan bibirnya yang membiru kedinginan. Matanya bengkak, entah karena menangis semalaman atau kemasukan air hujan. Kedua mata bengkak itu menatap lurus ke sepasang sepatu yang ditinggal Andy.



***
Tiga tahun berlalu, Andy tak pernah kembali ke sana. Setiap akhir pekan, Rina duduk di kursi taman dekat tempat terakhir ia melihat Andy malam itu. Perasaan Rina, ya, Tak ada yang tahu rasa dalam hatinya selain dirinya dan rasa itu sendiri. Baginya, sahabat tak mungkin menjadi kekasih. Tak ada jembatan yang bisa menghubungkan kedua kubu yang letaknya berseberangan dan saling berlawanan. Rina takut suatu saat nanti ia akan kehilangan Andy. Sebagai sahabat, hubungan mereka kekal tak tersentuh ruang dan waktu. Tapi percintaan selalu berakhir pada perpisahan. Sahabat yang terpisah ruang dan waktu bisa bertahan karena ikatannya tak mungkin dilukai oleh cinta. Sebaliknya, sepasang kekasih menggantungkan hubungannya di atas tali cinta yang mudah goyah, dengan mudahnya putus karena marah. Tak bisa dipisahkan walau hanya sebentar saja. Ia tak ingin kehilangan Andy tapi pada akhirnya, perasaan sahabatnya juga yang menjadi pemisah. Andy tak lagi menganggap Rina sebagai sabahat. Andy mencintainya.

Rina sibuk menelusuri buku yang baru saja dibelinya. Langit mendung, tapi cukup cahaya untuk menerangi buku dalam pangkuan Rina. Keasyikan itu akhirnya harus berakhir saat langit mulai mengucurkan gerimis. Rina segera memasukkan buku ke dalam tas, bergegas pulang. Beberapa langkah dari sana, ia berbalik melihat ke tempat sepatu Andy diletakkan.

"Dy, hari ini terakhir kalinya aku datang. Tiga tahun cukup untuk aku menyadari perasaanku. Aku sayang kamu, tiga tahun tanpa kamu pun aku bisa. Pasti kamu juga bisa hidup tanpa aku." Rina mengeluarkan sepasang sepatu yang ia pungut tiga tahun lalu, meletakkan di tempat ia mengambilnya. Menitipkan salam untuk sahabat yang ia sayangi, juga setitik air mata yang tulus.

Dalam perjalanan pulang, Rina mampir ke semua tempat yang dulu sering didatanginya bersama Andy. Untuk kali terakhir, karena besok Rina akan pindah ke Yogya. Jakarta sudah terlalu penuh, padat penduduk, dan kenangan. Terlalu sesak untuk terus tinggal di tempat ini. Hari ini, untuk pertama kalinya Rina merasa tak sendiri setelah tiga tahun terakhir. Puas dengan jajanan dan semua hiburan, Rina pun pulang. Saat membuka pintu rumahnya, terselip selembar surat.

"Rin, tadi aku ke taman. Aku melihat sepatu itu masih ada. Tiga tahun dan kamu masih mau mencariku. terima kasih, Rin. Selama tiga tahun ini aku mencoba melupakan kamu tapi gak bisa. Aku kembali ke Singapore tempat ayah kandungku berada. Sore ini aku kembali ke sana dan mungkin tak akan kembali lagi. Aku melihat kamu menangis, dan aku tahu jawaban dari semua ini. Rasa memang gak bisa bohong Rin. Begitu juga dengan rasa dalam diriku. Salam dariku yang menghilang di malam itu, malam ketika air mata langit bercampur dengan air matamu. Malam tiga tahun lalu di taman kota. Cinta ini kutinggal bersamamu di sini. Andy"

Dunia menjadi sunyi tanpa suara. Kaki Rina sekali lagi berlari ke taman kota. Sama seperti waktu itu, gelap tak ada siapapun di sana. Hanya sepasang sepatu yang akrab di matanya.

"Dy... Rasa ini sama seperti rasa yang ada di dirimu ! Kenapa kamu gak nunggu ? Kenapa !!!"
Gadis itu menangis, menjerit, dan hancur.



***
"Rin, kalau sudah besar nanti, kamu harus nikah sama aku ya !" Andy kecil mengacungkan kelingkingnya, menautkan dengan kelingking Rina.

"Janji ?" Rina kecil tersenyum malu.

Keduanya bersepeda pulang ke rumah masing-masing tanpa mengetahui takdir yang menunggu mereka di kemudian hari. Semua orang terlahir dalam keadaan polos, tanpa pernah tahu apa pun nanti. Malam itu keduanya tidur dengan senyum paling manis.



***
Sepuluh tahun berselang, Rina adalah wanita karir yang kini menjabat manager di perusahaan swasta. Wanita lajang dengan sifat menyenangkan, tak terhitung berapa banyak pria yang berusaha mendekat. Tak satu pun dari mereka berhasil melewati dinding tinggi yang mengelilingi hati wanita ini. Bahkan di kantor, beredar gosip bahwa Rina adalah seorang lesbian. Apalagi, ia jarang sekali memakai rok kecuali terpaksa.

Jam makan siang, semua karyawan meninggalkan kantor untuk menikmati santai sejenak di kafe terdekat. Rina memilih tempat makan yang tak jauh dari kantor. Restoran cepat saji kegemarannya. Sepotong ayam, segumpal nasi, dan kentang goreng. Belum sempat tangannya mengoyak paha ayam, seorang pria meletakkan sepasang sepatu ke kursi di sampingnya.

"Kamu mirip sekali dengan orang yang kukenal." Pria itu menyapa.

"Maaf, aku bukan wanita lajang. Tapi aku suka sepatu itu. Aku rela selingkuh dengan pemiliknya untuk mendapatkan sepatu yang ada di sana." Rina menggodanya.

Keduanya larut dalam perbincangan panjang, samar-samar terlihat benang merah di kelingking mereka telah bertaut. Janji mereka semasa kecil dulu nampaknya segera terwujud.



Tak ada siapapun yang mengerti tentang perasaan melebihi rasa itu sendiri, dan juga pemiliknya. Walau hati menyangkal berulang-kali, rasa akan bertahan lebih lama dari waktu dan menembus sekat ruang. Dinding-dinding pemisah akan roboh pada waktunya nanti. Seperti bendungan yang payah. Waktu akan mematangkan segalanya, termasuk cinta.

