Jumat, 18 Juni 2010

Malaikat Tanpa Nama

Purnama kedua aku merangkul rindu bersama dekapan angin yang dinginnya melebihi pantat gelas kesayanganku. Desir gemerisik sentuhan daun di taman membuatku merindu makin dalam. Lamunan panjang membawamu tepat di depan pintu hatiku. Tapi sayang lamunan tak membawa dirimu yang sesungguhnya kehadapanku. Sosok rupawan yang membuatku gila merindu. Andai saat itu kita sempat berkenalan lebih jauh. Tapi keindahanmu adalah karena aku tak tahu siapa dirimu. Mungkin akan lebih baik seperti ini, hatiku akan puas bermimpi tentang pangeran impiannya. Tak perlu menodai kesempurnaanmu dengan segala kebusukan yang kita sebut "kebenaran" bahwa setiap manusia hidup dengan paling sedikitnya setitik kekurangan. Tapi dalam angan, kau bisa sempurna bersinar terang melebihi bintang di langit malam. Kau lah malaikat tanpa nama yang telah kutemukan di antara tumpukan sampah manusia. Bintang, jatuhlah ke bumi agar aku bisa menitipkan doa padamu.

Senin adalah hari yang paling membosankan. Saat semua orang kembali bekerja dan aku terabaikan duduk di kamar mengetik tanpa tujuan jelas. Papa dan Mama tenggelam dalam kesibukan sendiri-sendiri. Seolah kehangatan di akhir pekan terberai oleh sinar matahari hari berikutnya, serupa jaring laba-laba terkoyak oleh tangan jahil manusia. Kadang aku berpikir, apa mungkin kita ini hanyalah boneka mekanik yang akan terus melakukan segala sesuatunya secara berulang. Lebih parah adalah gadis penyakitan sepertiku. Sejak kecil aku sering sakit-sakitan sehingga tak ada kesempatan menikmati bangku kuliah walau teman sebayaku sekarang telah bebas terbang ke luar negeri layaknya burung lepas dari kandang. Sedangkan aku "terpaksa" duduk manis di kamar menunggu pangeran impian datang menyelamatkanku dari mati kebosanan. Adalah dia Arie tunanganku yang begitu tulus mencintaiku tanpa pernah tau perasaanku yang sesungguhnya. Arie bukan pria jelek, juga sangat perhatian. Tapi hatiku bukan padanya. Walau aku tak sempurna dan cukup tahu diri, tapi aku tak bisa menipu hati. Arie terlalu monoton sama seperti manusia lainnya. Beda dengan malaikatku yang tiap hari lewat depan rumah. Ada saja yang berbeda dengannya. Ada sesuatu yang membuatnya berbeda. Satu-satunya hal yang menyenangkan di Senin pagi adalah saat dimana aku bisa melihat malaikatku jogging. Lucu juga melihat pantatnya saat berlari. Lebih seru kalau aku bisa ikut jogging disampingnya. Sampai detik ini, kontak kami yang paling dekat adalah saat aku membuang sampah di depan rumah dan mata kami saling bertemu sesaat. Saat itulah kami bertukar senyum dan malaikatku berlalu setelahnya.

