Selasa, 27 September 2011

Jemari Amatiran

Maaf, bukannya aku sengaja. Aku tak pernah terpikir untuk berkhianat darimu. Hanya saja, aku tak sanggup menghentikan jemariku mengetik rayuan gombal dan mengirimnya ke nomor si-pelacur.


Rina tetanggaku yang malang. Setiap pagi setelah keberangkatan suaminya ke tempat kerja, ia terisak di teras. Para tetangga tahu apa yang terjadi padanya. Tangisnya lagi-lagi karena alasan yang sama. Suaminya main gila dengan pelacur yang rumahnya cuma beda satu gang. Rina yang malang. Terlalu lemah sampai kalah dengan pelacur hina. Andai Rina sekuat diriku, tentu suaminya tak mau banyak tingkah seperti sekarang. Suamiku pernah ketahuan selingkuh dengan pelacur yang sama. Hasilnya, satu tusukan ia dapat di lambung kiri. Masih untung umurnya belum kesampaian. Tuhan beri dia satu pengampunan. Dan aku sebagai istri terpaksa menuruti kemauan Tuhan, mengampuni suamiku. Tapi kuingatkan, cuma satu kali.

Rina tak seperti aku, hatinya begitu lembut. Semua perkara disimpan dalam-dalam. Entah hatinya terlalu dalam atau bahkan tak berdasar. Gilanya, pelacur itu berani terang-terangan mengumbar perselingkuhannya di depan umum. Lebih hebatnya, suami Rina tak berusaha menutupi kebusukan itu. Sungguh malang nasib Rina. Bukankah perutnya semakin membesar oleh jabang bayi laki-laki yang dipanggilnya suami itu. Semoga saja perkara ini segera usai sebelum lahiran buah hati mereka. Hati kecilku merasa iba membayangkan nasib anak mereka seandainya tumbuh dalam kondisi begini. Tiap hari melihat ibunya menangis di teras dan mendengar pergunjingan orang-orang soal bapaknya. Sungguh mengenaskan. Tapi itu baru dalam bayanganku saja. Semoga yang terjadi adalah sebaliknya.

Kehamilan Rina makin terlihat dari perutnya yang membesar. Sudah mendekati saat-saat melahirkan. Kondisinya masih sama, tiap pagi di teras terisak dalam sapu tangannya. Hatiku masih iba. Ingin rasanya kuhabisi pelacur itu bersama suaminya. Rina lebih baik hidup sendiri daripada terus menangisi nasib seperti sekarang. Yang kutahu Rina bukan perempuan tak berdaya. Dulu ia pekerja kantoran dengan gaji yang lumayan. Tanpa suaminya pun ia bisa bertahan. Keluarganya pun cukup terpandang. Mungkinkah ia bertahan demi martabat keluarga ?

Sore ini aku membulatkan tekad untuk menghampiri Rina. Tetanggaku itu sedang masak ketika aku datang. Begitu ramah, sungguh wanita sekali dia. Kami berbincang dari obrolan ringan hingga masalah suaminya. Rina terisak dalam dekapanku. Kali ini tangisannya menggila hingga ketubannya pecah. Kami bergegas menuju rumah sakit bersalin, dalam keadaan sama-sama panik dan senang bercampur aduk. Rina melahirkan bayi perempuan. Aku mencoba menghubungi suaminya dari ponsel Rina. Tapi yang mengangkat seorang perempuan. Aku tahu ini suara pelacur suaminya. Segera kututup. Bayi malang, di hari kelahiranmu, bapakmu sibuk meniduri si-pelacur.

***

Tiga bulan berlalu, tetanggaku masih terisak seperti biasa. Hanya saja sekarang keadaannya lebih menyedihkan. Ia terisak sambil menggendong bayinya yang nampak tenang. Hampir menyerupai adegan film horor ketika tokoh lelembutnya menggendong bayi sambil menangis terisak-isak pilu, dengan rambut yang menjuntai menutup wajah si bayi. Seperti itu kira-kira kondisinya.

Dua bulan setelah tiga bulan itu, Rina mendatangiku, minta agar kisahnya kuketik menjadi buku. Jemariku yang amatiran tak sanggup menolak permintaan wanita yang hatinya terkoyak sejak hari pernikahannya ini. Pernikahan yang diatur pihak keluarga. Pernikahan karena paksa tak pernah berujung bahagia. Perempuan cantik yang tak mampu menaklukkan hati lelaki. Rina yang malang. Aku tak tahu apa yang salah padanya hingga aku menemukan jawabnya pada bab enam belas, tentang keluarga bangsawan yang mengekang anak gadisnya dengan berbagai kebiadaban adat. Seorang putri berdarah biru yang harus selalu bisa terima tanpa pernah bersuara walau hatinya luka. Kehidupan yang tak mungkin bisa kujalani dengan jiwa pemberontak yang mendiami tubuhku. 

