Kamis, 27 Desember 2012

Gemintang

Gemintang di langit malam kelap-kelip seolah bermain mata. Terlihat riang menyapa siapa saja yang mau meletakkan pandangannya ke langit malam yang gelap. Aku suka bintang. Lebih suka bintang daripada matahari yang menyengat. Aku juga suka bulan. Tapi bintang memiliki makna tersendiri buatku. Makna khusus yang aku sendiri tak tahu artinya. Yang aku tahu, memandang gemintang di langit malam membuat suasana hatiku tenang dan nyaman.

Aku Ony. Pemuda 26 tahun yang hobi meluangkan waktu untuk meluapkan emosiku dalam bentuk rentetan aksara atau lebih seringnya goresan pensil yang kusebut sketsa. Aku memulai "hidup" sebagai diriku sendiri sejak awal kuliah, ketika Mama tinggal berjauhan denganku. Sebagai anak bungsu aku terlatih untuk menurut segala perintah orang tua. Tidak bermain dengan berandalan kampung, tidak keluyuran dengan teman-teman sekolah yang saat itu paling doyan berhamburan di jalanan kota hingga maghrib tiba. Sejak SMP, jadwalku sepulang sekolah adalah pulang, dan mengurung diri dalam kamar. Jangan heran kalau dinding kamarku saat itu penuh dengan goresan tanganku dan poster-poster kesukaanku karena aku memang menghabiskan terlalu banyak waktu bermesraan dengan kamar itu. Aku mencoba menghapus rasa kesepian itu dengan musik (jadi jangan heran kalau aku hafal sekali lagu-lagu tahun 80-an seperti Nike Ardilla, Nicky Astria, dan Inka Christy, Nugie, Katon Bagaskara, dll. LOL). Aku besar di Pekalongan, sebuah kota kecil dengan langit malam yang sehitam rambut di iklan shampo. Apalagi ketika listrik padam. Berjalan ke depan rumah dan tinggal mengangkat kepala ke atas, dan kita akan merasa seperti terhisap ke luar angkasa. Sekeliling gelap, dengan taburan bintang seperti ketombe di rambut hitam. Dulu, di depan rumahku adalah sawah. Saat malam tiba, jalan ke sawah (tidak semudah mengucapkannya karena jalan di pematang sawah hanya selebar dua tapak kaki dan sebagian berupa tanah licin yang lunak, belum lagi rasa was-was dengan ular sawah atau serangga lainnya) sangat menyenangkan. Aku dulu sering melakukannya. Seolah-olah cukup dengan mengangkat tangan saja aku bisa memeluk langit beserta gemintangnya yang begitu menggoda. 

Demikian sepenggal kecil kisah aku dan kota yang telah membesarkanku. Tapi kisah kali ini tak terlalu menyentuh ranah itu. Kisah ini tentang aku dan Rima. Settingnya ada di masa SMP menjelang SMA. Di pematang sawah sore menjelang malam. Teman sepermainanku tampaknya enggan pulang, sedangkan Mama sudah memanggilku terus. Aku sering ditakut-takuti agar pulang sebelum maghrib karena pada saat-saat tersebut, pintu neraka akan dibuka dan setan bebas berkeliaran mengganggu manusia. Aku tak tega meninggalkan Rima sendirian. Matanya seperti memohon agar aku mau menemaninya sebentar lagi. Rima tidak perlu takut dicari oleh kedua orang-tuanya. Papa dan Mama Rima tak terlalu perhatian, cenderung acuh dan kasar padanya. Tak jarang Rima datang ke sekolah dalam kondisi memar di tangan atau betisnya. Semua guru di sekolahku pasrah karena tak bisa banyak membantu. Bagaimana pun juga, itu sudah masuk masalah pribadi keluarga Rima. Aku sedih melihat temanku bernasib seperti itu. Tapi Rima sendirian tegar menghadapinya. Waktu kecil aku juga sering dipukul, saat-saat aku nakal atau membuat marah Mama. Tapi setiap selesai dipukul, mama akan mengusap-usap bekas pukulan itu. Kalau memar, mama akan segera mengolesi dengan salep. Aku merasakan kasih sayang itu, yang luput dari temanku Rima. Karena itulah aku berani menolak panggilan pulang dari Mama, aku bilang sebentar lagi saja, sampai Rima pulang. Mama tahu kondisi keluarga Rima, makanya kadang aku diberi kelonggaran demi menghibur temanku ini. Tak jarang, Mama mengajak Rima makan di rumah. Siapa yang tak akan kasihan melihat gadis belia kurus kering dengan memar yang silih berganti menghiasi beberapa bagian tubuhnya. Langit gelap gulita sekarang. Aku berlari pulang mengambil senter dan dalam sekejap sudah kembali ke samping Rima dengan sepiring pisang goreng dan sebungkus teh manis. Aku tahu Rima belum makan seharian. Aku sudah hafal ekspresi matanya ketika kedua orang-tuanya ribut besar, dan Rima terpaksa kabur ke sawah daripada menjadi sasaran kemarahan mereka. Memikirkannya saja membuat hatiku pilu tersayat-sayat. Aku sepatutnya bersyukur memiliki orang-tua yang jauh lebih baik dibanding orang-tua Rima.

