Jumat, 17 September 2010

Satu Yang Tak Boleh Lepas

Sembilan dari sepuluh adalah kamu
Sisa satu adalah aku
Sembilan dari sepuluh milikmu
Sisa satu tak boleh kau sentuh

Satu itu adalah harga diriku


***
Tengah malam aku duduk sendiri, menatap cermin yang pecah kutinju dengan kepalan tanganku. Bukan aksi pelampiasan emosi, hanya muak dengan apa yang kulihat dipantulannya.

Sepenggal lagu pengisi film favoritku melantun memasuki setengah telingaku yang masih tertinggal di kamar ini.

Midnight workings, weather down the storyline
I try to find the truth between all the lies
When Bleeding is feeling and feeling ain't real
Will I see you when I open my eyes?
Will I see you when I open my eyes?

(Megan McCauley - Wonder)

Memar di pipi kiri, dan sobekan perih di sudut bibir kanan. Mataku bengkak sebelah kanan, kepalaku sobek di kiri. Untung jiwaku sudah terbiasa dengan siksaan seperti ini. Cuma hati saja yang belum terbiasa menerima kepahitan bertubi-tubi. Cintamu menyakitiku, tapi cintamu segalanya buatku. Tanpamu aku tak merasa hidup, tapi denganmu hidupku tak lebih baik. Dilema yang tak henti-hentinya meracuni pikiranku untuk bunuh diri.

Tanganku tak tahan untuk terus menyentuh luka di wajahku. Saat ku sentuh, luka di bibirku berdarah lagi. Perasaan yang sejak tadi kutambal kini kembali terkoyak. Bukan karena perihnya luka di bibir tapi perasaanku di hati. Dengan ogah kuangkat pantat ini dari kursi, berjalan setengah sadar ke lemari mengambil pakaian ganti dan handuk bersih. Secepat itu juga tubuhku pasrah diguyur air hangat dari pancuran. Perih di kulit buatku sudah biasa. Aku menggigil justru saat teringat eksperimu ketika menghajar aku, kekasihmu, istrimu yang tak sah di mata hukum. Mungkin memang salahku mempercayakan hidupku di tangan lelaki sepertimu. Seharusnya aku menurut nasehat Ibuku, lelaki sepertimu hanya manis di awal saja. Tapi aku menyerah pada kutukan wanita yang sedang jatuh cinta. Aku pasrah cintaku kau ambil dan tubuhku tersakiti. Aku tetap cinta.

Beberapa tetes darah menitik setelah keran kuputar. Nampaknya mandi tak menghentikan pendarahan di bibirku. Semoga saja bentuknya tak berubah seperti bibir unta. Sempat-sempatnya aku nyengir saat bibirku menjerit pedih tersiram air. Selesai mengeringkan tubuhku dengan sangat pelan, takut memar di sekujur tubuhku histeris tersentuh benda asing, aku segera mencari kotak P3K untuk mengobati ala kadarnya. Kekasihku tak akan pulang malam ini, seperti biasanya dia akan pergi menginap ke rumah Ibunya dengan alasan sedang bertengkar denganku. Bukan alasan juga sebenarnya karena kami memang sedang bertengkar. Tapi menjadi tak masuk akal karena aktingnya seolah-olah aku ini istri laknat yang suka menyiksa suami. Andai mertuaku ada di sini menyaksikan kelakuan anak semata wayangnya. Agak merinding juga membayangkan sifat asli wanita yang melahirkan anak cacat mental seperti suamiku itu, jangan-jangan otaknya beberapa derajat lebih miring dari lelakiku itu. Aku jarang bertemu mertuaku, hanya beberapa kali sejak resepsi pernikahan ala kadarnya yang dihadiri beberapa keluarga pihak pria saja. Tak ada teman atau saudara dari pihak wanita. Yang disebut pernikahan pun hanya nikah siri, tak pernah tercatat sah secara hukum.

