Kamis, 29 April 2010

About Erick

Aku mengenalnya tak lebih dari satu tahun. Tapi jejaknya membekas begitu dalam bersisa. Tak ada satu pun obat di dunia yang mampu menutupnya. Dia yang kukenal, wataknya mirip dengan bongkahan karang beku di laut Antartika sana. Kadang leleh bersama hangat mentari, kemudian beku bersama remang rembulan. Dialah Erick yang kukenal. Pribadi yang menguasai hati dan pikiranku. Terlalu singkat, sebelum aku sadar dari lamunan, ia telah pergi. Dia yang pertama membuatku jatuh dalam peluk asmara. Dia juga yang ajarkan sakitnya putus cinta. Bukan cinta yang biasa, melainkan cinta yang paling pertama ada. Di antara begitu banyak orang, kenapa harus dia. Andai waktu itu aku tahu lebih lagi tentang dia, tak akan kuambil langkah yang membawaku pada jurang pembuangan bangkai cinta. Aku memilih untuk sendiri. Tanpa pernah mengenal cinta.

Semua sudah ada alurnya. Aku ini hanyalah tetesan kecil yang bergerak pasrah mengaliri seutas tali. Tak pernah berpikir beban yang kubawa akan membuatku terjatuh, atau sampai ke mana tali akan berakhir. Aku hanya mengikuti aliran yang membiusku. Seperti layangan kertas yang doyan dimainkan angin kemana suka. Saat peganganku lepas, aku akan sebebas camar di lautan, mengangkasa bersama hembusan angin tanpa rasa takut akan terjatuh. Setidaknya rasa ini bertahan sampai ketika jasadku menyentuh tanah. Benturan keras akan membangunkanku dari lamunan panjang tentang dia. Erick. Orang yang membuatku merasakan cinta.

Selasa, 20 April 2010

Inginmu

Darimu ku dapat cinta
Darimu ku dapat bahagia
Darimu ku dapat dusta
Darimu ku dapat nestapa
Darimu ku dapat semua
Darimu ku dapat akhir dunia

Tak kau ingat berapa lama jarak ruang dan waktu telah tergilas roda kehidupan, tak ada kabar darimu dan tanpa ucap berpisah. Yang pasti, aku tahu saat itu kita telah benar-benar berpisah. Benang merah yang mengikat kita telah ditarik merenggang hingga habis kemampuannya merenggang, dan terputus tanpa daya. Saat itulah cerita kita berakhir dengan titik hitam kecil sebagai tanda akhir cerita. Tapi aku bukan menyesalkan perpisahan itu. Aku menyesal kenapa tidak kurampas semua kontak yang masih kau simpan hingga terjadi jalinan komunikasi tak disengaja siang ini. Email darimu menggoda anganku untuk melirik kembali lembaran lama. Sesuatu yang tak seharusnya kulayani tanpa perlawanan. Percikan api asmara di tumpukan nista itu kembali menyala. Entah mantra apa, padahal kubaca isi email darimu hanya kata-kata biasa. Tak ada cinta di sana. Mungkin aku yang terlalu genit tak mampu membendung gelora lama di saat kita masih bersama. Aku memang orang yang sulit melupakan cinta. Sialnya, kau adalah cinta terhebat yang pernah kupunya. Sama tidak jelasnya dengan perpisahan kita, benang merah di jariku terasa membelit. Mengencang seakan ditarik mengarah pasanganku. Mungkin ini pertanda. Percintaan yang lama telah bangkit dari kuburnya.

Sore itu juga kita berjumpa di kedai kopi. Tempat pertama kita jumpa. Aku masih ingat setelan yang melekat padamu saat itu. Sama persis dengan yang kau pakai sekarang. Mungkinkah ada niat untuk membangkitkan kenangan itu, karena aku juga mengenakan setelan yang sama. Mungkin kita berdua masih menginginkannya. Mungkin juga hanya kebetulan belaka. Aku tak berharap lebih, walau jantungku berdegup kencang seperti dikejar waktu. Aku gugup. Tapi dari gelagatmu yang tenang, nampaknya aku tak perlu berharap terlalu jauh. Wajahmu dingin seperti biasa, dengan bekas cukur yang rapih. Menggelitik tanganku untuk sekedar menyentuh dagu belah itu. Mencium segarnya aroma maskulin dari parfum yang kau pakai, langsung dari tempat jatuhnya semprotan. Aku terlalu binal. Dan ini berbahaya untuk kita berdua.

Perbincangan ringan dimulai sebagai awal yang aman. Kita berdua bermain tarik ulur, sesekali aku melihat lirikan nakal dari sudut matamu. Aku yakin itu rayuan. Tapi kita berdua sama bebal. Bertahan menunggu panggilan, tak mau menjadi tersangka dalam skandal yang tengah berlangsung, yang tanpa kita sadari, telah menenggelamkan kita terlalu jauh. Tapi kita pasrah dalam pelukan gelombang, terus tenggelam menunggu kapan mencapai dasar. Jarum jam bergerak gelisah, menunggu kapan kita beranjak dari ruang kecil ini sementara gelas kopi kita telah berulang kali terisi. Kau yang tak suka kopi pun telah meneguk empat cangkir kopi kental manis. Apa mungkin kau juga tersentuh racun cinta. Aku tetap tak mau berharap terlalu banyak.

Bahasa tubuh kita semakin gundah. Godaan demi godaan ditepis dengan menyisakan sedikit sesal. Berharap dinding besi yang membatasi kita segera roboh seperti tembok Berlin. Dinding yang berdiri atas dasar kebodohan. Sesuatu yang tak seharusnya ada karena memang tak diperlukan adanya. Harga diri juga menjadi alasan kenapa kita tak saling berpeluk saja sambil menyalurkan hasrat menggebu ini lewat ciuman panas. Kebodohan kita yang masih terikat norma. Atau mungkin rasa takut bahwa pertemuan ini akan berakhir seketika kita saling bersentuhan. Aku baru sadar dari awal kita tak saling menyentuh, bahkan seujung jari pun. Seolah kenyataan ini memaksaku yakin. Kau juga takut kehilangan moment ini.

Akhirnya kuberanikan diri mengambil langkah pasti. Menyerangmu dengan pertanyaan yang seharusnya keluar saat kita berpisah. Aku mencari kepastian kenapa. Alasan munculnya jeda di cerita kita.

"Sekian lama, aku penasaran kenapa baru sekarang kamu datang. Apa kabarnya Lisa ? sudah punya anak darinya ?" Jangan kaget dengan pertanyaan ini, karena aku pun setengah sadar saat mengucapnya.

"Jim, aku dan Lisa sudah cerita lama. Hatiku masih tetap sama. Aku mau kau percaya apapun caranya."