Arie menghubungiku lewat ponsel. Malam ini dia datang bertamu dan menanyakan aku ingin titip makanan apa walau sesungguhnya dia lebih tau makanan kesukaanku daripada Papa dan Mama. Aku memang gadis kurang waras yang tak bisa menerima kehadiran cinta Arie di depan mata. Kuharap kebohongan ini boleh bertahan lebih lama sampai aku tutup usia. Pernikahan kami tak bisa dielakkan lagi, paling lambat akhir tahun nanti. Kedua orang tua kami sudah sepakat. Tak ada yang lebih mereka inginkan selain pernikahan kami. Orang tua Arie adalah sahabat dekat Papa dan Mama. Entah mereka benar-benar ikhlas atau hanya karena kasihan, sampai-sampai mengorbankan anak mereka untuk menikahiku. Jujur, aku merasa tak pantas dijodohkan dengan Arie yang tak kalah sempurna dari malaikatku. Hanya "kekurangan" Arie yang satu itu telah membuatnya gugur dari list pria idaman. Aku tak sanggup menghabiskan hidupku dengan pria monoton. Tapi aku juga tak bisa menolak (mungkin satu-satunya) pria yang tulus ingin menikahiku dan terlihat jelas niatnya itu. Tujuh tahun aku dan Arie berhubungan, dua tahun yang lalu kami bertunangan, dan sepanjang kami berhubungan tak pernah ada pengkhianatan. Arie pribadi yang menyenangkan dan sangat perhatian. Begitu sabar dia melayaniku yang lemah ini. Gadis lain mungkin langsung rontok hatinya untuk pria macam Arie, tapi aku bukan perempuan yang gampang luluh hatinya. Mungkin dinding kamar ini telah memadatkan hatiku hingga tak ada celah untuk cintanya. Kadang kupikir lebih baik aku menolaknya, aku tak ingin menyakiti perasaan Arie. Lalu kuperpanjang masa penundaan yang tak kunjung ada akhirnya. Aku jatuh dalam keraguan yang kubuat sendiri. Aku tak cinta, tapi aku takut sendirian. Arie adalah korban dari keraguan itu. Sebagai gantinya, aku harus merelakan hidupku di tangan tunanganku.

Arie datang dengan kendaraan pribadinya. Seperti biasa, setelah tiba dia akan menghubungi ponselku agar aku turun membukakan pintu. Baginya, surga adalah ketika aku menyambut kedatangannya dengan sebuah senyuman. Bahkan ketika senyuman itu adalah tipuan. Arie terlalu lugu untuk memahami perasaanku. Atau mungkin dia pun menyembunyikan kekesalannya yang telah menunggu sekian lama tanpa ada sedikitpun perubahan dariku. Tak mengapa selama kami masih bersama dan pertunangan telah kami lalui bersama. Tinggal selangkah lagi dan kami akan resmi bersama sampai maut memisahkan kami berdua. Saat aku membuka pintu, telah kupasang senyum kesukaannya. Mataku tertuju pada kotak fruit-cake yang dibawanya. Tahu saja dia kapan aku mengidamkan fruit-cake, mungkin hatinya telah tersambung dengan hatiku ketika aku sendiri tak menyadarinya. Kusambut dengan pelukan sesaat dan merampas hadiah itu dari tangannya. Dalam waktu singkat fruit-cake telah berpindah ke dalam kulkas. Makan malam buatan Mama telah dihidangkan dan kami makan bersama tanpa kata-kata.

Sebelum pulang, Arie mencium pipiku di depan Papa dan Mama. Aku yakin mereka bahagia sekali melihat adegan mesra ini. Setelahnya, aku mengantar Arie ke depan pintu dan melambaikan tangan padanya. Tak lama setelahnya aku pamit pada Papa dan Mama untuk pindah ke kamar. Tentu saja dengan sepotong besar fruit-cake untuk camilan di kamar. Begitu masuk kamar, paling pertama adalah menulis dalam buku harian. Lalu memindahkan beberapa baris puisi ke dalam situs blog. Kemudian duduk di depan jendela memandang ke langit malam sambil melahap fruit-cake perlahan-lahan, menikmati setiap sendoknya sambil melamunkan malaikatku. Entah sedang apa dia di rumah. Kalau saja aku bisa mengikuti kesehariannya, sedangkan rumahnya saja aku tak tahu dimana. Malam ini belum ada bintang jatuh juga. Fruit-cake sudah habis tak bersisa berarti saatnya gosok gigi dan tidur sebelum matahari muncul menusuk mata.

Pagi buta Arie mengirim salam dan kejutan yang sanggup mengusir kantuk dalam sekali libas. Tanpa sepengetahuanku, tanggal pernikahan kami telah ditentukan dan disetujui oleh Papa dan Mama. Semua itu tanpa campur tanganku yang kelak menjadi pengantin wanita. Egois sekali, tapi aku tak ada minat untuk berdebat. Cepat atau lambat akan datang juga hari yang membuat jantungku berdegup kencang. Apakah benar keputusanku memilih Arie sebagai pasangan hidupku, sementara hati ini terus penasaran dengan malaikatku yang leluasa berkeliaran di luar sana.

