Kamis, 18 Februari 2010

Seputih Hatiku Ia Merekah Dengan Indahnya

Pukul sepuluh dan kuncup itu bermekaran.
Putihnya seputih hatiku.


Seputih Hatiku

Sejak di Pekalongan, aku sudah suka bunga jenis ini, Lupa nama latinnya, kalau di penjual bunga namanya bawang-bawangan. Ada dua pilihan warna, putih dan kuning. Dari awal aku suka sekali dengan tanaman ini yang berkelopak putih. Mahkotanya terdiri 6 kelopak, dan setiap mekar bisa tahan 2 atau 3 hari. Bunga ini bukan jenis yang harum baunya.

Pagi ini bunga-bungaku sudah berkuncup, siang hari nanti pasti bermekaran semua. Nanti kalau sudah mekar akan kutambah gambarnya ^^


Jumat, 12 Februari 2010

Biru Mati

Warna yang paling kau suka adalah biru
Tapi aku tak suka
Walau hatiku jatuh cinta pada langit biru
Tapi jiwaku lebih cinta perdu hijau
Walau hutan hijau terlihat membiru dari kejauhan
Aku tak suka

Air juga biru
Hujan dan air mata serta lautan
Semua yang sendu berwarna biru
Racunmu pun berwarna biru

Saat kau pergi hatiku membiru
Beku adalah biru
Dingin dan sepi juga biru
Aku semakin benci biru

Langit biru
Burung biru
Mati pun biru

Tangisku biru

Matiku biru

Kamis, 04 Februari 2010

Menunggu

Seribu helai daun kuhitung satu per satu
Genap mengisi penantian tak tentu
Aku diam berhitung dan menunggu

Aku rindu. Entah berapa kali kuucap dalam surat-suratku yang tak kunjung kau balas. Aku rindu ingin bertemu mendengar suara dan degup jantungmu. Aku rindu menerima peluk hangat dan bisikan sayang darimu. Aku rindu.

Bukannya aku tak tahu tentang kesibukanmu, tapi memang aku yang tak tahan sakit rindu. Andai kau tahu berapa lama sudah kuhitung, berapa lama aku menahan pilu. Berharap besok adalah saat dimana kau datang padaku membawa obat rindu. Tapi aku harus menelan pahit itu, kenyataan bahwa kau tak datang pada hari yang kusebut. Kau dimana aku tak tahu. Tapi surat-suratku tak kembali, dan aku tahu mereka tiba di alamatmu. Aku masih terus menunggu walau tak pasti kapan kau balas surat-surat itu.

Langit mulai mendung, udara makin dingin tanpa perduli di bawah sini masih ada aku yang menunggu. Seolah malas melihatku, awan-awan pun menyiramku dengan gerimis. Sebuah paksaan untukku kabur sebelum dihajar oleh hujan deras dan guntur. Lamunanku berlanjut di balik jendela bersama segelas teh seduh. Selimut hangat menemaniku duduk dekat jendela sambil mengintip langit yang seolah mengejekku. Mungkin ia bosan setiap hari melihatku duduk menunggu tanpa kepastian kapan yang ditunggu akan datang. Atau mungkin ia melihatmu di sana tak sedang dalam perjalanan pulang.

Aku bingung harus apa. Menangis pun tak guna. Aku bukan orang yang bisa menangis hanya karena menunggu. Aku orang yang selalu menunggu. Bagaimana aku bisa menangisi sesuatu yang sudah kulakukan seumur hidup. Aku selalu menunggu. Bahkan sebelum lahir pun aku menunggu. Setiap pembukaan yang membawaku lahir ke dunia. Aku menunggu dan menunggu hingga sekarang aku masih menunggu.

Mungkin seharusnya kamu kulupakan saja. Tanpa balasan surat seharusnya kuanggap kau tak lagi perduli aku ada. Andai kau layangkan selembar surat berisi kalimat perpisahan, andai kau maki aku karena terlalu bodoh menunggu tanpa kau minta. Aku berharap sebuah kepastian. Rasa sakit semacam itu tentu lebih baik bila dibanding dengan penantian tanpa rasa ini.

Hujan reda tanpa membawa serta resah yang karib dengan gundah. Seharusnya kutitipkan saja sebelum hujan mereda. Bahkan hujan sempat meledekku dengan pelanginya yang indah.