Kulihat wajah sedih menggantung di sana. Sebuah penyesalan. Membuatku agak puas dan merasa menang, tapi tak mengobati luka menganga yang kau tinggal di jantung hatiku. Setidaknya aku tahu bahwa cintamu padaku bukan sebuah permainan semu. Cintamu nyata dan bertahan di sana sampai sekarang. Hidup dalam liang lahat yang digali kedua orang tuamu yang telah memaksamu menikahi Lisa, gadis pilihan mereka. Mereka tak memilihku karena kelamin kita sama. Andai misteri cinta terkuak jawabnya, tentu mereka tak sepicik itu menghakimi cinta hanya dari kelamin saja. Cinta mampu menembus era. Meremukkan tulang punggung norma. Hanya bagi mereka yang percaya bahwa cinta sejati itu ada, seperti kita. Maka cinta akan bertahan dalam kondisi apapun juga.

Ingin kudekap erat wajahmu ke dalam dadaku. Sama seperti dulu, saat kita masih muda dan tak tahu malu. Saat kau tanpa ragu mencium bibirku sambil menyentuh wajahku, dan berbisik betapa kau suka wangi shampo-ku. Aku rindu moment-moment yang telah berlalu. Sekarang kita duduk berseberangan tanpa daya untuk melakukan itu. Ingin kulepas ragaku sesaat hingga jiwaku mampu menyatu dengan ragamu. Biarlah kita berbagi raga berdua, asal bisa bersama. Daniel. Nama yang kukejar dalam mimpi-mimpiku.

"Kau belum jawab tentang Lisa, apa Ayah dan Ibumu sudah dapat cucu darinya ?"
Aku berusaha dingin agar tak dianggap lemah, walau sebenarnya tak perlu adanya, sama seperti dinding besi yang menjaga jarak di antara kita.

"Lisa sudah mendapat anak dariku, tapi dengan program bayi tabung. Aku tak pernah menyentuhnya. Kami bercerai setelah Amy lahir. Sekarang mereka tinggal bersama Ayah dan Ibu-ku. Aku tak cukup kuat bertahan sampai muncul penerus keluargaku. Aku menyerah dan lari dari rumah. Aku kembali untukmu, Jim."
Aku yakin mendengar walau sedikit, ada isak tangismu di sana.

"Daniel, kalau kau tak merasa cukup kuat, seharusnya kau bilang dari awal. Saat itu aku pasti menjadi peganganmu. Tapi kau membuangku saat itu, Dan. Apa aku bisa percaya kalau kau tak akan menghilang lagi seperti dulu ?"

Air mata kita mengalir tanpa suara. Hanya ada besi dingin yang terus menghalangi jalan kita. kau di sisi yang berbeda, dan aku di sisi satunya. Meratap tajam pada dinding pemisah itu, seolah tatapan kita mampu meremukkan setiap jengkalnya. Dinding itu begitu tebal menghadang. Tapi aku masih bisa mendengar degup jantungmu yang tak pernah berdusta.

Pertemuan setelah sekian lama, dan kita berpisah lagi. Kali ini dengan janji akan bertemu kembali sabtu nanti. Jam dan tempat yang sama. Aku sangat bahagia. Sungguh, aku sangat bahagia. Inilah saat yang paling kutunggu dalam hidupku. Kalau aku punya uang banyak di rekeningku, pasti sudah kusebar uang-uang itu ke jalanan sekedar melukiskan perasaanku. Tapi perpisahan ini sedikit menakutkan. Dingin yang melebihi bongkahan es tiba-tiba menusuk jantungku. Aku takut kehilanganmu. Aku berbalik mencarimu, dan aku melihat sorot matamu dari kejauhan mencari jawaban yang sama. Diam berdiri di sini menunggumu berlari ke arahku. Ya, kau berlari ke arahku. Aku diam terpaku, berharap ini bukan mimpi yang tak pernah berhenti menggoda.

Kau menarik tanganku, masuk dalam taxi. Kau menyebutkan satu alamat pada supir, dan aku bahkan tak memperhatikan. Aku hanya melihat gerak bibirmu yang menggiurkan. Mendengar detak jantungmu yang menggebu, dan nafasmu yang berkejaran. Lalu mata-mu. Mata kita bertemu sepanjang perjalanan. Tanpa sepatah kata terucap, kita berbicara dalam bahasa yang paling rumit, bahasa cinta.

Tiba di tempat, kau membayar uang lebih dari yang tertera. Kau menarik tanganku menaiki tangga menuju lobby dan terus melesat ke lift. Dalam lift pun kita masih diam. Seolah waktu berjalan begitu pelan hingga akhirnya kita tiba di apartemenmu. Kau menarikku dengan keras seolah-olah kau sedang marah. Tapi dari pancaran matamu, aku tahu kau tak sedang marah. Aku hanya diam pasrah karena aku tak merasa perlu untuk menolak apa yang telah kuharapkan. Seketika kurasakan bibirmu menempel lembut, bermain di atas bibirku. Basah dan lembut. Memaksa kedua mataku terpejam. Nafas kita memburu dan seirama. Begitu lama, seperti sedang menghisap keluar semua kerinduan yang telah lama terbekap dalam angan. Lega sekali rasanya. Tanganmu mulai melucuti satu persatu kain yang terpasang di tubuhku, dan tanganku mengikuti gerakanmu. Hingga kita kembali seperti dulu, tanpa rasa malu. Benang merah yang mengikat kita kini tersambung, membelit kita menjadi satu. Begitu eratnya ikatan itu hingga tak tersisa ruang diantara kita. Bukan lagi dua, kita telah menyatu.

Pagi datang setelah kita menguapkan sisa-sisa rindu. Tubuhku begitu ringan hampir melayang. Aku melihat kau masih terlelap, tenang seperti bayi. Wajah yang tak mungkin aku lupakan. Iseng kuambil ponselku, menangkap satu gambar telanjangmu untuk koleksiku. Sempurna. Tak salah aku memilihmu sebagai cinta pertama dan terakhir dalam duniaku. Secarik kertas berisi pesan cinta kuletakkan di atas meja, hidup memaksaku kembali ke tempat kerja. Tapi aku yakin perpisahan ini tak akan lama. Karena aku tahu kemana harus mencarimu. Kau menuntunku pulang ke dalam hatimu.

Hari ini matahari terlihat bersinar riang. Bunga-bunga di taman kota seolah menertawakanku yang begitu bahagia seperti baru pertama kali jatuh cinta. Keramaian pun terlihat agak ramah hari ini. Cinta memang luar biasa. Tapi di dunia tak ada yang abadi. Itu hukum kekal kalau masih ingin menetap di dunia. Ibu Daniel datang ke kantorku. Ia terlihat kacau. Antara marah, benci, dan sedih. Aku tahu apa yang akan disampaikannya bahkan sebelum bibirnya yang mengkerut itu terbuka.

