Jumat, 25 Maret 2011

Mengurung Kebenaran

Pagi setia menyapaku lewat jendela yang besarnya tak seberapa. Seberkas sinarnya menyilaukan mata yang belum terpejam dan bengkak oleh tangis semalam. Malam usai sidang panjang dengan satu keputusan yang menurut hakim adalah paling tepat. Hukuman mati.

Aku adalah gadis belia usia tiga belas tahun. Kurasa aku adalah gadis paling muda di penjara ini. Paling muda, tapi dengan hukuman paling berat. Perempuan di sel sebelah sempat terkejut mendengar hasil keputusan sidangku. Cik Mimi namanya. Pelacur yang masuk penjara karena kebodohan pelanggannya, meneguk lima butir viagra dengan harapan kelaminnya bisa bermain lebih lama. Sialnya ia tewas kejang-kejang dengan mulut berbusa. Cik Mimi lah yang menjadi tersangka dan tak berdaya ketika dirinya dimasukkan ke dalam penjara. Tak ada siapa pun yang membela.

Cik Mimi tak lagi bersuara sejak mendengar keputusan sidang. Kurasa ia pun menangis semalaman dalam diam. Seharusnya aku tak memberitahukan padanya. Aku tak ingin menyakiti perasaannya di saat-saat terakhir hidupku. Hanya dia satu-satunya orang yang bisa kuanggap teman di penjara ini.

Aku Lina. Gadis yang dijual keluarganya untuk diperistri seorang saudagar kaya satu tahun yang lalu ketika umurku tepat dua belas tahun. Saat itu aku tak menangis, tak juga senang. Aku tahu keluargaku miskin dan butuh banyak uang. Ayahku yang bodoh telah meminjam sedikit uang dari tengkulak, dengan jumlah yang sangat besar yang harus ia kembalikan. Satu-satunya cara melunasi hutang adalah dengan menikahkan aku pada tengkulak brengsek itu.

Sebagai anak kelima dari delapan bersaudara, aku cukup dewasa dengan usiaku yang baru dua belas tahun. Sejak adik pertamaku lahir aku sudah mandiri. Tak pernah menyusahkan Ibu yang terpaksa bekerja sebagai kuli angkut beras demi membantu Ayahku yang seorang supir angkot. Tak jarang kami kelaparan, tapi kami adalah anak-anak yang berbahagia karena memiliki kehangatan keluarga. Kakak-kakakku sudah belajar mengamen sejak aku lahir. Aku pun belajar dari mereka. Menjadi gadis lusuh yang berkeliaran ke pusat kota untuk menyanyikan berbagai tembang yang aku sendiri tak mengerti artinya, demi beberapa koin atau kalau beruntung beberapa lembar uang yang jumlahnya cukup untuk biaya pulang dan membeli sedikit beras. Ibu tak pernah berhenti tersenyum ketika pertama kali aku membawakannya beras. Aku suka melihat Ibu tersenyum.

Ketika Ayah tak sanggup membayar, aku pun dinikahkan paksa pada tengkulak itu. Sekedar tahu saja, umur tengkulak itu sepuluh tahun di atas Ayah, dan istrinya sudah ada tiga. Anaknya pun masi ada yang lebih muda dariku. Ibu terus menghiburku. Katanya, aku beruntung bisa menikah dengan tengkulak itu. Hidupku akan terjamin, makan dan minum tercukupi. Baju mewah dan perhiasan yang selama ini hanya mimpi sekarang bisa kudapat dengan mudah. Tapi harga yang harus kubayar sangat mahal. Aku harus menikahi laki-laki tua yang sangat kubenci itu. Laki-laki yang sering mengirim preman kampung untuk melukai Ayah. Laki-laki yang akan merenggutku dari keluarga. Lebih tepatnya merenggut kebahagiaan masa kecilku bersama keluarga. Tapi aku diam dan terima saja demi Ayah dan keluarga.