"Ny... ingat gak waktu pertama kita kenalan. Kamu pernah bilang suka bintang kan ?" Rima membuka pembicaraan sambil menggigit dengan lahap pisang goreng yang sebenarnya sudah lembek itu. Seolah-olah pisang goreng itu begitu nikmat rasanya. Rima memang selalu berkata bahwa masakan Mama enak karena mengandung rasa cinta seorang Mama.

"iya, aku ingat. Kamu juga suka bintang kan ? kamu bilang begitu." Aku menjawabnya sambil mengingat saat pertama bertemu Rima di tempat ini. Saat itu ia tengah menangis tersedu-sedu habis dihajar dengan gagang sapu oleh Papanya.
"Ngomong-ngomong, kamu tahu gak nama-nama rasi bintang ?" aku melanjutkan.

"Enggak. Kenapa ?" Rima bertanya dengan nada heran.

"Kan kamu bilang suka bintang, pasti kamu banyak mencari tahu tentang bintang kan?"

Rima terdiam sejenak. Matanya sayu. Aku merasa telah mengatakan sesuatu yang telah menyakiti perasaannya. Walaupun aku tak tahu bagian mana yang salah dari pertanyaan sederhana itu.

"Kalau aku suka dengan bintang, bukan berarti aku harus tahu semuanya tentang bintang kan Ny ? Aku sudah cukup senang bisa melihat mereka kelap-kelip di atas sana." Rima menjawab pelan sambil melahap pisang goreng di tangannya, tanpa melihat ke arahku. 
 
"Ny, kalau aku adalah bintang, apa kamu juga akan mencari tahu segala sesuatu tentang aku ? Orang tuaku aja gak pernah mau tahu." 

Setelah itu, kami berdua terdiam hingga satu porsi besar pisang itu habis dimakan sendiri oleh Rima. Tak lama, ia pun pamit dan pulang. Aku sempat bertanya apa dia yakin mau pulang secepat itu, karena biasanya Rima baru akan pulang ketika larut malam tiba, ketika kedua orang-tuanya sudah terlelap karena tenaganya terkuras dalam pertempuran suami istri.  

Keesokan harinya, aku tak melihat Rima di sekolah. Begitu juga besoknya dan besoknya lagi. Aku tak pernah melihat Rima lagi di sekolah, atau pun di sawah. Aku baru tahu satu minggu setelah malam terakhir aku bertemu Rima, malam itu juga Rima bunuh diri dengan memutuskan nadinya di kamar mandi. Aku berpikir apakah mungkin karena pertanyaanku semalam. Apakah Rima bunuh diri gara-gara aku ? Sedikit banyak aku merasa bersalah atas kematian temanku Rima. Andai malam itu aku menahannya lebih lama, mungkin Rima tak akan bunuh diri. Mungkin.

Aku tumbuh besar dengan usaha melupakan gadis bernama Rima yang mati dalam usianya yang begitu muda. Gadis yang seolah terlahir untuk tersika hingga akhir hidupnya. Sekarang aku memandang gemintang ini dengan Ridwan, tetanggaku yang juga teman SMA-ku. Kami bercerita banyak sejak pertama bertemu di kelas baru. Sekarang memandang bintang semakin seru karena Ridwan jago memetik gitar sambil berdendang. Paling menyenangkan adalah masa panen ketika tanah di sawah mengering dan dipenuhi tumpukan jerami kering. Kami bisa berbaring nyaman di atasnya, seperti tidur di atas kasur dengan pemandangan langit malam dan gemintang.