Jumat, 03 September 2010

Bola

Penyesalan tak pernah datang lebih awal.
Ia tercipta untuk membunuh korbannya
dengan racun yang sama
yang telah membunuh cinta


Mengeluh dan mengeluh. Setiap hari dan setiap waktu. Keluhan diluncurkan bertubi-tubi dari bibirnya yang kini keriput tak terurus. Ibu ku yang dulu cantik kini telah renta. Sifat angkuhnya berubah drastis bertepatan dengan terakhir kali darah menstruasi keluar dari lubangnya. Menopause ternyata mengubah sifat orang. Mungkin karena perubahan hormonal. Entahlah, terlalu banyak rahasia Tuhan yang belum diketahui manusia. Begitu juga dengan Ibu. Tak ada yang tahan berlama-lama di rumah saat ibu ada. Kecuali anjing kesayangan Ibu tentunya. Namanya juga anjing, terlahir dengan kutukan untuk setia pada majikan (bahkan kalau majikannya gemar menyiksa dirinya. Anjing malang...). Kami memilih diam, atau pura-pura tak dengar. Biarlah Ibu menumpahkan kekesalannya yang tanpa alasan jelas itu hingga ia puas atau kerongkongannya telah kering. Kesempatan kami untuk kabur adalah ketika Ibu berjalan ke dapur untuk membasahi tenggorokannya dengan segelas air. Saat Ibu kembali, hanya ada bangku kosong, atau siapa pun yang sedang sial dan menjadi korban berikutnya.

Kadang aku merasa di rumah ini, semua orang telah hidup dalam dunianya sendiri-sendiri. Tak ada lagi yang namanya keluarga di sini. Lebih mirip teman satu atap, seperti di kos-kosan. Rumah berisi manusia-manusia yang berlainan sifat dan beda pendapat, tapi tetap tunduk pada Ibu pemilik kos yang dulu aku dan teman-temanku sebut dengan istilah 'Ratu'. Semua perintahnya wajib di dengar. Hukuman bagi pembangkang adalah duduk manis mendengarkan ceramah yang durasinya diatur sesuka si-Ratu. Untuk kriminalitas, hukumannya bersih-bersih toilet (tahu sendiri lah toilet kos anak cowok seperti apa) atau hukuman paling berat adalah diusir dari istana si-Ratu. Rumah ini mengingatkanku pada masa-masa itu. Bedanya, rumah ini berisi teman-teman yang sedarah denganku. Sisanya sama saja.

Aku tak pernah membantah apa pun yang diucapkan Ibu. Tak pernah juga protes kalau kata-katanya menyakitiku. Biar bagaimana juga, dia adalah Ibu yang telah merawatku. Yang menyekat amarahku adalah kenangan manis saat Ibu masih muda dulu. Saat tangannya dengan lembut membelai rambutku. Saat ia menyuapi aku dengan nasi hangat dan ikan pedas kesukaanku. Betapa besar pengorbanannya untuk merawat kami anak-anaknya. Aku masih ingat saat kehidupan kami masih susah. Ibu bahkan rela mengipasi kami saat suhu panas (saat itu kipas angin hanya ada satu, dan anak Ibu ada empat) dan menjaga kami satu per satu agar tak digigit nyamuk. Beda dengan anak tetangga yang kulitnya penuh bekas gigitan nyamuk, kami terlihat mulus dan terawat. Ibu memang wanita yang tegar dan luar biasa. Aku sangat mengaguminya.

Walau mulutnya kadang menusuk, tapi terlihat kesepian dari sinar matanya. Mungkin kesal karena kami terus menerus mengabaikannya. Pelan-pelan, semua itu menjadi kebiasaan dan terbawa hingga sekarang. Tapi tak satu pun dari kami mau berubah. Tak ada keajaiban yang datang tiba-tiba.

Ibu perlahan makin murung dan emosinya makin menjadi. Bahkan duduk diam di ruang tamu adalah dosa terbesar di matanya. Teriakannya makin hari makin garang. Terakhir, kakak pertama ku tak lagi tahan berlama-lama di sini. Ia yang pertama meninggalkan rumah. Lalu kakak kedua, ketiga, bahkan pembantu pun kabur tanpa meminta gaji bulan terakhirnya. Ibu ku memang luar biasa.

***
Hujan turun membasahi kaca jendela. Aku duduk di kursi sambil menatap pekarangan rumah sakit, menunggu Ibu yang terbaring di ranjang. Sudah tiga hari Ibu terbaring di sini. Rawat inap karena penyakit lama. Di saat seperti ini, aku justru merindukan kebawelannya. Aneh rasanya duduk di sini tanpa mendengar celoteh Ibu. Bahkan kakak-kakakku menangis di hari pertama mereka mendapat giliran jaga. Sedangkan aku, sudah lama mati rasa. Tak lagi ada sedih, tak juga senang. Tak ada rasa, seperti boneka yang memang tercipta untuk duduk manis tanpa ekspresi. Atau mungkin 'pura-pura' ini sudah terlalu lama bersarang di tubuhku hingga menjadi kebiasaan. Lebih tepatnya menjadi satu dengan diriku. Sama seperti Ibu yang karena dibiarkan bawel, maka bawel itu pun menyatu dengan kesehariannya. Aku takut benar-benar mati rasa. Tapi aku juga tak bisa mengubah apa yang sudah menjadi kebiasaan ini secepat yang kukira. Yang jelas, ini bukan akting.

Bosan, duduk tanpa suara memandang hujan. Aku bermain-main dengan bola bekel (bola dari bahan karet yang mudah memantul) yang suaranya ternyata membangunkan Ibu dari lelapnya. Matanya sayu, menyampaikan pesan yang lebih menyakitkan dari kesepian yang selama ini terlihat darinya. Aku melihat penyesalan.

Ibu memanggilku agar mendekat. Aku pun menurut seperti biasa. Tangannya berusaha menggapai kepalaku. Aku pun menunduk, merebahkan kepalaku dekat bahunya. Ibu membelai rambutku, dan aku merasa kehangatan itu masih ada dalam setiap sentuhannya. Ibu berbicara dengan suara yang jauh lebih pelan dari suaranya selama bertahun-tahun terakhir. Ibu berkata bahwa aku sudah besar sekarang. Tapi tetap saja aku adalah anak kecil baginya. Anak yang akan selalu ia jaga hingga akhir hayatnya.

"Bu, jangan bicara yang aneh-aneh. Ibu sebentar lagi sembuh, bisa bawel seperti biasanya." aku berusaha menghibur.

"Kamu tahu, Ibu sudah hidup jauh lebih lama darimu. Ibu tak perlu dihibur dengan kebohongan seperti itu." katanya.

Tangan ibu terus membelai rambutku. Sambil menceritakan masa-masa kecilku, seperti menceritakan dongeng pengantar tidur buatku. Dulu Ibu tak pernah mau didekati saat sedang sakit. Takut kami tertular penyakitnya. Tapi kali ini, aku beruntung bisa berlama-lama sedekat ini dengannya, di saat-saat terakhir Ibu berada di dunia.

