Minggu, 13 Februari 2011

Happy Valentine





All images in this account belong to Jony Kho. Comercial usage without my permition will charged US$3000,- each.

Selasa, 01 Februari 2011

Happy Chinese New Year 2011




All images in this account belong to Jony Kho. Comercial usage without my permition will charged US$3000,- each.

Karena Aku Merasakan

Untuk Mama yang terus menganggap aku sebagai anak kecil dalam gendongannya. Sampai kapan pun.

Bukan sekali dua kali, tak terhitung lagi berapa kali aku membuka mulut dengan nada kesal di hadapan Mama, dibarengi muka yang ditekuk-tekuk dan bibir manyun cemberut. Kadang ditambah mata menyala merah penuh amarah. Parahnya, setiap kali aku begitu, Mama terlihat tak berdaya seolah sengaja. Aku jadi seperti orang jahat yang tega menganiaya perempuan tua tak berdaya. Sedih, tapi terlanjur basah. Biasanya aku tak akan berhenti sampai amarahku mereda. Sungguh anak kurang ajar tak tahu di untung. Begitu kira-kira aku memaki diriku sendiri di dalam hati. Mama tak perlu tahu itu, walau mungkin di dalam hati ia memaki aku dengan kata-kata yang lebih pedas.

Sudah lama aku kehilangan sosok Mama yang dulu aku sayang. Bukan berarti sekarang aku tak sayang. Hanya dia satu orang yang kupanggil Mama di dunia dengan sepenuh hatiku meng-amin-i, meng-iya-kan, atau dengan kata lain, menyetujui dengan pasrah.

Aku sayang Mama ketika dia tak membuka mulutnya untuk menelurkan ribuan topik pecundang yang kalau kuhitung-hitung dengan lebih teliti pasti sudah melebihi jumlah episode sinetron murahan di televisi. Topik yang sama bisa diulang tanpa rasa bosan. Mungkin bukan maksudnya begitu, bisa saja Mama hampir mati kebosanan dan ingin mencari topik untuk dibicarakan. Topik yang salah yang membuatku makin diam.

Mungkin dalam hati, mama akan lebih memilih kakakku yang jauh lebih sabar mendengar. Tak kuragukan rasa sayang kakakku padanya tak kalah dari rasa sayangku pada Mama. Kadang aku iri dengan kesabaran yang dimiliki kakakku yang membuatnya bisa dekat dengan Mama walau dihajar dengan ribuan topik membosankan. Seperti keajaiban dan kakakku bisa mengalir dalam pembicaraan. Sedangkan aku, selalu membatu seperti kerikil yang tidur di bawah arus sungai.

Mama Bukan pribadi yang seperti ini sepuluh tahun yang lalu. Dan aku merasa diriku sekarang seperti ini juga adalah karena Mama. Aku anak keempat dari empat bersaudara, dan aku menghabiskan waktu dengan Mama jauh lebih banyak dari kakak-kakakku lainnya. Aku mempelajari berbagai sifat mama, dan diam-diam menirukan dengan gayaku sendiri. Salah satunya adalah sifat mama yang keras dan sulit dibantah. Hasil pembelajaran itu adalah sifatku menjadi musuh bebuyutan Mama. Kami sering kali saling ngotot untuk hal-hal kecil seperti bagaimana memperlakukan sampah yang benar, kadang Mama suka teledor membiarkan minuman manis yang tumpah di lantai yang akhirnya menjadi kubangan bagi semut-semut nakal. Aku paling tak bisa menerima kejorokan seperti itu. Jujur, aku bukan orang yang gila kebersihan, tapi aku juga bukan orang yang bisa hidup dalam ‘kejorokan berlebih’ seperti kasus semut dalam kubangan. Tapi yang membuatku makin kesal adalah sifat kekanak-kanakan Mama yang selalu menyangkal (walau terlihat dalam ekspresi wajahnya bahwa dia sedang berbohong) dan tak mau kalah. Biasanya kalau sudah begitu, aku akan diam dan masuk kamar.

Talenta yang kumiliki juga turunan dari Mama yang berotak briliant. Selalu ada saja ide untuk membuat alat-alat praktis dari benda sederhana. Sialnya, Mama bukan orang yang suka bekerja sama dalam satu tim. Seringnya, kami bersaing membuat satu alat yang nantinya harus ditandingkan seperti dalam lomba. Kalau aku kalah, Mama selalu bilang “Tuh kan, otak Mama gak kalah pintar dari otak kamu.” Dan biasanya aku menimpali “Yeah… pasti lah, otakku kan lahir dari Mama juga.” Sambil tersenyum kecut macam pecundang lalu pergi. Kesal, tapi juga bangga.