"Ny, kamu kan suka bintang. Pasti kamu tahu dong, nama-nama rasi bintang di atas sana ?" Ridwan bertanya padaku sambil memetik pelan gitar di atas perutnya.

"Memangnya kalau aku suka bintang, terus aku harus mencari tahu semua tentang bintang ?" Aku teringat pertanyaan lama ini.

"Enggak sih, cuma penasaran aja." Ridwan sepertinya kecewa dengan jawaban ketus dariku.

"Wan, dulu temanku pernah bilang. Kalau kita suka dengan bintang, bukan berarti kita harus tahu semuanya tentang bintang kan ? Seharusnya kita sudah cukup senang bisa melihat mereka kelap-kelip di atas sana."

"Wuih, canggih amat bahasamu Ny." Ridwan menyindirku, dan kubalas dengan tatapan ketus (yang entah terlihat atau tidak dalam gelapnya malam).

Dan persahabatan kami berlanjut hingga akhirnya kami terpisah karena kuliah di kota yang berbeda. Awalnya kami berjanji saling menghubungi dan tidak akan putus hubungan. Tapi kenyataan berkata lain. Hanya dalam hitungan bulan, kami sudah kehilangan komunikasi.

Walaupun aku mulai melupakan masa-masa bersama Ridwan, tapi aku masih menyimpan kata-kata Rima dalam benakku, dan tak bisa kuhilangkan. Aku baru menyadari makna yang begitu dalam dari kalimat itu, hari ini. Ketika aku sedang sendiri dan memikirkan pujaan hatiku yang mungkin telah melupakan aku dan menjadi pendamping orang lain. Ketika kita begitu memuja bintang dan ingin mencari tahu, mungkin kita akan bisa menghafalkan nama mereka satu per satu, bahkan menghafal seluruh rasi bintang di atas sana. Tapi apakah dengan begitu, akan merubah indahnya kelap-kelipnya yang menenangkan ? Mungkin kita justru akan lupa dengan rasa kagum itu karena terlalu sibuk menyusun mereka dalam gugusan rasi bintang. Seharusnya aku tak perlu memikirkan pujaan hatiku itu. Biarlah ia bersinar terang walaupun ia jauh dariku seperti kerlipan bintang di atas sana. Andai aku lebih peka dan mengerti apa arti ucapan Rima malam itu. Rima adalah bintang di angkasa, yang terus bersinar terang demi menyenangkan siapa saja yang melihatnya. Sementara pedihnya, ia simpan sendiri hingga akhir hidupnya.


Minggu, 02 Desember 2012

Arang

Seingatku, semalam aku masih berdiri kokoh di atas akar-akarku. Tapi pagi ini, aku tertidur di atas tanah tak jauh dari akar-akarku.
 
Aku masih setengah sadar sambil menerawang langit biru di atasku, berusaha mengingat apa yang terjadi semalam. Ada bunyi menggelegar keras. Sepertinya semalam terjadi badai besar. Mungkin aku tersambar petir dan terbelah. Aku ingat rasa panas yang membakar sekujur batangku. Oh, aku ingat sekarang. Semalam wujudku sebatang pohon nangka. Aku menggerakkan mata dan melihat sekelilingku. aku berada di satu petak kosong yang tadinya begitu hijau dan segar dipandang mata. Sekarang, hanya abu dan hitam arang menganga.
 
Entah berapa lamanya aku terisak meraung-raung dan mencakar tanah di bawahku. Seolah menyalahkan tanah di bawahku yang tak melindungi aku dari sambaran petir. Lebih perih lagi mengingat batangku yang perlahan legam terbakar api sambil aku menikmati sakitnya semalaman sampai aku mati rasa menjadi bongkahan hitam besar dan kering kerontang. Aku melihat pohon nangka tetanggaku yang jaraknya tak jauh dari akar-akarku, yang tampaknya pohon itu seolah turut berduka melihat keadaanku sekarang, tapi juga merasa lega karena sekarang semua nutrisi di petak tanah ini bisa dikuasai oleh akar-akarnya. Aku tak menyalahkan sisi bahagianya itu. Sudah nasibku menjadi arang gara-gara sambaran petir semalam. Mungkin aku sedang diuji.
 