***
Tiga tahun setelah Ibu tiada, aku kembali ke rumah (setelah ibu meninggal, aku pindah ke luar kota). Rumah ini masih sama seperti terakhir aku melihatnya. Baunya masih sama. Aku menelusuri setiap sudut ruang, sambil mengingat kenangan-kenangan yang tergores di sini, di setiap senti dinding-dinding ruangan ini. Dapur tempat aku melihat Ibu meracik makanan dengan terampil. Toilet yang sempat beberapa kali membuatku kelabakan karena mampet. Ruang tamu tempat aku dan kakak-kakakku dulu bercanda, tertawa, dan bertengkar. Kamarku yang penuh mural. Terakhir adalah kamar Ibu. Bau Ibu masih bersisa di sana. Bau yang sama seperti yang terngiang di kepalaku, Bau seorang Ibu yang menenangkan anaknya dalam gendongan. Wangi khas seorang Ibu yang tak mungkin dilupakan anak-anaknya. Aku sendirian di kamar Ibu, menyentuh setiap peninggalan Ibu dengan penuh rindu. Lalu aku menemukan kotak penyimpanan benda-benda kesayangannya. Saat kubuka, ada ari-ari yang diawetkan. Aku lupa, itu punya siapa, tapi itu adalah pusaka Ibu. Lalu ada pensil alis (heran, benda seperti ini kenapa bisa dianggap istimewa), kunci yang entah akan membuka pintu kemana, dan ada bola bekel. Bola bekel yang dulu sering aku mainkan. Ternyata Ibu menyimpannya setelah aku buang. Lalu ada foto keluarga.

Semua benda kesayangan ibu kupeluk erat-erat sambil meringkuk di ranjang Ibu. Tak lama, aku menangis hingga tertidur di sana. Aku berharap bisa mendengar suara Ibu sekali lagi. Walau berisik, aku rela. Aku ingin mendengar Ibu berceramah seperti Ratu kos. Aku ingin kepalaku dibelai lembut. Aku ingin kehangatan tangan Ibu. Hanya sentuhan tangannya yang membuatku sadar bahwa aku bukan boneka. Tangannya mengingatkanku bahwa aku adalah anaknya. Anak yang telah ia jaga hingga akhir hayatnya.


Bola itu terus memantul di dinding hatiku
Selalu kembali sejauh ia terhempas
Bola berisi kenangan bersama Ibu


Senin, 30 Agustus 2010

Lelembut

Malam menyimpan sejuta misteri, dan yang disebut misteri itu tak akan bermakna bila rahasianya telah diketahui. Tapi sejuta bukanlah jumlah yang sedikit. Maka, manusia pun berlomba-lomba menyelesaikan teka-teki untuk menjawab misteri. Seperti hal-nya misteri lelembut penghuni malam yang kini kerap diusik untuk kepentingan komersil tanpa memperdulikan perasaan objek yang menjadi topik. Berikut ini adalah curhatan lelembut itu padaku.

"Ny, kow tengok lah tuh, batang pohon nangka kesukaanku ditebang sama Pak Haji. Aku kan bingung mau tinggal di mana sekarang. Dasar Haji gak tau diri. Gua sumpahin anak gadisnya bakal ikutan jadi kunti !" si Kunti (kuntilanak) hampir menjerit gemas di akhir katanya.

"Sabar Mbak Un, di sekitaran sini kan masih banyak pohon-pohon lain. Pindah aja ke salah satunya. Lagian, kamu kan juga cuma numpang di pohon nangkanya Pak Haji."

"Yo ndak bisa toh Ny... kow kira pohon-pohon lain gak ada penghuninya apa ? Tuh di depan kos kamu, markasnya trio Poci (pocong) seng doyan orak-arik rambutku. Emoh aku deket-deket mereka." si Kunti protes dengan tampang sewot.

"Ya sudah Mbak Un, gimana kalau kamu pindah ke pohon pisang di belakang ?"

"Lah, opo maneh kuwi... ono sainganku si Susi (Sundul Bolong), jijik aku liat punggungnya. Hiiiiii"

"Kalo pohon jambu di kos depan gang gimana ?" tanyaku sambil menahan tawa.

"Oh... gelem wae aku, tapi kan ada si ganteng Gendi (Genderuwo), isin aku. Kow comblangke aku toh... ben aku ora sering-sering curhat dimari." kata si Kunti sambil tersipu tapi tetap pucat mengerikan.

"Loh, aku mana kenal. Selama ini yang suka usil mampir-mampir kan cuma kamu. Pake acara curhat semalaman pula." protesku.

Si Kunti menunduk murung, membuat bulu kudukku merinding. Tampangnya sekarang sama seperti yang ada di film-film horor Indonesia. Aku curiga, yang bikin film itu terinspirasi dari wajah kunti-kunti merana. Tapi kasihan juga nasib mereka, kalau tergusur cuma bisa curhat. Karena tak punya surat kontrak dan tak bayar juga, terpaksa terima nasib saja. Sama seperti manusia-manusia lemah yang rumahnya disita pemerintah. Kasihan nasib mereka. Apa daya, orang tak punya.

"Ny... tolongin aku toh... Moso kow ora melas karo aku ? Aku ni udah gak hidup loh, urip-ku mbiyen yo ora penak loh. Moso wes mati tetep sengsara. Ayo donk.." Si Kunti memelas.

Tidak tega juga melihat nasibnya. Kalau aku tolak, bisa-bisa kamarku jadi makin seram dengan kehadirannya tiap malam. Segan tapi tak ikhlas.

"Ya sudah, nanti coba aku bicarakan dengan Pak Haji, mungkin saja Pak Haji mau tanamkan satu pohon baru buat kamu." Aku berusaha menghibur, biar si kunti cepat-cepat menyingkir dari ranjangku.

"Tenan yo Ny... awas klo kow ampe boong, tak tindih kamu saben bengi. Kikikikikikikikikikikik." Ancamannya bikin merinding.

Tak lama kemudian si kunti menghilang dengan cara menembus tembok. Malam ini nampaknya dia tinggal di tiang listrik seberang kos. Samar-samar masih terdengar senandungnya yang mengerikan.

***
"Pak Haji, lelembut penghuni pohon nangka yang Bapak tebang semalam protes ke tempat saya, minta dibuatkan rumah baru. Apa Pak Haji bisa bantu ?" Aku terpaksa minta bantuan Pak Haji yang terkenal kikir.

"Boleh. Asal, kamu yang bayar pajaknya, bayar bibit pohonnya, dan biaya penanamannya. Terus, nanti kalau pohonnnya berbuah, itu jadi hak saya. Gimana ?"

Dalam hati, kumaki-maki tua bangka tak tahu diri itu. Tapi demi si kunti yang baik hati, saya sanggupi saja. Seperti biasa, segan dan tak ikhlas. Dua puluh empat jam kemudian, pohon nangka baru telah ditancapkan di atas tanah tempat rumah lama si kunti berada. Sambil ngomong ke kunti (seperti ngomong sendiri karena tak ada siapa-siapa) aku pun pamit pulang.

Malamnya, si kunti balik lagi. Kelihatan lebih segar mukanya, walau tetap pucat tanpa darah di pembuluhnya. Ucapan terima kasih dan sebuah lagu didendangkan di kamarku. Hadiah yang sama sekali tak diharapkan. Semoga saja anak-anak kamar sebelah tak mendengarnya.

