Minggu, 23 Januari 2011

Perjuangkan Selagi Bisa

Tentang hati, tak ada siapa berani menyangkal bahwa ia mendengar. Tapi tak banyak yang mampu menerjemahkan dengan benar.

Firasatku berkata, kekasihku sendiri tengah bingung menerjemahkan isi hatinya. Terlihat jelas otaknya seperti sedang dipilih oleh dua kubu berlawanan, sampai hampir putus. Tapi dia kira bisa menyembunyikan itu dariku. Terlihat bibirnya melengkungkan senyuman. Tapi matanya kosong menatap gelas berisi anggur merah murahan.

"Rin, lagi mikirin apa ?" aku berusaha membuka celah di hatimu yang tertutup rapat karena takut emosi aslimu terlihat.

Aku melihatmu tersentak, tapi berusaha menutupi kekagetanmu dengan berlagak bodoh.

"Sorry, kamu bilang apa barusan ?"

"Aku tanya, kamu lagi mikirin apa ?"

"Oh, gak ada kok. Cuma menikmati anggur ini aja. Hehehe..." Bahkan tertawamu yang dibuat-buat itu sama sekali tak tersamarkan.

"Rin, aku pulang ya."

"Loh, kenapa Rud ?"

Aku menarik jaket yang tergeletak di lantai, lalu berdiri dan bersiap pergi. Aku bosan dengan akting murahan yang kau pertontonkan sejak awal. Begitu kira-kira yang ingin kusampaikan padamu, tapi aku bukan laki-laki yang tega berkata kasar pada wanita. Apalagi padamu, Rina. Kekasih yang mendapatkan hatiku tiga tahun silam. Sayang, hubungan ini semakin suram karena tak ada perkembangan. Saat aku berjalan mendekati pintu, Rina tetap pada posisinya, tanpa suara.

Aku yakin Rina menangis sejadi-jadinya di dalam sana. Entah apa yang mengikat kami berdua selain cinta yang sudah tak karuan bentuknya. Mungkin kami sama-sama bosan, atau sudah tak menemukan alasan untuk mencinta. Walau sebenarnya cinta tak butuh alasan. Hanya orang tolol yang menganggap cinta itu bersyarat. Mungkin kami berdua masuk dalam kelompok orang tolol yang menganggap ini sebagai cinta. Tapi kami juga tak berani mengambil keputusan untuk menyatakan bahwa rasa yang ada selama tiga tahun ini bukanlah cinta. Sejujurnya, aku pun menangis malam itu, di balik pintumu.

* * *

Perjalanan pulang selalu terasa jauh. Bahkan jarak rumah kita yang dekat ini terasa seperti jarak dua kota yang berbeda. Mungkin karena aku ingin segera sampai di rumah, segera mandi dan melupakan pertemuan kita tadi. Mungkin tak seharusnya aku datang ke tempatmu. Kedatanganku tadi dengan membawa harapan agar kita berdua menemukan jalan keluar untuk menghangatkan hubungan kita yang semakin dingin. Sepanjang perjalanan aku risau menentukan lanjut atau sudahi saja hubungan ini. Ada rasa ingin memiliki, tapi setengahnya lagi terisi benci.

Sampai di rumah, aku segera mandi. Mendinginkan kepalaku sejenak di bawah pancuran air. Usainya, aku menggeletakkan tubuh ke atas ranjang. Berpikir lagi, menentukan keputusan mana yang akan kuambil. Senyuman Rina saat pertama kami bertemu. Itu yang membuatku sekarang tersenyum di atas tempat tidur. Keputusanku sudah bulat, besok malam aku harus ke sana dan mengajaknya untuk memulai dari awal. itu keputusanku. Karena apa yang kurasa selama ini adalah cinta. Sudah sepantasnya aku mempertahankan Rina.

* * *

Alarm handphone seharusnya membangunkanku pukul tujuh pagi. Tapi semalam aku lupa mengisi baterai. Kemungkinan baterainya habis. Aku terbangun pukul sepuluh. Aku sudah terlambat ke kantor. Tapi ada baiknya juga, setidaknya aku datang ke kantor dalam keadaan segar. Semalam aku terlelap pukul tiga dini hari. Mataku sulit terpejam karena tak sabar menyusun rencana untuk meyakinkan Rina bahwa aku masih mencintainya.

Rencana awal adalah seikat bunga mawar merah. Segera kunyalakan TV untuk melihat berita lalu lintas kota siang ini. Sambil tangan kiri-ku sibuk mencari channel di TV, tangan kananku memegang segelas kopi. Tiba-tiba aku melihat berita kebakaran. di dekat rumah Rina. Harap-harap cemas, aku menunggu iklan lewat. Hampir tak percaya, tapi kenyataannya alamat dan video di TV menampilkan rumah Rina. Reporter menyatakan bahwa korban bernama Rina, tewas terbakar karena saat kebakaran terjadi, pintu terkunci dari luar.

Aku segera berlari, mencari celana yang kukenakan semalam. Ternyata di dalam saku celana itu terdapat dua kunci rumah Rina. Satu milikku, dan satu lagi tentu saja, milik Rina.