"Jimmy, kau tahu kenapa aku datang hari ini. Daniel, anakku. Tolong kembalikan dia padaku."
Ucapan yang terdengar lahir dari didikan kelas bangsawan. Angkuh walau meminta. Terdengar mirip perintah.

"Tante, aku tak menculik anakmu. Dia datang dengan kemauannya sendiri. Kalau saja tante tidak memaksanya menikah dengan Lisa..."

"Saya datang untuk menghentikan hubungan kalian. Saya tidak butuh penjelasan apapun."
Penjelasanku dicegat dengan tegas.

"Kalau begitu, tante tak perlu luangkan waktu sia-sia duduk di sini. Karena kali ini saya tak akan mundur lagi. Tante sudah mendapat kesempatan. Tapi terbukti juga, pada akhirnya Daniel memilih saya."

Perbincangan itu selesai begitu cepat. Tapi aku yakin perempuan tua itu tak akan menyerah begitu saja. Begitu pun aku.

Malamnya aku dan Daniel makan malam bersama, di tempat kami dulu kencan hampir setiap minggu dalam satu bulan. Kulihat ia beberapa kali mematikan panggilan di ponselnya dengan ekspresi kesal. Sudah kuduga, itu panggilan dari orang rumah. Waktu yang tepat buatku memastikan akan kemana arah perjalanan kali ini. Aku tak ingin lagi berpisah di ujung jalan. Keberanian yang kupupuk sekian lama sudah saatnya dipanen. Aku memaksa Daniel memilih. Antara aku dan cintaku, atau keluarganya.

"Daniel, malam ini juga, aku mau kamu tentukan. Apakah pulang dari sini, kamu akan ada di sampingku, menunggu pagi seumur hidupmu, atau hanya sampai pagi esok dan kau akan pulang pada mereka."

"Jim, kamu tahu apa jawabnya."
Suaramu menyiratkan keyakinan yang belum pernah kudengar darimu, dan aku lega mendengar nada itu.

Malam itu, kau meninggalkan ponsel di situ. Kejutan buatku, bahkan saat keluar dari tempat makan, aku meyakinkan mataku melihat ke ponsel yang tertinggal di meja kita, dengan kerlip layarnya yang sudah pasti adalah bukti panggilan dari orang rumah. Bahkan kau meyakinkan pelayan bahwa ponsel itu memang sengaja kau buang. Malam yang penuh kejutan. Aku mendapatkanmu kembali. Dan aku yakin, kali ini tak untuk berpisah lagi.

Kamis, 15 April 2010

Pinang dibelah Dua

Rina dan Rani, dua gadis belia cantik. Walau nama mereka serupa, tapi keduanya berbeda dan bukan saudara. Rina gadis feminim dengan rambut panjang lurus terawat. Rani lebih tomboi dengan rambut pendek messy style. Keduanya karib sejak kecil. Sekolah di tempat yang sama, duduk di kelas yang sama dan bangku yang sama. Rumah pun di komplek yang sama. Tak heran Rina dan Rani begitu akrab. Mereka berdua sudah seperti saudara, terlalu banyak yang telah mereka bagi berdua setelah sekian lama. Bahkan pakaian dalam pun pernah mereka bagi berdua. Dasar belia, menikmati waktu yang ada. Keduanya kini duduk di bangku SMA. Hanya satu yang menjadi rahasia di antara mereka. Roni, senior mereka. Hati mereka jatuh ke ladang yang sama. Tapi keduanya tetap ingkar satu sama lain, takut saling melukai. Tapi dalam hati, mereka tetap berharap Roni akan menyirami benih cinta mereka dengan kasih sayangnya. Tentu saja hanya satu dari mereka.

Sore ini adalah jadwal belajar bersama kedua gadis belia yang dimabuk asmara. Jatahnya Rani sebagai tuan rumah. Semua sudah siap sedia, ada meja rapi lengkap dengan camilan dan minuman ringan. Rina datang agak telat, tapi tak jadi masalah. Rani sudah siap dengan buku berisi teori-teori. Rina pun tak mau kalah. Keduanya asik berbagi ilmu sambil bercanda. Seru sekali melihat mereka belajar tanpa beban. Jam enam mereka menyudahinya. Rina berkemas untuk pulang. Rani membereskan sisa camilan dan minuman ringan, lalu mengantar Rina ke pintu keluar.

Paginya mereka puas mendapat nilai maksimal saat ujian. Ibu guru membanggakan kedua gadis itu di depan kelas untuk nilai yang memuaskan. Rani dan Rina hanya bisa tersenyum, karena setengah kelas nampak iri dengan hasil belajar kedua jelita. Berkat kemarin sore nampaknya.

Makan siang pun tiba waktunya. Rina mengajak Rani makan di kantin. Lagi-lagi bakso seperti kemarin. Bukan tanpa alasan, hari Rabu Kak Roni pasti mampir ke sini. Rabu adalah hari bakso untuk Kak Roni, karena hari Rabu adalah jadwal kegiatan olah raga di kelas Kak Roni, tepat sebelum jam makan siang. Dan bakso di kantin adalah favorit Kak Roni. Rina dan Rani telah mempelajari jadwal pujaan hati mereka. Tapi ternyata bukan hanya mereka. Terbukti dengan bangku-bangku di kantin yang hampir penuh terisi oleh perawan-perawan lainnya. Tetap saja mata mereka tak perdulikan lawan, semua bagai elang menatap mangsanya. Kak Roni tetap dingin tampangnya. Sudah terbiasa ditatap oleh perempuan-perempuan buas dari berbagai kelas.

Makan siang terasa sangat cepat. Andai Kak Roni makannya lebih pelan, tentu Rina dan Rani akan punya cukup waktu untuk melukis dan membingkainya dengan indah. Imajinasi murahan setiap perawan yang kasmaran. Tetap saja tak ada tanggapan mesra dari yang dipuja. Kak Roni bergegas kembali ke kelas untuk pelajaran berikutnya, sementara setengah dari penghuni kantin lupa menyantap makan siangnya, termasuk kedua kawan kita. Sesaat mereka sadar, keduanya saling tersipu, ketahuan isi hatinya masing-masing. Usai makan siang, keduanya berpencar saling merasa salah.

Sisa jam sekolah dihabiskan dalam bisu. Sama-sama merasa tak enak karena ketahuan cintanya pada Kak Roni. Rina takut menyakiti perasaan Rani, begitu pun Rani. Malu telah membungkus rapat mulut mereka. Bahkan guru di depan kelas sempat mengira keduanya sakit atau kenapa. Sungguh tak biasanya.