Puas menangis, aku telentang dan memandang ke langit. Begitu indah. Selama ini aku sibuk menghisap nutrisi dari tanah dan menghidupi biji-biji yang tumbuh di dahanku. Terlalu sibuk bersaing dengan pohon nangka sainganku sampai aku sering lupa memandang langit di atas sana. Mungkin. Mungkin ini gara-gara aku lupa pada langit. Tapi langit tak memberiku teguran yang lebih halus. Aku masih terus berpikir di mana letak kesalahanku. Lebih tepatnya adalah berpikir kapan kesadaranku akan hilang. Entah berapa lama lagi aku harus telentang dan membusuk perlahan. Aku melihat burung-burung yang dulu bersarang di dahanku sekarang sibuk terbang ke sana kemari mencari makanan dan menyiapkan sarang baru yang lagi-lagi dan ternyata adalah dahan pohon nangka sainganku. Aku melihat tatapan marah dari seekor induk merpati yang terlihat begitu marah ke arahku. Mungkin karena telur-telurnya telah matang bersama dahanku semalam. Tapi itu bukan salahku, seharusnya dia tahu itu. Aku juga korban dalam kasus ini. Begitu dendamnya induk merpati itu hingga dalam kesibukannya dia sempat menjatuhkan kotorannya tepat di atas wajahku. Saat itu aku baru benar-benar menyadari kejamnya hidup di dunia ini.
 
Dalam kesedihanku, aku berharap ada petir yang mau berbaik hati menyambarku hingga berkeping-keping. Kalau perlu hingga tak bersisa. Tapi alam tak sebaik itu juga. Seperti kubilang tadi, bahwa dunia ini kejam. Bahkan untuk melukai pun harus untuk sebuah alasan yang benar-benar menyengsarakan korbannya.  Tengah hari, dan teriknya matahari membuat gerah dedaunan yang masih hijau di luar petak kosong tempat aku dan abu sisa kebakaran semalam. Tapi aku tak terlalu merasakannya. Aku sudah mati rasa. kebas. Tak ada lagi urat-urat yang menghubungkan aku dengan akar-akarku. Aku masih terus melihat ke langit yang sekarang mulai meredup pertanda sore telah menjelang. Saat itulah aku mendengar suara langkah kaki dan nafas yang terengah-engah. Suaranya semakin mendekat, mendekat, dan mendekat hingga akhirnya langkah itu berdiri tepat di sampingku. Seorang penjelajah. Ryan namanya. Pemuda tampan dari jenis manusia. Dia mengangkat aku dari tanah sambil bergumam "Arang yang bagus untuk nanti malam." dan aku tahu pasti apa maksudnya.

"Hei, manusia lancang. Gak tau apa, aku lagi berduka atas keadaanku. Turunkan aku !" aku memarahi pemuda lancang itu.

"Oh, maaf. Aku tak bermaksud mengganggu. Tapi kamu ini bongkahan arang yang cocok untuk menyalakan api unggun di dekat tenda yang aku pasang tak jauh dari sini." Pemuda itu berkata seolah-olah penderitaanku terlalu cepat berakhir sebelum-seharusnya aku ini menjadi abu.

"Lancang kamu manusia bau kencur ! dari tampangmu aja ketahuan kalau umurmu jauh di bawah usia batangku. Aku ini sudah ada sebelum Bapakmu berencana menciptakan anak tolol tak berperikepohonan sepertimu ! turunkan aku ! TURUNKANNNNNNNN AKUUUUUUUUU !!!! TOLOOOOOOOOOONG SIAPA SAJA, TOLONGGGGGGG !!!" aku menjerit sejadi-jadinya. Tapi semuanya diam, bahkan beberapa saat setelah teriakanku, semua seolah terdiam.