Hari pernikahan pun tiba. Perayaannya sangat mewah untuk ukuran orang kampung seperti kami. Semua berbahagia. Kakak-kakak dan adik-adikku semuanya makan "makanan paling enak seumur hidup mereka" untuk pertama kalinya. Kulihat mereka kenyang dan puas. Tapi aku sama sekali tak menyentuh makanan yang dihidangkan. Aku tak sudi menyentuh makanan dari hasil mencurangi orang-orang bodoh seperti Ayah. Kasihan keluarga mereka. Tengkulak itu menikahiku dan berjanji tak akan menyentuhku hingga umurku genap delapan belas tahun. Ibu lega mendengarnya. Perjanjian itu diucap di atas kitab suci. Kuharap tengkulak itu masih punya rasa takut pada Tuhan-nya. Aku meragukan itu.

Hari-hari di rumah baru cukup menyenangkan. Aku bisa bermain dengan anak-anak dari istri tua. Mereka menganggap aku anak mereka. Memang sepantasnya begitu karena umurku jauh berbeda dari mereka. Salah satunya adalah Kak Tina, yang nasibnya serupa denganku. Selama tinggal di sana, Kak Tina paling baik padaku. Bahkan ia mengajari berbagai macam hal, mengijinkan aku bermain dan merawat anak-anaknya. Tak sekalipun aku dianggap saingan. Setidaknya ini tak seburuk yang kukira. Aku hanya perlu menahan mual setiap kali bertatap muka dengan si tengkulak.

***

Dua tahun setelah pernikahan dan usiaku baru genap empat belas tahun. Perekonomian memburuk, imbasnya cukup terasa di keluarga tengkulak tempatku tinggal sekarang. Apalagi kebiasaan hidup mewah dari istri tua membuat si tengkulak hampir jatuh miskin. Sempat aku berharap akan dipulangkan pada kedua orang tuaku, tapi tentu saja itu harapan kosong yang tak masuk akal. Mana mungkin tengkulak ini akan mengembalikanku tanpa imbalan apa pun dari keluargaku. Untungnya, aku masih diperlakukan dengan sangat baik di sini. Hari-hariku terjamin dengan makanan dan pakaian mewah. Walau tak semewah pertama aku datang ke rumah ini. Sekarang ini, istri pertama si tengkulak mulai menyebar isu miring tentang aku yang katanya membawa sial ke dalam keluarganya. Seharusnya dia tahu kalau aku pun sebenarnya tak sudi menjadi bagian dari keluarga besar tengkulak ini.

Keadaan semakin kacau ketika si tengkulak mulai mencari perempuan malam dan mabuk-mabukan setiap hari. Mulut istri pertama membuatnya tak betah berlama-lama diam di rumah. Tak jadi masalah buatku karena aku semakin jarang bertatap muka dengan si tengkulak. Tapi aku juga mendapat bagian dari cacian si istri pertama yang terus menghina aku dan keluargaku yang sekarang sudah resmi menjadi "pembawa bibit kemiskinan" baginya. Marah, tapi aku tak berkuasa melawan istri pertama. Memang lebih baik diam daripada menjadi korban pelampiasan emosi yang salah sasaran.

Malam yang dingin, hujan dan angin kencang menahan tengkulak itu pergi. Tapi tak menghentikan kebiasaan mabuknya. Aku sempat mendengar teriakan istri pertama. mereka bertengkar hebat. Aku mendengar suara piring dilempar dan jeritan wanita setan itu. Tampaknya kali ini dia yang menjadi sasaran emosi suaminya. Untuk pertama kalinya mungkin, sampai semua pelayan yang menguntit kemanapun dia pergi tiba-tiba ribut berteriak meminta bantuan karena si wanita setan itu pingsan. Kuharap wanita itu mati sekalian. Aku tak cukup perduli untuk keluar kamar dan mencari tahu bagaimana nasibnya. Kuputuskan untuk tidur lebih awal.

***

Pagiku datang dengan cara yang kasar. Pintu kamar tidurku dibuka paksa oleh orang-orang berseragam aparat. Lebih ngeri lagi melihat ekspresi wanita setan, istri pertama si tengkulak yang garang. Begitu galak dan marah, rambutku ditarik sambil ia menjerit histeris berurai air mata. Seharusnya aku yang histeris dan menjerit oleh perlakuan macam ini. Tapi aku diam karena bingung dan terkejut. Pagi yang aneh.