Selesai mengobati luka-luka dan memar di sekujur tubuhku, aku bergegas ke dapur untuk mengambil segelas bir. Ternyata dia sedang duduk sambil menekan kepalanya dengan kedua tangan. Kupikir malam ini dia kabur ke rumah Ibunya. Tubuhku gemetaran, bukan karena dingin yang menyerangku. Walau sekarang aku tak mengenakan sehelai pun benang, tapi aku merinding karena ketakutan. Memikirkan kemungkinan malam ini tubuhku harus rela ditumpangi beberapa tambahan luka lagi. Aku masih diam terpaku saat matanya menjilati tubuhku dengan api kemarahannya. Tubuhku disergap olehnya, terjatuh dan membentur lantai. Kali ini aku memilih pasrah. Pertama adalah tendangan tepat di lambung. Sakitnya bukan main. Aku ditendang tanpa belas kasihan, seperti binatang. Sementara jeritanku tertahan oleh rasa sakit, tendangan berikutnya mendarat di dada kananku. Oh Tuhan, besok pasti dadaku bengkak sebelah. Pikiranku sudah agak kacau nampaknya, bukannya berusaha mencari pertolongan malah asik memikirkan kondisi tubuhku esok hari. Masih syukur kalau nafasku bersambung sampai matahari terbit.

Sakiti aku semaumu
Sakiti sampai aku mati
Tapi jangan ambil harga diriku


***
Malam ini pertama kalinya ia berusaha menyetubuhiku. Aku tak terima itu. Perjanjian dari awal adalah aku tak akan pernah mau disetubuhi oleh lelaki mana pun. Tak terkecuali suamiku. Selama ini dia bebas mencari wanita atau pria mana yang dia suka. Pernikahan kami hanya kedok saja. Lelaki yang kucintai ini bukan manusia yang mau terikat batin dengan manusia yang terikat fisik dengannya. Baginya, aku adalah kekasih yang semurni air, suci seperti malaikat Tuhan. Tak sekali pun kami melakukan kontak fisik yang berhubungan dengan syahwat. Aku adalah manekin cantik yang selalu tampil menarik di pesta-pesta kantornya (kecuali saat wajahku yang cantik ini rusak oleh hantamannya). Sedangkan aku, wanita yang terlahir dengan kelainan psikis. Takut yang berlebihan terhadap kelamin laki-laki. Atau mungkin aku ini lesbian yang takut menerima kenyataan. Pernikahan ini kujalani agar kedua orang tuaku tak lagi membesar-besarkan statusku yang masih sendiri walau sudah cukup usia untuk dinikahi pria. Terkutuk dengan mereka yang memaksaku menerima hidup semacam ini. Tak seharusnya aku jatuh cinta pada hidupku yang begini. Seharusnya aku akhiri saja hidupku dari awal aku disakiti. Aku meringkuk dan menangis dengan pisau di tangan dan sekujur tubuhku bersimbah darah dari tubuh lelaki yang paling kucinta.

Sekali ini aku boleh bangga dengan keberanianku yang telah mengalahkan kekuatan seorang laki-laki. Pertama kali dalam hidupku, aku benar-benar menang dalam pertarungan menghadapi lawan jenis. Aku telah bangkit dengan gagah berani menghunuskan pedang menerjang musuh. ini lah aku yang selama ini bersembunyi dari keramaian, mengurung diri dalam tubuh lemah, yang terus diam walau disakiti berulang kali. Atau mungkin juga aku ini menikmati setiap rasa sakit itu hingga sengaja menyembunyikan keberanianku. Yang jelas, tak kuijinkan siapa pun termasuk dia yang paling ku cinta. Tak akan pernah kuijinkan harga diriku direnggut dariku.

Sempat beberapa kali aku melihat tubuhnya, berharap ada sedikit tanda kehidupan darinya. Harapan yang sia-sia setelah pisau ini kutancapkan sembilan puluh tiga kali ke tubuhnya. Hebat juga, aku sempat menghitung jumlahnya.

Isi kepalaku sekarang adalah bagaimana menjelaskan pada polisi tentang semua ini. Bagaimana menjelaskan keperawananku yang terjaga setelah tiga tahun tinggal satu atap bersama suamiku. Bagaimana menjelaskan pada mertuaku. Bagaimana aku harus meneruskan hidup, bagaimana dan bagaimana. Berbagai pertanyaan yang terus melintas hingga ketika polisi menemukan aku dalam keadaan shok dan telanjang bulat menggenggam pisau sambil gemetaran.

Aku memang lemah
Bukan berarti tanpa daya
Aku lemah karena terbiasa
Aku bisa berubah kapan saja
Seperti angin merontokkan bunga
Dengan mudahnya aku berubah

Senin, 13 September 2010

Penipu Ulung

Tentang rasa, tak ada yang tahu kebenarannya. Hanya si pemilik dan rasa itu sendiri yang mengetahui seperti apa dan bagaimana.