Pemuda itu tertawa terbahak-bahak seolah teriakanku tadi adalah sebuah lawakan lucu. Aku semakin geram. Andai kami bangsa pohon nangka bisa bergerak, atau melakukan poltergeist, sudah kulumat bocah bau kencur ini sampai rata dengan tanah. Atau lebih tepatnya mungkin akan kuseret ke dalam tanah untuk menjadi nutrisi tambahan buatku (aku bahkan sempat cekikikan pelan membayangkan hal itu benar-benar terjadi). Tapi di dunia yang kejam ini, aku hanya bisa pasrah dalam genggaman Ryan dan dibawa menjauh dari petak kosong yang sekarang kuanggap lebih baik daripada genggaman tangan manusia satu ini.
 
"Hei, arang. Ngomong dong. Sekarang ini cuma kamu yang mau ngobrol denganku. Pohon-pohon lain begitu sombong dan tak menghiraukan aku." Ryan memulai pembicaraan setelah beberapa saat kami tiba di dekat tendanya. "Aku Ryan. Dan aku sedang menulis tentang alam, makanya aku berkemah di sini." Pemuda itu melembutkan suaranya. 
 
Mataku masih menatapnya dengan sinis dengan aura pembunuh yang tajam, berharap tatapanku akan membuat nafas pemuda ini terputus seketika. Tapi dia terus berbicara tentang kehidupannya yang menurutku sangat membosankan. Tanpa teman dan tanpa keluarga. Kasihan juga mendengarnya. Tapi aku tiba-tiba tersadar akan kebodohanku yang lagi-lagi merasa kasihan untuk orang yang tak pantas dikasihani. Justru dia yang seharusnya kasihan padaku. Sudah tersambar petir, hangus jadi arang, dan sekarang mau "diolah" jadi abu. Menurutku nasibnya bahkan tak ada apa-apanya dibandingkan aku. Mataku semakin membara saat memikirkannya lebih mendalam.
 
"Hei, arang. Kurasa nasib kita tak jauh beda. Kamu kan juga sendirian di hutan ini. Tak bisa bersentuhan dengan pohon lain disekitarmu." 

Aku tersadar dari lamunan jahatku. Benar juga kata Ryan. Walaupun aku punya tetangga sesama pohon nangka, tapi kami tak pernah saling menyapa. Justru kami bersaing menyaring nutrisi sebanyak-banyaknya dari tanah. Akar kami berebut wilayah dengan sengitnya. Kali ini aku tak bisa melawan pernyataan itu. 

"Heh bocah lancang. Sok tahu banget sih. Biar cuma sebatang pohon nangka tapi aku punya teman kok." Aku membela diri.

"Hah, serius ? coba ceritakan."

"Memangnya kau pikir bagaimana mungkin ada pohon nangka di sini. Kami ini ditanam. Oleh manusia tentunya."

"Oh ya ? memangnya siapa yang mau susah-susah tanam pohon di tengah hutan begini ?" Pemuda itu penasaran.

"Jadi begini ceritanya..." aku melanjutkan pembelaanku.
Sekitar berpuluh-puluh tahun yang lalu, ada pemburu dan anaknya yang datang berkemah kemari. Saat itu mereka datang membawa bekal buah nangka dan beberapa macam buah lainnya. Saat itu wujudku adalah biji dalam buah nangka yang mereka bawa. Dalam diam, aku mendengar semua kisah Bapak dan anak itu sepanjang perjalanan. Anak itu terus mendengarkan kisah pengembaraan Bapaknya sambil terus memakan buah nangka dan membuang bijinya ke sembarang tempat. Hingga akhirnya malam tiba dan mereka berkemah, mendirikan tenda. Malam itu, dalam balutan remang cahaya api unggun, Bapak itu menceritakan tentang alam pada anaknya. Mengajarkan siklus kehidupan. Bahwa bongkahan biji nangka yang sejak tadi dibuangnya, kelak akan tumbuh besar menjadi pohon nangka dan menghasilkan ribuan buah semasa hidupnya. Saat itulah aku melihat mata anaknya berkaca-kaca dan terkagum-kagum. Tiba-tiba pandangan mata anaknya mengarah padaku dan tumpukan saudara-saudaraku (atau lebih tepatnya calon pesaingku di kemudian hari). Anak itu meminta Bapaknya untuk mengajarkan cara menanam yang baik. Malam itu juga kami di tanam dalam jarak yang saling berjauhan tapi cukup dekat untuk saling merasakan. Aku melihat tetanggaku begitu ketakutan saat pertama kali diletakkan dalam lubang tanah. Biji nangka yang aneh. Seharusnya dia bersyukur tak dibuang sembarangan seperti biji-biji yang terlempar sepanjang perjalanan tadi. Begitulah, awalnya aku dan tetanggaku itu. Aku tak tahu bagaimana nasib biji-biji lainnya, tapi aku mendengar percakapan Bapak dan anak itu yang sepertinya akan menanam mereka di tempat lain agar kelak penjelajah lain bisa menikmati hasilnya sepanjang perjalanan. Sejak saat itu, setiap tahun, Bapak dan anak ini mengunjungi kami. Memberi salam dan menyiram kami dengan sedikit pupuk (kalau dalam bahasa manusia disebutnya urine dan feses). Tapi aku tak tahu kenapa, pada tahun keenam dan seterusnya aku tak melihat mereka lagi. 