Begitu cepat waktu bergulir dan hari pernikahan makin dekat. Satu minggu dari sekarang. Gaun pengantin sudah siap dan segala keperluan tinggal dikeluarkan pada hari yang telah ditentukan. Tapi hatiku tak mau keluar dari kamarnya, terisak dengan tenang meringkuk dan sedih. Kemana malaikatku pergi saat aku butuh sedikit sentuhan darinya. Aku butuh perasaan lega seperti yang bisa kudapat hanya dengan melihatnya. Tapi malaikatku tak datang jua sampai hari pernikahan tiba.

Gaun pengantin ini begitu indah menempel erat di tubuhku. Hampir tak ada rongga untuk bernafas. Sesak ini lebih kurasa di dalam dada. Tak ada rongga untuk hatiku lari dari kenyataan bahwa hari ini aku akan menikah dengan pria yang monoton. Tipe pria yang tak pernah kudamba menjadi pendamping hidupku. Teriakan mama dari luar kamar menandakan telah tiba waktunya. Dengan enggan kuseret gaun putih berat dan berkilau ini menuju altar. Meninggalkan serpihan hati yang tercecer menjadi abu di lantai.

Baru kali ini kulihat Arie begitu gugup. Wajahnya bersemu merah jambu seperti bocah yang malu-malu tapi mau. Lucu sekali. Andai ia lebih sering memperlihatkan kepolosannya di hadapanku. Terlanjur aku mati rasa karena terbiasa melihat sisi kaku Arie. Sayang sekali. Sepanjang acara di hari istimewa ini, aku melamunkan malaikatku yang entah sedang apa dan di mana. Hingga detik ikrar sehidup semati, keberanianku bangkit dari semayamnya yang panjang. Aku menghadiahi janji setia Arie dengan butiran air mata. Aku tak bisa melakukan ini. Kucium lembut pipinya yang kini pucat dan beku, kemudian berlari meninggalkan ruangan berisi tamu yang terdiam bagai patung di barisan nisan. Papa dan Mama tertunduk malu, tapi ku lihat ada sedikit cahaya pengertian dari mata Mama. Ku rasa Mama telah sadar bahwa putrinya kini telah dewasa.

Berlari pulang dengan gaun pengantin bukanlah pekerjaan mudah. Apalagi dengan tubuh lemah sepertiku. Taxi menjadi jawabannya. Aku pulang tanpa ganti busana. Lalu di seberang jalan, kulihat dia yang ingin kulihat melebihi malaikat sesungguhnya. Malaikatku yang tanpa nama. Di balik pagar rumahnya, bersama kawannya. Baru saja aku siap mau berlari menyeberang jalan ke tempatnya dan mengungkap isi hatiku yang kini penuh hampir tumpah kemana-mana. Kulihat malaikatku melekatkan bibir dengan kawannya. Seketika itu juga kaki-kaki ini kehilangan tenaga. Aku merasa menjadi wanita paling tolol sedunia. Meninggalkan pernikahan yang diidamkan tiap wanita, hanya demi malaikatku yang bahkan aku tak tahu siapa namanya. Malaikat yang jatuh cinta pada sesama jenisnya.


Senin, 14 Juni 2010

Mural

"Ya Tuhan, aku kembali pada ketidaksiapanku."

Angin berhembus padaku dan aku terhempas menjauhi tepian gedung tinggi. Dingin angin malam telah menyadarkanku dari kekosongan sesaat yang hampir mencelakakan aku. Sekarang, yang hangat hanya tetes air mata bergulir menyentuh sudut bibirku dan menempati ujung lidahku. Asin dan hangat. Setitik kehidupan yang membuatku lupa pada dinginnya malam di ketinggian.