Tentang hati, mereka berbicara dengan bahasanya sendiri yang tak dimengerti orang lain. Bahkan kadang pemiliknya sendiri tak mampu menerjemahkan isinya dengan benar.

Tentang kawan, Tempat berbagi cerita, walau kadang pelampiasan emosi juga pada mereka. Kawan itu semacam tempat hiburan di saat kita jenuh.

Tentang sahabat, satu tingkat di bawah ikatan darah. Yang menyatukannya adalah rasa. Tak lebih kuat dari ikatan darah, tapi juga tak serapuh tali perkawinan.

Tentang cinta, luar biasa. Kadang membuatmu bimbang saat harus membelanya dari sahabat. Tapi cinta punya tempatnya sendiri di bilik nomor 4 dalam sekat hari :p (VIP room, heheheh)




"Rin, kamu yakin dengan keputusanmu ini ?" pria itu berbicara dengan suara serak menahan air mata. Mungkin juga kedinginan setelah berlarian di bawah guyuran hujan malam ini.

"Dy, kita sudahi saja. Aku sudah gak nyaman dengan hubungan seperti ini. Dua puluh tahun cukup kan, Dy ? Cukup untuk persahabatan kita. Buatku, sahabat gak mungkin jadi pacar." Gadis itu berbicara tanpa melihat ke arah lawan bicaranya.

Hujan terus menyiram mereka dengan buasnya. Nampaknya tak ada pilihan lain selain menikmati dingin malam ini. Tak ada tempat berteduh. Rina, gadis yang terus menyangkal perasaannya sebagai wanita, kini harus menerima kenyataan bahwa persahabatannya dengan Andy telah berubah menjadi cinta. Rina lebih memilih untuk lari dari kenyataan dan meninggalkan Andy di belakang.



***
Rina gemetaran di balik pintu rumahnya, terduduk lemas memeluk erat kedua lututnya. Kepalanya tertanam ke dalam pelukan. Telinganya ditajamkan untuk mendengar apakah ada suara Andy di luar rumah. ternyata tidak. Ia merasa aman sekarang, tapi tidak dengan perasaannya. Dalam tubuh yang meringkuk tak berdaya itu terdapat jiwa yang bergejolak. Bagaimana mungkin ia mengubah perasaannya terhadap Andy, tak pernah terbayang olehnya. Bukan berarti Andy adalah lelaki yang mudah menyakiti perasaan wanita. Rina sudah mengenalnya sejak kecil. Tapi kenangan itu jauh lebih bermakna dibandingkan cinta yang ditawarkan Andy padanya. Tidak, tak lebih berarti sedikitpun. Rina menangis, air matanya bercampur dengan air hujan yang membasahi lengan bajunya.



***
"Rin... yuk kita rampok mangga-mangganya Pak RT, udah matang semua tuh." Andy kecil berteriak dari atas sepedanya.
"Okay bos... aku ambil kantung dulu, bawa pisau sama garam gak ?" Rina kecil menyahut dari balik pagar rumahnya.
Kedua bocah itu melesat secepat tuyul beraksi, memetik beberapa kilo mangga ranum dari rumah Pak RT tanpa ketahuan pemiliknya, lalu menghabiskannya di pinggir sawah sambil tertawa cekikikan. Rumah Rina tepat di belakang rumah Andy. Tak heran keduanya sering bermain bersama. Andy tinggal bersama ibunya. Ayahnya sudah lama meninggalkan mereka. Ibu Andy bekerja sebagai penjaja cinta, tak heran keluarga mereka dikucilkan oleh warga kampung. Tapi Rina kecil tak menghiraukan omongan orang. Sahabat Andy dari kecil hanya Rina seorang. Gadis itu tomboi dan selalu melindungi Andy bahkan ketika harus melawan anak-anak kampung yang posturnya lebih besar dari mereka. Senjata andalan Rina adalah ketapel buatan kakaknya. Tak jarang orang tua korban ketapel Rina mendatangi kediamannya untuk mengadu. Tapi dasar Rina kecil yang tak pernah mau kalah, semua aduan itu tak mempan padanya. lama kelamaan, hanya ada Rina dan Andy. Tanpa gangguan dari anak-anak kampung lainnya. Mereka asyik dengan dunianya. Setiap hari adalah petualangan yang seru. Berlarian di sawah, bermain layangan, mencuri buah. Semua petualangan mereka berlanjut bahkan hingga bangku kuliah di Jakarta.