Kututup tirai jendela seketika. Aku malas melihat indah pelangi di langit senja. Seharusnya senja membawa kerinduanku semakin menggila, bukan berteman warna-warni pelangi. Malas pun menguap entah kemana. Disaat aku butuh rasa malas untuk membawaku ke alam mimpi, ia berkhianat dan kabur tanpa jejak. Terpaksa kunikmati senja ini di depan tv melihat berita tanpa banyak perduli. Hingga kulihat namamu tercantum di layar tv, nama korban yang hanyut bersama pesawat ke laut mati.

Rabu, 03 Februari 2010

Pulang

Pulang, kata yang merangsang rinduku mengerang. Sebuah ilusi nyaman tentang suatu tempat dimana aku merasa nyaman. Tempat jiwaku bersandar ketika rapuh. Saat aku butuh belaian tangan mama, aku hanya perlu meluangkan waktu untuk melakukan perjalanan pulang.

Sekali ini kuputuskan pulang dengan kereta-api. Kendaraan nostalgic seperti dalam mimpi-mimpi. Gerbongnya yang agak karatan tak mengurangi rasa kagumku. Aku lupa kapan pertama kali naik kereta-api, tapi aku ingat rasa setiap rasa gembira yang kukemas dalam kotak-kotak ingatan ketika berada di gerbongnya. Aku pernah naik kereta dalam kota, yang kursinya berada di sisi-sisi dekat jendela, seperti dalam trans-jakarta sekarang ini. Lalu kereta kelas business yang beran
gin-angin anyir, lalu kereta kelas executive yang paling nyaman. Kali ini aku pulang dengan cara paling nyaman. Sengaja kupilih kursi dekat jendela, paling dekat dengan hamparan hijau kegemaranku. Walau paling nyaman disini berarti tak bisa menghirup langsung udara segar menembus jendela. Tapi aku puas, setidaknya aku bisa melihat warna hijau sepanjang perjalanan pulang. Melihat zamrud khatulistiwa.

Sambil asyik mendengar musik, mataku terus mencari penampakan-penampakan apa saja yang nanti bisa kumasukkan dalam buku kumpulan cerita. Tak perlu lama mencari rupanya. Di pematang sawah sudah tersedia cerita jenaka. Tentang Pak tani yang nongkrong di balik semak-semak sedang asyik membuang hajat. Langsung terbayang dalam kepalaku, apa mungkin orang-orang yang mengagumi hijaunya zamrud khatulistiwa ini sadar kalau ternyata zamrud khatuslitwa ini hanyalah jamban para petani yang terlalu sibuk bertani sampai-sampai tak sempat pulang buang hajat. Sekilas aku menahan tawa membayangkannya. Penumpang disebelah pasti menganggap aku gila. Pak tani juga pasti tak mengira ada orang dalam kereta yang melihat aksinya. Nampaknya ia asyik saja bertengger disana. Tak jauh dari Pak tani ada lapangan yang disekat pohon-pohon tinggi. Di sana beberapa bocah kampung aneka umur sedang bermain bola. Terik tak menghanguskan mereka kiranya. Atau mereka sudah terlalu gosong untuk dihanguskan lagi. Yang jelas mereka terlihat senang. Di atas mereka ada awan yang membelah. Kereta-api memang hebat, awan pun terkejar. Jangankan awan, Matahari yang semula di depan kini berada jauh di belakang kami. Dari dalam kereta, awan nampak aslinya. Begitu rapuh, hanya segumpal asap yang dapat kulihat setiap dimensinya. Bagian depannya terlihat begitu kokoh, tapi bagian belakang membaur dan hilang. Alam memang luar biasa indahnya. Aku melihat sepuluh sawah, dan semua seolah berkata merekalah yang terbaik. Dan mereka memang pantas menyandang gelar terbaik.

Sambil mengetik cerita ini, aku teringat semut-semut di bawah mejaku sudah resah menunggu kemana remah roti ini kubuang. Kuserahkan beberapa detik untuk berbagi dengan alam. Setidaknya mereka akan punya cukup makanan untuk bertahan hidup.

Lanjut pada perjalananku adalah sebuah menu. Lapar sekali perutku saat itu, sedangkan makanan dalam kereta tak menggugah selera. Aku memilih tahan lapar sampai di rumah nanti
. Aku tahu mama pasti masak yang enak-enak kesukaan anaknya ini. Mama memang selalu begitu kalau ada diantara kami anak-anaknya yang akan pulang. Kurasa semua mama juga akan begitu. Tapi mama kami luar biasa. Luar biasa hebohnya (hehehe... karena mama memang the best nya bagian heboh-hebohan).

