Sabtu, 27 Maret 2010

Orbit

Asik memperhatikan bintang, tiba-tiba aku terhisap ke dalam imajinasi tak ku kenal. Aku adalah pecahan bintang yang tengah beredar. Mencari lintasan yang tepat untukku bersandar. Dalam perjalanan aku bertemu benda langit lainnya. Aku bertemu pesawat ruang angkasa dan teman-teman alien aneka rupa. Sempat juga aku bicara dengan mereka. Ternyata ruang hampa ini begitu sarat benda-benda tak punya nyawa tapi ingin bicara. Buktinya aku lama bicara dengan mereka satu per satu. Ada pecahan bintang lainnya yang bercerita bagaimana ia tercecer dari supernova, induk yang melahirkannya ke dunia. Kasihan temanku ini, yang begitu kesepian hingga lupa berapa lama ia bertualang di angkasa sendirian. Tapi pelan-pelan ia mulai terbiasa. Aku berharap tak akan melayang terlalu lama sampai aku menemukan lintasanku. Lalu ada mayat astronot yang terlempar dari kapalnya. Cuma berbentuk tengkorak kering dalam baju tugasnya. Ceritanya menyedihkan sekali, dia adalah pilot dari Amerika. Setiap saat ia merindukan kekasihnya di bumi, tempat tinggalnya yang sekarang seperti surga. Jauh dari jangkauannya. Pasti sedih sekali sendirian di ruang angkasa. Bahkan jiwanya pun meninggalkannya di sini. Aku masih bersyukur jasadku tertinggal di bumi, bisa kupakai kembali setelah petualangan ini selesai. Setelah mayat astronot itu, aku bertemu alien dari planet antahberantah. Temanku si alien ini sedang mencari hunian baru. Planetnya sekarang dan hampir menjadi supernova. Tak mungkin lagi ditinggali dengan alasan apapun. Jadi ingat zaman penjajahan dulu, saat manusia saling berebut tempat tinggal dengan kekerasan. Bedanya, Alien ini diusir oleh planetnya sendiri. Aku melihat ada istri dan anak-anaknya di dalam kapal. Ternyata alien lebih bersahabat dari yang kita kira selama ini. Sayangnya aku lupa memberitahunya bahwa masih ada planet bernama bumi yang mau menerima makhluk sebaik mereka. Tak tahu juga, jangan-jangan mereka malah celaka dijahili manusia. Lebih baik mereka pergi kemana nasib membawanya. Dan aku masih terus melesat tak jelas arahnya. Di sini semua serba gelap dengan bintik-bintik terang yang kita sebut bintang. Tak ada sumber cahaya apapun selain itu di sekitarku. Seluruh sudut terlihat seperti langit malam, dan aku melayang tepat di tengah-tengahnya, terus melesat kedepan. Aku jadi memikirkan kecoak-kecoak di kamarku. Kawanan yang lama menjadi temanku bermain. Saat mereka muncul aku akan berusaha menangkap lalu melempar mereka keluar. Kejam memang, tapi aku tahu mereka menikmatinya. Buktinya, mereka tak pernah berhenti bermain denganku.

Di depan sana ada bongkahan bulat yang semakin mendekat. Lebih tepatnya akulah yang mendekat. Kukira planet ini adalah lintasan tempatku beredar. Ternyata bukan. Aku hanya diijinkan lewat menyapa makhluk-makhluk di dalamnya. Aku melihat ada laut indah seperti di bumi, lengkap dengan makhluk seperti ikan di planet kita. Warnanya lebih cerah, tapi bentuknya kurang indah. Mungkin mataku saja yang terbiasa dengan makhluk di sekitar kita. Bisa jadi makhluk-makhluk di planet itu ngeri saat berkunjung ke bumi. Kita lah yang dianggap aneh oleh mereka. Saat kita mempelajari lebih dekat, baru kita sadar bahwa ada cara berpikir lain diluar kebiasaan kita. Apa yang kita anggap aneh mungkin saja berpikiran sama dengan kita. Dengan keadaanku sekarang aku bahkan bisa mendengar kicauan makhluk cantik di dalam hutan planet itu. Alangkah indahnya. Aku suka berada dalam imajinasi ini. Aku merasa dekat sekali dengan alam. Sesuatu yang tak mungkin kudapat dari jasad manusiaku.

Sedih juga saat aku melesat semakin jauh dari planet itu. Planet bisu yang enggan bicara denganku. Setelah planet itu tak nampak lagi, aku mulai mendengar gemerincing indah dari kejauhan. Suara kerlap bintang yang dari tadi tak kudengar jelas. Mirip dengan bunyi giring-giring yang kugantung bersama kunci kamar. Tapi suara bintang jauh lebih indah. Seperti dentingan kaca. Aku hampir terlelap dibuatnya. Tiba-tiba ada sebutir kerikil entah dari mana menabrak dan mengubah arahku. Kerikil sialan, tapi aku tak bisa marah, kerikil itu tak punya mata. Atau mungkin dia sama denganku yang sedang menumpang imajinasi seseorang tanpa diundang. Entah, Alam punya terlalu banyak rahasia untuk dipelajari semua. Atau mungkin sebagian lebih baik dibiarkan tetap rahasia.

Semakin jauh aku melesat dan aku semakin dekat dengan planet yang kukenal. Aku segera pulang, pikirku. Awalnya aku senang, tapi perlahan ketakutan. Aku memasuki tubuh bumi dan aku sendiri menyala dalam api. Sakit sekali rasanya sampai aku menjerit. Seperti waktu aku kecil, jatuh di jalanan beraspal dan kulitku sobek terkelupas. Tapi bedanya, rasa sakitku sekarang bagai terseret terus-terusan di atas jalanan aspal itu, tanpa henti. Perih tapi tak bisa kuhentikan. Mataku hampir terpejam dibuatnya, lalu aku semakin dekat ke daratan. Ya Tuhan, aku akan menabrak jasadku yang sedang duduk termenung di depan meja dekat jendela. Aku berteriak menyadarkan jasadku tapi tak didengar, sampai akhirnya semua terlambat. Jasadku melihat padaku dengan dengan mata sembab seperti habis menangis. Lalu aku terbangun dari imajinasi ini dengan air mata menetes bercampur keringat. Sadar dari imajinasiku, aku segera melihat keluar jendela. Ternyata tak ada pecahan bintang yang akan menabrakku. Aku segera masuk ke dalam kamar dan meringkuk ketakutan, hingga akhirnya aku tak sadar dalam lelap.

Belum lama rasanya aku tidur dengan tenang, seluruh penghuni rumah terbangun dan berisik teriak histeris. Aku pun terpaksa bangun melihat keluar. Baru beberapa langkah dari pintu kamar sudah tercium bau hangus. Kukira kebakaran. ternyata tidak. Ada asteroid jatuh menembus jendela dan menembus meja tempatku tadi duduk, tembus sampai ke lantai bawah. Alih-alih takut aku justru mengintip ke bawah. Asteroid itu masih berbentuk. Mirip dengan asteroid dalam imajinasiku. Tapi badannya sudah tinggal setengah besarnya semula. Pasti ia sangat menderita oleh gesekan atmosfir bumi. Kasihan sekali dia harus merasakannya. Aku tadi menjadi dia, dan sekarang aku tahu apa yang dirasakannya. Saat semua orang sibuk telepon sana-sini, aku bergegas turun dan menyelamatkan pecahan asteroid yang malang itu. Dengan selimut yang kuambil dari kamar, kubalut batu angkasa itu dan membawanya kabur dengan sepeda motorku. Semakin jauh dari orang rumah yang pastinya mengira aku gila. Tapi aku terus melaju cepat membawa kawanku ini. Sampai akhirnya aku tiba di dekat pantai. Batu itu kuletakkan dekat tempatku bersandar duduk. Aku bicara padanya, menjelaskan imajinasiku tadi sebelum kedatangannya. Aku tahu ia mendengar. Setelah selesai bercerita, aku membawanya berjalan di jembatan yang ujungnya berada agak jauh ke tengah laut. Aku mengucapkan selamat tinggal dan melemparnya ke dalam laut. Kawanku akan lebih aman di sana, daripada menjadi korban kebiadaban manusia yang ingin tahu segalanya.

Pulang dari pantai, orang rumah terus bertanya kemana asteroid itu kubawa. Kujual, kataku berbohong. Mereka pun protes minta bagi jatah. Begitulah manusia, tak ada yang mau mengerti perasaan sekitarnya. Kalau saja mereka tahu bahwa benda mati pun ingin dimengerti. Kalau saja manusia lebih perhatian pada sekelilingnya. Asteroid yang kesepian itu, semoga saja bisa berkawan dengan alam barunya.

Melanjutkan tidur dan aku bertemu kawanku di dasar laut. Ia tak lagi kesepian. Sekarang ia berkawan dengan batu karang dan ikan-ikan. Aku ikut senang untuknya. Kami bercerita cukup lama sebelum akhirnya berpisah. Mungkin kami tak akan bertemu lagi, tapi aku memberi alamat mimpiku untuknya berkunjung kapanpun ia mau. Asteroid itu tak berhasil menemukan lintasan barunya, tapi ia berhasil lepas dari kesepian. Setidaknya ia tak harus sendirian seperti di angkasa luar.

Kamis, 25 Maret 2010

Terang yang Kupegang

Mia adalah gadis cantik terpelajar
Anak keluarga kaya dan terhormat
Mia cantik seperti malaikat
Berkilau tanpa cacat
Bintang fajar yang menjelma
Turun ke dunia
Mia temanku
Terang untukku

Terlalu banyak cerita menyedihkan yang muncul dari ketikan tanganku. Tak jarang pembaca protes minta ganti cerita. Tapi maaf saja, aku tak pandai menulis tentang bahagia. Mungkin cerita ini boleh beda. Tapi aku tak berani yakin juga.

Mia adalah gadis cantik anak pedagang kaya di kotaku. Anaknya sopan dan terpelajar. Kata-katanya santun bersahaja. Orang tua mana juga mendambakan mantu seperti dia. Mia memang gadis sempurna. Ayah Ibunya pasti bangga. Anaknya tak pernah membantah atau memerintah. Semua tugas dilakoninya. Guru-guru juga sayang padanya. Sudah SMA tapi tak bertingkah. Senior wanita hanya bisa menggunjing tanpa berani menyentuhnya. Tentu saja, mana ada yang berani melukai anak kesayangan guru. Bukan berarti Mia menjadi-jadi. Buktinya dia mau berkawan denganku. Anak sekelas yang selalu diam menyendiri. Tapi mia sangat baik. Memuji setiap karyaku. Aku suka sekali menggambar. Dan Mia terus menyalakan semangatku. Tapi aku cukup tahu diri bahwa itu bukan perhatian seorang kekasih. Aku menganggapnya kakak karena Mia jauh lebih dewasa. Bukan usia tapi sikapnya.

Di kelas kami duduk berdua. Tak jarang orang mengira kami pasangan. Tapi orang yang kenal pasti tahu tak mungkin demikian. Mia sebagai anak orang kaya sudah punya pasangan. Aku pernah bertemu pasangannya. Mia beruntung dijodohkan dengan anak laki-laki tampan dari keluarga kaya. Mereka serasi sekali berdua. Aku tak iri padanya, juga pasangannya. Seperti kubilang, aku cukup sadar diri. Dan aku bukan manusia yang suka melihat materi. Mia selalu bersinar untukku, dan itu sudah lebih dari cukup bagiku. Aku anak seorang buruh. Ayahku galak dan suka mabuk. Ibuku penjudi handal di kampung. Lebih gawat lagi, aku anak satu-satunya. Mungkin saja yang diwariskan padaku nanti hanya surat hutang. Ibuku pernah didatangi tukang tagih. Tanpa beban aku pun dijadikan jaminan. Untungnya aku bukan manusia yang tampan. Di jual pun tak laku di pasaran. Akhirnya rumah yang dijadikan jaminan. Aku cukup beruntung masi bisa sekolah berkat uang bulanan dari Paman. Itu pun uangnya langsung dibayar ke sekolah. Paman tahu, uang itu tak akan selamat begitu sampai ke tangan Ibu. Apalagi kalau ada Ayah yang lagi mabuk. Bisa-bisa mereka saling membunuh demi uang tak banyak. Ibuku hebat bisa menyaingi keganasan Ayah. Tak sia-sia dia disebut wanita super. Ibu sangat mengerikan kalau marah. Ditambah bekas luka di pipi bekas kena parang Ayah. Walau jarang tapi kadang mereka mesra. Saat Ibu menang judi dan Ayah tak sedang kumat, mereka duduk di teras makan gorengan dan teh hangat. Kalau beruntung, Ibu akan memijatkan pundak Ayah. Tapi itu sangat jarang.

Hidupku yang kelam membuatku diam di sekolah. Aku tak berani melihat mereka yang hidupnya serba mewah. Kadang aku membayangkan mereka seperti boneka keramik yang akan pecah bila kusentuh, dan aku tak punya uang untuk menggantinya. Lebih baik aku menjauh dari mereka. Tapi Mia beda. Mia bercahaya dan tak seperti mereka. Mia bukan boneka keramik yang mudah pecah. Aku nyaman berada di dekatnya. Mia memang kakak yang kuidamkan selama ini. Untungnya Mia mau menerimaku menjadi adiknya di sekolah.

Pulang sekolah biasanya aku tak langsung ke rumah. Paman meminta Bibi siapkan makan siang untukku. Paman sangat baik padaku. Entah kenapa Ibu tak memiliki sedikitpun sifatnya. Andai paman mau membiarkanku tinggal bersamanya walau aku harus kerja di sana, lebih baik daripada menikmati pukulan Ayah dan makian Ibu. Tapi Paman juga tak berdaya. Ibu tak pernah merelakanku. Mungkin Ibu berpikir suatu hari nanti bila terpaksa, aku bisa dijual ke rumah jagal setelah gagal menjadikanku jaminan. Tak ada yang tahu isi pikiran penjudi yang butuh uang. Aku sebagai anak juga tak pernah tahu. Paman sebagai adik Ibu pun tak pernah tahu jalan pikiran Ibu.