Esoknya, sengatan matahari menyudutkanku, mendorongku keluar dari mimpi walau kepuasan belum kudapat dari belainya mimpi. Lelah dari ulahku semalam melarang otakku bekerja pagi ini. Setidaknya untuk setengah hari. Tapi panggilan dari kantor tak akan pernah berhenti sampai baterai di ponsel terkuras habis. Aku tak akan menunggu sampai detik itu datang. Kuangkat dan kujawab sekenanya tentang keterlambatanku kali ini. Tak ada yang mau tahu apa yang kau lakukan semalam, ada di mana, dengan siapa. Yang penting, kau dibayar untuk bekerja dan perusahaan menginginkan pantatmu menempel di kursi kantor tanpa memikirkan apa yang kau kerjakan di sana. Tentu saja kau harus sadar diri tentang batasan waktu yang mereka berikan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Sebuah rutinitas yang membuatmu mual di pagi hari saat memikirkannya. Andai hidup dirancang lebih mudah, tentu semua dari kita akan lebih bahagia, dengan tubuh tambun dan senyum menganga. Sayangnya dunia bisnis tak semudah itu meletakkan belas kasihan. Siapa mau senang harus berusaha. Bekerja. Menjadi budak kesibukan tanpa henti dari hari ke hari sepanjang tahun. Beruntung masih ada hari Sabtu dan Minggu yang menjadi perhentian sementara. Tapi bagiku, perhentian itu jauh lebih menyiksa dibanding pekerjaanku sebagai pekerja seni bayaran. Untung bagiku karena proyek kali ini tak mengharuskanku selalu berada di kantor. Cukup setengah hari menjelaskan konsep pada klien dan aku boleh pulang mengejar tenggat waktu dengan bekerja sepanjang malam menyelesaikan karya-karyaku. Memuakkan.

Hari ini tak beda dengan hari-hari sebelumnya kecuali rasa kantuk yang terus menekan kepalaku. Pening dan mata agak membengkak kurasa. Bukan pertama kalinya, tapi tetap saja menyiksa. Lebih menyiksa lagi karena tak ada yang perduli dan menganggap ini sudah biasa. Setidaknya biasa untuk pekerja sepertiku. Kami dianggap manusia-manusia malam yang memang berkarya saat semua orang lelap. Padahal mereka tak tahu apa yang terjadi semalam, saat aku hampir menyerah pada hidup dan mengakhirinya. Bukan karena patah hati, juga bukan karena hutang. Aku hanya muak pada rutinitas. Muak ? kata yang terlalu manja untuk diucap oleh buruh macam diriku. Seorang budak yang tak akan bertahan hidup tanpa pekerjaan ini dan aku dengan seenaknya berkata muak. Seharusnya mulutku bersyukur dan menjilati sepatu atasanku yang masih mempertahankanku di perusahaan. Walau harus menyimpan pahitnya siksaan ketika karyaku dilecehkan. Ingin kutusuk matanya dengan pensil tajam di tangan. Apa daya, aku ini budak yang hanya bisa berkata muak.

Duduk di kursi kantor adalah siksaan. Setengah dariku menunggu waktu bergerak lebih cepat agar cepat aku pulang ke sarang. Tempat mimpi dan khayalanku dirajut oleh tangan-tangan ahli. Tanganku sendiri. Untuk itulah aku menempatkan rasa nyaman di sana. Satu-satunya tempat di dunia ini yang bebas dari beban dan kekesalan. Satu sisi lainnya adalah tekanan, tenggat waktu yang menekan pundakku ke tanah tanpa memberi kesempatan bagiku untuk bersantai. Akibatnya, otakku pecah kemana-mana. Roh ku berhamburan kesana-kemari mencari kesenangan ke segala penjuru. Sementara atasanku terus melayangkan aura gelap, membuatku makin muak. Waktu, pekerjaan, atasan. Waktu, pekerjaan, atasan. Waktu, pekerjaan, atasan.

Tenggat waktu tiba dan pekerjaan pun selesai tepat pada waktunya. Bukan terima kasih yang kuterima tapi sindiran.
"Aku pikir kamu bisa menyelesaikan itu lebih awal, Lin."

Ucapan enteng tanpa memikirkan kondisi kejiwaan karyawannya. Sungguh atasan yang patut dibanggakan. Dan lagi-lagi otakku berfantasi dengan hebatnya tentang pembunuhan keji pada atasanku. Diawali oleh adegan menjerat lehernya dengan kabel tetikus sambil meneriakkan kekesalanku dengan liar. Menghantamkan kepalanya ke sudut meja hingga berdarah-darah, kemudian melemparnya ke lantai dan menginjak muka busuknya. Lanjutkan dengan adegan melemparkan monitor komputer untuk merusakkan mukanya secara total. Adegan diakhiri dengan tertawa puas dan pandangan kaget bercampur kagum dari seisi ruang kerja. Berharap khayalanku menjadi nyata. Sayangnya khayalan hanya bertahan dalam angan. Kalau menjadi nyata, mungkin tak akan seindah bayangan. Maka, kubiarkan ia tetap pada dunianya.