Aku pikir masalahnya selesai sampai di situ. Tak disangka-sangka, si kunti masih saja sering curhat tentang hubungannya dengan si Gendi. Apa ini karena segan dan setengah hati ya ?

"Mbak Un... tolong dong, cari kuping lain buat kamu curhatin." akhirnya aku beranikan diri berjujur ria padanya.

"Loh, kok gitu toh ? tak pikir kow ini konco ku loh. Sakit ati aku." Si Kunti nampak sedih.

Sejak itu kamarku jadi sepi. Tak ada lagi tangis dan cekikik Mbak Un, yang konon telah mendapat sohib baru di rumah sebelah. Anak Pak Haji yang sekarang dandanannya makin mirip Mbak Un. Mungkin saja sumpahan Mbak Un bakal jadi kenyataan, dan bertambah satu kunti di komplek perumahan ini.



Selasa, 24 Agustus 2010

Cerita Ayah

Ayahku bukan orang yang suka bercerita. Juga bukan orang yang mau terlalu dekat dengan anak-anaknya secara fisik. Ia mendekati kami dengan perhatiannya lewat bahasa cinta yang sesungguhnya. Tapi ketika ia melihatku semakin jauh dari dunia nyata, saat itu juga ia melepas ego yang ia pegang erat dan merelakan harga dirinya dikoyak. Semua demi aku, anaknya.

Aku adalah anak yang sulit bersosialisasi. Aku sekarang duduk di bangku sekolah dasar. Setiap pulang sekolah, kisah hidupku hanya berkutat seputaran rumah. Bermain dengan kakak-kakakku, kemudia bermain dengan diriku, dan ketika semua itu semakin menjauh, aku hanya bermain dengan imajinasiku. Ayah yang selama ini terlihat cuek ternyata memperhatikan aku. Ia tahu ada yang salah denganku, tanpa perlu bertanya pada Ibu ataupun saudara-saudaraku. Cerita ini terjadi beberapa hari sebelum imlek, empat belas tahun yang lalu. Saat itu cuaca cerah. Aku duduk di atas ranjang yang menghadap ke jendela. Lebih tepatnya aku sedang duduk memandang jendela yang mengarah keluar rumah. Di luar sana ada beberapa anak tetangga sedang bermain bola. Aku hanya duduk dan menikmati dunia khayalanku. Dari dulu aku tak pernah suka permainan yang mengutamakan kerja sama sebuah regu. Termasuk diantaranya adalah sepak bola, basket, dan permainan sejenis. Aku bahkan tak sadar ketika Ayah duduk di sampingku. Kehadirannya baru kusadari ketika tangannya yang kasar mendekap pundakku sambil bertanya "Kok melamun ?", dan aku cuma tersenyum seperti biasa. Aku tak suka bicara pada orang yang kurasa kurang dekat. Salah satunya adalah Ayah.

Hari itu, ayah bercerita sambil menyisipkan nasehat. Dan aku ingat benar isi ceritanya.

Suatu hari, ada seorang anak laki-laki yang sangat kesepian. Dia kesepian, tapi tak berani melihat dunia. Semua orang terlihat asing untuknya. Anak itu diam-diam menangis sendirian dan terus berharap teman-temannya akan datang mengajaknya bermain. Tapi tidak terjadi, karena ia menangis di tempat yang tidak terlihat oleh teman-temannya.
Kemudian, suatu hari anak itu memutuskan untuk membuat dunianya sendiri. Dunia yang berisi semua yang dia suka. Karena ia merasa diabaikan oleh teman-temannya, maka dunia itu tak terlihat dan tak bisa dimasuki oleh orang lain selain dia. Setiap hari, ia menghabiskan waktu bermainnya di sana. Ada teman imajinasi yang selalu tersenyum untuknya, walaupun ia hanya menceritakan sebuah kisah yang membosankan sekalipun. Anak itu sangat bahagia.
Suatu hari, anak itu mendapat tetangga baru, seorang gadis cantik dan galak. Gadis itu bisa melihat dunia imajinasi anak itu, tapi tak bisa memasukinya. Maka, gadis itu menarik anak itu keluar. Mengajaknya melihat dunia nyata yang bisa dinikmati bersama.
Sejak saat itu, mereka bermain bersama. Gadis itu membuatnya sadar, dunia imajinasi memang indah, tapi bukan berarti kita boleh terus menerus berada di sana.
Anak itu lalu mengunci pintu menuju dunia ciptaannya, dan berjanji hanya akan ke sana bila dunia nyata telah menolaknya. Kunci itu ia titipkan di hati gadis yang kelak menjadi pasangan hidupnya.


Baru sekarang aku sadar bahwa Ayah sedang bercerita tentang dirinya. Ayah dulu juga sama sepertiku, takut pada dunia. Takut dunia menolak kehadiranku, padahal aku bahkan belum sempat mencoba bertanya. Sejak itu, aku mengunci dunia imajinasiku, dan menitipkan kuncinya pada Ayah. Aku keluar bermain, dan mereka menerima kehadiranku. Ayah nampak senang, aku bisa melihat ia tersenyum puas.

***
Setelah aku menitipkan kunci pada Ayah, aku pergi keluar kamar dan berjalan menuju pintu keluar. Pintu menuju dunia nyata di luar rumah. Tapi aku lupa berterima kasih pada Ayah, jadi aku melangkah kembali ke kamar. Saat membuka pintu, aku melihat Ayah sedang masuk ke dunianya sendiri. Ternyata selama ini Ayah punya kunci cadangan dan tak pernah lepas dari dunia khayalannya. Saat itu juga aku membuat kunci cadangan. kalau-kalau aku bosan dengan dunia ini dan ingin bersembunyi.


Kamis, 29 Juli 2010

Tangisan Bulan

Cerpen 21+
Yang merasa belum cukup umur mohon tahu diri untuk tidak membaca.
Nama tokoh dan lokasi adalah fiksi semata. Bila ada kesamaan, tolong jangan ke-Ge-Er-an.




***
Pagi. Bukan tanpa alasan aku membenci pagi. Setiap masalah dimulai ketika pagi. Aku benci pagi. Mataku membuka dengan malas, menantang sorot tajam matahari yang menikam tepat di pelupul mata. Korden jendela lupa aku tutup semalam, larut dalam khayalku bersama bulan. Selimut yang menutup hanya setengah tubuhku kini kutendang jatuh dengan emosi tanpa perlu selimut itu mengandung dosa ataupun salah. Semua benda mati memang nasibnya menjadi objek emosi makhluk bernyawa. Untuk itulah mereka diciptakan.