Ingatanku kurang jelas sebelum aku terduduk di kursi tersangka, di kantor polisi. Aku dituduh membunuh suamiku si tengkulak. Mereka bilang, malam itu si tengkulak menghampiri kamarku dan berteriak kesakitan. Mereka juga bilang tubuh si tengkulak ditemukan tak jauh dari kamarku, dengan darah yang arahnya berasal dari depan pintu kamarku. Saksi matanya tentu saja istri pertama si tengkulak yang menceritakan detail kejadiannya seperti sedang membacakan langsung dari buku pengantar tidur yang biasa dibacakan untuk anak-anaknya. Menurut penuturannya, malam itu setelah bertengkar hebat dengan dirinya, si tengkulak menghampiri kamarku dan berusaha memperkosaku. Aku melawan dan akhirnya menembak si tengkulak dengan pistol yang menjadi pajangan di dinding kamarku. Pistol yang bahkan aku sendiri tak tahu bagaimana menggunakannya. Andai aku tahu semudah itu menghabisi nyawa si tengkulak, tentu tak sulit bagiku menghabisinya beserta wanita setan yang tengah menuduhkan kebohongan atas diriku di depan hukum.


Kamis, 10 Maret 2011

Pagiku Bersemu

Aku dan pagiku yang lebam babak belur belum sempat tidur. Aku dan secangkir teh menanti pagi memberi sedikit semu di rona hariku. Sendiri, kata yang setiap kali terucap membuatku merasa pernah ditemani. Walau sebenarnya lebih sering aku sendiri melewati detik demi detik hariku.

Lebam belum juga tersamar, dan teh di cangkir muiai hilang hangatnya tersapu angin pagi. Pagi yang menganga, begitu luas dan kosong. Dingin dan sepi. Kenapa pagi harus begitu mati. Atau mungkin aku bangun sebelum yang hidup bangkit dari mimpi.

Pagiku di tempat yang baru. Tak lagi dari jendela tempat lamaku. Kali ini tak ada lagi nenek dan cucunya yang menjadi menu favoritku saat membuka hari. Tak ada juga siluet-siluet seksi yang sibuk mengolah tubuhnya dengan lari pagi. Tak semenarik kicau burung di pohon mangga seberang tempatku tinggal. Atau titik embun di pucuk daun yang kutanam. Daun, karena bunganya tak kunjung muncul beberapa bulan setelah kudengar janji manis penjualnya. Atau memang aku saja yang tak pandai memanjakan bunga yang jual mahal itu. Tak jadi masalah karena daunnya tak kalah indah. Masih ada lagi, yang membuatku betah berlama-lama hinggap di jendela. Sinar merah jambu yang malu-malu menembus awan kelabu, mengubah lebam menjadi semu. Sinar mentari pagi. Kuharap beda lokasi tak membuatnya acuh padaku.

Menunggu dan menunggu. Bagian mana dari hidup yang tak butuh kesabaran menunggu ? Bahkan kemunculan kita ke dunia pun harus menunggu sembilan bulan lamanya, kadang telat pula. Tapi semua itu tentu sudah kodratnya. Tak terbayang kan kalau kita sudah lahir dalam keadaan orok dan tali pusar kita masih menyangkut di rahim mama. Mungkin kita akan lahir dalam bentuk yang cepat beradaptasi gerak seperti anak rusa yang lincah melompat beberapa saat setelah menembus kelamin induknya, atau sial dan terlahir dalam bentuk tak berdaya yang terseret-seret macam anjing piaraan tersangkut tali pusar atau tewas mengenaskan terinjak heels mama. Untuk itu, aku tak lagi mempersoalkan kalau harus menunggu dalam batasan wajar, seperti menunggu munculnya merah semu di ufuk timur. Tak mungkin juga aku memaksanya keluar dengan kekuatanku yang tak lebih banyak dari tokoh 'Inem' si pelayan sexy. Lagipula, sabar itu banyak pahalanya. Itu kata guru agama. Semoga saja benar, dan pahala itu bisa menutup kebusukanku di dunia. Dan semoga doa orang busuk ini masih diterima.