Pulang sekolah, Rina buru-buru pulang dengan alasan ada keperluan. Rani tak membantahnya. Rani pun pulang sendirian. Orang rumah langsung bertanya ada apa. Dengan lancarnya Rani berbohong bahwa Rina sedang tak enak badan. Orang rumah percaya saja, karena Rani memang sungkan berbohong. Rina pun mengalami dilema yang sama. Keduanya memilih berbohong kalau menyangkut perasaan yang satu ini. Hebatnya, tanpa janjian pun mereka melakukan hal yang sama. Mendinginkan kepala di bawah pancuran. Mandi yang sangat lama, sampai-sampai orang rumah mengira mereka pingsan di kamar mandi. Keduanya baik-baik saja, hanya jiwa mereka yang sedikit terlepas dari raganya. Atau otak mereka yang tiba-tiba putus kabelnya.

Esoknya mereka berusaha nampak biasa. Dan setengah berhasil kiranya. Bahkan mereka janjian kumpul di rumah Rina untuk belajar bersama. Dan sore itu ada kue tart masing-masing sepotong ditemani teh hangat. Favorit Rani. Nampaknya disengaja oleh Rina karena merasa tak enak dengan kejadian kemarin. Keduanya kini lebih terbuka membicarakan perasaan masing-masing. Dimulai dari Rina yang memberanikan diri menanyakan perasaan Rani pada Kak Roni. Rani pun nekat mengakui. Begitu pun Rina, walau setengah cemburu tapi senang karena akhirnya mereka saling terbuka. Dua gadis itu tertawa terbahak-bahak bercanda dan terlupa tentang pelajaran sekolah. Sore yang menyenangkan bagi keduanya.

Saat pukul enam tiba, saatnya Rani pulang. Ia pun pamit. Rina mengiyakan. Saat Rani selesai berkemas, Rina mengaku bahwa dua hari yang lalu ia terlambat belajar bersama karena mengantar surat cinta pada Kak Rino. Percikan api yang membuat Rani marah besar karena telah didahului. Rina hanya bisa menangis sedih. Berharap kemarahan Rani akan luluh. Tapi tidak. Pertengkaran itu semakin hebatnya sampai-sampai piring bekas kue tart melayang saling menghantam. Rina yang feminim pun berubah buas. Rani yang memang tomboi tak segan main tangan. Kini keduanya memegang pisau kue dan saling menikam. Wajah Rina yang cantik tergores di kanan, sedang wajah Rani tergores di kiri. Keduanya seperti orang gila yang membunuh dirinya sendiri di cermin. Air mata dan darah menitik ke lantai sampai orang rumah berhasil melerai kedua perawan yang nampak kesurupan. Jeritan histeris mengiringi mobil ambulance dari rumah Rina ke rumah sakit. Bahkan di atas tandu pun keduanya nampak begitu mesra saling menarik rambut tanpa suara. Untung kamar mereka terpisah. Setelah perawat menyerah mencari cara memisahkan tangan dengan rambut keduanya, diputuskanlah bahwa masing-masing mendapat rambut sejumlah yang digenggam tangan masing-masing. Perawat menggunting rambut-rambut malang itu untuk menemani keduanya di kamar masing-masing. Kini mereka nampak seperti orang gila dengan muka penuh luka dan rambut setengah botak. Kedua tangan mereka menggenggam rambut rivalnya.

Satu malam untuk mereka sadar dari emosi mengerikan. Rani dan Rina menangis penuh sesal ketika matahari terbit menyilaukan lewat jendela. Rambut-rambut malang itu akhirnya terbebas dari cengkeraman ganas, jatuh ke lantai. Kedua karib itu saling mencari untuk meminta maaf. Mengharukan orang rumah dari kedua pihak yang semua saling menyalahkan karena tak tahu penyebabnya. Kini Rani dan Rina sama-sama tak mungkin mendapatkan Kak Roni. Dengan wajah cacat dan rambut setengah botak, bahkan monyet pun akan takut melihat mereka. Sempat-sempatnya mereka bercanda ingin merusak wajah Kak Roni agar tak ada lagi perempuan-perempuan cantik di sekolah yang akan menggodanya. Rani dan Rina menjadi gila karena cinta. Hanya persahabatan mereka yang berhasil selamat dalam kecelakann parah ini.

Setelah menjalani perawatan yang cukup panjang, Rani dan Rina sembuh dari luka-luka di wajah. Bekasnya pun sudah hilang berkat perawatan mewah. Kini keduanya tak lagi bersaing memperebutkan Kak Roni, karena sudah ada kakak beradik kaya yang baru saja pindah ke komplek mereka.


Senin, 12 April 2010

Quick Sketches











































































































Berlebihkan jika imajinasi menyeruak ke permukaan merobek batas-batas. Berlebihkah manusia yang berusaha menyampaikan setiap pesan dari dasar hatinya kepada dunia. Berlebihlah bila dirasa semua itu percuma. Tapi tidak denganku. Bagiku suara-suara itu layak diperdengarkan.

Jumat, 09 April 2010

Sesuatu di Seberang Sana


Membayangkan dunia yang begitu luas, seolah tanpa batasan. Tak tahu apa yang ada nun jauh di sana, atau apa yang ada di belakang kita. Begitu mungilnya kita dengan benda-benda raksasa yang ukurannya berjuta-juta kali lipat tubuh manusia. Tapi kita terlahir dengan keangkuhan yang luar biasa. Tak hanya tumbuhan dan hewan yang menjadi korban penindasan. Bumi pun kita hancurkan dengan mesin perusak dunia. Teknologi yang kian tak terkendali dan perlahan menarik kita mendekati kiamat. Sementara kita, pencipta yang lengah dan terseret tanpa sadar akibat buaian manis dari kekayaan duniawi. Kita masuk perangkap. Dengan segala kemewahan ini, tak ada lagi yang perduli dengan alam. Tak ada lagi yang mau tahu.

Sebuah kemunafikan mulai dirajut sedemikian rupa seolah telah tumbuh kesadaran manusia untuk melindungi tempat hidupnya. Tapi semua semata-mata demi satu tujuan. Menciptakan pengikut sebanyak mungkin untuk bersiap menjadi volunteer dalam perang besar-besaran. Golongan yang nantinya akan menjadi kubu pemenang, menjadi pemilik tunggal dunia.