Mia hari ini membawakanku bekal, berarti siang ini aku tak ke rumah Bibi. Atau mungkin aku akan mampir ke sana sekedar menghabiskan waktu daripada di rumah. Mia bercerita, tahun depan dia dan keluarganya akan pindah. Aku agak sedih mendengarnya, tapi nafsu makanku tak kemana-mana. Jarang aku bisa makan makanan mewah milik orang kaya. Pulangnya, aku menangis sejadi-jadinya dalam kamar sampai Ibu menyiramku dengan air comberan. Ibu kira aku kerasukan, berani-beraninya gaduh saat komplotan Ibu asik menghamburkan uang.

Enam tahun kemudian aku sudah dewasa. Sudah lulus kuliah dan kini bekerja. Pamanku memang luar biasa. Biaya kuliah semua ditanggungnya. Sekarang aku bisa jauh dari rumah. Kalau aku pulang kampung, selalu hinggap di rumah Paman. Sejak kuliah aku putus hubungan dengan orang rumah. Alasannya sibuk kuliah, tapi sebenarnya aku senang lepas dari mereka. Sedangkan Mia kini mengandung anak kedua. Aku pernah bertemu keluarganya saat di Jakarta. Mia si bintang senja, sampai sekarang tetap bercahaya. Terang yang pernah kupegang tanpa membakar. Teman sekaligus kakak yang akan kukenang.

Lucu juga mengenang masa kecil yang kelam. Kalau mau bilang kelam, sebenarnya ada bagian senang. Mungkin hidup memang demikian. Ada saatnya malam digantikan terang. Kalau aku masih berpikir dengan caraku sewaktu dulu, tentu aku tak akan sampai di titik sekarang. Hidup ini terus berjalan seperti bintang senja yang kadang temaram. Tapi bintang senja tetap di sana sampai terang meremang. Pada saatnya, cahaya itu akan kembali bersinar di antara malam yang kelam.

Tarik Nafas yang Dalam

"Menunduk diam bukan berarti mati. Selama masih terdengar nafasmu berdesis, kau bisa dibedakan dari zombie. Aku suka berdiri tengah malam menatap langit sambil mengisi rongga dadaku dengan oksigen segar. Tak ada yang lebih hebat selain alam. Oksigen tersedia bebas untuk semua makhluk di dunia. Aku pernah membaca bahwa oksigen di dunia sebenarnya tak kemana-mana. Hanya masuk ke rongga hidung satu makhluk, mengalir bersama darah dan keluar sebagai karbon dioksida. Selanjutnya dihisap pepohonan untuk diolah kembali menjadi oksigen. Jadi, dengan kata lain. Bisa saja oksigen dalam tubuh kita sekarang adalah oksigen yang dulu berada di dalam tubuh dinosaurus. Aku suka dengan kemungkinan itu. Mungkin oksigen adalah satu-satunya cara bagi kita untuk berbagi dengan makhluk hidup di seluruh dunia tanpa perlu bersusah payah. Bisa saja oksigen dalam tubuhku sekarang akan berada di Eropa beberapa bulan ke depan. Mungkin dalam oksigen yang kuhisap sekarang ada bagian dari oksigen yang dulu mengisi rongga dadamu. Dan aku berharap bagian itu sedikit tersisa di dalamku. Aku ingin kamu ada bersamaku."

Pagi bukan saat yang menyenangkan. Aku tak pernah bisa tenang. Ada saja suara datang membuat tidurku buyar. Andai malam bertahan lebih panjang. Saat hampir semua makhluk terlelap, aku bisa duduk tenang di teras bersama pengerat di jalanan. Udara malam memang dingin, tapi ketenangan suasana menjelang fajar adalah saat paling menyenangkan. Untungnya aku bukan orang dengan indera tajam yang bisa melihat hal-hal seram. Bukan berarti aku takut bila harus bertemu makhluk gaib. Suasana tenang seperti malam jauh lebih berharga sampai aku rela menjerit dikagetkan kuntilanak, kabarnya hantu wanita itu beredar dekat taman seberang rumah. Seumur-umur aku belum pernah didatanginya. Semoga saja aku bukan mangsa yang diminati makhluk halus. Pagi kembali harus datang walau terus kutolak. Memang dasar tak punya malu. Mungkin aku yang terlalu bodoh. Mana mungkin manusia sekecil aku bisa mengendalikan alam. Presiden saja tak akan bisa. Yang mungkin kulakukan hanyalah mengubah jam tidurku saja. Saat pagi tiba, kukencangkan musik di kamar untuk menghalau suara berisik kamar sebelah. Pagi dan malam memang bertolak belakang, begitu juga penghuninya. Saat pagi tiba, kami makhluk-makhluk malam harus tahu diri dan menghindar. Saatnya berganti peran. Biarkan mereka manusia-manusia pagi yang mengisi hari.

Kadang aku lupa waktu juga. Saat terbangun ternyata masih tengah hari. Atau terbangun saat malam sudah hampir tergusur. Untungnya pekerjaanku tak menuntut tubuhku harus berada dimana. Yang penting tulisanku terus mengalir ke meja redaksi, uang pun masuk dalam rekening. Pekerjaan yang tak mudah, tapi aku suka. Setidaknya dengan pekerjaan seperti ini aku bisa bangun tiap malam dengan tenang saat manusia-manusia pagi bersiap untuk lelap. Walau artinya aku harus menyiapkan makan sendiri tanpa bisa mencicipi masakan di kantin, kecuali beberapa makanan siap saji yang bisa kupesan lewat panggilan telepon genggam. Masakanku tetap lebih enak dari pastinya. Dan aku boleh berbangga karena ini resep Mama.

Masalah terbesar adalah saat aku harus "lembur" untuk bertemu muka dengan mereka yang menjadi fans setia. Andai mereka juga makhluk malam sepertiku, tentu semua akan jauh lebih muda. Pakaian serba hitam dan kaca mata hitam serta topi hitam. Kostum wajib saat aku harus lembur untuk jumpa fans. Sampai-sampai mereka mengira aku adalah penggila warna hitam dan menghadiahiku boneka setan. Fans memang begitu. Padahal di kamarku banyak warna selain hitam. Aku bahkan punya boneka berwarna merah muda. Tentu saja tak ada yang tahu selain aku. Merah muda bukan warna yang pantas berada di sini. Aku bahkan malu saat menyadari warna bonekaku. Tak apa, ini bukan masalah. Yang penting aku punya kenangan istimewa bersama boneka merah muda. Tak perlu aku cerita lah, ini bukan sesuatu untuk konsumsi massa.

Pernah aku keceplosan menyebutkan si merah muda pada fans-ku saat chatting berdua. Langsung saja ditanya-tanya cerita apa yang tersimpan di dalamnya. Capai juga kalau harus menjawab pertanyaan fans gila yang tak mau selesai bicara. Segera saja kumatikan chatting dengannya. Entah apa nasib fans-ku itu, mungkin langsung marah dan merobek foto-fotoku. Mungkin juga mengutukku dengan boneka voodoo, aku ingat tak lama setelah itu langsung demam satu minggu. Dokter bilang demam biasa jadi aku tak curiga.

Malam ini juga sama dengan kebiasaanku yang sudah terlalu biasa. Keluar kamar, melayang (berjalan dengan ringan seperti terbang) ke dekat jendela teras lantai dua lalu menghisap oksigen dengan rakusnya. Satu tarikan dalam lalu lepas pelan-pelan. Lalu tarikan-tarikan lainnya. Untungnya malam tak menyisakan manusia-manusia bejat yang doyan buang angin sembarangan. Tak ada aroma kentut jadinya. Benar-benar oksigen segar. Kalau oksigen ini kasat mata, pasti seperti air sungai yang sebening kaca. Asal bukan kaca jendela di rumah ini saja.

Puas dengan oksigen, aku menyiapkan makanan dan segera melahapnya selagi hangat. Kadang kesepian juga, makan tanpa ada yang melihat. Sia-sia masakanku enak, tak ada orang untukku pamer. Kalau sedang baik biasanya aku cuci piring kotor dan peralatan masak. Kalau sedang sibuk atau keluar bejat, kubiarkan saja semua berantakan. Kadang sengaja menyisakan sedikit makanan untuk kutebar di meja makan. Sekedar kepuasan dari balas dendam pada manusia pagi yang doyan bikin onar. Dulu kamar tidurku sering diketuk siang-siang. Dikiranya aku mati di dalam karena tak pernah keluar makan. Tapi lama-lama mereka jadi tenang setelah tahu kebiasaanku bangun malam. Dasar manusia pagi, tikus saja tak seberisik dan sesibuk mereka mengurusi orang lain.

Malam ini sepi. Seperti malam kemarin dan kemarinnya lagi. Tapi malam ini sepi. Aku terus mengulang-ulang kata sepi dalam ketikanku. Ya, aku merasa sepi. Kalau saja kau ada di sini. Tapi kau sudah pergi. Gara-gara kamu juga aku menjalani hidup sebagai manusia malam. Aku terlalu marah karena kepergianmu. Kau hidup di pagi hari, jadi aku akan hidup di malam hari. Aku tak mau hidup di waktu yang sama denganmu. Tapi aku sangat-sangat merindukanmu. Andai hatimu tak berubah. Mungkin aku masih tetap manusia pagi yang dulu riang gembira.

"Mungkin mereka benar mengataiku gila. Tapi mereka tak tahu ceritanya. Tak ada yang bertanya kenapa. Jadi aku pun tak perlu memberitahukannya."

Suara hatiku selalu berkata begitu, padahal aku yang bersembunyi dari dunia. Aku yang ingin hidup di dunia malam. Bukankah kamu juga sudah tak di kota yang sama. Kenapa aku harus sembunyi dari hidupku yang lama. Mungkin saja kau juga sudah berubah menjadi manusia malam tanpa pernah aku tahu. Atau mungkin kau tak lagi berada di dunia. Persetan denganmu. Aku tak ingin lagi memikirkanmu. Saat aku berkata begitu, air mataku menitik tak kusuruh. Aku tak bisa. Tak bisa melupakanmu.

Aku yang salah. Aku yang salah. Kalau saja dulu aku lebih dewasa. Cara berpikir kita terlalu beda. Aku yang salah.

Oksigen kini membuatku jengah. Aku merasa kau masih ada. Saat kulepas semua oksigen di dada, berharap kau ikut terlepas bersamanya. Tapi kau masih tetap ada. Dan aku menangis senangis-nangisnya. Aku menangis sampai nafasku tersengal. Aku menangis dan asmaku kambuh. Aku menangis sampai asma membunuhku. Air mata dan asma membunuh manusia yang tak bisa melupakan masa lalu.

Rabu, 24 Maret 2010

Pelangi

Mejikuhibiniu.

Merah, Jingga, Kuning, Hijau, Biru, Nila, Ungu.

Merah, Jingga dan Kuning ada dalam satu regu, Merah memberi sebagian dirinya dalam Jingga, dan Jingga memudar menjadi Kuning. Mereka bertiga adalah karakter seorang wanita feminim. Merah lebih kuat. Jingga cukup tegar. Kuning selalu riang. Kuning berusaha menerangi dunia dengan warnanya yang cerah. Tapi Kuning tak selalu bahagia. Jingga berusaha menyerupai Merah tapi tak pernah bisa. Ia sadar dirinya hanya turunan dari Merah. Sekuat apapun ia mencoba, ia selalu berada di urutan kedua. Merah adalah gembala. Saat Merah tiada, semua kehilangan arah.

Biru, Nila, dan Ungu. Warna-warna kelam yang sendu. Ketiganya kesepian dan kehilangan. Biru sosok pria yang dewasa. Pelindung dari orang yang dikasihinya. Sedangkan Nila adalah wanita yang berubah menjadi perkasa karena kehilangan pelindungnya. Naluri alami bagi setiap makhluk untuk melindungi diri dan orang-orang yang dikasihi. Nila menjadi kuat bukan karena suka. Ungu adalah penopang semua warna. Sekali ia lemah, semua akan jatuh ke tanah.

Hijau ada diantara kedua kelompok warna. Ia menjadi pemilah yang bingung harus kemana. Hijau tumbuh menjadi makhluk yang tak jelas kemauannya. Kadang ia hangat seperti Kuning yang kadang lemah. Kadang ia dingin seperti Biru yang kelam. Hijau ada dalam dunianya sendiri. Memilih jauh dari kedua sisi. Ia berada tepat di tengah-tengah untuk menilai. Hijau ada di sana bukan atas kemauannya. Ia lebih memilih lepas dari susunan warna.

Kalau pelangi tak punya warna, mungkin kita tak akan suka. Kalau pelangi tak lengkap warna, mungkin tak seimbang kelihatannya. Merah dan Ungu melahirkan warna-warna dalam keluarganya. Tapi tak tahu untuk apa. Saat Merah menghilang dari barisan warna, Ungu pun melemah. Sisa warna menjadi korban penciptaan tanpa makna. Keluarga warna mulai terpecah belah. Mencari kebahagiaan yang tak tahu letaknya dimana. Semua warna berusaha kembali menjadi barisan indah, tapi tak mungkin bila tak lengkap warnanya. Semua hilang keyakinan bahwa di ujung pelangi ada kebahagiaan. Mereka pun berhenti mencari. Menyerah pada nasib. Tak mau mencoba mencari pengganti. Perlahan warna-warna itu mati.