Menunggu bukan pekerjaan mudah. Sambil berperang melawan kantuk yang siap menyerang ketika aku tak siaga, ditambah rasa bosan. Kita ibaratkan rasa bosan itu adalah dinding di sekelilingku yang perlahan semakin mendesak, berusaha meremukkan tubuhku dengan kekuatannya. itu lah bosan. Gerakannya perlahan tapi mematikan. Dalam porsi yang pas bisa membuat penantianku berakhir sia-sia dengan marah dan resminya pembatalan niat.

Terlalu lama berdiri dengan kedua kaki kemudian bergilir satu kaki, aku memanjat dinding pembatas teras. Tak terlalu tinggi, tapi cukup nyaman untuk duduk dan menggoyangkan kaki. Kulihat sepasang serangga centil sedang menyatukan pantat. Usilku timbul mendadak. Kutepuk pakai sandal sampai keduanya tewas bersamaan. Biarlah sepasang serangga itu menjadi cerita legenda dalam dunia mereka. Kisah Romi dan Juli yang tewas ditepuk saat bermesraan di teras. Tak terlalu menarik. Berapa lama lagi aku harus menunggu tak jelas.

Hidungku gatal, agak gatal, bertambah gatal dan merangsang jari kelingkingku bertindak. Mengupil. Banyak yang pura-pura tak suka kegiatan ini, tapi disaat sedang sendiri, dijamin mereka menagih. Tak kalah seru dari bernyanyi atau menggaruk gatalnya kulit kepala. Kegiatan mengupil bisa memberi kepuasan tersendiri. Tak heran banyak orang yang saking hobinya sampai lupa daratan, mengupil di sembarang tempat (lebih kurang ajar lagi, biasanya manusia macam ini tak lupa menebar upilnya di setiap mana kakinya berpijak).

Sayup-sayup kicau burung terdengar. Kusandarkan kepalaku ke teralis yang mengurungku seperti burung dalam sangkar. Entah untuk mencegah maling masuk atau mencegahku lompat keluar. Keduanya baik. Jadi aku tak permasalahkan.

Kupikir di tempat padat ini sudah tak ada kehidupan lain selain manusia, serangga dan pengerat. Tak kusangka dan tak kuduga, di rumah seberang sana sudah ada sarangnya burung gereja. Senang melihat ada kehidupan lain yang berbahagia di dekat rumah. Lumayan juga untuk menggantikan nenek di tempat lamaku yang suka repot mengasuh cucu. Untung juga burung itu bikin sarang di seberang rumah. Coba kalau sarangnya di teras ini. Sudah kuacak-acak sarangnya untuk melihat apa isinya. Telur mungil, atau burung kecil telanjang tanpa bulu. Agak jijik juga membayangkan bayi burung gereja yang mencicit tanpa bulu dan warnanya merah jambu. Seperti bayi tikus.

Kicau burung mengajak mataku terpejam. Pelan dan mulai rutin. Awalnya beberapa detik lalu beberapa menit dan pelan menyeretku ke dunia mimpi. Aku tertidur dalam penantianku yang tak pasti.

***
Dan merah jambu yang kutunggu berlalu tanpa permisi dan tanpa pamit. Sungguh kurang ajar, tak tahu aturan. Sudah kutunggu berlama-lama menahan kantuk sampai ku terlelap, dan aku ditinggal tanpa pesan.

Tapi, beginilah hidup. Penantian tak selalu berbuah manis. Semua butuh pengorbanan. Korban perasaan, korban waktu, korban apa saja. Dan semua pengorbanan itu tak menjadikan kita pihak yang pantas untuk protes saat hasilnya tak sesuai yang kita kira.

Aku kehilangan satu kesempatan melihat langit bersemu merah, tapi aku mendapat pipi bersemu merah, lekuknya sesuai bentuk teralis di teras rumah.