Kebiadaban terselubung itu tak akan diam dalam damai. Semua yang palsu pasti terkuak sejatinya dengan sendirinya. Bahkan tanpa campur tangan manusia manapun, bangkai akan diuraikan belatung. Begitulah kebusukan manusia akan terbongkar dengan sendirinya dan terjadi saling bantai. Hingga akhirnya nanti, hanya sedikit manusia tersisa di muka bumi ini. Menjadi mangsa bangsanya sendiri, juga predator yang telah bermutasi menjadi lebih ganas dan berkuasa di atas tanah, di dalam air, dan di angkasa. Manusia kini kewalahan tanpa daya. Semua senjata telah habis digunakan untuk membantai bangsanya sendiri. Peradaban turun drastis menjadi sedia kala, saat dimana manusia tak berdaya melawan alam dengan tangannya sendiri. Saat manusia terpaksa mengulurkan tangannya memelas pada alam untuk bertahan hidup.

Penyesalan selalu datang terlambat. Tapi penyesalan selalu membuka jalan pada kebaikan. Sesuatu di seberang sana tak menutup mata atas semua yang terjadi di bumi. Manusia mendapat satu kesempatan untuk mengulang. Satu kesempatan yang tak akan datang lagi. Bahkan sengaja tak ada paksaan apapun diberikan pada manusia. Sifat dasar yang tamak dan haus kekuasaan pun dibiarkan apa adanya. Apapun yang terjadi kemudian adalah tanggungnan seluruh umat manusia yang tersisa saat itu. Antara bertahan atau binasa, tak akan ada yang membantu. Sama seperti benih dandelion yang akhirnya menemukan tanah. Manusia harus memulai semua dari awalnya.

Dulu kita menindas tumbuhan dan binatang. Kini sebaliknya, kita adalah mangsa lemah tanpa daya. Alam menjadi jahat karena dulu kita menjahatinya. Karma memang ada. Andai dulu kita tak menyepelekannya. Sekarang, menangis pun percuma.

Ya Tuhan, masih sempat juga aku mengetikkan imajinasi setara sampah ini. Cerpen kemarin saja belum selesai dikarang. Dasar kebanyakan ngayal. Lama-lama nyawaku bisa habis tersedot dalam khayalan. Hahahahahahha

Kamis, 08 April 2010

Malam

Malam menunjukkan diri pada dunia
Serigala melolong tanpa busana tiada malunya
Burung hantu yang bijak pun menampak buasnya
Saat malam tiba
dunia ini berubah
nampak aslinya

Ada pemimpin yang terlihat agung dalam sorotan surya
Tapi menyetubuhi gadis belia saat malam tiba
Malam membuka pintu dosa bagi siapa saja
Tak terkecuali satu pun isi dunia
Bahkan tumbuhan mengeluarkan racunnya di malam hari
Mengganti oksigen dengan gas mematikan
Malam sungguh mengerikan

Makhluk-makhluk seram selalu muncul dalam gelap
Dalam ketidakberdayaan korbannya
Malam membantu setiap aksi jahat di dunia
Saat makhluk pagi terbuai lemas tanpa daya
Makhluk malam memangsanya
Malam memang mengerikan

Gelap akan tetap ada di siang hari
Di setiap celah dunia
Tapi terang tak sekuat malam
Saat lilin habis dan lampu kehabisan daya
Malam pun menang menindas secuil bias sinar
Malam memang mematikan

Kamis, 01 April 2010

Salam Untuk Benny

"Salam untuk Benny, temanku semasa kecil dulu."
Begitu kira-kira pesan terakhir yang kusampaikan di ponsel tadi. Aku sedang tugas di pedalaman setelah sebelumnya berada di beberapa kota besar. Melewati kilometer ini tak akan ada lagi kesempatan buatku menghubungi siapapun di luar daerah. Tak ada sinyal dan listrik pun jarang. Kalau bukan karena tugas, aku pun tak sudi datang ke daerah terpencil seperti ini. Maklum, aku Lisa, bukan wanita yang suka dengan eksotisnya alam pedesaan. Cuci mata di pusat belanjaan tentu lebih mengasyikkan. Tapi tugas memang tak selalu menyenangkan. Aku juga tak bisa mengelak dari kerjaan ini. Kalau saja Alex mau menggantikanku. Dasar teman bohong-bohongan. Giliran susah, aku ditinggal begitu saja. Banyak pula alasannya. Pembicaraan terakhirku tadi dengan Alex. Sebenarnya hari ini ada reuni dengan teman-teman SD, kalau saja aku tak ditugaskan ke daerah. Seharusnya aku bisa bertemu Benny, teman semasa kecilku yang beberapa bulan lalu sempat bertemu sebagai klien di kantorku. Benny yang sekarang telah dewasa. Jauh dari Benny si anak ingusan yang selalu diganggu anak-anak sekelas. Jujur aku terpikat. Kalau saja aku bisa bertemu dengannya di reuni ini. Mimpi memang menyenangkan, tapi kenyataan yang berada di depan harus terselesaikan.

Setelah perjalanan lima jam dengan kendaraan, rombongan kami harus pasrah berjalan kaki satu jam untuk mencapai lokasi. Aku bingung, kok bisa ya bos-ku memerintahkan anak buahnya yang cantik ini melakukan tugas di tempat yang sangat jauh dan tak layak untuk wanita semacam aku. Apa mungkin penolakanku beberapa bulan lalu telah melukai hatinya. Tapi tak seharusnya dia bertindak arogan seperti ini. Apalagi klien sekarang agak mencurigakan. Mana mungkin ada orang di daerah pedesaan bisa mengucurkan dana milyaran ke perusahaan. Tak masuk akal. Jangan-jangan aku dikirim ke sini untuk mejadi tumbal kanibalisme penduduk setempat. Persetan dengan pikiran gila itu. Untung aku cukup pandai dengan membawa tiga orang pengawal. Untuk jaga-jaga, siapa tahu pikiranku ternyata benar adanya. Aku membawa Andy, anak kantor juga. Bawahanku yang terpaksa ikut dalam perjalanan ini demi promosi. Ada Melisa, juga bawahanku. Melisa perempuan perkasa. Perawakannya cantik tapi sifatnya galak dan ahli bela diri. Setidaknya dia bisa menjagaku saat mandi dan tidur nanti. Lalu ada Robert, orang yang katanya sudah pernah bertemu dengan klien kami. Jadi Robert adalah petunjuk arah.