Ada satu kebiasaan lucu yang dilakukan Andy setiap kali mereka bertengkar. Andy akan pulang tanpa alas kaki, meninggalkan sandalnya di tempat mereka berpisah. Sandal itu (kalau tidak hilang diambil orang) adalah tempat mereka bertemu lagi keesokan harinya. Setiap kali bertengkar, Andy akan kabur dari rumah. Karena terlalu seringnya, Rina sampai hafal kemana harus mencari Andy. Tentu saja, di tempat yang tak jauh dari lokasi alas kaki itu berada. Andy akan terus menunggu di sana sampai Rina kembali.



***
Rina masih meringkuk di balik pintu, tak berani beranjak dari situ sebelum air matanya benar-benar kering. Tiba-tiba ia teringat, Andy.

Rina segera menghapus air matanya, berlari ke luar rumah secepat yang ia bisa, menuju ke tempat terakhir Andy berdiri tadi. Dengan nafas tersengal ia melihat sepasang sepatu di sana, sepatu milik Andy. Ia melihat ke sekeliling, taman kota. Tak ada siapa-siapa di sana, hanya Rina dan sepasang sepatu di depannya.

"Andy, keluar !!! Aku tahu kamu ada di sini. Keluar !!!"

Dan sampai hujan berhenti, sampai matahari terbit, tak ada Andy yang muncul menghadap Rina. Gadis itu berdiri membeku di sana dengan bibirnya yang membiru kedinginan. Matanya bengkak, entah karena menangis semalaman atau kemasukan air hujan. Kedua mata bengkak itu menatap lurus ke sepasang sepatu yang ditinggal Andy.



***
Tiga tahun berlalu, Andy tak pernah kembali ke sana. Setiap akhir pekan, Rina duduk di kursi taman dekat tempat terakhir ia melihat Andy malam itu. Perasaan Rina, ya, Tak ada yang tahu rasa dalam hatinya selain dirinya dan rasa itu sendiri. Baginya, sahabat tak mungkin menjadi kekasih. Tak ada jembatan yang bisa menghubungkan kedua kubu yang letaknya berseberangan dan saling berlawanan. Rina takut suatu saat nanti ia akan kehilangan Andy. Sebagai sahabat, hubungan mereka kekal tak tersentuh ruang dan waktu. Tapi percintaan selalu berakhir pada perpisahan. Sahabat yang terpisah ruang dan waktu bisa bertahan karena ikatannya tak mungkin dilukai oleh cinta. Sebaliknya, sepasang kekasih menggantungkan hubungannya di atas tali cinta yang mudah goyah, dengan mudahnya putus karena marah. Tak bisa dipisahkan walau hanya sebentar saja. Ia tak ingin kehilangan Andy tapi pada akhirnya, perasaan sahabatnya juga yang menjadi pemisah. Andy tak lagi menganggap Rina sebagai sabahat. Andy mencintainya.

Rina sibuk menelusuri buku yang baru saja dibelinya. Langit mendung, tapi cukup cahaya untuk menerangi buku dalam pangkuan Rina. Keasyikan itu akhirnya harus berakhir saat langit mulai mengucurkan gerimis. Rina segera memasukkan buku ke dalam tas, bergegas pulang. Beberapa langkah dari sana, ia berbalik melihat ke tempat sepatu Andy diletakkan.

"Dy, hari ini terakhir kalinya aku datang. Tiga tahun cukup untuk aku menyadari perasaanku. Aku sayang kamu, tiga tahun tanpa kamu pun aku bisa. Pasti kamu juga bisa hidup tanpa aku." Rina mengeluarkan sepasang sepatu yang ia pungut tiga tahun lalu, meletakkan di tempat ia mengambilnya. Menitipkan salam untuk sahabat yang ia sayangi, juga setitik air mata yang tulus.

Dalam perjalanan pulang, Rina mampir ke semua tempat yang dulu sering didatanginya bersama Andy. Untuk kali terakhir, karena besok Rina akan pindah ke Yogya. Jakarta sudah terlalu penuh, padat penduduk, dan kenangan. Terlalu sesak untuk terus tinggal di tempat ini. Hari ini, untuk pertama kalinya Rina merasa tak sendiri setelah tiga tahun terakhir. Puas dengan jajanan dan semua hiburan, Rina pun pulang. Saat membuka pintu rumahnya, terselip selembar surat.