Pelangi tak pernah berujung ke bumi. Sejauh apapun kita berlari, kita hanya mengejar ilusi. Kotak kebahagiaan di ujung pelangi sesungguhnya hanya kiasan. Bahwa sesungguhnya kebahagiaan itu begitu dekat dengan kita sekarang. Mungkin dengan melihat lebih dekat, kita bisa menemukan. Andai Jingga tahu ia memiliki Merah dalam dirinya, dan Kuning sadar ia sewarna dengan matahari yang pasti kembali setelah gelapnya malam terlewat. Hijau pun bebas memilih kemana ia suka. Tak ada siapapun memaksanya harus ikut kemana. Biru tak selalu kokoh. Seperti langit yang kadang mendung. Air laut pun bisa surut. Nila yang dijauhi dunia karena sifatnya, andai Nila tahu bahwa dirinya indah dan pantas bahagia. Ungu tak sendirian. Ia tak pernah sendirian kalau saja ia punya rasa memiliki warna-warna yang diberikan Merah padanya.

Pelangi Tuhan memang indah
Siapa pun pasti terpana
Tapi hati yang sedang menatap warnanya
Belum tentu bahagia

Ungu

Ungu warna banci
Tapi banci yang elegan
Ungu berarti penantian
Jasad yang menunggu pasangan
Ungu selalu kesepian

Tempat hiburan malam untuk kaum homoseksual. Aku menghisap milyaran asap rokok dan kelamin di tempat maksiat. Tapi hatiku tenang tanpa beban. Aku adalah Violet yang digandrungi begitu banyak teman. Lahir sebagai pecinta sesama jenis tak membuatku malu. Kedua orang tuaku bahkan tak pernah tahu. Mereka terlalu sibuk mencari uang. Bahkan demi uang mereka rela berpisah. Ibuku minta cerai sewaktu aku masih duduk di bangku SMP. Ayahku tak bersedih sedetikpun atas perpisahan itu. Bahkan aku dipaksa diam setiap menanyakan kemana perginya Ibu. Sementara Ibu asik bercumbu dengan suami baru, Ayah masih menikmati malam dengan pelacur yang berbeda setiap minggunya. Uang Ayah cukup untuk menyewa pelacur itu seumur hidup. Tapi nampaknya hati Ayah sudah hilang sejak lama. Aku bahkan tak merasa dianggap anak selain bocah yang setiap bulan menghabiskan uangnya. Tapi tak jadi masalah buat Ayah. Toh Ibu juga memasukkan uang dalam rekeningku. Setiap bulan ada jatah dari mereka berdua. Dan aku hidup dari uang itu. Aku tumbuh bukan dengan kasih sayang. Aku tumbuh disirami uang.

Violet nama samaran. Aslinya Johan. Perawakanku tampan menawan. Juga tidak memiliki sifat bawaan perempuan. Hanya nama panggilanku saja yang terdengar seperti banci jahanam. Aku benci pria yang bertingkah seperti wanita. Tapi aku sangat menghormati wanita. Walau aku membenci ibu, tapi bagiku wanita adalah makhluk lemah yang patut dijaga. Setelah aku mulai bekerja, aku pindah dari rumah Ayah, ke satu rumah jauh dari rumah lama. Hingga sekarang Ayah dan Ibu masih memasukkan uang ke dalam rekeningku setiap bulannya. Mungkin mereka lupa bahwa anaknya sudah bekerja. Bahkan umurku berapa pun mereka pasti tak ingat. Uang dari mereka tak banyak kupakai selain untuk mabuk dan bersenang-senang di tempat hiburan. Juga untuk membayar tagihan telepon untuk menghubungi gigolo, ditambah sedikit hadiah uang jajan setelah gigolo-gigolo itu menyelesaikan tugasnya. Aku adalah arsitek yang punya nama. Bisikan rekan kerja yang mengetahui seksualitasku sama sekali tak menjadi masalah. Mau melapor ke mana juga percuma. Kedua orang tuaku saja tak perduli, lalu untuk apa aku cemas. Beberapa kali aku pindah tempat kerja karena atasan yang tak guna. Zaman sekarang masih saja mementingkan seksualitas daripada kualitas kerja. kasihan sekali orang macam itu. Tapi itu hak mereka sebagai atasan di tempat kerja. Toh masih ada juga perusahaan seperti tempatku bekerja sekarang yang memberi kebebasan pada karyawannya dengan tidak mencampuri kehidupan pribadi mereka.

Karibku Delima, gadis cantik dengan nasib yang bertolak belakang. Beruntung sekali dia punya dewi penolong seperti Santy, pelacur ternama yang sering dipakai Ayah. Dari Santy juga aku mengenal Delima. Kami bertiga adalah penguasa dance floor setiap datang ke tempat hiburan. Tarian erotis dan menggoda tak jarang kami hadiahkan di sana. Di tempat semacam inilah kami merasa bebas. Merasa senang karena menjadi pusat perhatian. Sayangnya Santy bernasib kurang terang. Kanker rahim berhasil merenggutnya dari kami. Sejak itu juga aku dan Delima menjadi dekat. Kami sepakat menikah sekedar untuk menghapus sekat yang menghalangi pria dan wanita tinggal bersama tanpa status nikah. Tapi aku tak pernah menyentuhnya. Kehidupan kami sama sekali tak berubah. Delima masih mendapat kepuasan dari wanita yang dipilih untuk menjamahnya. Dan aku pun sama. Tiga tahun kami menikah hingga ia punya rencana gila. Ia ingin anak dari sperma pasangan hidupnya. Bayi tabung menjadi media yang kami pilih bersama. Delima ingin tujuh orang anak. Delima kadang seperti anak kecil yang matanya berkaca-kaca saat melihat pelangi. Baginya tak ada yang lebih indah dari warna-warna pelangi. Sayangnya di kota jarang terlihat mahakarya Tuhan itu. Untuk itulah Delima ingin ada tujuh warna pelangi dalam keluarga kami. Sayang, belum genap seluruh warna, Delima telah meninggal dunia. Aku merasa benar-benar kehilangan. Aku takut sendirian. Bahkan anak-anak malang yang ditinggal bersamaku terpaksa merasakan dingin yang mencuat keluar dariku. Aku menjadi jasad yang beku tanpa kehangatan senyum seorang Delima.

Sejak menikahi Delima, aku pindah rumah. Aku selalu mengaku pegawai negeri pada siapa saja. Setidaknya mereka tak perlu mengumbar keramahan palsu hanya karena status pekerjaanku yang dibayar mahal. Status palsu sebagai pegawai negeri membuat mereka malas dekat-dekat denganku. Mungkin orang miskin tak pantas mendapat keramahan tetangga. Anak-anakku juga tak tahu pekerjaan asli Ayahnya. Yang penting ada uang untuk mereka setiap bulannya. Hingga suatu hari aku sadar, aku telah melakukan kesalahan yang sama. Aku menumbuhkan anak-anakku dengan uang. Betapa tololnya diriku. Dan saat aku mulai berubah, anak sulungku diambil dariku. Sungguh sakit sekali. Entah bagaimana Ibu bisa meninggalkanku untuk kebahagiaannya sendiri. Mungkin Ibu bukan manusia.

Setiap sabtu aku membawa anak-anakku mengunjungi Delima. Wanita cantik yang telah melahirkan mereka ke dunia. Hanya Delima yang mengerti arti cinta sesungguhnya. Tak ada wanita lain yang pantas menggantikan dia. Aku ingat saat merawat anak pertama. Matanya bengkak karena kurang tidur, tapi tetap tersenyum setiap saat. Kasih sayang seorang Ibu yang tak pernah kudapat. Tapi aku beruntung memiliki Delima. Kasih sayangnya menyentuhku dalam porsi yang tepat. Setelah memiliki anak, Delima berhenti dari dunia malam. Aku pun begitu. Munculnya anak adalah awal kehidupan baru dari keluarga ini. Jingga anak bungsuku, terlalu muda saat diambil dariku. Aku sempat menangis seharian di atas makam istriku, meminta maaf karena gagal menjaga wasiat terakhirnya untuk merawat anak-anak ini. Aku telah gagal menjadi seorang Ayah.

Hati yang terlalu kesepian
Perlahan hilang kesadaran
Dalam dirinya
Tak ada lagi ruang
Tak ada lagi harapan
Ia selalu sendirian

Tanpa Istri dan anak Sulung, aku berusaha melanjutkan hidupku bersama sisa anak-anakku. Yang perlahan baru aku tahu betapa mereka membenciku, terutama si bungsu. Aku melihat sebongkah kristal beku dalam dirinya. Sesuatu yang menyakitkan memaksaku menjauh darinya. Aku pernah bisa menyentuh dia. Lalu satu per satu anak-anakku diambil dariku. Aku adalah manusia paling malang di dunia. Tuhan memberi takdir yang keji padaku. Dengan segala materi yang berlebih, aku tak punya siapa-siapa lagi. Sejak anak ketigaku Bie pergi, aku berharap segera mati. Tapi Tuhan punya kehendak lain. Mungkin dosaku terlalu berat hingga mati pun aku tak pantas. Aku harus menerima kenyataan bahwa anak bungsuku Jo akhirnya menuang bensin ke dalam bara apiku yang hampir padam. Aku benar-benar marah dengan kelakuannya yang telah mengumbar rahasia kami sekeluarga. Malam itu aku kalap dan menamparnya hingga lebam. Kurasa bibirnya sobek karena aku melihat darah dari sudut bibirnya. Bibir yang persis dengan milik Delima. Tak lama kemudian sisa anak-anakku diambil dariku. Pelangi titipan istriku kini hilang semua. Tinggal aku sendirian seperti dulu. Setiap malam kuhabiskan di tempat hiburan malam. Yang berbeda adalah sekarang aku sudah tua. Tak lagi tampan seperti dulu. Sekarang aku seperti Ayah, membeli cinta dengan uang. Kurasa aku paham perasaan Ayahku saat itu. Mungkin Ayah sangat kesepian.

Tak ada yang lebih kesepian dariku
Tak ada yang lebih sendiri selain Ungu

Selasa, 23 Maret 2010

Merah

Merah terus mendura
Darah yang berdesir marah
Ia tangguh adikuasa
Tapi lembut bercahaya

Delima anak manis yang dibuang. Sejak lahir sudah tak diinginkan kedua orang tuanya. Panti asuhan pun tak pernah ramah. Delima tumbuh menjadi gadis yang tegar karena keharusan. Semua manja dan tangisan tak pantas disentuhnya. Manja dan tangis hanya milik anak-anak di luar panti asuhan. Anak-anak manja yang bisa mendapat semua keinginan cukup dengan tangisan. Tapi beda dengan Delima dan anak-anak panti asuhan yang hanya boleh menunjukkan bakat akting seperti itu di depan semua calon orang tua yang akan mengadopsinya. Anak panti asuhan yang diadopsi adalah mereka yang berhasil meluluhkan hati calon "pembeli" dengan tatapan memelas. Sayangnya mereka tak berhak memilih siapa calon Ayah dan Ibunya. Semakin cepat diadopsi maka semakin cepat mereka terlepas dari rumah sesak ini. Saat mereka sudah terlalu tua, jarang ada orang yang mau mengambilnya. Yang dicari orang-orang kaya adalah anak kecil yang lucu dan manja. Sama seperti mereka memilih anjing peliharaan di toko binantang. Anak-anak panti tak ada yang tahu bagaimana nasib anak-anak lain yang telah "dibeli" dari rumah ini. Tak ada satu pun yang kembali. Dan tak ada seorang pun yang mengirim kabar. Pemilik panti juga tak terlalu perduli nampaknya. Sama seperti anak-anak lain yang lebih mirip ternak daripada anak manusia. Mereka diam menunggu kapan tiba gilirannya. Delima cukup beruntung juga. Delima diambil oleh pasangan kaya dari luar kota. Kebahagiaan yang diidamkan sekaligus kecemasan apakah benar ada orang sebaik kedua orang tua angkatnya yang mau menerima kehadiran anak asing dalam rumah mereka. Delima boleh berbahagia karena kedua orang tua angkatnya ternyata sangat sayang padanya. Selalu ada permen tersaji di meja. Juga ada dongeng sebelum lelap dalam mimpinya. Lalu ada dekapan hangat dan ciuman di pipi setiap pagi. Tapi itu sebelum lahir anak kandung yang menjadi adik angkat sekaligus duri dalam kebahagiaan Delima.

Awalnya tak ada perbedaan porsi perhatian yang diberikan pada Delima dan adiknya, tapi setelah Ayah angkatnya kehilangan pekerjaan, semua berubah. Semua yang terbaik adalah milik adiknya. Delima yang saat itu berumur sebelas tahun sudah harus membantu ibunya setiap hari pergi jualan di kantin sekolah. Tak menjadi masalah bagi Delima karena pengalamannya di panti asuhan juga sama. Delima memang anak yang mandiri. Sayang sekali pekerjaannya membuat ia tumbuh menjadi anak yang pemalu. Hampir tak ada waktu baginya untuk bermain dengan teman sebaya. Usai membantu Ibu angkatnya di kantin, ia masih harus membantu pekerjaan rumah. Sedangkan adiknya hanya bisa mengeluh minta makan dan uang jajan. Sekolah pun tak disentuh Delima. Hanya SD tak sampai tamat. Adiknya sungguh beruntung. Sedangkan Ayah yang sekarang kerja buruh, makin gila bermabuk-mabukan. kasihan Ibu angkatnya terus membanting tulang. Tapi Delima hanya bisa diam. Bahkan ketika keperawanannya dijual untuk melunasi uang sewa rumah. Delima harus diam.