Buku biografi Rina si wanita bangsawan yang tak bahagia selesai dalam waktu tiga bulan yang penuh air mata dan keluh kesah. Aku tak menemukan ada sejengkal nilai positif dalam kehidupan tetanggaku ini. Rasanya buku itu lebih baik tak pernah ada, tak pernah kuketik dan ku tahu isinya. Begitu pahit hingga mustahil kutelan begitu saja tanpa menyangkut rasanya di tenggorokan batinku. Sakitnya hati Rina membekas di dadaku. Sakitnya terngiang setiap kali aku melihatnya terisak dari balik jendela. Aku tenggelam semakin dalam. Kadang aku menangis, dan berdoa pada Tuhan kenapa harus ada gadis semalang itu di sebelah rumah tinggalku. Kenapa juga ia adalah Rina yang begitu polos dan lugu tak mau melawan takdirnya yang terlalu saru.

***

Pagi yang cerah, tapi berisik sekali di sebelah. Sepertinya Rina bertengkar hebat dengan suaminya. Aku melihat tetanggaku berlari keluar rumah sambil terisak. Entah kemana. Mungkinkah Rina akhirnya melawan takdirnya sebagai istri yang teraniaya dan kabur dari rumah ? Atau ia hanya burung jinak yang terbang mencari kebebasan sejenak untuk kembali pulang ketika tiba saatnya takdir menariknya ke dalam kurungan neraka yang ia sebut rumah. Aku tak tahu.


Siang hari, dan rumah tetanggaku didatangi mobil polisi. Hatiku mulai cemas. Mungkinkah Rina akhirnya berbuat nekad menghabisi nyawanya sendiri ?

Aku melihat tetanggaku keluar dari mobil polisi dengan tangan diborgol. Aku yakin ada darah di wajahnya. ya Tuhan, apa yang terjadi pada tetanggaku.


Dua hari berlalu dan berbagai cerita mulai merajalela. Mulut ibu-ibu perumahan sekitar sini memang patut diacungi jempol kalau soal membicarakan orang. Tak ada satu pun di antara cerita-cerita itu yang menyampaikan simpati pada Rina. Semua memojokkan perbuatannya yang menguliti kulit wajah pelacur itu dalam keadaan hidup-hidup, tanpa anestesi. Mereka menyebut Rina perempuan horor yang gila. 

Aku duduk terdiam menatap sebuah buku setebal kitab zaman purba, buku berisi kehidupan seorang Rina. Sebuah cerita tentang perempuan merana yang kini mendekam di penjara. Aku terus menimbang apakah perlu buku ini beredar, sementara Rina tak pernah mengijinkan ceritanya berjalan keluar dari ruang kerjaku. 

Satu minggu, dan jenazah tetanggaku dikirim keluar penjara. Rina, gadis bangsawan yang mati dalam perjuangannya melawan takdir.


 

Selasa, 20 September 2011

Akasia

"Berapa kali sudah kubilang, jangan pergi ke luar rumah saat jam sembahyang !" Ibuku menjerit histeris, mengalahkan kerasnya suara tawa Mak Lampir di tayangan Misteri Gunung Merapi.

Kali ini, tak hanya muka sangar kudapat, tapi juga satu tamparan di pipi kanan. Ibu sudah keterlaluan.

"Bu, sejak kapan sih iman boleh dipaksakan ? Aku memang anak Ibu, tapi aku bukan budak yang bisa ibu suruh-suruh." bantahanku menambah satu lagi tamparan di pipi kanan.

"Lancang kamu ! Keluar !!!" Ibu mengusirku dari rumah, dan aku tak menolak untuk pergi dari sana walau hanya bermodal pakaian yang menempel di badan saja.