"Rin, tadi aku ke taman. Aku melihat sepatu itu masih ada. Tiga tahun dan kamu masih mau mencariku. terima kasih, Rin. Selama tiga tahun ini aku mencoba melupakan kamu tapi gak bisa. Aku kembali ke Singapore tempat ayah kandungku berada. Sore ini aku kembali ke sana dan mungkin tak akan kembali lagi. Aku melihat kamu menangis, dan aku tahu jawaban dari semua ini. Rasa memang gak bisa bohong Rin. Begitu juga dengan rasa dalam diriku. Salam dariku yang menghilang di malam itu, malam ketika air mata langit bercampur dengan air matamu. Malam tiga tahun lalu di taman kota. Cinta ini kutinggal bersamamu di sini. Andy"

Dunia menjadi sunyi tanpa suara. Kaki Rina sekali lagi berlari ke taman kota. Sama seperti waktu itu, gelap tak ada siapapun di sana. Hanya sepasang sepatu yang akrab di matanya.

"Dy... Rasa ini sama seperti rasa yang ada di dirimu ! Kenapa kamu gak nunggu ? Kenapa !!!"
Gadis itu menangis, menjerit, dan hancur.



***
"Rin, kalau sudah besar nanti, kamu harus nikah sama aku ya !" Andy kecil mengacungkan kelingkingnya, menautkan dengan kelingking Rina.

"Janji ?" Rina kecil tersenyum malu.

Keduanya bersepeda pulang ke rumah masing-masing tanpa mengetahui takdir yang menunggu mereka di kemudian hari. Semua orang terlahir dalam keadaan polos, tanpa pernah tahu apa pun nanti. Malam itu keduanya tidur dengan senyum paling manis.



***
Sepuluh tahun berselang, Rina adalah wanita karir yang kini menjabat manager di perusahaan swasta. Wanita lajang dengan sifat menyenangkan, tak terhitung berapa banyak pria yang berusaha mendekat. Tak satu pun dari mereka berhasil melewati dinding tinggi yang mengelilingi hati wanita ini. Bahkan di kantor, beredar gosip bahwa Rina adalah seorang lesbian. Apalagi, ia jarang sekali memakai rok kecuali terpaksa.

Jam makan siang, semua karyawan meninggalkan kantor untuk menikmati santai sejenak di kafe terdekat. Rina memilih tempat makan yang tak jauh dari kantor. Restoran cepat saji kegemarannya. Sepotong ayam, segumpal nasi, dan kentang goreng. Belum sempat tangannya mengoyak paha ayam, seorang pria meletakkan sepasang sepatu ke kursi di sampingnya.

"Kamu mirip sekali dengan orang yang kukenal." Pria itu menyapa.

"Maaf, aku bukan wanita lajang. Tapi aku suka sepatu itu. Aku rela selingkuh dengan pemiliknya untuk mendapatkan sepatu yang ada di sana." Rina menggodanya.

Keduanya larut dalam perbincangan panjang, samar-samar terlihat benang merah di kelingking mereka telah bertaut. Janji mereka semasa kecil dulu nampaknya segera terwujud.



Tak ada siapapun yang mengerti tentang perasaan melebihi rasa itu sendiri, dan juga pemiliknya. Walau hati menyangkal berulang-kali, rasa akan bertahan lebih lama dari waktu dan menembus sekat ruang. Dinding-dinding pemisah akan roboh pada waktunya nanti. Seperti bendungan yang payah. Waktu akan mematangkan segalanya, termasuk cinta.

Jumat, 03 September 2010

Bola

Penyesalan tak pernah datang lebih awal.
Ia tercipta untuk membunuh korbannya
dengan racun yang sama
yang telah membunuh cinta