Sebagai pahlawan
Dia harus tegar
Setiap luka adalah kebanggaan
Karena dia adalah harapan

Setelah beberapa kali dijual oleh Ayah angkatnya, Delima kabur dari rumah. Bukan keinginannya menjadi gelandangan dan beberapa kali dipenjara. Sekali lagi karena terpaksa. Delima kabur dari rumah setelah menikam punggung Ayah angkatnya. Sama sekali tak ada sedikitpun gadis ini berpikir untuk pulang. Tak ada lagi tempat yang bisa disebut rumah. Bahkan sekarang ia merindukan kehidupan di panti asuhan. Setidaknya, masih ada makanan dan sedikit kehangatan kasur walau dipakai bersama anak-anak lain. Hidup menjadi anak jalanan tak lebih mudah daripada tinggal di rumah. Banyak juga preman yang jahil dan semena-mena. Tapi Delima anak yang tegar. Ia berhasil bertahan. Makin lama pergaulannya semakin luas, bahkan sampai ke dunia malam. Di sana lah Delima bertemu kasih sayang. Seorang wanita malam yang jatuh hati padanya. Tak perduli kasih sayang paling sesat sekalipun, yang penting ia merasa nyaman. Toh dunia sudah lama tak memperlihatkan apa yang sangat dibutuhkan si gadis malang. Santy adalah sosok yang telah lama ia cari. Seorang yang masih pantas disebut manusia dibanding Ayah tirinya. Seorang yang walau hina masih punya cinta seputih mutiara. Santy mengajaknya saling mengikat cinta. Delima pun tak menolak perhatiannya. Mereka tinggal bersama di rumah mewah. Kekasihnya adalah pelacur ternama.

Malam adalah saat paling menyakitkan baginya. Karena kegadisannya direnggut saat malam menghitamkan dunia. Sehitam hatinya yang redam telah dikhianati Ayah angkatnya. Andai ia bisa memilih, lebih baik mati. Tapi merah darah yang bergelora dalam nadinya memaksa untuk bertahan. Darah dari orang yang bahkan tak pernah ia tahu siapa. Mungkin saja Ibu kandungnya adalah perempuan hina yang hamil karena terpaksa. Mungkin begitu ceritanya sehingga anak gadisnya bernasib sama. Malam adalah waktu untuk Delima menelan obat tidurnya. Jika dulu ia sempat berusaha memutuskan urat nadinya dengan batuan tajam, sekarang penolongnya adalah obat tidur pemberian Santy. Rasa sakit itu terus kembali setiap malam tiba. Tentu saja tak semua malam itu menyakitkan. Buktinya ada malam dimana kedua pasangan yang dimabuk asmara ini bisa tertawa lepas.

Setiap hari sabtu mereka pergi berpesta. Ke tempat hiburan khusus pecinta sesama. Hanya di sana mereka tak perlu malu bercumbu mesra di depan orang banyak yang punya hobi sama. Di sana juga Delima tahu bahwa pria pun ada yang cinta sesama jenisnya saja. Sebenarnya tak ada yang akan perduli jenis kelamin apa manusia yang ada di samping mereka. Yang penting mereka bisa tertawa, bergoyang dan minum sampai puas. Toh lelaki di sana tak suka wanita, dan wanita di sana tak mungkin punya kelamin pria untuk menyakitinya. Trauma karena pernah dijual Ayahnya membuat Delima anti dengan kelamin pria. Delima tak membenci pria walau bukan berarti ia akan bercinta dengan mereka, terutama satu karibnya. Pria dari keluarga kaya yang kedua orang tuanya bercerai sejak ia SMA. Malam itu Delima tetap primadona dengan goyangan mautnya. Malam yang panjang dan penuh kesenangan. Di sana lah surga untuk mereka yang terbuang. Tempatnya manusia-manusia yang dibilang sesat karena mencintai sesama jenisnya. Tak ada yang perduli alasan apa yang dikeluarkan, tetap saja dari mata agama (yang tak pernah digubris gadis malang ini), kami adalah pendosa. Kaum yang dibenci Tuhan. Sementara Tuhan tak memberi kepastian kemana kami harus mencari kepuasan. Tuhan juga yang menciptakan cinta dianta kami para jahanam. Cinta juga yang membuat kami rela masuk neraka berpasangan. Tapi takdir berkata lain. Shanty bukan jodohnya yang sejati. Dalam kesenangan malam ini, takdir sedang menjalankan rencananya yang tersembunyi. Delima sekali lagi harus diam tanpa meronta ketika kebahagiaannya direnggut secara paksa. Malam ini Tuhan memberinya waktu untuk berpesta. Tapi tak akan lama. Saat asik bergoyang bersama Santy, sahabat karib mereka pamit pulang. Delima melepas kepergian Violet dengan senyum centil dan ciuman di pipi. Delima tak pernah tahu. Pria itu pun tak tahu, takdirnya nanti adalah menjadi penerus tugas pelacur kesayangan Delima untuk merawat dan membahagiakan gadis cantik yang sama sekali tak mau disentuh pria.

Semua insan dunia
Tak bisa menolak takdirnya
Apa yang disembunyikan Tuhan
Akan tetap rahasia


Hijau

Hijau adalah permata
Zamrud milik Ayah
Wasiat lawas Ibunya

Hijau adalah kepingan terakhir dari barisan pelangi milik Ayah. Setelah keempat saudaranya pergi, kini tinggal dia dan Ayah. Tapi Hijau sudah terluka parah. Hatinya tercabik-cabik tanpa suara. Mereka yang disebutnya keluarga, tak ada satu pun yang mendengar pun tak melihat. Hijau hanyalah bayangan yang terus bergerak tanpa seorang pun tahu. Ia hidup dalam dunianya. Bersama seluruh rahasia keluarga.

Hijau adalah aku. Anak Ayah dan Ibu. Adik dari mereka yang memiliki nama sepertiku. Kami adalah kepingan pelangi Ayah. Aku Jo, anak bungsu dalam keluarga ini. Keluarga yang dulu jauh lebih baik dari sekarang. Kakak ku Inga menjadi korban kebiadaban manusia. Kak Ning pun adalah korban, orang yang harus menderita karena kesalahan orang lain. Andai Kak Inga tak mati, tentu Kak Ning tak akan pergi. Lalu ada Kak Bie yang mati tanpa alasan pasti. Orang bilang Kak Bie mati bunuh diri bersama pasangan sejenis. Fitnah memang luar biasa. Fitnah bisa jadi uang dari orang yang menderita. Kak Ella yang setengah dirinya hancur setelah kepergian Kak Bie, memilih tugas di luar negeri. Sekarang tinggal aku sendiri. Pelangi tak akan hidup hanya dengan satu warna.

Dua minggu setelah Kak Ella berangkat, aku sudah tak di rumah. Walaupun tak runtuh, rumah itu menanggung beban pikiran begitu banyak. Aku pun tak pernah menghargai keberadaan penghuninya sejak aku tahu kebenaran yang tersimpan rapat di laci lemari Ayah. Itu juga alasan Ayah marah terakhir kalinya padaku. Aku muak. Seharusnya aku kabur dari rumah sejak awal. Tapi masih ada sebagian kecil dariku yang membutuhkan kehangatan kakak-kakakku. Saat mereka semua pergi, aku pun harus pergi. Sebelum kabur aku sempat mengirimkan e-mail pada Kak Ella. Aku tak menunggu balasan darinya. Toh setelah kabur nanti aku masih bisa membaca balasan itu kapan saja, dimana saja. Andai aku bisa sehebat teknologi internet. Bisa berada di mana saja, kapan saja. Untuk itu aku harus bersaing dengan Tuhan, dan aku tak berani. Berkat didikan Ayah dan Ibu aku hidup dengan iman yang kuat. Tapi tak cukup kuat menahanku menjadi bebas. Selama aku tak menyakiti orang lain, maka aku tak salah. Begitu peganganku selama ini. Karena itu aku lebih sering sendiri, menjauh dari godaan untuk menyakiti orang di sekitarku.

Sejak kabur dari rumah, aku hidup di jalanan. Pekerjaanku sekarang adalah seniman. Aku membuat gambar untuk orang yang lalu lalang. Tak banyak penghasilanku setelah disita biaya kertas dan pensil. Awalnya aku tidur di pinggir jalan. Kadang bermalam di tempat ibadah. Tapi aku tak menetap. Aku berkelana ke luar kota naik kereta. Berharap tak perlu lagi pulang ke rumah. Dan aku berhasil. Sekarang aku tinggal bersama dia, lelaki pertama yang berhasil mendobrak pintu hatiku. Erik, beberapa tahun lebih tua dariku. Penghasilannya lebih dari cukup untuk menghidupi beberapa orang Jo tanpa kekurangan apapun. Tapi Erik memilih satu Jo. Cinta sesama jenis bukan masalah buatku. Ayahku pun begitu. Sesuatu yang tak seorang pun tahu dalam keluargaku, kecuali Ayah dan Ibu. Lebih hebatnya, Ibu juga sama. Mereka pasangan pecinta sesama jenis yang saling suka. Entah bagaimana awal ceritanya, yang jelas mereka berhasil menjalaninya. Karena itu juga kami ada. Malam terakhir aku melihat kemarahan Ayah, itu karena aku pada akhirnya membuka semua rahasia. Aku bertanya siapa sebenarnya pria yang sering menghubungi Ayah. Malam itu aku yang salah. Aku tak siap melepas Kak Ella. Selaput tipis yang mengikat emosiku tiba-tiba merekah. Aku menceritakan semua rahasia yang kutemukan di rumah. Setiap Ayah dan orang rumah sedang tak ada, aku mengacak setiap sudut rumah. Termasuk membuka laci lemari Ayah. Sialnya, disana ada semua rahasia. Ayahku ternyata punya kekasih pria. Ibu juga punya kekasih wanita. Kak Ella juga nampaknya sama. Kak Bie walau diberitakan pecinta sesama jenis, ternyata salah. Kak Bie punya gadis pujaan. Sayang ia mati sebelum menyatakan perasaannya. Aku tak tahu apakah perlu aku menceritakan semuanya. Tapi aku mau. Malam itu aku membeberkan semuanya dimulai dari Kak Inga. Tentang hubungannya dengan Kak Andy. Kak Inga sudah lama memberikan keperawanannya. Anak Ayah yang selama ini nampak polos ternyata menyimpan rahasia. Buku diary memang berbahaya, apalagi kalau tak dijaga. Semua tertulis dengan jelas. Setiap detail kejadian. Kuharap Kak Ning tak pernah membaca buku diary kak Inga. Bisa kubayangkan bagaimana perasaannya ketika membaca bagian dimana Kak Andy melepas satu per satu pakaian Kak Inga, dan bagaimana Kak Inga menuliskan detail bentuk tubuh lelaki pujaannya. Seperti sedang membaca buku novel dewasa. Ayah tak terlalu perduli ternyata. Kebisuannya membuatku makin ingin bercerita. Lalu ada Kak Ning yang kabur karena sedang hamil muda. Tentu saja dengan Kak Andy. Tak heran mereka kawin lari. Saat Kak Ning membahas rencana kaburnya, aku ada di sana mendengar pembicaraan mereka. Tentu saja Ayah tak tahu apa-apa. Kali ini aku berhasil membuat Ayah sedikit tertarik. Ada ekspresi kaget bercampur kecewa. Entah kenapa aku merasa senang. Cerita berlanjut pada Kak Bie yang sering masturbasi sambil melihat foto pujaan hatinya. Hal yang wajar untuk remaja seusianya. Tapi tidak untuk Ayah. Di matanya, Kak Bie adalah kebanggaan. Aku melihat penyesalan di muka Ayah, dan aku semakin senang. Tentang Kak Ella yang diam-diam menyimpan satu buku berisi gambar wanita-wanita telanjang dalam posisi menggoda, lalu tentang rahasia Ayah yang tersimpan rapat di laci lemarinya. Juga buku harian Ibu yang berada di tempat yang sama. Tiba-tiba tamparan itu menghinggap di pipiku. Aku salut dengan kegesitan ayah saat itu. Kecepatannya mungkin setara dengan kereta lewat. Benar-benar tak kusadari. Pipiku lebam keesokan harinya. Tapi aku puas. Sudah lama sekali aku tak melihat kemarahan Ayah. Setidaknya aku bisa tahu bahwa dia masih tetap Ayahku.

Erik bukan pasangan yang banyak menuntut. Aku bisa pergi dan pulang kapan saja. Aku boleh terbang kemana aku suka. Tubuhku boleh kuberi pada siapa saja. Tapi selama aku ada di rumah, aku adalah miliknya. Begitu pun dia. Aku merasa kebebasanku terjawab sudah. Aku bisa memiliki cinta yang kuinginkan selama ini, juga bisa mendapat kebebasanku pada saat yang sama. Kadang aku bercinta dengan wanita juga. Tapi hatiku tetap miliknya. Satu yang tak bisa disangkal di dunia ini adalah hati. Bila kau berhasil mendapatkan hati seseorang, maka kamu telah berhasil memiliki dia seutuhnya.

Yang aku cari di luar rumah adalah jawaban. Aku ingin mengenal manusia dan wataknya yang berbeda-beda. Setiap orang yang kutemui di jalanan dan setiap pelanggan yang datang, juga mereka yang menghabiskan sedikit waktu bersamaku di ranjang. Sebagai seniman, aku tak pernah puas mencari sisi tersembunyi yang tak mungkin kutemukan dengan gampang. Aku harus bermain-main dengan emosi mereka. Menarik keluar sedikit demi sedikit rahasia yang mereka sembunyikan. Sama seperti keluargaku yang terus menyimpan rahasia-rahasia itu sampai akhir. Sejak kabur aku tak pernah menghubungi Ayah. Dengan Kak Ella kadang masih saling berbalas e-mail. Padanya aku bisa bercerita apa saja yang tak pernah bisa kuceritakan waktu masih tinggal bersama. Sekarang aku adalah Hijau yang berbeda. Mungkin semua karena Erik. Aku semestinya berterima kasih padanya. Berkat dia juga, aku berhasil membuka satu galeri tempat semua karya-karyaku dipajang. Tak jarang ada pembeli yang menawar dengan harga tinggi. Yang kutawarkan di sana bukanlah seni biasa. Aku menjual kejujuran. Sekarang ini kejujuran sangatlah mahal harganya. Walau tak yakin mereka yang membeli itu tahu arti kejujuran, yang pasti mereka membeli dengan uang. Bukan uang yang menjadi tujuan utama. Aku ingin karya-karyaku diambil orang. Percaya atau tidak, karya-karya itu berisi beban. Setiap lembarnya adalah bagian dari hasil mengolah emosi yang terpendam. Kak Ella salah satu yang menyadarinya. Tak heran aku semakin sayang padanya sejak tahu ada satu keluargaku yang mengerti arti dari karya-karyaku. Untuk menghargainya, aku membuat satu mahakarya khusus untuknya.