Setelah perjalanan yang sangat melelahkan, kami tiba di lokasi. Mengagumkan. Walau terletak di dataran tinggi dengan listrik terbatas dan tanpa sinyal ponsel, ternyata desa ini sangat canggih dan bersih. Jauh dari bayanganku. Ada mata air tepat di tengah-tengah desa, dengan sistem pengairan yang modern. Ada pembangkit listrik dari tenaga air. Seru juga nampaknya. Kalau saja aku tak melihat adegan pembantaian binatang buruan secara langsung. Aku benci hal-hal yang berbau darah dan kekerasan. Tapi di sini, hal seperti itu sudah biasa. Babi hutan hasil buruan dipenggal tanpa belas kasihan. Perutnya dibelah hingga isinya terburai ke tanah. Setelah itu dibersihkan dalam air yang mengalir. Sekejap, darah babi itu terbawa aliran air ke bawah gunung. Semoga saja orang-orang di bawah sana tak sedang sial dan meminum air bercampur darah itu. Dalam benakku terbayang adegan di televisi saat tim petualang tengah asyik minum air sungai yang nampaknya bersih tapi ternyata mengandung darah dan kotoran seperti yang kulihat saat ini. Mengerikan.

Setelah keliling desa yang luasnya tak seberapa (kalau saja rumah penduduk tak saling berjauhan), akhirnya aku dibawa ke tempat klien. Kaget juga, klienku ternyata seorang wanita. Usianya masih muda, sekitar tiga puluhan. Cantik dan seksi. Bukan darah campuran tapi kulitnya bersih. Tak kusangka wanita seperti ini rela hidup di pedalaman yang jauh dari tempat hiburan mewah. Orangnya sangat ramah. Kami langsung diajak masuk ke rumah saat datang. Setelah duduk dan hidangan teh hangat disajikan barulah kami mulai kenalan. Nila namanya. Dulu tinggal di kota kami, lalu tugas beberapa tahun di luar negeri. Setelah itu memutuskan untuk tinggal di pedalaman untuk mempelajari alam dan mengembangkan sumber daya yang ada di sini. Sebelum membahas dana milyaran itu, aku diberi kesempatan untuk mendengarkan riwayat hidupnya secara singkat. Awalnya perempuan yang minta dipanggil Ella tanpa embel-embel Bu atau Nyonya atau apapun ini datang ke desa untuk sekedar menenangkan diri. Dulu kondisi desa ini jauh dari apa yang terlihat sekarang. Tapi Ella berhasil mengubahnya dengan ilmu yang dibawanya dari kota. Lalu mulailah otak bisnisnya berjalan. Desa ini menghasilkan daging babi untuk dijual ke kota, dengan harga yang pantas. Distribusinya pun tak main-main, menggunakan pesawat angkut. Pelanggannya adalah restoran-restoran terkemuka di beberapa kota bahkan ada beberapa restoran luar negara yang membeli darinya. Selain itu juga ada kerajinan tangan penduduk yang disulapnya menjadi barang mewah bernilai jual tinggi. Tapi Ella tak merusak masyarakat di desa ini dengan teknologi yang dianggapnya tak penting. Justru Ella lari kesini untuk menjauh dari kehidupan kota yang dianggapnya sampah. Hidup yang seperti di sini inilah yang menurutnya pantas untuk dibanggakan. Ella mengatur kebutuhan masyarakat di sini. Semua uang yang dihasilkannya adalah untuk penduduk. Tapi bukan dengan cara memberikan langsung uang itu melainkan dikelola untuk kebutuhan dasar mereka. Pantas saja orang-orang di desa ini terlihat bersih dan sehat. Ella memang wanita yang luar biasa.

Selesai mendengarkan riwayat hidupnya, kami dipersilakan menginap di rumah sederhana yang telah disediakan untuk kami. Letaknya tak jauh dari rumah klien untuk memudahkan komunikasi kapan saja dibutuhkan. Aku dan Melisa tinggal satu kamar, Robert dan Andy satu kamar. Bentuk rumah di desa ini cukup nyaman ditinggali. Lantai yang seharusnya tanah telah ditutupi dengan anyaman bambu. Saat aku memeriksanya, ternyata ada tiga lapisan, mirip roti isi. Lapisan pertama adalah tikar anyaman bambu, lalu tengahnya diisi dengan rumput kering setebal satu senti, baru diatasnya kembali ditutup dengan anyaman bambu. Dengan begini tikar tak akan lembab saat hujan. Pasti ini ide dari Ella. Kamar mandi pun nyaman, lengkap dengan toilet dan shower tanpa batas. maksudnya adalah shower dari air yang terus mengalir. Begitu juga dengan jamban, dibawah jamban adalah air yang mengalir sehingga kotoran akan langsung terbawa keluar rumah. Entah mengalir kemana, yang jelas jauh dari kota dan sumber air minum. Memasuki rumah baru kami, aku bergegas mandi, ingin merasakan segarnya air dari mata air pegunungan langsung. Melisa dan yang lainnya terpaksa menunggu sambil bersiaga.

Setelah kami semua selesai mandi, makan malam pun telah disediakan. Tak kalah dengan makanan di kota, dan disajikan di atas piring tanah liat. Unik sekali. Menakjubkan, apa yang tersembunyi di kejauhan kota. Kurasa aku bisa tertular kegilaan Ella untuk tinggal di tempat ini. Tapi aku belum segila itu. Masih ada Benny yang terngiang di benakku. Entah sedang apa dia sekarang. Kurasa aku lebih gila daripada Ella. Bagaimana mungkin wanita sepertiku bisa percaya cinta pada pandangan pertama. Bukan pertama sebenarnya, karena aku mengenal Benny sejak sekolah dasar.

Selesai makam malam, kami diajak jalan ke atas sedikit. Disana ada rawa tempat berjuta kunang-kunang sedang asik bersinar. Aku suka kunang-kunang, tapi sayang di kota tak ada lagi makhluk cantik ini. Aku duduk bersantai di sana melihat jutaan kunang-kunang terbang kesana-kemari mengitari kami. Kurasa aku tak anti hidup bersebelahan dengan alam. Tapi aku tetap merindukan Louis Vuiton dan Prada. Sebentar lagi aku bisa terhimpit di antara dua dunia. Untungnya rasa kantuk ini menyelamatkanku. Segera kami bergegas pulang.
"Selamat tinggal kunang-kunang..." bisikku seperti anak kecil.

Paginya urusan bisnis mulai dilancarkan. Tugasku adalah meyakinkan Ella untuk mengucurkan dana dalam proyek yang sedang kami kerjakan. Proyek yang berhubungan dengan alam juga, sebagian darinya adalah pembangunan taman kota lengkap dengan air mancurnya. Kota kami sudah terlalu panas tanpa pepohonan. Kami ingin membangun sebuah lokasi perkantoran yang dekat dengan alam. nantinya akan ada taman megah di tengah-tengahnya dan warga sekitar bisa mengakses taman itu. Tapi dana yang dibutuhkan sangat besar. Ella ini adalah salah satu dari investor yang tampaknya berminat. Aku pun sudah siap dengan senjata-senjataku. Berbagai lembaran kertas berisi sketsa lokasi dan angka-angka. Tapi lagi-lagi seranganku harus ditunda demi sarapan langka. Seekor babi hutan utuh dipanggang sempurna. Ada juga ayam hutan dan telur setengah matang. Perutku tak tahan godaan. Kami menikmati sarapan dengan lahap. Setelah itu lanjut dengan jalan-jalan sebentar, barulah kami duduk santai di teras sambil minum teh hangat. Ella nampaknya berminat dengan konsep yang kami berikan. Tapi dia minta waktu beberapa hari lagi untuk berpikir. Sedangkan kami, tak akan pulang sebelum tanda tangan itu dibubuhkan.