Aku duduk dari tidurku, melihat jam meja, masih terlalu pagi. Benny tak akan pulang sepagi ini. Kekasihku yang jalang sudah tak di sini sejak semalam. Tiap akhir pekan ia bebas bergumul dengan pelacur jahanam, sabtu malam sampai malam berikutnya. Demikian perjanjian awal kami yang kini kusesali. Menyesal pun tak memberi jawaban yang pasti. Antara meneruskan hubungan yang tak jelas ini, atau kesepian tujuh hari penuh. Aku memilih ditemani lima hari dan melepasnya dua hari.

Tiga tahun bukan waktu yang sesaat, juga bukan waktu yang cukup untuk aku melihat setiap detail di diri Benny kekasihku. Sebagian ruang dalam hatinya masih abstrak. Dan aku hanya bisa menunggu waktu memperlihatkan setiap detail ruang itu. Menyerah pada waktu.

Bergegas kuangkat pantat ini sebelum jasadku menempel seutuhnya ke ranjang. Dengan malas aku melangkah ke jendela yang membatasi ruang ini dengan beranda. Apartemen kami di lantai dua puluh lima. Angka kesukaanku dan dia. Berandanya cukup untuk tempat kami bercinta tanpa perlu takut dilihat orang di bawah sana. Kalau tetangga, biarlah mereka menikmati pertunjukan gratis yang tak seberapa.

Kordennya kututup dengan gaya setengah nyawa. Lemas tak bertenaga. Sebenarnya tenaga itu ada, tapi tak cukup bergairah untuk mengeluarkannya. Mau makan pun malas, anggap saja diet satu hari. Rokok yang biasa membuatku tenang kini terlihat seperti frenchfries murahan yang tergeletak di atas meja samping ranjang. Apartemen ini terdiri satu ruang tanpa sekat, sebuah ranjang besar untuk kami berdua di tengah-tengah kamar, menghadap langsung ke jendela yang selebar dinding. Lebih tepatnya, kamar kami tak punya dinding luar. Antara kamar dengan langit di luar sana hanya terhalang jendela kaca. Di belakang ranjang adalah pintu di sudut kiri, dapur ada di sebelah kanan, lengkap dengan meja makan yang menyatu dengan kitchen-set. Selain itu adalah dinding dan dinding. Kamar mandi dan lemari pakaian ada di balik dinding. Ruang ini terlampau kosong di akhir pekan. Mungkin aku perlu membeli sebuah manekin untuk menggantikan kehadiran Benny di sini. Tapi manekin tak secentil Benny yang doyan cuap-cuap gombal. Aku suka dimanja dan Benny memang rajanya.Tubuhku kubanting ke ranjang lembut yang serba putih. Aku suka putih, walau hatiku tak sesuci warna putih. Sebagian besar benda di ruang ini berwarna putih. Aku memejamkan mata memikirkan wajahnya, wajah kekasihku yang kucinta.

***
Malam minggu waktu buatku berpesta. Bukannya aku tak punya rasa, tapi aku lelaki yang banyak gairah. Kekasihku pun boleh berlaku sama, seperti perjanjian kami di awal bersama. Tempat favoritku diskotik kota yang didatangi daun muda. Berondong istilahnya. Perawakanku masih bisa menjadi modal untuk menikmati tubuh mereka semalam dua malam. Tentu saja tanpa biaya.

Malam ini aku melihat dia, yang paling bersinar di antara kawanannya. Aku mengirimkan sinyal lewat sudut mata dan dia menanggapinya. Lima menit setelah pesan diterima, berondong itu mendekat tanpa perlu diundang. Kami berkenalan singkat.
"Panggil aku Brondy (sebutan lain untuk berondong), kalau memang cocok baru aku beri nama asli." , "Gak masalah. Berapa umurmu ?" tanyaku.
"Delapan belas tahun malam ini. Dan masih perawan." bocah itu menggodaku dengan kedipan nakal. Membuatku tak yakin dengan pengakuannya itu.
Percakapan dan berbagai kalimat gombal diluncurkan ke jantung hatinya. Seperti biasa, dengan mudah aku menguasai mereka. Sama seperti mantra yang membuat kekasihku terikat padaku.

Canda dan kedipan mata berlanjut ke sentuhan-sentuhan ringan di wajahnya. Lalu ciuman dan pelukan, makin larut dan sentuhan-sentuhan itu semakin binal. Aku yakin malam ini dialah pemenangnya. Musik membawa kami bergoyang, hingga penutupan. Tapi kisah kami tak selesai sampai di sini. Aku di ajak ke tempatnya tinggal sekarang, sebuah kontrakan. Tak bisa dibandingkan dengan apartemen tempat kekasihku dan aku tinggal selama ini, tapi aku tak akan berlama-lama di sini. Begitu pikirku semula. Tanpa banyak kata dan kami saling melucuti pakaian, bergumul dalam gelora asmara, yang palsu adanya. Rintihan, sentuhan, dan sesekali ia meringis kesakitan. Ternyata memang dia perawan, dan aku semakin senang.

***
Sulit sekali mempertahankan bayang wajah kekasihku, padahal sebelum tinggal bersama, dengan mudahnya wajah itu muncul setiap waktu. Inikah gejala yang disebabkan waktu ? penyakit bosan dan hilangnya rasa rindu. Bukan, aku bukannya tak rindu. Aku cuma kecapaian terus menunggu. Andai Benny berubah dan memutuskan perjanjian itu. Andai dua hari itu juga menjadi milikku. Aku ingin dia hanya untukku.

Tiga tahun, dan baru sekarang aku merasa dibodohi, sementara kekasihku telah tidur dengan entah berapa banyak pelacur lain di luar sana. Aku kembali duduk dari tidurku dan berjalan mengitari ruangan tanpa alas kaki, hanya kemeja yang kupakai tidur dan celana pendek berwarna hitam. Aku mendekat ke korden dan mengintip dunia luar. Masih terang benderang, matahari belum menurunkan panji perang.

Bosan, tak tahu mau kemana. Aku tak ada tujuan. Mau jalan-jalan juga tak ada niat. Teman-temanku yang dulu dekat sudah punya pasangannya sendiri-sendiri. Akhir pekan mereka tentu bersama pasangannya masing-masing. Terbalik denganku yang justru ditinggal sendiri di akhir pekan. Tapi tak masalah, karena aku kadang menikmati kesendirian ini. Teriknya matahari membuat pikiranku gerah walau suhu kamar ini normal-normal saja.

Pejamkan mata sejenak, berjalan tanpa melihat. Lalu aku tiba di sudut kiri ruangan, tempat sebuah sofa merah diletakkan, di depannya adalah televisi layar datar, lengkap dengan sound system, dan DVD player. Di samping kanan televisi adalah lemari kepingan CD dan DVD, ke sana lah aku menuju. Sebuah kepingan berisi instrument Beethoven, salah satu pujaanku. Tapi yang ini bukan permainan Beethoven melainkan Myleeene Klass. Yang paling kusuka darinya tentu saja "Moonlight Sonata", dan tanpa perlu melihat tombol di remote, aku menekan angka yang sudah biasa kutekan. Angka lima. Aku sangat suka angka lima. Dan musik favoritku mengalun menemani tubuhku yang kini menari berputar sendiri sambil melepas kancing kemeja ini satu per satu. Sebelum akhirnya kulucuti celana pendek tanpa celana di dalamnya.