Hijau berakar dalam bumi
Menghisap sari pati kehidupan dengan rakusnya
Mencuatkan diri menembus tanah
Bersaing dengan tingginya gunung
Menyebar menandingin cakrawala
Ia ingin mengukir sejarah
Bahwa dirinya pernah ada

Lima tahun setelah kepergianku dari rumah, tiba-tiba Kak Ella muncul di galeriku. Ayah sudah tiada katanya. Serangan jantung. Berita yang tak penting bagiku. Malam saat aku kabur dari rumah, aku sudah membuang semua tentang Ayah. Lebih tepatnya aku sangat membenci Ayah karena sikapnya setelah kepergian Ibu. Kadang aku meragukan bahwa kami adalah benar anak-anak Ayah. Dengan segan aku ikut diseret Kak Ella ke pemakaman Ayah. Yang membuatku kangen justru makam Ibu dan kedua anaknya. Makam itu masih nampak bagus. Sepertinya Ayah tetap menjalankan kebiasaan membersihkan makam dan menabur bunga setiap hari sabtu. Kalau tak mati, pasti masih dilakukan hingga saat ini. Hari ini sabtu. Saat pasangan muda sedang asik menentukan tempat berkencan, aku dan Kak Ella berdiam di pemakaman. Erik juga datang, tapi aku meminta dia untuk tinggal di rumah. Nampaknya ia mengerti kenapa. Aku tak mau ia melihat emosiku yang satu ini. Untuk pertama kalinya aku menangisi Ayah. Dalam perlukan Kak Ella yang juga tak mampu membendung air matanya. Tapi jelas terlihat Kak Ella lebih tegar. Emosiku mengalir deras bersama tetesan air mata. Tangisan penyesalan, ketidakpuasan kalau semua ini harus diakhiri. Aku bisa hidup dengan penderitaan macam apa. Tapi aku tak bisa terima Ayahku mati terlalu mudah.

Pulang dari pemakaman Ayah, hidupku berlanjut seperti biasa. Agak ringan kiranya. Bebanku terangkat satu bagian, dan kali ini porsinya cukup besar. Seperti rambut gimbal seberat lima kilo yang tiba-tiba dicukur habis. Tanganku bekerja seperti melayang dengan sendirinya. Tapi sekarang, aku kehilangan jiwa dalam karya-karyaku. Saat itu juga aku sadar, sudah saatnya berhenti mengisi ruang galeri.

Hijau itu kokoh saat badai menerjang
Akarnya mampu menahan beban
Yang ia butuhkan hanyalah tempat berpijak
Saat akarnya mati
Daunnya pun meranggas
Hijau akan hilang

Minggu, 21 Maret 2010

Nila

Nila memang indah
Nila juga dominan
Ia tangguh menantang dunia
Setangguh warnanya
Pekat menenggelamkan

Nila anak keempat dari lima bersaudara. Pendiam tapi cermat mengamati isi dunia. Aku Nila, panggil saja Ella. Bukan rahasia kalau sifatku senada dengan nama yang Ibu berikan. Aku Nila, sekarang duduk di kelas dua SMA. Aku sengaja memilih sekolah yang berbeda dari ketiga kakakku yang kini telah tiada. Aku terpaksa menjadi panutan untuk adikku satu-satunya. Belajar menjadi dewasa sebelum waktunya bukanlah perkara mudah. Apalagi dengan sifatku yang pendiam dan acuh. Tapi aku sayang adikku. Segala macam cara kulakukan agar ia tak merasa sendirian. Sekarang di rumah hanya ada kami bertiga. Ayah pun makin gila kerja. Kehangatan yang sempat kembali itu perlahan terkikis penyesalan Ayah. Kepergian istri dan ketiga anaknya adalah beban terberat dalam hidupnya. Tapi Ayah lupa. Masih ada dua lagi anaknya di rumah.

Aku tumbuh menjadi gadis yang tomboi. Aku sangat mengagumi Kak Bie. Bahkan setelah kematiannya, aku tetap ingat pasti bayangannya di rumah. Sampai sekarang pun aku masih marah dengan berita fitnah yang muncul di koran kota. Mereka menuduh kakakku pecinta sesama jenis yang mati saat bercinta di dekat jurang. Ayahku sempat cuti beberapa minggu sampai isu itu mereda di tempat kerjanya. Sedangkan aku, hanya bisa menuliskan kekesalanku dalam barisan puisi. Halaman demi halaman berisi jeritan jiwaku yang tak pernah kuperlihatkan pada siapapun. Sehari-hari aku menghabiskan waktu di taman tempat Kak Inga dan Kak Andy pacaran dulu. Aku suka melihat kesibukan orang-orang yang berlalu-lalang. Sambil mendengar pemutar musik dan lagi-lagi menulis di lembaran putih kosong, buku yang kusebut "rumah" jiwaku. Kadang aku juga menuliskan ide dan cerita khayalanku. Aku memang pendiam. Tapi aku bicara banyak lewat tulisanku. Sayang sekali orang-orang di sekitarku tampaknya tak mau mengerti. Mereka memanggilku "cewek autis". Karena itu juga aku belum punya pacar sampai sekarang. Mungkin suatu saat nanti pangeranku akan datang dalam balutan baju zirahnya, di atas kuda putih bertanduk. Aku selalu berkhayal lelaki impianku sedang dalam perjalanan untuk menemukanku.

Aku salah besar. Sampai lulus kuliah pun aku tetap sendiri. Sekarang aku seorang reporter yang aktif dalam kegiatan sosial. Aku memerangi ketidakadilan lewat barisan puisi dan kumpulan cerita pendek. Belakangan aku sadar bahwa tulisanku akan lebih berguna bila dipublikasikan. Tapi tidak dengan kumpulan kertas di dalam lemariku. Sebagian. Tidak, mungkin seluruhnya lebih baik diam di situ. Aku masih tinggal bersama Ayah dan adikku satu-satunya. Kami sama seperti biasa, lebih banyak sibuk sendiri-sendiri. Setiap sabtu pagi kami masih dengan kebiasaan pergi ke makam keluarga, membersihkan Makam Ibu, Kak Inga, dan Kak Bie. Kak Ning sekarang entah kemana bersama Kak Andy. Ia menepati janjinya untuk tak pernah kembali lagi ke kota ini. Bahkan lewat pun tidak. Tak ada seorangpun yang pernah melihat Kak Ning melintas di kota ini. Keluarga Kak Andy pun pada akhirnya pindah ke luar kota. Mereka merasa keluarga kami adalah pembawa sial yang seharusnya mereka jauhi dari dulu. Mereka menuduh Kak Ning telah mengguna-gunai Kak Andy supaya mau diajak kawin lari. Aku tidak marah pada keluarga Kak Andy yang berpikir begitu. Mereka hanya berusaha mencari kambing hitam atas hilangnya anak mereka. Mungkin aku pun akan begitu bila jadi mereka. Sayangnya aku lebih memilih diam dan menyimpan kebenaran ini dalam-dalam. Jelas tertulis dalam surat Kak Ning bahwa ia tak pernah memaksa Kak Andy untuk mencintainya. Aku pun tahu Kak Andy lah yang lebih memilih kakakku daripada kedua orang tuanya. Dan aku tak pernah menyalahkan Kak Ning yang jatuh cinta pada kekasih kakaknya sendiri. Toh Kak Inga di surga juga tak mungkin hidup kembali untuk meneruskan kisahnya dengan Kak Andy.

Pekerjaanku cukup berat dan menyita waktu. Aku hampir lupa bahwa adikku sekarang sudah besar dan sedang kuliah. Hijau, atau Jo. adikku yang paling kusayang (karena dia satu-satunya adikku). Aku selalu mengagumi goresan tangannya. Dia satu-satunya seniman yang kuanggap paling jujur dalam berbahasa. Semua perasaannya tumpah dalam karya, seperti segelas kopi utuh dengan ampas-ampasnya tanpa disaring dahulu. Kadang aku takut melihatnya. Jangan sampai adikku menjadi "autis" seperti kakaknya. Pasti berat menjadi orang yang dikucilkan karena beda. Kekhawatiranku beralasan. Hijau juga pendiam sama sepertiku, dan sampai sekarang belum punya pacar. Hal paling menyedihkan yang terjadi padanya sewaktu duduk di kelas enam SD, Ayahku dipanggil datang ke sekolah setelah wali kelas Jo menemukan sketsa manusia telanjang di buku catatan adikku. Sebuah seni murni yang dianggap pornografi. Saat itu Jo tak bisa membela diri. Memang usianya belum pantas mengerti apa yang disebut seni murni. Ayah meminta maaf saat itu. Sesuatu yang seharusnya tak ia lakukan. Kasihan Jo, pasti ia merasa malu sekali. Bukankah sketsa seorang bocah pun merupakan hak pribadinya. Tak ada seorang pun yang boleh membatasi ruang imajinasi seorang seniman sejati. Kadang orang dewasa terlalu mengekang kaum muda hanya karena pengetahuan mereka yang dangkal tentang psikologi anak. Kalau saja saat itu wali kelas Jo mengikutsertakan karya adikku dalam lomba pastilah sekolahnya mendapatkan piala. Tapi sayang seperti kubilang, manusia kolot ada dimana-mana.

Jam sembilan malam aku sampai di rumah seusai kerja. Pintu rumah kubuka dengan malas seolah tanpa tenaga. Rumah ini gelap. Nampaknya Ayah juga belum pulang. Jo, mungkin sedang asik menggambar di kamarnya hingga lupa menyalakan lampu teras. Sudah menjadi kebiasaan adikku itu untuk lupa dengan sekitarnya saat sedang "bekerja". Bahkan mungkin bila kebakaran sekalipun, dia akan mati terpanggang tanpa merasakan sakit apapun berkat keseriusannya itu. Tapi ada bagusnya juga, setidaknya aku tahu adikku benar-benar serius menekuni apa yang dia suka. Kebahagiaannya adalah kekhawatiranku. Aku adalah kakak satu-satunya bagi Jo. Mungkin aku menjadi tomboi juga karena Jo. Aku ingin dia tahu bahwa sebagai kakak perempuannya, aku juga bisa seperti Kak Bie. Tapi adikku Jo nampaknya tak butuh siapapun. Ia hidup dalam ruang imajinasinya sendiri.

Kamarku masih sama seperti dulu. Agak berantakan tapi enak dilihat. Dan sangat nyaman tentunya. Kuletakkan amplop surat penugasan yang tadinya ingin kubicarakan dengan Ayah. tapi belum sempat kiranya. Ayah tak ada di rumah. Walau aku tak begitu perduli apa pendapatnya, yang jelas aku masih mengakuinya sebagai kepala keluarga. Rebahan di atas ranjang pasti sangat menyenangkan untuk badanku yang pegal. Tapi sebelumnya, aku harus mandi dulu. Tak pantas kalau ranjangku turut berbagi bau keringat hasil kerja seharian. Aku bergegas turun untuk mandi, dan kulihat Ayah baru pulang. Ayah nampak kaget sewaktu melihatku. Mungkin karena biasanya jam segini aku tak ada di rumah. Temanku di kantor suka ajak makan malam ramai-ramai sehabis kerja. Salah satu cara mendekatkan kami semua rekan kerja. Memang ada baiknya kalau kami semua memiliki rasa kekeluargaan agar saat kerja kami bisa saling menjaga.

Setelah menyapa sebentar, aku masuk ke kamar mandi. Ayah juga nampaknya sudah masuk ke kamarnya. Sepertinya malam ini tak sempat membahas surat penugasan dari kantor. Besok pagi saja kutinggalkan di meja kerja Ayah. Sekarang saatnya menghangatkan badan di bawah selimut dan merenggangkan otot-ototku dengan tidur pulas. Tiga hari ke depan aku cuti. Tapi begitu masuk, aku harus menentukan apakah aku akan memperjuangkan karirku dan menerima penugasan ke luar negeri untuk beberapa bulan, atau menolak tugas itu dan karirku tetap seperti sekarang ini. Kalau aku berhasil, keluargaku juga yang akan merasakannya. Tapi aku harus mendapat restu Ayah. Entah bagaimana caranya meyakinkan Ayah kalau aku pasti pulang ke rumah ini, tak seperti kepingan pelanginya yang telah hilang tiga bagian. Ayah benar-benar terpukul dengan semua yang terjadi. Aku tak bisa egois dengan keinginanku sendiri. Seharusnya aku bisa lebih tegas seperti sikapku di luar rumah. Tidak di rumah ini. Sepertinya aku kehilangan seluruh keberanianku. Aku menjadi seorang putri yang lemah ketika berada dalam rumah. Tak seperti pendekar wanita yang kuat menghadapi segala musibah.