Hari berikutnya setelah rapat kemarin, aku masuk ke hutan melalui jalan setapak. Bersama Melisa aku ingin menyegarkan otak dengan sedikit menerawang hijaunya hutan. Ella dari pagi sudah sibuk dengan kegiatannya bersama masyarakat setempat. Sedang kedua anggota rombonganku sedang asik berburu bersama kawan baru mereka. Hanya Melisa yang bisa kuajak jalan-jalan. Cukup dia seorang untuk mengawalku di hutan. Sambil bercanda dan membahas kerjaan sekedarnya, kami masuk terus ke dalam hutan. Tanpa memikirkan kemungkinan apa yang muncul di depan sana atau mungkin tiba-tiba muncul monster dari balik semak. Khayalanku yang mengerikan satu per satu menembus otak, tapi aku merasa sedikit tenang karena temanku Melisa jago bela diri. Kalau ada apa-apa, she's my heroine. Walau harus menjaga wibawaku sebagai atasan, aku tetap tak bisa menyembunyikan kekagumanku padanya. Melisa perempuan yang sangat mandiri. Cantik dan pemberani. Kalau saja aku bisa memiliki sifatnya itu. Aku bukan perempuan yang sanggup menjaga diri sendiri. Karena itulah aku butuh mereka bertiga dalam perjalanan ini.

Seru juga ngobrol dengan Melisa, orangnya enak diajak bicara. Ternyata dibalik kekuatannya, Melisa tetap adalah perempuan apa adanya. Kami membahas beberapa hal mengenai asmara masing-masing serta tipe lelaki macam apa yang kami idamkan. Sampai kami membahas Benny, orang yang hampir saja kulupakan karena tugasku di sini. Atau mungkin karena rasa kagumku pada bumi tempatku berpijak saat ini. Benny, entah sedang apa dia sekarang. Kalau saja sinyal ponsel berfungsi di sini, tentu aku tengah asik berbincang dengannya. Tak tahu juga, aku takut gambaranku tentang dirinya menjadi terlalu indah akibat racun cinta. Bisa saja Benny yang sebenarnya jauh lebih diam dan sifatnya mungkin saja tak sesuai denganku. Tapi aku tak bisa melupakan wajahnya sejak pertama kali melihatnya. Tentu saja bukan wajah Benny saat kecil dulu. Wajahnya sekarang benar-benar sesuai dengan kriteria yang kumau.

Merasa cukup jauh berjalan, aku dan Melisa memutuskan untuk berputar arah untuk kembali ke pemukiman. Saat itulah kami baru sadar, sekitar sepuluh meter di belakang kami ada induk babi hutan yang sedang mengawal anak-anaknya. Bukan pertanda bagus karena matanya menatap tajam pada kami. Melisa pun terlihat agak cemas, dan ini membuatku bertambah yakin bahwa kami berada dalam situasi yang tidak baik. Melisa berada di depan melindungiku dengan tubuhnya sambil terlihat berpikir. Nampaknya ia ingin segera lepas dari kondisi tidak nyaman ini. Celakanya, induk babi hutan itu nampak bersiap untuk menyerang. Saat itulah aku ketakutan dan berteriak sambil lari ke arah berlawanan. Aku memang pengecut, bahkan Melisa pun kutinggal di belakang. Nampaknya ia agak terkejut mendengar teriakanku dan berusaha menghentikan aku. Tapi terlambat, aku lari sekencang mungkin. Induk babi hutan itu mulai berlari. Saat aku melihat ke belakang, Melisa nampaknya berhasil melompat tepat ketika induk babi hutan itu menyerang. Melisa selamat dan terlindung di batang pohon besar. Sedangkan induk babi hutan itu terus melesat ke depan, ke arahku.

Aku terus lari tanpa melihat ke belakang. Tapi aku yakin, babi hutan itu tak lama lagi akan mendapatkanku. Harapanku hanya pada Melisa, semoga dia sempat menangkap babi hutan itu dari belakang atau sekalian membunuhnya. Yang penting aku bisa selamat. Tapi ternyata tidak. Melisa nampaknya kalah cepat dengan babi hutan itu. Saat aku mendengar deru kaki induk babi itu makin dekat, tiba-tiba dari sebelah kiri muncul seseorang yang menarik tanganku untuk berlari lebih cepat. Aku terkejut tapi mengikutinya. Tetesan keringat memaksa mataku berkedip dan sulit melihat jelas. Saat aku berhasil mengusap mataku, barulah aku sadar, kami berlari ke arah jurang. Entah apa yang ada di pikiran orang ini. Jangan-jangan dia memilih mati daripada diserang babi hutan. Tapi tidak denganku. Aku berusaha menghentikannya tapi tak bisa. Aku terseret bersamanya, sama-sama melompat dari jurang itu menuju ke bawah. Ternyata di bawah jurang adalah air terjun.

Sepintas masih bisa kubayangkan adegan film kartun yang dulu tenar, tentang Pocahontas yang salah satu adegannya sama denganku sekarang. Terjun bebas ke dalam kumpulan air di bawah air terjun. Mataku terpejam erat ketakutan. Tapi tangan orang ini tak sedikitpun melepasku. Bahkan ketika aku merasakan air telah menelanku ke dalam, tangan itu masih erat menggenggam tanganku. Lalu aku merasa diriku telah ditarik ke daratan. Aku masih terlalu takut untuk membuka mata, berpikir mungkinkah aku telah mendarat di surga. Pikiranku berlarian kemana-mana sampai aku merasakan bibir lembut seseorang menyentuh bibirku. Nafas buatan. Mataku kupaksa membuka dan aku melihat siapa orang yang telah menyelamatkan hidupku. Ella.