***
Satu kali tak pernah cukup untuk pemula. Malam ini tiga kali kami bergumul. Yang pertama agak menyakitkan buatnya tapi dia minta aku mengulangnya. Membuatku bangga pada keahlianku memuaskan pasangan. Tapi kekasihku sendiri tak pernah meminta lebih dari sekali. Ah, mungin karena bocah ini baru pertama merasakan kenikmatan dunia. "Jadi, apa aku sudah pantas mengetahui siapa namamu sebenarnya, Brondy ?" tanyaku, menangkis tatapannya yang tanpa jedah. "Aku Tony. Tony Mulyadi." jawabnya.
"Oh, nama yang bagus, Tony. Aku Benny, dan itu nama asliku."
"Jadi, bagaimana ? apa kamu suka ?"
"Tentu, Tony. Thanks kamu sudah memberiku malam pertama." jawabku dengan senyum menggoda.
Bocah itu tersenyum manis sekali, mengingatkanku pada kekasihku. Bibir mereka seksi sekali. Dan aku kembali mengulum mesra bibir bocah ini sambil terus membayangkan kekasihku, membuat gairahku kembali memuncak. Dan kami kembali bergumul, seolah dikejar waktu. Tapi bocah ini tak tahu bahwa aku sudah punya kekasih yang menungguku pulang malam nanti.

***
Tubuhku telanjang bulat bersama lantunan "Moonlight Sonata", terus menari dan berputar seperti boneka dalam kotak musik pemberian mama. Musiknya sama. Lalu tarianku terhenti setelah musik mengulang lagi dari awal. Hanya satu musik ini yang kuputar berulang-ulang. Tak khawatir kepingannya akan rusak atau mesinnya meledak, karena aku masih punya beberapa salinan lagu ini di berbagai tempat. Dengan langkah seperti penari balet sungguhan, aku melangkah ke balik pintu kamar mandi di balik dinding. Menyalakan air ke dalam bathtub. Lagi-lagi, dengan mata terpejam sambil merasakan aliran air. Setelah air dingin cukup terisi, aku menyalakan keran air panas, lalu melangkah ke luar kamar mandi untuk mengeraskan suara musik. Saat kembali, aku mematikan keran air dan mencelupkan ujung kaki ke dalamnya, menikmati sensasi getaran yang merambat dari ujung kaki hingga ujung rambutku. Sensasi yang tak bisa kudapat dari mana pun selain sentuhan paling lembut (ralat, selain sentuhan kekasihku) dari permukaan air bathtub.

Tanganku melayang gemulai mengikuti lantunan musik mengambil sejumput garam mandi di dekat wastafel, memercikkannya ke dalam bathtub putih kesayanganku. Berputar beberapa kali, lalu memasukkan seluruh tubuhku ke dalam air hangat. Menahan nafas sambil berusaha membayangkan wajah Benny, berharap ia melakukan hal yang sama sekarang juga.

***
Pagi datang terlalu cepat, rasanya belum puas aku menikmati tubuh bocah ini. Tapi sesuai perjanjian, tubuhku boleh nakal tapi hatiku tetap terjaga untuk kekasihku. Jadi aku hanya bisa meraung dalam sangkar, berharap kekasihku sudi menerima kehadiran satu orang lagi di antara kami. Tapi aku tak cukup berani menyakiti hati kekasihku, karena aku tahu hatiku telah disimpan rapat dalam jiwanya. Aku benar-benar mencintainya. Dengan kata lain, bocah ini harus rela menjadi gundik yang bisa dilepas kapan saja.

Aku mengusap pelan poni di wajah Tony yang menghalangi kepolosan wajahnya. Wajah seorang malaikat kecil yang manis. Lagi-lagi, aku terbayang wajah kekasihku. Ada apa gerangan. Mirip pun tidak wajah mereka berdua. Aku kembali terlelap sambil memeluk Tony.

***
Mataku masih terpejam, mendengarkan alunan musik sambil melihat ke luar. Di hadapanku adalah jendela kaca seperti di ruang kamar, Sinar matahari tak mampu menerobos tirai bambu yang memang bertugas menghalangi pasukan terik itu, dan aku puas dengan kerja mereka. Alunan musik masih terus bergulir tanpa lelah. Kalau itu betul Beethoven yang sedang mainkan piano, kujamin jari-jarinya tentu sudah kram sejak tadi.

Mataku membuka pelan, memaksa otakku mencerna satu keputusan, antara terus ataukah akhiri saja hubungan yang menyakitkan ini. Aku tak butuh kelamin bekas ribuan pelacur tak tenar. Tapi aku butuh hati seperti kekasihku. Walau tubuhnya ternoda banyak dosa, hatinya putih untukku. Mataku terpejam dan jutaan suara-suara menjerit dalam kepalaku. Ada yang menertawakan, ada yang menghina, ada yang memberi semangat walau lemah. Terakhir, aku mendengar suara mama.

***
Tony membangunkanku dengan usapan lembut di pipi, lalu turun ke dada dan terus meluncur ke bawah. Bocah ini sama denganku, gairahnya liar menggebu-gebu. Aku pun tak mau kalah binal, tanganku menyentuh tengkuk lehernya, menarik tubuhnya yang seputih pualam itu mendekat, menempel jadi satu. Lalu kulayangkan ciuman di sekujur tubuhnya. Aku mendengar ia mendesah, mengerang tak tertahan. Tentu saja siksaan ini masih harus diterimanya sebagai hukuman telah membangunkanku dari tidur yang lelap. Dan saat tubuhku sedang larut dalam dosa, hatiku berlari pulang pada kekasihku di rumah. Sedang apa dia sekarang, apakah ada lelaki lain yang tengah menyentuhnya, asal bukan di ranjang kami saja. Perjanjiannya memang begitu, boleh bercinta asal tak di ranjang yang sama.

Bocah ini menggeliat tak mampu menahan siksaan yang kuberikan. Tapi aku memang tak punya perasaan, tak kubiarkan ia melawan. Tangannya kupegang erat lalu kuhentakkan ke ranjang. Matanya berbinar menyalakan api peperangan. Dia liar.

Aku pun mengalah dan membiarkannya berada di atas, bermain bebas dengan tubuhku yang polos tanpa sehelai benang. Bocah itu cepat belajar, dia sudah tahu kemana harus mencari titik rangsang. Dan aku telah menemukan pelacur idaman, yang benar-benar membuatku puas. Wajah kekasihku kini bias, terhapus desah menahan nafas.