Uang di saku memang tak banyak, kupakai untuk naik kendaraan umum menjauh dari rumah terkutuk itu. Yang terngiang dalam kepalaku hanya rumah nenek di kampung. Nenekku muslimah yang soleha. Ibu dulu juga muslim, tapi berganti agama sejak mengenal pria yang sekarang menjadi ayah tiriku. Ibuku dulu perempuan yang tegar. Hidup mandiri sambil membesarkan seorang anak perempuan sepertiku. Tapi ibu berubah sejak mengenal ayah tiriku. Ibu bukan lagi wanita tegar. Segala sesuatu harus mendapat restu dari ayah. Aku tak berharap mendapat makanan mewah tiga hari sekali. Aku lebih suka hidup pas-pasan berdua hanya dengan ibu.



Burung Hitam

Malam semakin dekat. Malam yang membuat nyaman tanpa hujaman panas matahari. Malam yang mistik dengan cahaya perak rembulan.

Dari arah hutan aku mendengar kicauan panjang menyayat hati. Seekor burung hitam. Burung hitam yang terus mengepakkan sayapnya menuju ke arah hutan. Burung hitam terbang menuju hutan. Kicaunya sendu, menusuk dan pilu. Burung hitam terbang menuju hutan. Meninggalkan kekasihnya yang jalang.

Ponselku berbunyi nyaring. Jaraknya beberapa senti dari lubang telingaku. Mata kiri kubuka paksa, memicingkan mata untuk melihat siapa yang mengirim pesan singkat sepagi ini. Sialnya, untuk melihat nama pengirim laknat itu aku harus memencet lagi dan lagi, akhirnya kubuka kedua mataku untuk memastikan tak ada langkah yang salah. Kau tahu betapa sulitnya mencari tombol di ponsel ketika matamu baru terbuka di pagi buta. Sambil terus berusaha membuka pesan singkat di pagi buta, pikiranku terus teringat burung hitam yang terbang ke hutan. Mimpi kah ? dan aku baru sadar, keringat memenuhi dahi dan leherku walau malam ini udara cukup dingin. Ujung kaki-ku merasakan dinginnya kesendirian. Andai ada kekasihku di samping untuk sekedar berbagi tubuhnya yang hangat.


Kaki Meja

Tentang keadilan. Bayangkan sebuah meja dengan empat kaki dan satu bola tepat di tengah-tengahnya.


Bola itu adalah kebahagiaan. Sedangkan kaki-kaki meja mewakili empat orang manusia yang saling memperebutkan kebahagiaan di antara mereka. Suatu ketika, kaki di sisi kiri berkomplotan dan berhasil menambah tinggi 1 cm. Mereka berpikir, dengan bertambah tinggi maka mereka akan berhasil meraih kebahagiaan tersebut untuk dibagi berdua. Pada kenyataannya, hukum alam berlaku bagi mereka. Bola kebahagiaan menggelinding dan mengarah ke sisi lainnya, dimana sisi lainnya adalah mereka yang direndahkan.


Cerita di atas mengandung pesan yang mendalam. Dalam keseharian, ada saja orang-orang yang serakah. Berusaha mengambil jumlah terbanyak agak bisa bahagia. Berusaha meraih keuntungan sebesar-besarnya. Mereka inilah kaki-kaki meja yang berkomplot tadi. Mungkin secara fisik mereka memang lebih tinggi, lebih kaya. Tapi hukum alam akan selalu berjalan. Mereka yang teraniaya, yang direndahkan dan bersedia menerima cobaan, mereka inilah yang nantinya akan meraih kebahagiaan.




Senin, 05 September 2011

Burung Pipit

Pagi selalu datang lebih awal ketika sepi membentang menjadi jembatan untuk kedatangannya yang sering kali tak diundang. Bukan salah pagi yang datang tanpa undangan, karena memang sudah hukum alam. Tuhan menentukan begitu. Tak ada siapa pun juga yang bisa menolak aturan itu. Tak juga takdir, ataupun waktu. Tak juga aku, ataupun kamu.


Terlalu mudah untukmu mengucapkan itu. Ijin pergi satu tahun untuk mendalami ilmu di tempat yang bahkan belum pernah kita singgahi. Seakan satu tahun itu begitu singkat. Ya, memang terasa cepat saat kamu ada di sisiku. Tapi waktu tidak berkawan dengan kesendirianku. Aku tak rela hidup dalam penantian satu tahun. Aku menolak meloloskan ijin dari hatiku yang paling dalam. Tapi lagi-lagi bibir ini berdusta. Ya, bibirku meluncurkan ijin laknat itu. Dan kamu pun tak melihat kepingan kristal di mataku yang berbinar. Seolah aku tak lebih penting dari kebohongan yang ingin kau dengar. Kamu senang sekali waktu mendengar ijin itu diucapkan. Seperti merpati lepas dari kandangnya yang usang dan lama ingin ditinggal.