Pemuda itu terdiam. Terlihat menuliskan sesuatu dalam buku yang dikeluarkan dari ranselnya.  

"Hei arang. Aku tak yakin pasti, tapi sepertinya yang kamu ceritakan itu Bapakku dan almarhum Kakekku."

"Hah... ciyus ? miapa ? aje gile... sekarang kamu mau mengarang cerita biar aku rela menjadi arang buat api unggunmu itu ? NGGAK SUDI !!!" Aku bahkan tak memberinya kesempatan untuk menjelaskan.
 
"Kan aku bilang tak yakin pasti. Tapi dulu, Kakekku dan Bapakku sering berkemah di hutan ini. Dan salah satu alasan kenapa aku ke sini adalah karena ini (Ryan mengeluarkan buku lain dari dalam ranselnya). Ini buku harian almarhum Kakekku. Di dalamnya ada tulisan tentang perjalanan mereka ke hutan sambil membawa buah nangka dari kebun mereka sendiri." Ryan berusaha menjelaskan.

Jadi, sebenarnya pada tahun kelima, Kakek dan Bapaknya Ryan mengalami musibah ketika berkemah di hutan. Tenda mereka diserang oleh binatang buas yang saat itu masih banyak berkeliaran di hutan ini. Kejadian itu membuat kaki dari Kakek Ryan harus diamputasi dan meninggalkan kepedihan yang mendalam di hati keduanya. Tapi walau begitu, kenangan indah akan hutan ini sepertinya membekas jauh lebih dalam di hati si Kakek. Bahkan mengisi buku harian yang sekarang dipegang oleh Ryan. Salah satu bagian dari buku itu bercerita tentang pohon nangka kesayangan yang mereka tanam di tengah-tengah hutan. Mereka menyebutnya "Nangka kembar" karena hanya dua biji itu sebenarnya yang ditanam di hutan ini, dan jaraknya berdekatan. Pohon kenangan inilah yang membawa Ryan datang ke hutan ini, untuk sekedar menyapa warisan Kakeknya. Ryan ingin setidaknya melihat secara langsung keberadaan pohon nangka kembar yang dimaksud Kakeknya dalam buku harian. Tapi sayang, salah satu dari pohon itu terlanjur menjadi arang sebelum Ryan sempat melihatnya.

"Jadi, kamu akan membawaku pulang ?" tanyaku dalam harap-harap cemas. Aku melihat Ryan menyeka kedua matanya.

"Tentu saja tidak. Aku datang kemari hanya untuk melihat langsung lokasi tempat almarhum Kakekku dulu datang bersama Bapak. Kurasa satu lembar daun kering dari tetanggamu dan sisa-sisamu sudah lebih dari cukup."

"APAA... Dasar anak tak tahu diri. Kutu-kupret. Setan alas... "

Dan tak lama, aku dilebur menjadi abu dalam kobaran api unggun. Dari pohon nangka kenangan menjadi seonggok arang dan kemudian dilumatkan api hingga tak bernyawa. Tapi sebenarnya aku senang. Bahwa aku tak perlu lagi menunggu terlalu lama hidup di dunia yang kejam. Bahwa sampai akhir hidupku, ternyata aku memiliki makna di hati almarhum Kakek Ryan, dan bisa menghangatkan cucunya di malam terakhir hidupku. Aku berharap bisa bertemu dengan Kakeknya Ryan di alam baka untuk menceritakan kisahku setelah pertemuan terakhir kami berpuluh-puluh tahun yang lalu.