Tak selamanya Mama itu mengesalkan. Kadang tanpa Mama rasanya sepi sekali. Tak melihat aksi kocak dan candanya yang kekanak-kanakan membuatku kesepian. Sumpah, aku tak pernah berhenti berharap andai Mama bisa membaca pikiran anak-anaknya. Andai aku bisa berubah menjadi seperti kakakku. Rasanya aku tahu betul seberapa sulit mengubah sifatku, walaupun imbalannya adalah kasih sayang Mama yang hampir aku lupa rasanya karena sebagian besar waktu kami bersama habis untuk berdebat saja. Sekarang aku lebih banyak menghindar. Bahkan teriakan dari satu lantai di bawah kamarku lebih sering aku abaikan dengan pura-pura tidur. Beberapa saat kemudian setelah aku berpikir mungkin mama memanggilku untuk sesuatu yang penting, baru aku turun ke bawah. Seringnya aku dipanggil untuk topik tak penting itu, atau hal-hal tak perlu. Itu yang membuatku makin malas menanggapi panggilannya. Tapi aku selalu kembali memikirkan kondisi Mama yang sudah tua dan sakit-sakitan. Bisa saja panggilan itu menjadi panggilan darurat yang tak bisa diabaikan. Akhirnya, aku menanggapi setiap panggilan Mama walau harus kembali menahan kesal.

Kadang Mama berterus terang tentang sifatku yang dingin, menasehati bahwa setiap ocehannya adalah karena sayang. Bahwa umurnya tak lagi panjang (aku paling benci ketika Mama mulai membicarakan umurnya yang tak lagi panjang). Apa mungkin Mama tak pernah sadar kalau aku menyayanginya dengan sisi lainku ? bahwa setiap kali aku diam adalah karena aku sayang dan tak mau menyakitinya dengan kata-kata kasar. Seharusnya Mama tahu kenapa aku tumbuh menjadi pribadi yang dingin dan tak terlalu dekat dengan keluarga. Karena sejak dulu Mama pun begitu. Sejak aku kecil, Mama bisa saja marah dengan kelakuanku hingga mengoles mataku dengan cabai giling. Setelah ekspresi marah yang menakutkan itu, Mama bisa tersenyum ramah pada tetangga beberapa menit kemudian. Itu yang aku pelajari dari kecil. Bahwa kita bisa saja jahat pada keluarga, tapi kita tak boleh menampakkannya pada orang lain. Aku menjadi pribadi yang menyenangkan bagi orang lain, tapi mengesalkan bagi keluarga. Cukup masuk akal kan ?

Tak hanya dengan Mama, dengan kakak-kakakku pun begitu. Aku jauh lebih ramah saat dengan teman-temanku atau pun orang yang baru kenal daripada dengan keluarga kandungku.

Tak mudah mengubah sifat yang tertanam sejak kecil. Tak ada gunanya juga menyalahkan Mama sekarang ini. Dalam hatiku, Mama sudah menerima karma buruknya karena sifatku yang begini. Bukannya aku sengaja, tapi aku sulit mengubah. Aku tak pernah bisa meminta maaf langsung pada Mama, mungkin belum saatnya. Mungkin saja nanti, suatu hari. Atau tak akan pernah. Aku sendiri belum punya keberanian untuk menentukan kapan saatnya. Aku takut ego-ku lebih besar dari penyesalan yang kupendam.


seems like it was yesterday when I saw your face

You told me how proud you were, but I walked away

If only I knew what I know today

Ooh, ooh

I would hold you in my arms

I would take the pain away

Thank you for all you've done

Forgive all your mistakes

There's nothing I wouldn't do

To hear your voice again

Sometimes I wanna call you

But I know you won't be there

Ohh I'm sorry for blaming you

For everything I just couldn't do

And I've hurt myself by hurting you

Some days I feel broke inside but I won't admit

Sometimes I just wanna hide 'cause it's you I miss

And it's so hard to say goodbye

When it comes to this, oooh

Would you tell me I was wrong?

Would you help me understand?

Are you looking down upon me?

Are you proud of who I am?

There's nothing I wouldn't do

To have just one more chance

To look into your eyes

And see you looking back

Ohh I'm sorry for blaming you

For everything I just couldn't do

And I've hurt myself, ohh

If I had just one more day

I would tell you how much that I've missed you

Since you've been away

Ooh, it's dangerous

It's so out of line

To try and turn back day

I'm sorry for blaming you

For everything I just couldn't do

And I've hurt myself by hurting you

Christina Aguilera - Hurt