Seperti yang aku bilang, denganmu waktu begitu cepat melintas. Kepergianmu tiba secepat angin lewat. Aku ingin mencegah, tapi bibirku tersenyum puas karena berhasil mengalahkan isi hatiku. Kau pun pergi tanpa mendengar senandung perih hatiku yang memanggil namamu.

Berselang satu hari dari kepergianmu, waktu mulai menjajah batin dan jiwaku. Sudah pagi kah ini, atau kah malam yang menyamar dalam terangnya lampu kamar. Aku bingung. Waktu tak lagi bersahabat seperti ketika denganmu. Tanpamu, waktu tak lagi jelas bagiku. Seminggu berlalu dan aku sudah tak tahu kapan siang dan kapan malam. Semua keseharianku berlangsung setengah sadar. Tubuhku terus bergerak tanpa roh yang menjalankan. Seperti zombi yang bergerak karena ada kebutuhan. Satu bulan dan aku bukan lagi diriku. Semua berubah. Dunia melihatku sebagai manusia baru yang begitu dingin dan acuh. Ini semua karena kamu.

Tiga bulan dan aku menjadi pecandu musik yang tak henti berdendang di telingaku. Pemutar musik tak pernah lepas dari tanganku dengan headset menempel hampir dua puluh jam tanpa henti. Tanpa musik aku merasa sepi. Tanpa musik aku teringat kamu yang terlalu jauh dariku.

Enam bulan dan aku mulai kehilangan pendengaranku. Hanya musik yang terngiang di kepalaku walau telingaku tak ditutup headset. Musiknya begitu pilu dan sekarang tak ada lagi tombol untuk menghentikannya. Aku bisa gila. Di sela musik pilu itu masih bisa kudengar suara hatiku yang bertanya-tanya kapan kamu akan pulang.

Sembilan bulan, aku mulai rehabilitasi. Mama bilang aku sudah tak waras. Kemarin aku melempar kucing dari lantai lima hanya karena kucing itu tak mau lagi kupeluk. Bukan salahku kalau aku marah dan melemparnya. Sialnya kucing itu saja, kenapa punya majikan yang tinggal di lantai lima. Kalau di lantai dua mungkin kucingku cuma patah tulang. Tapi aku tetap menyalahkan tetanggaku yang memasang pagar berujung tombak. Kucingku mati bukan karena aku melemparnya dari lantai lima. Kucingku mati dengan perut ditembus pagar berujung tombak. Ini salah tetanggaku. Ini salah tetanggaku dan itu sudah pasti. Tak ada yang berhak menyalahkan aku.

Bulan ke sebelas setelah kepergianmu, aku dinyatakan waras dan boleh kembali ke hidup yang normal. Padahal aku tak pernah merasa sakit di jiwa. Yang sakit hatiku. Sakit karena ditinggal olehmu. Aku pasti bisa bertahan satu bulan lagi menyambut kepulanganmu.

Tepat satu tahun setelah kepergianmu, seharusnya kau sudah pulang. Aku berdandan cantik dan bergaun putih. Seperti pengantin yang ada di televisi. Aku mau tampil secantik bidadari untuk menyambut kepulanganmu. Aku begitu senang hingga menari di teras lantai lima. Tepat di bawah matahari yang bersinar cerah. Waktu kembali menjadi pengecut dan takluk. Siang pertama dalam setahun ini yang benar-benar kusadari. Kurasa dan kupeluk erat seolah ini pertama kalinya aku merasakan hidup. 

Tak sengaja, cincin pemberianmu terlempar ke sisi teras. Untung tak jatuh ke bawah. Aku meringkuk dan meraihnya. Cincin berhias batu merah delima. Cincin pemberianmu satu-satunya. 

Merpati anak sebelah tiba-tiba terbang dan mengejutkanku dengan kepak sayapnya yang bau unggas. Di sela-sela sayapnya mengandung debu dan kotoran kering. Mataku yang malang terasa perih terkena debu tak jelas. Aku berusaha menghindar hingga hilang keseimbangan.

Hari pertemuan kita setelah satu tahun berpisah. Hari dimana perutku terkoyak pagar tetangga yang berujung tombak. 

Aku masih bertanya-tanya kapan kamu akan kembali, sayang. Bahkan ketika kau menangis di sisi nisan bertulis namaku, aku tak merasakanmu. Aku kehilangan kamu. Satu tahun yang lalu.