Rabu, 26 September 2012

Aelien : Halloween di rumah Nenek

Aku Aelien, gadis kecil dengan bulu mata lentik dan rambut ikal, semua orang mengatakan aku cantik. Termasuk Papa dan Mama. Sebentar lagi usiaku sebelas tahun. Tepatnya, pada malam Halloween. Setiap tahunnya, mama memaksa aku merayakan ulang tahun di rumah Nenek yang letaknya agak jauh, di pinggir kota dekat hutan belantara. Biasanya Papa dan Mama akan mengantarku dengan bus kota, kadang Papa mengantarku dengan mobilnya. Tapi memasuki umur sebelas, mereka ingin aku menjadi gadis yang lebih mandiri. Apalagi, menstruasi pertamaku baru saja terjadi tak lama ini. Aku merasa seperti Alice yang terbangun dari mimpinya di Wonderland. Tiba-tiba aku harus menjadi lebih dewasa hanya karena menstruasi yang bahkan aku sendiri tak mengerti sama sekali sebelum dijelaskan oleh Mama. Apa boleh buat, aku harus bangun dari mimpi indah masa-masa sebelum ini. Apalagi, di hari ulang tahunku yang ke sebelas, Papa dan Mama tak lagi mengantarku ke rumah Nenek. Artinya, akan sangat membosankan sekali walau hanya satu malam di sana. Sejak dulu aku merasa takut berada dekat dengan Nenek. Wajahnya sangat tua, dengan dagunya yang belah. Tapi Nenek bukan orang yang jahat. Buktinya, setiap kali aku ke sana, selalu ada kue tart lezat hasil tangannya. Nenek juga wangi. Aroma peppermint selalu tercium ketika tangannya mengelus lembut rambutku yang ikal. Sebenarnya tak ada yang lebih aneh dari sepatu lancip yang tak pernah lepas dari kakinya yang keriput dan penuh urat. Mama bilang, Nenek sejak kecil suka sekali dengan sepatu lancip. Bahkan ketika melahirkan Mama dan dalam setiap foto bersama Mama, Nenek selalu terlihat memakai sepatu lancip. Diam-diam, aku pun pernah penasaran seperti apa rasanya mengenakan sepatu lancip. Pertama dan terakhir kalinya aku mencoba sepatu lancip adalah ketika umurku delapan tahun, tepat di hari ulang tahunku. Aku mencoba sepatu Nenek yang tentu saja terlalu besar untuk kaki mungilku. Saat mencoba untuk melangkah, aku terjatuh dan kakiku terkilir. Sejak itu aku bersumpah tak akan pernah memakai sepatu lancip lagi.


Tiga hari menjelang Halloween, Mama mulai sibuk mempersiapkan kostum dan permen untuk menjamu anak-anak tetangga. Sayangnya, aku tak akan ada di sini untuk bermain bersama mereka. Sedikit kesal, tapi kesal itu hilang ketika aku membayangkan kue tart dan aneka makanan buatan Nenek. Walau aku tetap lebih suka tinggal di rumah dan bermain bersama teman-temanku mengitari perumahan ini seperti cerita mereka padaku. Aneh, aku merasa sepertinya aku mengalami "hal itu" lagi. Seperti sedang melakukan sesuatu yang sebelumnya sudah pernah aku lakukan. Aku tak tahu bagaimana menyebutnya. Sesuatu yang mulai aku rasakan setelah menstruasi pertamaku. Aku tak berani menceritakan pada Mama. Aku takut disangka gila. Maklum, keluargaku masih sedikit kolot untuk sesuatu yang berbau mistis. Apalagi pihak keluarga Papa. Setahuku, mereka menentang pernikahan Papa dan Mama, sehingga sampai sekarang pun mereka tak pernah mau mengakui aku sebagai anggota keluarga, dan membuang Papa. Jadi, keluarga kami selain aku, Papa dan Mama, hanya ada Nenek. Aku bertanya-tanya, kenapa Nenek tak pindah kemari saja. Bukankah rumah ini cukup besar untuk kami berempat ? Tapi setiap kali aku bertanya, Mama selalu mengatakan bahwa itu urusan orang dewasa, dan segera mengalihkan pembicaraan. Setahuku, Papa dan Nenek juga selalu akur. Lama kelamaan aku pun berhenti menanyakan hal itu. Hari ini, aku yakin Freddy akan muncul dari pintu belakang rumahku dan mengajakku bermain ke rumah Rudy dan Berta. Tebakanku tepat. Sama seperti yang "terjadi" sebelumnya. Aku tahu kami akan bermain petak umpet, karena memang aku sudah melakukan permainan ini di hari yang sama persis, tapi di hari sebelum hari ini. Entah kapan dan bagaimana, tapi begitulah yang aku tahu. Aku sudah mulai terbiasa dengan keadaan ini karena sudah terjadi berulang kali.