Perjalanan ini tak berasa lelah kalau ditempuh pagi hari. Memandang alam yang membuatku terkagum-kagum menghapuskan rasa lelah itu. Mungkin bagi penumpang lain, tak ada yang lebih menyenangkan selain moment ketika tubuh mereka tiba di tujuan. Tapi bagiku, setiap perjalanan menyimpan cerita tersendiri. Walau berapa kali pun kami melewati tempat yang sama, berapa kali pun kereta yang sama kunaiki, tetap ceritanya tak akan pernah sama.

Makin dekat dengan rumah, rasanya makin berdegup kencang. Seakan jantungku tahu rumahnya sudah dekat. Mungkin otakku yang terlalu ember, membocorkan berita kemana-mana. Salah mataku juga yang tak mampu menahan berita sampai ke otak. Tapi aku senang, setidaknya mereka sehat dan saling berbagi. Seperti mereka yang berbahagia di bawah sana. Walau agak lusuh, tapi aku melihat kegembiraan di wajah mereka. Mungkin m
ereka terlalu kecil, terlalu suci. Mereka tak merasa miskin. Memang mereka tak miskin kebahagiaan. Walau sandang dan pangan pas-pasan tapi kebahagiaan mereka melimpah ruah. Mengingatkanku pada kebahagiaan masa kecilku. Saat masih tinggal di rumah kecil di kota Bagan. Tempat sebagian hidupku menuliskan kisahnya. Rumah yang masih teringat jelas setiap ruangnya dalam benakku. Aku ingat jembatan kayu tempatku bermain, tiang kayu di teras tempatku berpegangan sambil melihat rintik hujan di pekarangan kulit kerang putih, Masuk dari pintu depan ada ruang tamu yang tak seberapa luas, ada meja altar. Sebelah kanan meja altar adalah lorong yang tembus ke ruang keluarga, dapur, dan lebih ke belakang adalah teras belakang, dekat dengan dapur dan kamar mandi. Kamar mandi ada di sebelah kiri, berupa sumur yang cukup dalam dan disamping sumur adalah bak air yang hanya berupa bak semen, tanpa ada keramik. Lalu toilet berada di seberang kamar mandi, berupa satu ruang kecil, terdiri dari jamban jongkok dan lagi-lagi bak kecil dari semen untuk menampung air. Gayung plastik menjadi alat satu-satunya di toilet. Kamar mandi kami bersih, mama rajin membersihkannya. Mama sangat perhatian pada anak-anaknya, terutama aku yang masih kecil. Mama selalu mengambilkan air dari sumur, takut kami terjatuh. Mama memang wanita super. Semua pekerjaan rumah diselesaikannya. Kenakalanku tak menjadi alasan untuk mengabaikan pekerjaan rumah. Di belakang teras belakang ada satu lahan kosong tempat mama memelihara ayam dan itik. Lalu ada pohon jambu biji yang buahnya sangat manis. Kebahagiaan masa kecilku yang tak bisa digantikan dengan mainan mewah macam apa-pun. Sebuah kenangan yang membuatku merasa bahwa saat ini aku perlu menghindar dari keseharianku sejenak. Melakukan sebuah perjalanan spiritual. Mengenal kembali kebahagiaan terbesar yang terlupakan olehku. Sebuah kenyataan hidup, bahwa aku bukanlah mereka yang selama ini ada di hadapanku. Aku adalah aku, dengan segala apa yang ada padaku, semua yang menjadi milikku dan semua yang tak ada padaku. Aku mencari kebahagiaan itu dalam perjalananku. Sebuah bentuk kesadaran bahwa hidupku akan jauh lebih bermakna ketika aku membuka diri untuk menerima kenyataan bahwa inilah sejatinya aku. Sudah sepantasnya kita bahagia menjadi diri kita apa adanya.

Tak berasa, aku pun tiba. Stasiun yang kini terlihat berbeda. Begitu bersih dan nyaman. Jauh berbeda dengan stasiun kereta zaman dahulu kala. Kota ini sudah banyak berubah. Tapi satu yang tak pernah beda adalah rumah. Tempat dimana Kehangatan selalu ada kapanpun aku tiba. Aku sudah pulang sekiranya.