***
Akhirnya, matahari menyerah juga dan menarik mundur pasukannya. Aku mulai menggigil kedinginan. Entah berapa lama aku berendam sambil melamun panjang. Untung Beethoven gadungan masih setia memainkan musiknya. Setidaknya itu membuktikan bahwa aku masih di alam sadar. Kulihat, telapak tanganku telah menampakkan keriputnya, lalu mataku tertuju pada kedua putingku yang juga telah membiru dan mengkerut, menjijikkan sekali bentuknya saat kedinginan. Seperti buah kurma bentuknya. Aku menyentuhnya dengan penasaran, apakah masih berfungsi saraf perasanya. Geli, tapi enak. Dan tanganku mulai menari-nari di atasnya. Pelan-pelan, mengikuti alunan musik.

Mataku berputar ke belakang seperti orang kerasukan, tubuhku mengencangkan otot-ototnya untuk dilemaskan kemudian. Ini kenikmatan yang biasa kudapat dari Benny. Tapi seorang Benny sekali pun tak akan tahu kapan harus meletakkan rangsangan di titik yang tepat. Hanya aku dan tangan-tangan pemberian Tuhan ini yang tahu. Mendesah, menggeliat dalam bathtub sambil membayangkan kekasihku yang sekarang entah di mana. Sekitar lima belas menit dan tubuhku menuntut penuntasan. Aku bangun dari bathtub dengan malas, melayang (berjalan dengan pikiran dan tatapan kosong) menuju ruang tidur, berguling sebentar di ranjang, lalu menggerakkan tanganku ke laci meja di seberangnya, mencari-cari benda pusaka hadiah dari Benny di ulang tahun 'pernikahan' kami yang kedua, aku ingat benar apa katanya. "Pakai ini saat aku tak ada." Dasar laki-laki bajingan, seenaknya saja menyuruhku bermain dengan benda mati sementara dia di luar sana menikmati hangatnya tubuh lelaki. Aku juga lelaki yang hangat, kenapa tak ia minta kehangatan itu dariku saja. Tak habis pikir, tapi tubuhku sekarang tak mau kompromi. Harus segera di beri jatah. Aku mengambil batang itu dari dalam laci, lalu berguling menjauh dari ranjang. Membuka jendela dan berjalan ke beranda, bergaya bak penari erotis di pembatas lantai yang tingginya sedikit lebih tinggi dari pantatku. Lalu kulumat batang palsu itu, memainkannya dengan lidahku, membasahinya lalu menariknya turun melewati dada dan perutku. Aku mendesah sambil membayangkan kekasihku. Kuharap ia pun sedang membayangkan aku.

***
Aku bersusah payah membalikkan bocah itu ke bawah, berusaha menyelipkan tanganku ke selangkangannya. Ia pun akhirnya menyerah pasrah. Saat itu juga kubalikkan tubuh tak berdaya itu dan memasukinya dari belakang. Punggungnya melengkung mengundang kecupan bibirku. Aku pun tak pelit untuk yang satu itu. Ia mendesah begitu kerasnya seolah baru saja menerima nafas kehidupan setelah sekian lama. Aku bergoyang, dan ia mengikuti iramanya. Bocah ini benar-benar cerdas. Cepat belajar dan tangkas.

***
Lantunan musik membawaku pada klimaks. Mataku terpejam dan punggungku menekuk ke belakang. Tepat bersamaan dengan semprotan hangat dari dalam genggamanku. Ini klimaks yang kudapat dengan sempurna. Klimaks yang seorang Benny pun tak akan pernah bisa berikan. Sudah kubilang, tak ada yang mengerti kebutuhanku selain diriku sendiri. Malam ini aku mencapai puncak bersama "Moonlight Sonata" dan bulan di belakang kepalaku. Aku mendorong tubuhku ke belakang untuk melihat lebih jelas bulan yang sempurna itu. Begitu bulat. Lalu kedua kaki-ku terlepas dari lantai, kepalaku menyesatkan aku dengan kata-kata dalam suara kekasihku. "Tenang saja, di bawah sana adalah ranjang kita"

***
Kami mencapai klimaks bersamaan, dan aku mendengar ia terisak. entah kesakitan, atau keenakan. Dan lebih lucunya, aku pun menitikkan air mata tak jelas dengan maksud apa. Keringat kami bercucuran tapi tak menghalangi aku untuk memeluknya dari belakang.

***
Aku ingat telah jatuh dari beranda dengan kepala hancur di tanah. Tapi kenapa justru hatiku yang merasakan sakitnya, melihat kekasihku telanjang bersimbah keringat dengan kelaminnya masih berada dalam tubuh pelacur tak ternama. Apa aku telah kalah dari pelacur bau kencur yang sedang dipeluknya ? dan roh-ku menitipkan air matanya dalam ruang lembab bersama kekasihku yang jalang.

***
Sekilas aku seperti melihat kekasihku duduk di atas meja sedang menatapku tajam lalu menghilang. Mungkin aku terlalu mencintainya sampai terbayang-bayang.




Kamis, 15 Juli 2010

Candy Web

Waktu aku lahir ke dunia, aku lahir tanpa warna.
Lalu aku mulai meniru berbagai warna dari sekitarku.
Tapi aku begitu pemalu dan menyembunyikan warna-warna itu.
Aku takut orang tak suka melihat aku dan warna-warnaku.
Suatu hari, datanglah dia, bidadariku.
Ia menanyakan, apa warnaku.
Aku malu...
Tapi ia begitu memaksa.
Aku minta ia berjanji tak menertawakanku.
Maka kuperlihatkan warna-warnaku.
Tanpa dosa ia mengatakan warnaku aneh.
Lalu ia pergi meninggalkanku.
Sejak itu aku menyimpan warna-warna itu
hanya untukku.
Karena warna-warnaku bukan warna biasa.
Mereka istimewa karena tak biasa.
Dan orang biasa tak mengenalnya.


Laba-Laba

Tahu kenapa aku begitu benci laba-laba?
Bentuknya yang aneh.
Cara jalannya yang menyiratkan kelicikan.
Telurnya yang menjijikkan.
Sarangnya mengotori kamar.
Mereka bergerak tanpa suara dan merayap.
Dan kau tahu apa yang kusuka dari mereka ?
Dalam siklus hidup mereka ada satu moment yang paling indah.
Saat mereka merayap di bawah kakiku.
Dan aku menginjak-injak mereka.
Sambil kubacakan doa.
"Lahirlah kembali sebagai makhluk yang lebih indah."