Malam pun tiba, dan kami memanggang babi kurang ajar tadi di atas api unggun. Aku duduk sambil menunggu matangnya. Saat itu juga Ella menghampiriku. Aku tak bisa menyembuyikan semu merah di pipiku yang kurasa seperti terbakar matahari. Malu sekali membayangkan adegan ciuman dekat air terjun tadi siang. Andai pelakunya adalah seorang pria, rasa malu ini bisa kuredam. Tapi aku belum pernah berciuman dengan sesama wanita. Memikirkannya saja aku malas. Ella duduk di sebelahku dan bertanya dengan ramah, bagaimana keadaanku. Ella sangat ramah. Kalau dia adalah mama, pasti aku sudah dihajar habis-habisan karena nekat main ke dalam hutan yang tak kukenal. Ella hanya menasehatiku untuk membawa penduduk lokal kalau aku mau masuk ke hutan. Untung saja tadi Ella mendengar teriakanku dan bergegas menolong. Kalau tidak, mungkin aku yang menjadi mangsa babi hutan itu.

Kondisiku sekarang baik-baik saja, bahkan bisa dibilang sehat dan segar bugar. Tapi Melisa nampaknya terlalu khawatir denganku dan Andy nampak terlalu cari perhatian, memaksaku untuk memeriksakan kondisiku setelah jatuh dari air terjun kemarin. Untuk meredam ocehan mereka, aku pun pasrah dibawa ke kota terdekat untuk menjalani medical check-up. Ella tak mengantarku, karena kehadirannya dibutuhkan di desa. Alasan lain kenapa aku rela dibawa paksa adalah demi beberapa baris sinyal ponsel, agar aku bisa menghubungi Benny.

***
"Ben, ini aku Lisa. Cuma tinggalkan salam aja. Gimana acara reuninya ?" aku meninggalkan pesan suara untuk Benny yang tak mengangkat ponselnya saat kuhubungi. Agak kecewa, tapi tak apa. Toh aku juga bukan kekasihnya.

"Mel, mungkin aku perlu pulang dulu. Boleh tolong kamu sampaikan ke Ella kalau aku akan kembali ke desa sekitar satu minggu lagi ?" aku tak tahan lagi berlama-lama jauh dari Jakarta, jauh dari kesempatan mendekati Benny.

"Ok Bos, tapi ingat ya hanya satu minggu." Melisa mengingatkanku.

"Dan kamu Andy, tolong urus semua yang ada di sini sebelum aku kembali." Aku melihat gelagat Andy yang sepertinya ingin mengikuti aku ke Jakarta.

Setelah medical check-up, kami bermalam di kota karena jaraknya cukup jauh dari desa. Esoknya aku akan langsung melesat ke Jakarta. Sedangkan Melisa dan Andy harus pulang ke desa. Kasihan juga sebenarnya, tapi begitulah nasib anak buah.

***
"Lis, dari kemarin malam aku coba telepon kok gak bisa ? Hubungi aku kalau kamu terima pesan ini. Thanks. ini gua, Benny." Pesan dari Benny yang baru kudengar setibanya di Jakarta. Tentu saja pesannya segera kujawab dengan hati berbunga-bunga.

Setelah mandi dan melempar pakaian kotor ke wadahnya, aku memanjakan diri di ranjang empuk dan segera mencari nomor Benny di ponsel. Tak berselang lama suara pria itu menjawab panggilan hatiku. Percakapan singkat yang berujung janjian makan malam. Aku senang, karena setidaknya hubungan ini punya harapan.

Makan malam yang mewah, tapi lebih indah berkat hadirnya lelaki pujaanku sekarang. Aku merasa yakin memang dia yang kuinginkan. Berharap lelaki dihadapanku juga merasa yang sama. Percakapan kami lancar-lancar saja, seperti sudah ditentukan dari sananya. Skenario yang nyaris sempurna dari drama televisi ternama. Disempurnakan dengan keberanian Benny mengajakku berdansa. Malam ini aku bahagia, merasa telah sempurna sebagai wanita. Aku yakin malam ini diriku lah yang paling bersinar di sini. Tepat tengah malam, kami pulang dan Benny melamarku.

Terlalu cepat mimpi ini menjadi nyata. Aku memintanya menunggu sampai aku menyelesaikan misiku di pedalaman. Setelah itu baru aku memberi jawaban. Satu keputusan yang sulit kuambil malam ini karena aku sangat menginginkannya. Aku tak berani memikirkan kemungkinan dirinya telah diambil wanita lain ketika aku pulang dari misi. Tapi aku meyakinkan perasaanku padanya dengan memberinya satu ciuman di bibir. Benny tersenyum puas, sepertinya seluruh perasaanku mengalir dalam tubuhnya lewat ciuman itu. Ia tak protes dengan keputusanku, dan kami pun pulang.

Satu minggu berlalu begitu cepat. Aku dan Benny berhasil menggunakan waktu yang singkat itu dengan pengaturan bijak. Tak ada sedikitpun kami sia-siakan. Kami semakin dekat satu sama lain. Tapi keputusanku sudah bulat. Lamaran Benny baru akan kuterima setelah pulang dari misi di pedalaman.

***
Kembali ke desa tempat Ella berada sama sekali tak sulit bagiku kali ini, mungkin karena aku membawa kenangan-kenangan manis selama satu minggu bersama Benny ke dalam perjalanku yang melelahkan. Sesekali aku tersipu sendiri mengingat kelakuanku yang nekat mencium Benny. Bukankah seharusnya Benny yang menciumku. Murahan sekali aku. Seperti bukan Lisa yang biasanya. Robert yang menjemputku sampai geleng-geleng kepala melihat tingkahku yang entah tersipu untuk keberapa kalinya. Mungkin dia kira aku sudah gila.

Sipu-sipu malu itu tak bertahan lama kiranya. Ella betah berlama-lama menahanku di desa. Aku mencium gelagat aneh darinya. Beberapa kemungkinan bermunculan di benakku. Apakah mungkin sebenarnya Ella dari awal tak berniat menjadi bagian dari perusahaan tempatku bekerja. Mungkin saja justru ia sedang menggalang dana untuk projeknya di desa ini. Mungkin juga ia hanya butuh media promosi yang bersedia mengumbar pada dunia mengenai keberadaan tempat ini. Salah satu ide paling gila dalam benakku adalah mengenai sentuhan bibir Ella saat memberiku nafas buatan di bawah air terjun. Pikiran tolol itu membuatku merinding sendiri. Sialnya, aku masih wanita normal yang sedang diburu nafsu ingin segera kawin dengan Benny-ku. Sebaik apa pun Ella, tak ada ruang di hatiku untuknya. Tapi mengingat saat itu, wajahku membara. Aku sadar tanpa harus mengaca karena panasnya berasa.

Ella memanggilku dari rumahnya, aku pun bergegas ke sana. Mungkin saja ini adalah akhir dari penantian panjang, sebuah tanda tangan yang akan dibubuhkan di atas kertas bermaterai. Atau mungkin obrolan panjang lebar yang mulai membuatku jengah.



---------------------------Sabar menungu