Mengeluh dan mengeluh. Setiap hari dan setiap waktu. Keluhan diluncurkan bertubi-tubi dari bibirnya yang kini keriput tak terurus. Ibu ku yang dulu cantik kini telah renta. Sifat angkuhnya berubah drastis bertepatan dengan terakhir kali darah menstruasi keluar dari lubangnya. Menopause ternyata mengubah sifat orang. Mungkin karena perubahan hormonal. Entahlah, terlalu banyak rahasia Tuhan yang belum diketahui manusia. Begitu juga dengan Ibu. Tak ada yang tahan berlama-lama di rumah saat ibu ada. Kecuali anjing kesayangan Ibu tentunya. Namanya juga anjing, terlahir dengan kutukan untuk setia pada majikan (bahkan kalau majikannya gemar menyiksa dirinya. Anjing malang...). Kami memilih diam, atau pura-pura tak dengar. Biarlah Ibu menumpahkan kekesalannya yang tanpa alasan jelas itu hingga ia puas atau kerongkongannya telah kering. Kesempatan kami untuk kabur adalah ketika Ibu berjalan ke dapur untuk membasahi tenggorokannya dengan segelas air. Saat Ibu kembali, hanya ada bangku kosong, atau siapa pun yang sedang sial dan menjadi korban berikutnya.

Kadang aku merasa di rumah ini, semua orang telah hidup dalam dunianya sendiri-sendiri. Tak ada lagi yang namanya keluarga di sini. Lebih mirip teman satu atap, seperti di kos-kosan. Rumah berisi manusia-manusia yang berlainan sifat dan beda pendapat, tapi tetap tunduk pada Ibu pemilik kos yang dulu aku dan teman-temanku sebut dengan istilah 'Ratu'. Semua perintahnya wajib di dengar. Hukuman bagi pembangkang adalah duduk manis mendengarkan ceramah yang durasinya diatur sesuka si-Ratu. Untuk kriminalitas, hukumannya bersih-bersih toilet (tahu sendiri lah toilet kos anak cowok seperti apa) atau hukuman paling berat adalah diusir dari istana si-Ratu. Rumah ini mengingatkanku pada masa-masa itu. Bedanya, rumah ini berisi teman-teman yang sedarah denganku. Sisanya sama saja.

Aku tak pernah membantah apa pun yang diucapkan Ibu. Tak pernah juga protes kalau kata-katanya menyakitiku. Biar bagaimana juga, dia adalah Ibu yang telah merawatku. Yang menyekat amarahku adalah kenangan manis saat Ibu masih muda dulu. Saat tangannya dengan lembut membelai rambutku. Saat ia menyuapi aku dengan nasi hangat dan ikan pedas kesukaanku. Betapa besar pengorbanannya untuk merawat kami anak-anaknya. Aku masih ingat saat kehidupan kami masih susah. Ibu bahkan rela mengipasi kami saat suhu panas (saat itu kipas angin hanya ada satu, dan anak Ibu ada empat) dan menjaga kami satu per satu agar tak digigit nyamuk. Beda dengan anak tetangga yang kulitnya penuh bekas gigitan nyamuk, kami terlihat mulus dan terawat. Ibu memang wanita yang tegar dan luar biasa. Aku sangat mengaguminya.

Walau mulutnya kadang menusuk, tapi terlihat kesepian dari sinar matanya. Mungkin kesal karena kami terus menerus mengabaikannya. Pelan-pelan, semua itu menjadi kebiasaan dan terbawa hingga sekarang. Tapi tak satu pun dari kami mau berubah. Tak ada keajaiban yang datang tiba-tiba.

Ibu perlahan makin murung dan emosinya makin menjadi. Bahkan duduk diam di ruang tamu adalah dosa terbesar di matanya. Teriakannya makin hari makin garang. Terakhir, kakak pertama ku tak lagi tahan berlama-lama di sini. Ia yang pertama meninggalkan rumah. Lalu kakak kedua, ketiga, bahkan pembantu pun kabur tanpa meminta gaji bulan terakhirnya. Ibu ku memang luar biasa.

***
Hujan turun membasahi kaca jendela. Aku duduk di kursi sambil menatap pekarangan rumah sakit, menunggu Ibu yang terbaring di ranjang. Sudah tiga hari Ibu terbaring di sini. Rawat inap karena penyakit lama. Di saat seperti ini, aku justru merindukan kebawelannya. Aneh rasanya duduk di sini tanpa mendengar celoteh Ibu. Bahkan kakak-kakakku menangis di hari pertama mereka mendapat giliran jaga. Sedangkan aku, sudah lama mati rasa. Tak lagi ada sedih, tak juga senang. Tak ada rasa, seperti boneka yang memang tercipta untuk duduk manis tanpa ekspresi. Atau mungkin 'pura-pura' ini sudah terlalu lama bersarang di tubuhku hingga menjadi kebiasaan. Lebih tepatnya menjadi satu dengan diriku. Sama seperti Ibu yang karena dibiarkan bawel, maka bawel itu pun menyatu dengan kesehariannya. Aku takut benar-benar mati rasa. Tapi aku juga tak bisa mengubah apa yang sudah menjadi kebiasaan ini secepat yang kukira. Yang jelas, ini bukan akting.