Paginya aku sengaja bangun agak pagi untuk menyiapkan sarapan. Ada telur mata sapi dan sosis goreng. Juga ada tiga porsi nasi goreng. Semua serba goreng seperti lagu yang cukup tenar waktu aku masih kecil. Sayang sekali menu buatanku pagi ini tak laku. Jo memilih sarapan di kampus. Ayah juga sama. Aku merasa gagal hari ini. Dengan sedikit kesal aku pergi mandi dan ganti pakaian. Kalau ini terjadi di kantor, pasti sudah kusumpal makanan itu ke mulut teman-temanku. Tak perduli mereka senang ataupun terpaksa, yang penting karyaku dihargai. Selesai dandan ala kadarnya, aku kabur ke taman. Sejak sibuk dengan kerjaan, taman ini jarang kudatangi. Sedikit mengingat masa mudaku dulu sewaktu masih SMA. Preman kampung juga tahu yang namanya Ella tak boleh dilawan. Selain autis, julukanku dulu preman wanita. Tak segan-segan main kasar kalau diganggu orang. Paling heboh adalah waktu senior SMA dari kelas IPS merebut buku puisiku. Gadis tolol yang mengatasnamakan senioritas berbuat semaunya ke junior. Akibat perbuatan mereka cukup pantas. Wajah sok cantiknya mendapat sepuluh jahitan. Untungnya kepala sekolah menganggap aku anak yang terlalu lemah untuk berbuat demikian. Tak rugi juga menjadi anak pendiam.

Setengah tertawa aku mengingat kejadian itu. Tapi agak sedih juga. Gara-gara kejadian itu aku semakin dikucilkan. Apalagi rombongan senior itu selalu menatapku seakan-akan aku ini seonggok najis yang harus dijauhi. Tak terhitung berapa kali mereka mengolok-olok setiap kali aku lewat. Tak begitu pengaruh juga karena mereka sama sekali tidak menarik perhatianku. Aku cukup puas dengan sepuluh jahitan di wajah seniorku itu.

Nila bukan manusia lemah
Walau nampak indah
Sepuluh pucuknya berisi dosa

Seru juga menjadi Ella yang dulu. Tapi waktu terus berubah. Kalau aku tak berjalan menyesuaikan diri, bisa-bisa aku tertinggal dan gagal jadi manusia. Hidup ini memang kejam. Kak Inga telah membuktikannya. Dan aku berusaha belajar dari apa yang terjadi padanya. Walau sifatku sekarang sedikit lebih terbuka, bukan berarti aku melemah. Di luar rumah aku tetaplah Ella yang tomboi dan sulit mengalah. Puas setengah hari di taman, aku pulang menyiapkan makan malam. Malas juga setelah melirik sarapan yang terpaksa masuk tempat sampah. Tapi tetap kukerjakan juga. Apa yang kurencanakan jarang kuabaikan. Setelah makan malam siap, aku masuk ke kamar sambil menunggu Ayah dan Jo pulang. Tanpa sadar aku tertidur cukup pulas. Waktu bangun sudah malam. Malas juga rasanya untuk turun menyantap makan malam. Sekilas kulihat ada bayangan kaki di celah antara pintu dan lantai. Mungkin Ayah. Pasti Ayah sudah melihat surat penugasan yang kuletakkan di atas mejanya. Maaf saja, aku sedang tak berminat untuk bicara. Mungkin besok saja.

Ayah menyisipkan surat lewat bawah pintu. Lucu juga, seperti main kucing-kucingan saja. Ternyata Ayah mengalami sulit bicara dengan anak perempuannya. Ayah memberi restu untuk kepergianku. Terlalu mudah. Bukankah seharusnya ada sedikit kesedihan melepas sisa pecahan pelanginya. Setidaknya restu itu diberikan langsung, bukan lewat tulisan. Atau mungkin seperti kata Kak Ning, Ayah sebenarnya terlalu luka sampai tak sanggup bicara.

Kembali ke kantor, aku menerima tugas ke luar negeri. Lega juga karena aku tak perlu berharu-biru dengan orang rumah. Sebagian diriku juga merasa perih. Seperti tak ada yang perduli kepergianku. Memang aku bukan pergi selamanya, tapi setidaknya aku minta mereka sedikit perhatian. Setelah berita tersebar, ternyata teman-teman kantorku menyiapkan acara perpisahan. Minggu depan aku akan berangkat ke Italia. Tempat wisata yang dimimpikan wanita-wanita Indonesia. Tak terlalu menarik bagiku selain isu keindahan kota dan pelukis-pelukis handal di sana. Andai aku bisa membawa Jo ke sana, pasti dia senang bukan kepalang. Tak tahu juga, aku tak pernah bisa masuk ke dalam pikirannya. Sebagai kakak, aku juga sudah gagal.

Pulang dari kantor, aku melihat Jo duduk di kursi ruang tamu dengan pipi merah. Di seberangnya ada Ayah yang nampak mukanya rata berwarna merah. Nafas ayah nampak memburu. Aku tahu Ayah sedang marah. Raut mukanya yang sekarang sudah lama sekali tak terlihat. Jo tertunduk diam tanpa ekspresi. Saat aku bertanya ada apa, mereka tetap diam. Dan sampai hari keberangkatanku, aku tak pernah tahu apa yang terjadi malam itu. Ayah mengantarku ke bandara dan melepasku dengan satu pelukan ringan. Ini sudah lebih dari cukup bagiku. Jo hanya menyapaku di depan kamar tadi dan berpesan agar aku jaga diri. Itu juga ucapan termanis yang pernah kuterima dari adikku. Mungkin aku bisa pergi dengan tenang. Tapi tetap kejadian malam itu membuatku penasaran.

Nila terus melebarkan sayap
Mengisi dunia bersama hasratnya
Sepuluh pucuknya kini berbuah
Cabangnya mengejar angkasa

Biru

Warna yang paling kau suka adalah biru
Tapi aku tak suka
Walau hatiku jatuh cinta pada langit biru
Tapi jiwaku lebih cinta perdu hijau
Walau hutan hijau terlihat membiru dari kejauhan
Aku tak suka

Biru adalah namaku. Aku lebih suka dipanggil Bie. Sesungguhnya aku benci biru. Aku lebih suka hijau, tapi nama itu sudah ada pemiliknya. Adikku yang bungsu bernama Hijau. Sehari setelah Kak Ning kabur dari rumah, Ayah terlihat sangat menderita. Betapa terpukulnya dia. Kak Ning terlalu egois. Seharusnya dia ada menjaga Ayah dan kami semua. Atau mungkin kami lah yang egois. Kak Ning mungkin lebih menderita dari yang aku kira. Bodohnya, aku baru sadari setelah membaca buku harian Kak Ning semalaman. Sebagai putra pertama Ayah aku tak mampu menahan air mata. Seperti luka lama yang telah membusuk dan baru ketahuan belatungnya. Seperti itu juga penderitaan Kak Ning yang selalu nampak tegar di depan kami semua.

Air juga biru
Hujan dan air mata serta lautan
Semua yang sendu berwarna biru
Racunmu pun berwarna biru

Seharusnya aku tahu dari dulu tentang penderitaan kakakku. Dengan begitu, Kak Ning tak perlu kabur bersama kekasihnya. Aku ingin sisa keluarga ini bisa utuh bersama sampai akhir nanti. Tapi penyesalan tak pernah datang lebih awal. Langit hari ini biru, sebiru nama dan perasaanku. Aku bukan anak cengeng yang bisa menangis dengan mudahnya. Tapi rasa berat di dadaku memaksa airmataku mengalir tanpa diminta. Buku harian Kak Ning kusembunyikan dari adik-adikku dan Ayah. Cukup aku yang tahu semua ini.

Saat kau pergi hatiku membiru
Beku adalah biru
Dingin dan sepi juga biru
Aku semakin benci biru

Sudah satu minggu sejak Kak Ning lari dari rumah dan belum ada kabar. Kami sudah mencari ke rumah saudara dan melapor ke polisi. Hasilnya tetap nihil. Hanya doa yang kami bisa. Berharap Kak Ning segera pulang. Sekolah pun berlanjut seperti biasa. Aku tetaplah Bie yang pendiam dan disukai banyak murid wanita. Tapi aku tak pernah memperdulikan perhatian satupun dari mereka. Bukannya aku pecinta sesama jenis, tapi memang aku tak berminat dengan mereka. Apalagi makhluk centil yang setiap hari meletakkan sepucuk surat cinta dalam laci meja (yang kemudian terpaksa menghuni tempat sampah). Belum ada satu pun perempuan d sekolah ini yang menarik perhatianku. Semua orang mengejekku. Mengataiku pecinta sesama jenis. Tapi aku tak perduli apa yang mereka katakan. Tak ada hubungannya dengan mereka. Akulah yang menjalani hidup ini. Kalau mereka memang banyak waktu, tentu lebih berguna kalau mereka bantu mencari kakakku.

Aku duduk di kelas satu SMA yang sama dengan SMA tempat kakak-kakakku dulu. Tak heran guru-guru di sini bersimpati padaku. Tapi bukan itu yang kuharapkan dari mereka. Aku lebih mencari kedamaian. Bahkan berharap Pak Jarwo tak menghebohkan kelas dengan mengumumkan hilangnya Kak Ning. Sekali lagi, bukan urusan mereka. Memang manusia satu itu penuh aksi. Sok kenal dan sok dekat. Tak pantas kelakuannya sebagai seorang guru. Bukankah privasi setiap manusia itu hak yang mutlak. Tapi aku tetap diam. Karena pada akhirnya, semua akan diam.

Pulang sekolah adalah waktu yang kutunggu-tunggu. Lepas dari tatapan simpatik guru-guru di jam istirahat, bahkan makan pun harus disiksa dengan tatapan kasihan dari penjual bakso tempat favorit Kak Ning. Sialnya, seluruh isi sekolah ini tahu aku adalah adik Kak Ning. Dan semua orang seakan simpati padaku. Padahal, tak lebih dari satu kelas isi sekolah ini yang ku kenal. Memang dasarnya manusia adalah makhluk penggosip yang haus berita panas. Apalagi murid-murid centil yang terus menjadi lalat diatas makan siangku. Lebih baik mereka diam saja daripada berbisik membicarakanku sementara bisikannya terlalu keras seakan-akan berharap aku dengar. Atau mungkin Tuhan salah memasukkan pita suara babon ke mulut mereka. Yang jelas bisikan mereka mengganggu makan siangku. Rumah dan kamar adalah tempat dimana aku bisa merasa tenang. Nila adikku yang pertama adalah gadis pendiam yang lebih banyak menyimak daripada bertanya. Hijau si bungsu juga tak banyak bicara. Kadang aku merasa kasihan pada mereka. Nila baru duduk di bangku 2 SMP. Sedangkan Hijau masih kelas 6 SD. Beban mereka tentu lebih berat dariku. Mereka masih terlalu polos untuk mengerti apa yang terjadi. Yang bisa kulakukan hanyalan menjadi pengganti Kak Inga dan Kak Ning. Yang jelas, aku tak bisa menjadi pengganti Ibu. Aku tak pandai memasak tapi setidaknya bisa membuat perut mereka kenyang. Nila dan Hijau tak pernah protes dengan hasil masakanku. Kasihan juga melihat ekspresi mereka saat menyantap masakanku yang terlalu asin atau kadang hambar. Aku bersyukur memiliki adik-adik yang begitu pengertian.

Minggu depan adalah minggu tenang sebelum ujian akhir. Ujian SMP memang selalu dilangsungkan setelah ujian akhir SMA. Aku dan beberapa teman sekelas akan pergi berkemah. Aku sangat suka dengan alam. Seperti kubilang, aku suka hijau dan pepohonan. Tapi Ibu memberiku nama Biru. Dan aku pun belajar mencintai langit. Persiapan untuk kemah pun selesai. Semua barang sudah pada tempatnya. Ijin dari Ayah sudah kukantongi. Tinggal menyiapkan keperluan adik-adikku selama aku tak ada. Uang jajan dan uang makan sudah kujatah untuk mereka pakai setiap harinya. Ayah sekarang sibuk bekerja dari pagi hingga malam, tak sempat untuk masak atau
membelikan makan siang. Untungnya kedua adikku cukup pengertian dan tak melarangku pergi. Jarang sekali ada kesempatan untuk pergi berkemah. Aku pun sadar diri bahwa orang rumah butuh keberadaanku. Apalagi, sekarang akulah senior di rumah setelah Ayah. Waktu pun berlalu dengan cepatnya dan hari keberangkatanku tiba. Aku berpamit pada adik-adikku di rumah. Ayah sudah berangkat ke kantor jadi aku titipkan salam lewat kertas pesan di atas mejanya.

Perjalanan menuju tempat kemah cukup jauh. Kami berlima naik mobil temanku, ditambah satu supir pribadi. Lokasi yang kami tuju dipenuhi hutan belantara. Di sana ada jurang dan sungai yang bersih. Semua yang tak mungkin ditemukan di kota tempat kami tinggal. Sore hari kami tiba di tempat dan segera mendirikan tenda. Rencananya kami akan tinggal selama tiga hari di sini. Kami membawa dua tenda. Satu tenda besar untuk kami berlima, dan satu tenda kecil untuk supir. Malam pertama begitu mengasyikkan. Apalagi supir temanku ternyata jago memancing. Kami makan ikan segar dari hasil pancingannya. Sambil bernyanyi diiringi gitar di depan api unggun. Udara malam yang dingin sama sekali tak mengganggu.