Hari ini lewat dengan begitu lambatnya. Hingga akhirnya tulang-tulangku boleh lega setelah kubaringkan di atas ranjang, di dalam sarangnya. Kamarku yang paling nyaman sedunia.

Malam ini aku bermimpi. Jendela kamar terbuka dan angin berhembus masuk ke dalam ruang tidurku. Hembusannya berbisik memanggilku. Aku turun dari ranjang, lebih mirip melayang daripada jalan. Semakin dekat ke jendela. Sekejap aku sudah ada di atap, di sudut gedung dengan menatap lurus ke depan, dimana lampu kota nampak begitu indahnya. Di atas kepalaku adalah langit yang gelap dan purnama. Lalu terdengar kicau gagak yang hinggap di samping kakiku berpijak. Gagak itu seakan bertanya kapan aku akan melangkah dan menjatuhkan diri dari tepian ini. Aku mengerti dan mulai berjalan. Lagi-lagi terasa seperti melayang. Begitu ringan tapi kuat. Angin yang menghampiri tak mampu menggoyahkan langkahku. Semakin dekat ke ujung tepian dan mataku terpejam. Saat itulah aku terbangun dari mimpi dengan keringat bercucuran dan tanpa suara, tanpa gerak. Hanya mataku yang terbuka menerawang atap kamar.

Aku tak tidur setelah terbangun malam tadi. Tapi pagi ini lebih baik dari kemarin. Setidaknya siksaan rasa kantuk hari ini tak sekokoh hari kemarin. Secangkir besar kopi mampu menenggelamkannya ke dasar cangkir bersama ampas. Tak banyak ceramah juga dari atasanku. Tapi bukan berarti aku tak muak. Melihat mukanya saja mengingatkanku pada seonggok tahi. Ditambah kelakuannya yang memuakkan dan mengganggu konsentrasiku dengan berbagai pekerjaan bertubi-tubi, kurasa dia pantas mati karena telah merusak kemurnian karya-karyaku yang seharusnya bisa lebih baik dari karya-karya yang tercipta bersama emosi.

Malam tiba dan aku sempatkan berdoa sebelum tidur agar mimpi buruk menjauh dari tidurku. Sudah kupasang dreamcatcher di atas tempat tidur untuk menjaring mimpi buruk. Mataku makin sulit terpejam memperhatikan dreamcatcher di atas kepalaku. Malam semakin larut dan lelap tak juga menjemput.

Paginya aku terbangun lebih awal dari seharusnya. Jantungku berdegup kencang, takut kesiangan. Ingin tidur kembali tapi takut tak cukup beruntung untuk bangun tepat waktu. Akhirnya kupaksakan tubuhku bangun dan melakuka kegiatan tak biasanya kulakukan. Menyiapkan sarapan. Dalam kulkas ada beberapa lembar selada, telur, susu dan sosis. Jadi, menu pagi ini adalah telur dadar dan sosis. Tapi susu akan lebih baik bila diganti dengan kopi. Sarapan pun siap, tapi rasa laparku sudah hilang. Salah satu kebiasaan jelek yang harusnya sudah lama kuhilangkan. Aku sering menyiapkan makanan tanpa menyentuhnya. Semua masuk dalam tempat sampah dan membusuk di sana. Bukan karena sengaja, tapi memang begitulah keadaannya. Tiba-tiba rasa lapar itu hilang dan seakan perutku telah terisi penuh secara ajaibnya. Tak ada penjelasan dari dokter yang pernah kudatangi. Untungnya hal ini tak menjadi masalah karena tubuhku sama sekali tak memperhitungkan pasokan gizi di pagi hari.