Bosan, duduk tanpa suara memandang hujan. Aku bermain-main dengan bola bekel (bola dari bahan karet yang mudah memantul) yang suaranya ternyata membangunkan Ibu dari lelapnya. Matanya sayu, menyampaikan pesan yang lebih menyakitkan dari kesepian yang selama ini terlihat darinya. Aku melihat penyesalan.

Ibu memanggilku agar mendekat. Aku pun menurut seperti biasa. Tangannya berusaha menggapai kepalaku. Aku pun menunduk, merebahkan kepalaku dekat bahunya. Ibu membelai rambutku, dan aku merasa kehangatan itu masih ada dalam setiap sentuhannya. Ibu berbicara dengan suara yang jauh lebih pelan dari suaranya selama bertahun-tahun terakhir. Ibu berkata bahwa aku sudah besar sekarang. Tapi tetap saja aku adalah anak kecil baginya. Anak yang akan selalu ia jaga hingga akhir hayatnya.

"Bu, jangan bicara yang aneh-aneh. Ibu sebentar lagi sembuh, bisa bawel seperti biasanya." aku berusaha menghibur.

"Kamu tahu, Ibu sudah hidup jauh lebih lama darimu. Ibu tak perlu dihibur dengan kebohongan seperti itu." katanya.

Tangan ibu terus membelai rambutku. Sambil menceritakan masa-masa kecilku, seperti menceritakan dongeng pengantar tidur buatku. Dulu Ibu tak pernah mau didekati saat sedang sakit. Takut kami tertular penyakitnya. Tapi kali ini, aku beruntung bisa berlama-lama sedekat ini dengannya, di saat-saat terakhir Ibu berada di dunia.

***
Tiga tahun setelah Ibu tiada, aku kembali ke rumah (setelah ibu meninggal, aku pindah ke luar kota). Rumah ini masih sama seperti terakhir aku melihatnya. Baunya masih sama. Aku menelusuri setiap sudut ruang, sambil mengingat kenangan-kenangan yang tergores di sini, di setiap senti dinding-dinding ruangan ini. Dapur tempat aku melihat Ibu meracik makanan dengan terampil. Toilet yang sempat beberapa kali membuatku kelabakan karena mampet. Ruang tamu tempat aku dan kakak-kakakku dulu bercanda, tertawa, dan bertengkar. Kamarku yang penuh mural. Terakhir adalah kamar Ibu. Bau Ibu masih bersisa di sana. Bau yang sama seperti yang terngiang di kepalaku, Bau seorang Ibu yang menenangkan anaknya dalam gendongan. Wangi khas seorang Ibu yang tak mungkin dilupakan anak-anaknya. Aku sendirian di kamar Ibu, menyentuh setiap peninggalan Ibu dengan penuh rindu. Lalu aku menemukan kotak penyimpanan benda-benda kesayangannya. Saat kubuka, ada ari-ari yang diawetkan. Aku lupa, itu punya siapa, tapi itu adalah pusaka Ibu. Lalu ada pensil alis (heran, benda seperti ini kenapa bisa dianggap istimewa), kunci yang entah akan membuka pintu kemana, dan ada bola bekel. Bola bekel yang dulu sering aku mainkan. Ternyata Ibu menyimpannya setelah aku buang. Lalu ada foto keluarga.

Semua benda kesayangan ibu kupeluk erat-erat sambil meringkuk di ranjang Ibu. Tak lama, aku menangis hingga tertidur di sana. Aku berharap bisa mendengar suara Ibu sekali lagi. Walau berisik, aku rela. Aku ingin mendengar Ibu berceramah seperti Ratu kos. Aku ingin kepalaku dibelai lembut. Aku ingin kehangatan tangan Ibu. Hanya sentuhan tangannya yang membuatku sadar bahwa aku bukan boneka. Tangannya mengingatkanku bahwa aku adalah anaknya. Anak yang telah ia jaga hingga akhir hayatnya.


Bola itu terus memantul di dinding hatiku
Selalu kembali sejauh ia terhempas
Bola berisi kenangan bersama Ibu