Pagi harinya kami mandi di sungai. Sambil sesekali bercanda saling dorong. Air sungai sangat dingin walaupun matahari telah terbit. Kami tak berlama-lama di sungai, tak tahan dengan dinginnya air. Kegiatan kami pagi ini adalah menjelajah isi hutan. Setelah siap dengan senter dan peralatan selengkap mungkin, kami mulai menjelajah. Seru juga melihat isi hutan yang tak tersentuh oleh tangan manusia. Melihat pohon-pohon yang tumbuh begitu tinggi. Mendengar kicau burung yang nakal. Bau tumbuh-tumbuhan dan jamur serta lumut. Alam sungguh mempesona. Setengah hari kami berada dalam hutan. Rasanya seluruh otot kami tertarik seperti habis melakukan olah raga yang berlebihan. Tapi kami semua puas. Setelah makan malam dan beberapa teguk minuman keras milik supir, teman-temanku segera masuk dalam tenda dan bergegas tidur. Aku masih duduk di depan api unggun yang semakin mengecil. Kumasukkan beberapa dahan kering hasil mencari di dalam hutan hari ini. Supir temanku masih asyik dengan minuman kerasnya. Nampaknya ia sudah setengah mabuk. Kami pun mulai bercerita panjang lebar tak jelas arahnya. Ternyata supir temanku ini pendatang di kota kami. Sudah hampir dua tahun dia bekerja di rumah temanku. Aku kagum dengan kegigihannya. Supir ini memulai semuanya dari nol. Hingga sekarang sudah bisa menghidupi anak dan istrinya. Walau hanya sebagai supir ternyata hidupnya tak kekurangan satu apapun. Tak lama bercerita tentang hidupnya, ia mulai menangis. Aku pun heran. Dengan setengah mabuk ia menceritakan perbuatannya dulu waktu baru datang ke kota kami dan masih menganggur. Aku mendengarnya dengan jantung berdebar. Perlahan kuambil gitar yang berada dekat denganku dan kuhantamkan ke kepalanya. Gitar itu hancur berantakan. Samar-samar kulihat darah menetes dari kepala supir itu. Aku masih terus memukulkan batang gitar ke arah supir biadab yang telah membunuh kakakku. Pelaku yang selama ini tak diketahui kemana raibnya sekarang ada tepat di depanku. Entah setan dari mana yang merasukiku, pukulanku bertubi-tubi menghantam tubuh yang setengah mabuk itu. Supir itu kesakitan dan berteriak, tapi aku tak perduli. Karena tak berdaya, ia berlari masuk ke hutan dan aku terus mengejar dari belakang. Aku mendengar dia berteriak minta ampun. Teriakannya membuatku semakin bernafsu. Aku ingin orang ini mati di tanganku.

Entah berapa lama kami berlari dalam hutan yang gelap. Hanya diterangi cahaya bulan yang terhalang rimbunnya pepohonan di hutan, kami terus berlari. Kalau akal sehatku berjalan, aku akan ketakutan karena sudah pasti kami tersesat tak jelas berada di mana. Tapi insting membunuhku sedang menggila. Aku benar-benar gila. Aku terus mengejarnya hingga beberapa detik terakhir, supir itu berhenti mendadak. Aku tak perduli apa yang menghadangnya di depan sana. Aku menerjang tubuh setengah mabuk itu dan kami terjatuh ke dalam jurang. Tiba-tiba semua menjadi gelap. Semua menjadi begitu tenang.

Saat terbangun, aku tahu kakiku patah dan ada luka besar di pinggangku. Tak ada rasa sakit lagi, aku mati rasa. Mataku masih sibuk mencari jasad supir itu. Tak jauh dari tempatku jatuh, terlihat kepala supir itu pecah dan darah mengalir seperti lukisan merah yang sangat lebar. Matanya melotot seperti di film-film horor. Aku tak takut melihatnya. Bahkan aku lebih kesal kenapa bukan tanganku yang menghabisi keparat itu. Langit sudah mulai terang. Perlahan biru itu memenuhi angkasa. Sama seperti namaku.

Langit biru

Burung biru
Mati pun biru

Tangisku biru

Matiku biru

Kuning

Kuning seharusnya ceria
Kuning itu bahagia
Tapi kuningku bukan kuning yang dimaksud
Kuningku buram tanpa celah
Tenggelamkan aku dalam tanah

Kak Jingga, Inga panggilannya. Aku rindu dia. Sejauh apapun aku mencari, aku tahu itu percuma. Jingga telah pergi jauh bersama kawanan pelangi. Dan aku Kuning, harus menanggung bebannya yang belum selesai.

Panggil aku Ning, sama seperti panggilanku di sekolah. Kalau di rumah Ayah selalu memanggil kami berlima dengan nama lengkap. Jingga, Kuning, Biru, Nila, Hijau. Obsesi Ayah dan Ibu dulu adalah menciptakan pelangi dalam keluarga. Kami mendapat masing-masing satu warna sebagai nama. Usia kami masing-masing berselang dua tahun. Ayah termasuk orang yang suka anak banyak. Lebih tepatnya, Ibu yang memaksa ingin memiliki tujuh warna pelangi sebagai anak-anaknya. Kak Jingga, anak pertama mereka telah redup warnanya dan kembali ke angkasa. Hal itu terjadi dua tahun lalu. Sekarang aku duduk di kelasnya. Mungkin aku juga duduk di kursi yang sama seperti kursi yang diduduki Kak Jingga semasa hidupnya dulu. Bedanya, aku tak secantik ataupun sepintar Kak Inga. Tapi aku mahir memasak dan olah raga. Tentu saja, sejak Kak Inga tiada, akulah yang sehari-hari menyiapkan makanan di rumah. Walau adik-adikku sering membandingkan rasa masakanku yang tak seenak masakan Kak Inga, aku tetap menyiapkan untuk mereka. Karena itu permintaan Kak Inga. Orang yang dulu menjadi tumpuan setiap air mata dan curahan hatiku. Aku sungguh merindukannya.

Setahun sebelum Kak Inga meninggal, aku masih ingat masa-masa itu. Saat aku baru dimarahi Ayah karena nilai ujianku menurun. Aku menangis sejadi-jadinya di bahu Kak Inga. Saat itu Ayah begitu dingin. Nasib kami seperti bawahannya di kantor. Begitu ada kesalahan, Ayah tak segan-segan membentak kami dengan keras. Bukan hanya sebentar. Kemarahan Ayah bisa bertahan seharian (kalau bahan bakar emosinya sedang banyak). Kak Inga selalu menjadi penengah, tapi tentu saja gagal. Pada akhirnya kami berlima hanya bisa diam menunggu kapan kobaran api itu padam. Perlahan kami menjadi semakin diam. Kak Inga adalah yang paling sulung. Tak terbayangkan betapa berat beban yang ditanggungnya sejak Ibu tiada. Lalu suatu malam, Kak Inga datang ke kamarku karena ia tahu aku tengah terisak setelah mengalami amukan Ayah. Kak Inga mengangkat wajahku dari bantal yang setengah basah oleh air mataku. Ia meletakkan wajahku di pangkuannya sambil terus membelai rambutku. Sambil membelai aku mendengar bisikannya. Ia bercerita betapa Ayah sangat mencintai kami, dan juga tentang Ayah yang menangis sendiri di kamarnya setiap habis marah. Kakak begitu tegar menghadapi itu semua. Ia mengajariku menjadi kuat agar suatu saat nanti ketika ia tiada, akulah yang akan mengerjakan tugasnya. Permintaannya saat itu membuatku ketakukan, seakan-akan ia akan meninggalkanku saat itu juga. Aku memeluk erat pangkuannya sambil terisak dan memintanya jangan pernah meninggalkan kami.

Sebentar lagi ujian. Setelah itu, mau tak mau aku akan pergi ke luar kota untuk melanjutkan pendidikanku ke perguruan tinggi. Tapi rasanya begitu berat memikirkan bagaimana Ayah dan adik-adikku nantinya. Aku tahu betapa sakitnya ditinggalkan oleh orang yang kita sayangi. Aku tak mau adik-adikku merasakan lagi kehilangan satu orang dalam keluarga. Apalagi Ayah. Aku tahu belakangan ia terlihat merenung memikirkan pelanginya yang semakin buyar. Ayah tahu suatu saat nanti kami akan meninggalkannya satu per satu. Karena itu juga aku tak pernah memberitahukan hubunganku dengan Kak Andy yang semakin dekat sejak satu tahun lalu. Aku takut Ayah akan kecewa padaku.

Kak Andy adalah sosok pasangan yang baik. Sejak Kak Inga meninggal, ia menggantikan perhatian Kak Inga pada kami. Dalam hatinya, Kak Andy merasa bersalah karena tak mampu menyelamatkan Kak Inga. Perlahan komunikasi kami berkembang menjadi cinta. Tapi aku tak berani memberitahukan itu pada Ayah ataupun adik-adikku. Hubungan kami semakin erat dari hari ke hari. Tanpa seorangpun tahu, kami terus menjalankannya. Kak Andy sengaja tidak melanjutkan pendidikannya setelah lulus SMA. Ia bekerja di bengkel dekat rumah kami. Kedua orang tuanya sangat marah ketika mengetahui keinginan Kak Andy untuk bekerja. Alasannya saat itu karena tak ingin kuliah. Padahal aku tahu, ia hanya tak bisa jauh dari keluarga kami. Rasa bersalah telah mengikatnya pada kami. Walau sering aku memintanya untuk melupakan masa lalu, dan berapa kali pun aku memberitahunya bahwa kami sama sekali tak menyalahkannya atas kejadian itu. Kak Andy tetap datang dan menjaga kami. Kapanpun kami butuh. Aku sempat takut apakah rasa cinta yang hadir di antara kami ini benar-benar cinta sepasang manusia, ataukah ada turut campur rasa bersalahnya. Kekhawatiranku terjawab sendiri pada akhirnya. Hati kami yang bicara.

Tak ada yang kebetulan dalam hal cinta
Semua telah ada jalannya
Kemana ujungnya berada
Tak ada yang tahu jua

Setahun berlalu sangat cepat. Kak Andy telah merasuki aku terlalu dalam. Aku takut suatu saat nanti harus melepasnya demi orang rumah. aku juga tak bisa meninggalkan tugasku sebagai pengganti Kak Inga. Lonceng jam istirahat membuyarkan penatnya pikiranku seperti bom atom yang meledak tepat di inti kota. Seluruh isinya hancur menjadi debu terhempas angin kencang. Aku kelaparan setelah otakku bekerja terlalu keras mencerna semua masalah yang belum kutemukan jalan keluarnya. Kak Andy juga sama, tak memberiku jawaban untuk hubungan yang aku tak tahu kemana ujungnya. Mungkin suatu saat nanti kami akan menikah dan tinggal dekat rumah, atau mungkin kami terpaksa berpisah karena tak mendapat restu orang tua. Aku tahu kedua orang tua Kak Andy tak akan merestui hubungan kami, apalagi sejak Kak Andy memutuskan untuk bekerja. Seolah kami lah yang telah memaksa anak mereka melakukan kewajiban itu. Bahkan tak pantas disebut kewajiban. Itu kemauan Kak Andy sendiri. Dan aku tak berharap kedua orang tuanya akan mengerti. Siang ini aku menyantap bakso Pak Bondan, bakso paling tenar di kantin SMA kami. Tapi ketenaran bakso favoritku ternyata tak mampu merangsang saraf-sarafku untuk memaksa otak ini bekerja. Seolah tubuhku kehilangan tenaga, tak ada satupun gerakan untuk menyendok bakso sedap itu ke mulut. Perasaan seorang wanita memang dahsyat. Seperti rumus akuntansi yang memerlukan ketelitian dan ketelatenan untuk bisa menguasainya. Hebatnya lagi, aku bukan anak yang suka berlama-lama mempelajari sesuatu.

Setitik itu tumbuh jadi kecambah lalu berbunga
Wanginya mengalahkan narwastu dan wewangian bunda
Memaksaku terseret bersama gesekan asmara
Sekuat apa aku meronta
Semua sebatas jeritan tanpa daya

Ujian sekolah telah terlewati. Aku merasa seperti tokoh dalam cerita dongeng, seorang bocah yang tersesat masuk ke hutan dan terus berjalan hingga tiba di ujung jurang. Pada akhirnya ia harus memilih untuk menuruni jurang itu atau melangkah masuk ke dalam hutan yang tak jelas kemana ujungnya. Aku bosan dengan keadaan sesat ini. Mungkin aku memilih terjun bebas ke dalam jurang. Apakah nantinya aku akan selamat atau mati seketika terhantam batuan di bawah jurang, semua terserah kemauan Tuhan.

Tiga minggu setelah ujian akhir, nilai ujian keluar. Aku lulus berkat satu keajaiban. Dan keajaiban itu menjadi beban. Sekaranglah saatnya aku untuk memutuskan. Mengakui hubunganku dengan Kak Andy dan tinggal di sini, atau harus pergi melanjutkan pendidikanku di luar kota. Yang berarti aku harus mengubur dalam-dalam rasa cintaku pada Kak Andy dan meninggalkan kisah itu di belakang, bersama keluargaku. Semalaman aku tak bisa tidur dan memanjat ke atap untuk duduk memandang bulan. Kekonyolanku yang paling polos adalah saat aku bertanya pada bulan, apa yang harusnya kulakukan. Tentu saja bulan diam. Kalau bulan bisa bertingkah, mungkin dia akan tertawa sampai terkentut-kentut mengejek pertanyaan bodohku. Lalu aku meringkuk dan menangis. Malam ini aku benar-benar butuh dia. Kak Inga.