Hari ini pekerjaan yang sama banyaknya menanti di atas meja dengan briefing seadanya. Atasanku memang suka seenaknya. Yang dia tahu hanya ego-nya bahwa pekerjaan ini "pasti" selesai pada waktunya. Andai otak atasanku tak segila itu, semua karyawan di ruang ini pasti menyapanya dengan senyum lebar yang sebenarnya. Semua takut padanya. Takut gaji tak seberapa itu dipotong, atau lebih buruknya diberhentikan dari pekerjaan memuakkan. Entah buruk atau beruntung. Yang jelas hidup tak bisa tanpa uang, dan kami semua bertahan karena itu.

Sebelum pulang, karyawan kantor mengajakku bersenang-senang nanti malam karena besok akhir pekan. Rutinitas yang menguras uang bulanan tapi setidaknya menyelamatkan mereka dari mati kebosanan. Tapi bagiku, kebosanan itu tak hilang dengan bersenang-senang. Aku cuma butuh tenang.

Malam ini kuhabiskan berfantasi dengan dinding kamar. Mural yang belum selesai kubuat kini menjadi sahabat yang paling lekat. Sedikit goresan padanya setiap malam. Mural yang tak akan pernah kelar karena fantasiku ternyata tak punya batas. Kusambung satu per satu goresan pensil mengisi sisa ruang di dinding. Rasanya aku tak pernah puas. Berulang kali kutimpa dinding kamar ini dengan lapisan putih lainnya, untuk kemudian dipenuhi oleh fantasi lainnya. Aku tak berdaya membendungnya. Aku terhanyut bersamanya. Sepanjang malam, tanpa mati kebosanan.

Pagi berikutnya menghadang, dan aku tak berdaya melawan. Terik membakar lelapku jadi arang. Pagi bukan waktu yang membuatku senang. Aku lebih bersahabat dengan malam. Termasuk pagi di waktu senggang, aku tak doyan.

Makan siang di sekitar gedung tempatku tinggal adalah pilihan tepat. Tak terlalu jauh dari kamarku yang nyaman tapi tetap memuaskan rasa lapar. Masakan di sini juga tak kalah enak dengan masakan rumah. Aku hanya masak saat aku mau. Tentu saja, tak ada yang bisa memaksaku melakukan yang satu itu. Memasak adalah hobi sekaligus satu-satunya kemerdekaan yang kudapat sejak kecil. Dengan kedua tanganku aku bisa membuat makanan apapun yang aku mau. Keajaiban kecil yang diturunkan Ibu padaku.

Malam datang tanpa kuundang. Lusa adalah hari kerja. Aku merasa sesak mengingatnya. Berharap semua berakhir malam ini juga. Aku berjalan ke lantai paling atas tempat menjemur pakaian. Berdiri di sudut paling dekat dengan kematian. Melihat sekelilingku adalah lampu kota dan dipayungi gelapnya langit malam. Angin berhembus menerpaku, dingin tapi tak sedingin roda nasib yang terus berputar tanpa menjelaskan niatnya. Dan aku, sebutir pasir diantara tak terhingga kawanannya, berusaha menjalani hidup mengikuti arus ombak dan hembus angin lautan. Kupejamkan mata dan bergerak mendekati kematian. Semakin dekat dan jantungku berdegup kian kencang, lalu kembali tenang. Kematian bukan perkara mengerikan. Hanya sebentar dan roh ku akan pulang. Berhenti dari rutinitas memuakkan.

Kaki ini pelan melangkah ke depan. Mendekati bibir kematian dan menciumnya lekat. Aku memeluknya tanpa sedikitpun rasa takut dan bimbang. Kini aku bebas berkelana setiap saat. Melihat kawan di ruang kerja tengah berhimpit dengan amuk atasan, menertawakan resleting atasanku yang lupa ditutup. Melakukan semua yang tak bisa kulakukan sewaktu hidup. Hingga malam tiba dan aku baru menyadarinya. Aku tak hanya mendapat senangnya saja. Aku juga kehilangan fungsi kedua tanganku untuk berkarya di dunia. Lukisan dan sketsa di meja kamar tergeletak tanpa tuan. Puisi di cermin yang belum mendapat kepastian. Mural kusam yang tak pernah usai.