Minggu, 11 Juli 2010

Lisa

Titik-titik air dari dinding gelap menjadi satu-satunya sumber bunyi dalam ruangan tempat Lisa di sekap. Hanya ada pendar lampu bohlam dari ruang sebelah, tempat penjahat itu tersenyum mengerikan dengan liur menitik dari ujung bibirnya. Gadis malang itu sudah satu minggu disekap seusai pulang sekolah. Tak pernah terbayang bahwa dirinya kan menjadi korban penculikan. Lebih parah lagi karena penculiknya adalah orang gila dengan pikiran yang tidak tertebak. Lisa melihatnya berubah-ubah setiap saat. Lebih sering penjahat itu duduk di kursi dengan ekspresi seperti sekarang, senyum mengerikan yang membuat Lisa merinding. Lisa, gadis berusia sebelas tahun itu ditelanjangi dan dikurung di kamar gelap yang terpisah jeruji dari ruang tempat penjahat itu duduk. Gadis itu diperlakukan seperti binatang peliharaan yang tak disayang. Satu minggu Lisa tak diberi makan dan minum. Sekarang, untuk menangis pun ia kesulitan. Kamar itu bercampur antara bau kotoran manusia, bangkai, dan pesingnya air seni. Penculik itu nampak menikmati semua yang ada di dalam ruangan. Sesekali ia pergi ke luar membawa pulang sekantung makanan tapi tak pernah membaginya sedikit pun pada Lisa. Tampaknya ia tidak benar-benar gila. Hanya terobsesi pada gadis kecil. Ia suka melihat korbannya mati kelaparan secara perlahan.

Dingin, lapar, dan ketakutan. Gadis itu meringkuk di lantai berharap akan ada belas kasihan dari penculik itu.

Hari demi hari terlewat. Gadis malang itu makin kurus dan lemas. Sadar ajalnya kian dekat tanpa harapan akan datangnya penolong ataupun belas kasihan si pelaku, Lisa hanya bisa diam menangis walau sekarang menangis pun amat sulit baginya. Bibirnya kering dan kulitnya pecah-pecah berdarah. Tubuhnya kotor dan bau kotoran. Penculik itu masih bisa makan dengan lahapnya dalam ruang penuh bau kotoran dan bangkai seperti ini. Lisa terisak kembali mengingat kebebasan terakhir yang dinikmatinya sebelum penculikan. Ia sempat mengecap es krim paling enak di sekolahnya, tertawa riang bersama teman-teman sekelas seusai sekolah. Dalam hatinya, ia bertanya-tanya apa salahnya hingga menjadi korban penculikan. Setiap saat ia berharap akan ada orang yang berhasil menemukannya atau mungkin tebusannya telah dilunasi sehingga ia boleh bebas kembali. Tapi melihat tingkah pelakunya, Lisa tahu ini bukan soal tebusan. Pelakunya hanya mencari kepuasan. Lisa tak bisa berharap terlalu banyak.

Ruangan itu terasa makin dingin dan gelap. Tapi tak lama. Seperti tertidur yang sangat nyenyak lalu terbangun dalam keadaan bugar. Lisa merasakan jemarinya terasa begitu ringan, tubuhnya juga demikian. Ia berdiri dengan kedua kakinya dengan mudah. Gadis itu segera bergegas mendekat ke pintu keluar, jeruji-jeruji besi. Tapi segera langkahnya terhenti. Ada yang aneh dengan jeruji-jeruji itu. Dari bayangan salah satu jeruji itu muncul benang berwarna putih dan berkilau temaram. Benang itu terus memanjang keluar dari dalam bayangan dan membentuk kumparan. Tak lama kemudian kumparan itu telah menyatu, membentuk sebuah balon gas. Bentuknya unik, seperti balon gas yang biasa dijual di taman bermain. Pada pangkal balon itu terdapat sebuah bulatan sebesar bola tenis. Gadis itu memperhatikan lebih dekat bola itu, yang ternyata adalah sebuah mata. Mata balon itu terbuka dan menatap lurus ke arah Lisa. Di sekeliling mata balon itu terdapat urat-urat halus yang menggeliat, warnanya sama seperti benang temaram tadi. Balon itu berbicara dengan suara anak kecil, suara seorang gadis usia sepuluh tahun. "Lisa, kenalkan. Aku Oni." Lisa kaget dan mundur mendekat ke dinding. Lalu terdengar suara di sampingnya "Tak perlu takut, Lisa. Aku dan Oni bukan penjahat." Di samping Lisa telah berdiri gadis belia yang cantik, dari tubuhnya berpendar cahaya temaram sama seperti Oni. "Aku Anna, dan kamu sudah mati."

Gadis itu bicara dengan suara tenang dan anggun, mata dan wajahnya seolah tanpa ekspresi. Tapi lebih ramah dari senyum mengerikan dari pria yang menculik Lisa. Yang jelas keduanya sama-sama tak enak dilihat. "Aku Lisa. Apa benar aku sudah mati ? Apa kalian malaikat penjemputku ?" Anna menunjuk ke arah tubuh Lisa yang tergeletak tak bernyawa di lantai. Lisa menatap tubuhnya dengan sedih. "Kami datang karena arwahmu tak bisa kembali ke Roh-Bumi. Kau harus melepas emosi yang tersisa di dunia sebelum kembali ke sana, kami akan membantumu." Oni menjelaskan maksud kedatangan mereka. "Bagaimana caranya ?"
"Sisa emosi yang tertinggal dari dunia ini adalah emosi, kamu dendam pada pria itu. Aku bisa bantu kamu menyelesaikannya. Tinggal ulurkan tanganmu, dan aku akan membantu." Anna menjelaskan. Tanpa berpikir panjang, Lisa mengulurkan tangannya menyambut tangan Anna. Sekejap itu juga Lisa menjerit kesakitan. Jari-jari tangan Lisa merekah dan memanjang, Lisa merasakan kulitnya sobek dan tulang-tulangnya mencuat keluar. Kuku-kuku tangannya meruncing dan nampak mengerikan. Rahangnya berbunyi seperti gemeretak kerikil di aspal. Sakit sekali sampai gadis itu tak berhenti menjerit. Ternyata arwah pun masih bisa merasakan sakit. "Selesaikan yang tertunda, kami akan menunggu sampai kamu puas." Anna nampaknya sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini. Begitu juga Oni.

Lama setelah itu, pintu ruang gelap dan lembab dibuka. Bau bangkai yang menyengat tak membatalkan niat lelaki itu untuk melangkah lebih ke dalam. Baru beberapa langkah, pintu di belakangnya tertutup dan mengunci tanpa disentuh. Bahkan manusia berjiwa sakit sepertinya masih memiliki naluri untuk takut. Tak ada yang luput dari rasa takut. Dan takut memicu mereka untuk gugup. Mata lelaki itu memburu pelaku yang tadi menutup pintu. Tak ada satu pun bayangan di ruang itu yang terlihat cukup hidup untuk dijadikan pelaku. Degup jantungnya mulai tenang, otaknya memberi bisikan-bisikan bahwa mungkin saja tadi hanya ulah angin. Tapi mana mungkin angin memutar kunci di pegangan pintu ? Belum sempat ia mendapat jawaban yang tak menyalahi logika, ia melihat sekelebat bayangan yang bergerak cepat. Tak jelas tapi nampak seperti manusia. Bau bangkai kini membuat kepalanya pening dan berkeringat dingin. Tangannya mulai gemetaran.


(wait ya . . . pergi main sama kunang-kunang di taman)