Ayah berteriak dari lantai bawah memanggilku. Aku tertidur di atap. Bulan pun sudah pulang ke belahan bumi lain. Sekarang matahari memanggangku dari atas sana. Aku lupa hari ini adalah hari sabtu. Hari dimana sekolah dan kantor diliburkan untuk menikmati waktu bersama keluarga. Hari dimana kami sekeluarga akan mampir ke makam Ibu dan Kak Inga. Salah satu kegilaan Ibu adalah sepetak tanah yang telah disiapkan untuk ia dan suaminya, bersama ketujuh warna pelanginya. Sayangnya Kak Inga mendahului Ayah berkumpul di sana bersama Ibu. Tapi aku yakin Kak Inga sekarang tengah tersenyum bersama Ibu di surga. Dulu aku pernah bermimpi Kak Inga datang menjenguk kami. Ia bersinar dan memiliki sepasang sayap putih. Gaunnya melambai diterpa angin. Rambutnya pun begitu indah. Walau hanya dalam mimpi tapi aku yakin Kak Inga sekarang bahagia di surga. Bersama Ibu tentunya. Aku bergegas turun dan bersiap memasak sarapan. Sedikit terlambat nampaknya. Ayah telah melakukan pekerjaanku. Sudah terlalu siang juga untuk sarapan. Aku mengambil sepotong roti bakar dan seiris daging panggang serta segelas susu. Setelah itu aku lari ke kamar mandi dan menyelesaikan persiapanku untuk menjenguk Ibu dan Kak Inga.

Hari inilah akhir dari semua penantian. Setelah selesai acara bersih-bersih makam dan tabur bunga, ketiga adikku pulang lebih dulu. Aku meminta waktu pada Ayah untuk bicara. Aku menceritakan semuanya. Saat itu juga Ayah menjadi diam dan berjalan pulang, meninggalkan aku di makam bersama Ibu dan Kak Inga. Aku merasa sangat bersalah. Aku tahu Ayah kecewa. Saat aku pulang, Ayah tak ada. Biru terlihat sedikit marah. Mungkin adikku Biru tahu Ayah belum pulang karena marah padaku. Biru adalah orang kedua yang mendengarkan kisahku. Nampaknya ia mengerti. Tapi bukan berarti ia memaafkan aku yang telah membuat Ayah tak pulang.

Dua hari setelah kejadian itu, Ayah pulang ke rumah. Ia meminta maaf karena telah pergi tanpa kabar. Aku diam saja tak berkomentar. Aku sudah membulat dalam tekad. Malamnya setelah makan aku pamitan pada mereka. Aku menaruh surat di bawah bantal mereka semua. Surat pamit yang resmi kuedarkan untuk setiap anggota keluargaku. Dua hari yang lalu setelah bicara dengan Ayah dan Biru, aku menghubungi Kak Andy. Keputusanku sudah matang. Setelah Ayah pulang, aku akan pergi dari kota ini. Dengan atau tanpa Kak Andy. Dan aku ingin tahu apakah orang yang memberikan hatinya untukku ini, apakah dia akan membuktikan kebenaran cintanya. Malam inilah semua akan terjawab. Tepat tengah malam, aku turun lewat jendela. Berjalan tanpa suara ke arah jalan besar. Di ujung jalan, terlihat Kak Andy juga sudah siap sedia. Ada satu ransel besar yang aku tak tahu apa isinya. Kami berdua berjalan bersama. Kemana dan bagaimana tak menjadi masalah. Yang pasti adalah kami tak akan pernah kembali ke kota ini. Aku berharap Ayah dan adik-adikku mau mengerti isi suratku. Kak Inga yang di surga bersama Ibu, tolong jaga mereka.

Dan aku berjalan di samping dia
Setengahku yang tetap setia
Hingga akhir senja


Sabtu, 20 Maret 2010

Jingga

Jingga adalah anak pertama dari lima bersaudara
Gadis cantik yang masih belia
Jingga siswi pujaan di sekolah
Belia pandai dan berprestasi
Jingga adalah korban ketiga
Jingga adalah aku

Harus kumulai semuanya dari satu minggu sebelum pembunuhan terjadi. Aku adalah Jingga. Anak pertama dari lima bersaudara. Aku duduk di kelas tiga SMA. Kami berlima memiliki nama dari warna-warna pelangi. Ibu meninggal sebelum sempat menggenapi ketujuh warna pelangi. Penyesalan terbesar ayah adalah karena aku terlahir dengan cacat bawaan. Aku memiliki ujung ibu jari tangan kiri yang bercabang. Bisa dibilang tangan kiriku memiliki enam kuku. Kekuranganku itu tersamarkan oleh kelebihan yang aku miliki. Sebagai gadis belia aku termasuk cantik. Selain itu aku juga berprestasi. Aku termasuk anak yang cukup dikenal mudah bergaul dan sopan. tentu saja, ayah dan ibu sangat ketat soal tata krama. Kami berlima adalah anak ayah dan ibu yang tak perlu dipertanyakan kesopanannya. Kami diajar dengan baik. Keluarga kami bahagia. Ayah dan Ibu juga menjadi teladan yang sempurna. Ayah seorang pegawai negeri dengan penghasilan yang mencukupi. Ibu adalah ibu rumah tangga yang cantik dan sangat ramah. Semua itu berakhir sejak ibu meninggal. Ayah menjadi pendiam dan sangat dingin. Tak ada satu pun dari kami yang berani mendekat ketika ayah sedang marah. Kemarahan Ayah kadang dipicu hal-hal kecil. Kami berlima semakin diam ketika berada di rumah. Tapi kami cukup bahagia karena kami masih punya Ayah.

Sebulan sebelum pembunuhan aku mulai pacaran. Andi namanya. Teman sekelas yang menjadi idola. Semua orang iri melihat kami bersama. Tapi aku merasa biasa saja. Andy terlalu vulgar saat sedang berdua. Tapi kami tak melewati batas yang semestinya. Andy tahu Ayah bisa membunuhnya kalau berani macam-macam. Seminggu sebelum pembunuhan aku dan Andy sepakat bertemu di taman kota pada hari jumat sepulang sekolah. Setiap jumat di dekat taman ada pasar murah. Banyak anak remaja dan anak-anak datang ke pasar murah. Di sana ada berbagai macam kue dan jajanan murah, ada penjual pakaian dan berbagai macam tenda yang menjual pernak-pernik, permainan, makanan dan pakaian. Aku dan Andy paling suka membeli susu kedelai dan martabak telur lalu duduk di bawah pohon besar di tengah-tengah taman. Ada tulisan besar "dilarang menginjak rumput" yang sering kami cabut ketika akan duduk di rerumputan bawah pohon (dan tak pernah lupa memasangnya kembali setiap kami akan pulang). Aku bahagia. Andy pun terlihat sama.

Hari sabtu kami wajib pergi ke makam Ibu untuk membersihkan rumput serta menabur bunga kesayangan Ibu ke atas makam. Kami melakukannya sejak hari pertama Ibu dimakamkan di sana. Seperti biasa, ayah akan berdandan rapi dan mengumpulkan anak-anaknya untuk bergegas pergi ke makam Ibu. Kadang kupikir ayahku sedikit gila. Kami wajib melakukannya setiap minggu, tepat hari sabtu bahkan ketika hujan mengguyur kota. Tapi aku kagum pada cinta Ayah yang begitu besar pada Ibu. Tak sekali pun kulihat Ayah mendekati wanita lain semenjak kepergian Ibu. Kadang aku kasihan melihatnya. Seharusnya ada seorang wanita dewasa yang mengurus rumah tangganya. Kami butuh kehangatan seperti waktu Ibu ada.

Pulang dari makam, aku menyiapkan makan siang. Setelah kami duduk bersama, Ayah tiba-tiba tersenyum ramah. Ia memandangi kami satu per satu. Hal yang tak biasanya dilakukan Ayah sejak hatinya membeku. Kami membalas senyuman Ayah seolah itulah matahari pertama yang kami dapat setelah sekian lama. Ayah lalu terisak. Ia meminta kami mendekat lalu kami didekap erat. Sambil teriak aku sempat mendengar Ayah berbisik meminta maaf karena kesalahannya telah melupakan kehangatan yang seharusnya kami nikmati seperti dulu. Ayah berjanji akan berubah. Kami pun terisak bersamanya dalam waktu yang cukup lama. Kami seperti menemukan kehangatan yang tersimpan lama di dalam hati Ayah.

Minggu pagi Ayah mengajak kami piknik bersama. Kami semua sangat gembira. Ayah benar-benar berusaha mengembalikan keceriaan dalam keluarga. Ia sempat menggendong Hijau, adik terkecilku. Kami semua tertawa bahagia seharian. Waktu seakan begitu cepat berlalu. Tapi kami tahu, Ayah telah kembali. Senin pun tiba. Aku kembali ke sekolah bertemu Andy. Pada saat istirahat tiba, aku menceritakan kebahagiaanku padanya. Andy terlihat senang dan ia merasa aku terlihat sangat ceria hari ini. Tentu saja, karena aku sangat menginginkan Ayah kembali menjadi Ayah yang hangat dan ramah. Dan itu terjadi kemarin seolah aku sedang bermimpi. Lebih menggembirakan lagi karena mimpi itu menjadi kenyataan. Setelah asik bercerita, jam masuk pun berbunyi. Kami melewatkan makan siang karena ceritaku. Andy terlihat kelaparan di kelas. Aku merasa kasihan padanya.

Hari selasa seperti biasa aku bersekolah. Adik pertamaku Kuning titip beberapa jajanan dari kantin sekolah. Aku menyisihkan sebagian uang makan siang untuk membelikannya. Aku sangat sayang mereka. Sejak Ibu tak ada, akulah yang mereka punya. Karena aku perempuan dan aku paling tua diantara mereka. Aku merasa wajib merawat adik-adikku. Setidaknya mereka tak perlu merasakan apa yang kurasa. Akan jauh lebih baik bila mereka masih ada seorang yang lebih tua dan sayang pada mereka. Tapi sekarang Ayah sudah kembali seperti Ayah yang dulu. Dan bebanku setidaknya lebih sedikit sekarang ini. Sepulang sekolah aku mampir ke toko buku untuk mengembalikan pinjaman majalah. Aku sangat suka membaca. Dalam satu minggu aku bisa menghabiskan puluhan majalah dan komik. Aku juga suka novel dan cerpen. Sangat menyenangkan menjadi pelajar, karena kami mendapat potongan harga untuk setiap buku yang kami pinjam. Selain itu, pemilik toko juga sudah kenal dekat dengan anak-anak sekolah kami sehingga kami leluasa berada di sini. Saat tak ada uang pun kami diizinkan membaca di tempat. Tapi tentu saja dibatasi untuk buku-buku lama. Sedangkan buku baru wajib disewa.

Hari rabu aku pergi ke ulang tahun temanku Karla. Pestanya sederhana tapi sangat menyenangkan. Ayah dan Ibu Karla sangat ramah, mengingatkanku pada Ayah dan Ibuku sendiri. Karla pasti bahagia menjadi anak mereka. Andy juga datang tapi tak bersamaku. Dia lebih memilih untuk kumpul bersama rombongan anak laki-laki lainnya. Bukan masalah buatku karena kami selalu bersama dilain waktu. Andy pun bukan orang yang suka berganti pasangan. Aku tahu itu karena akulah pacar pertamanya di sekolah. Tak sekalipun ia melirik atau mendekati perempuan lain selain aku. Aku merasa telah menemukan pendamping hidupku, walaupun aku tahu perjalanan kami masih sangat panjang.

Hari kamis pun begitu. Tak ada satu pun pertanda bahwa besok adalah hari kematianku. Aku sempat bermain dengan adik-adikku di depan rumah. Kami bercanda dan terbahak-bahak sambil menunggu Ayah pulang. Boleh dibilang, kami telah menemukan kehangatan yang kami cari. Keluarga seperti inilah kami sewaktu Ibu masih ada. Kami bahagia. Aku sangat bahagia. Ayah pulang membawa ikan bakar yang dibelinya dekat kantor. Kami makan bersama dengan lahap. Ikan bakar yang ayah beli rasanya enak sekali. Lebih nikmat karena kami makan bersama dan bahagia.

Hari jumat aku masuk sekolah dan seperti biasa sepakat dengan Andy untuk bertemu di taman. Sepulang sekolah aku sempat mengantar jajanan kesukaan adikku ke rumah. Lalu aku mandi dan bersiap ke taman. Di depan rumahku muncul orang gila yang terlihat kasihan. Seorang pria renta yang tampak kebingungan dan kelaparan. Aku takut tapi memberanikan diri menyerahkan sejumlah uang yang kubawa agar ia bisa membeli makanan dengan uang itu. Tapi nampaknya sia-sia. Setelah menyerahkan uang dan bergegas, aku melihat orang gila itu membuang uangnya ke tempat sampah. Aku tak perduli dan terus berjalan. Tiba-tiba dari belakang ada orang yang membekap mulut dan menarikku ke dalam semak-semak di dekat jalan. Aku meronta tapi tak bisa, tenaganya terlalu kuat. Di sana aku sangat ketakutan dan teringat adik-adikku. Mungkin saja setelah ini penjahat yang mencengkeramku akan pergi ke rumah dan menyakiti adik-adikku. Aku tak tahu siapa dia, tapi dia menjahatiku. Setelah itu aku dicekik sampai mati. Langit tiba-tiba mendung dan hujan mengguyur jasadku, menghapus air mataku.

Sabtu sore jasadku ditemukan. Aku melihat Ayah sangat terpukul melihat jasadku. Sabtu ini Ayah dan adik-adikku tak pergi ke makam Ibu, tapi mereka menyiapkan jasadku. Aku mati dan pelaku pembunuhan tak pernah ditemukan. Aku tak tahu siapa dia, dan memang bukan orang yang kukenal. Aku menangis di dekat Ayah dan adik-adikku, berharap mereka bisa menerima kepergianku. Andy pun datang ke pemakanku dan terlihat sangat berantakan. Sepertinya ia merasa bersalah karena tak mampu menjagaku. Tapi bukan salahnya kalau hari itu aku mati dibunuh. Aku tak pernah menyalahkan siapapun. Roh ku hanya bertahan beberapa hari di bumi sebelum malaikat maut menjemputku. Aku meninggalkan adik-adikku dengan cara yang sangat kejam. Aku merasa bersalah karena tidak berhasil mempertahankan kehangatan yang baru saja mereka rasakan setelah sekian lama. Aku takut Ayah kembali membeku.