Senin, 11 Oktober 2010

Tentang Laut

Mimpi adalah bagian dari hidup.
Walau ia bukan bagian dari kenyataan
Tapi ia berpeluang ke sana
Menyeberang,
dan menjadi nyata


Laut menyimpan kekuatan terbesar dari alam. Ia mampu menenggelamkan daratan dalam sekali hantam. Tapi ia memilih proses yang pelan, perlahan mengikis daratan dengan ombak kecilnya yang menghanyutkanku dalam lamunan panjang. Pantai.

***
"La-ut"
"La-ut.. la...ut."
Ia terus mengulang kata yang sama dengan jedah yang sama. Stroke yang menyerangnya tiga tahun lalu telah membuat kekasihku lumpuh dan sulit bicara. Tapi itu tak menghentikan kegemarannya bermain di tepi laut, tempat kami bertemu lima tahun silam. Aku mencintainya melebihi siapa pun yang pernah mencoba bercinta denganku. Ikatan di antara aku dan dia adalah ikatan batin. Karenanya, aku terus bertahan dalam kondisi ini, berharap suatu hari nanti ia akan sembuh dari kelumpuhannya dan memelukku erat seolah tak akan pernah ia lepas. Seperti pelukan hangat yang kuberi setiap pagi, setiap malam.

Sejak kelumpuhannya, emosiku menjadi labil. Perlahan teman-teman terdekatku semakin berkurang. Mereka tak tahan melihatku menderita karena mempertahankan dia. Tapi mereka tak pernah mau tahu bahwa tanpa dia aku merasa hampa. Tanpa dia aku tak akan mampu bertahan di dunia nyata. Karena itu aku memilih dia, dan melepas teman-teman terbaikku satu demi satu. Hidup selalu memaksaku untuk memilih. Tak pernah aku diberi lebih.

Dia adalah curahan hatiku, pelipur lara-ku. Demi dia, kuhabiskan segalanya. Bahkan air mata dan seisi hatiku.

Setiap pagi aku mengantarnya ke pantai untuk melihat laut. Pagi, bahkan sebelum manusia-manusia pagi terbangun dari mimpinya. Dia mengulang-ulang kata 'laut' diucapkan 'la-ut' olehnya. Siapa juga yang tak akan terbangun kalau kekasihnya terus mengulang kata yang sama, tepat di samping tempatnya tidur. Kadang aku berpikir, apa mungkin dia tak tidur hanya untuk membangunkanku tepat waktu ?

kesibukanku setiap hari adalah menemani dia ke pantai, melihat matahari terbit. Lalu pulang ke rumah kami yang tak jauh dari sana. Sejak kekasihku lumpuh, kami pindah ke rumah dekat pantai, untuk memudahkanku mengantarnya ke sana setiap pagi. Saat aku kerja, ia ditemani seorang perawat sampai malam. Kadang aku menemaninya melihat matahari terbenam bila aku bisa pulang cepat. Jarang, tapi sangat menyenangkan. Saat aku bersandar di kedua lututnya, mencium lembut kedua lututnya, sambil menatap matahari terbenam. Hidupku terasa jauh lebih bermakna saat bersamanya. Semua kekesalanku seperti hilang seketika ketika tanganku bersentuhan dengan tangannya. Kadang aku bahkan menangis bahagia di sela jemarinya.

"Berapa lama kamu akan diam ? Cepatlah bangun, agar aku bisa lagi bermanja padamu."

Kalimat terakhir yang kuucap padanya di pantai. Keesokan harinya, aku menemukan kursi roda itu kosong di dekat pantai. Aku tak tahu bagaimana caranya ia sampai ke sana. Awalnya aku berharap bahagia, mungkinkah ia lepas dari kelumpuhannya dan berjalan meninggalkan kursi roda. Tapi kenyataannya berbeda. Tubuhnya kutemukan beberapa ratus meter dari kursi roda. Kekasihku menenggelamkan diri ke laut tanpa mengajakku ikut.




...................................