Hari ulang tahunku tiba. Pagi sekali mama sudah membangunkan aku untuk sarapan. Tak lama, telepon berdering. Sepertinya dari Nenek. Pembicaraan mereka agak aneh. Mama seperti memohon sesuatu. Tak lama percakapan mereka terputus. Aku mencoba bertanya, tapi Mama sibuk menyiapkan bekal untuk aku selama perjalanan nanti. Dari rumah kami ke tempat Nenek memakan waktu tiga jam dengan bus kota. Seperti perjanjian kami, ini kali pertama aku mencoba sendirian ke tempat Nenek. Dengan malas kulangkahkan kaki menuju halte bis terdekat. Bekal di tanganku terasa berat, entah apa saja isinya. Setahuku hari ini Mama menyiapkan panekuk dengan saus apel. Mungkin ada anggur khusus buatan Mama. Nenek suka sekali dengan anggur buatan Mama. Padahal, Nenek seharusnya lebih jago membuat minuman fermentasi karena resepnya datang dari Nenek (menurut penuturan Mama). Entahlah, mungkin Nenekku juga punya sifat manja sepertiku. Beban di tanganku tetap harus kubawa sampai ke rumah Nenek walaupun aku mengeluh sepanjang perjalanan. 

Seperti menyadari kedatanganku, Nenek membuka pintu ketika aku beberapa langkah dari pintu. Sebuah tart berbentuk labu yang aneh, bahkan agak mengerikan, berada di tangannya. Ini kue tart terbesar yang pernah dibuatkan Nenek untukku. Bentuknya memang aneh, tapi aku yakin rasanya enak sekali, karena aku sudah mencicipinya setiap tahun. Nenek tersenyum mengerikan seperti biasanya. Mungkin karena bibirnya yang sudah keriput itu dipaksakan membentuk lengkungan bulan sabit. Tapi yang lebih menyeramkan adalah dagu Nenek yang seperti terbelah oleh kapak. Aku berusaha menghindari bagian wajah itu dengan mengalihkan mataku ke bawah. Aku melihat sepatu lancip seperti yang biasa Nenek pakai. Hitam mengkilap terawat seperti baru. Nenek memang terkenal paling pandai merawat barang. Rumahnya pun rapi dan serba bersih. Nenek menyuruh aku segera masuk dan beristirahat di ruang tamu. Aku pun bergegas menuju ruang tamu, dan melihat seisi ruangan. Tak banyak berubah sejak terakhir aku datang, tahun lalu. Mataku melirik ke arah sofa. Aku selalu canggung setiap akan duduk di sofa mungil yang terletak dekat perapian, seolah pakaianku terlalu kotor untuk menyentuh permukaan sofa itu. Seperti membaca pikiranku, Nenek mempersilakan aku untuk duduk dan menganggap rumah sendiri. Nenek memang pernah berkata bahwa suatu hari nanti rumah ini akan menjadi tempat tinggalku. Aku tak pernah bertanya apa maksudnya, tapi wajahnya terlihat sendu ketika mengatakannya. Aku tak berani bertanya lebih jauh, takut menyinggung perasaan Nenek. Aku belum pernah melihat Nenek marah di depanku, tapi tahun lalu aku mendengar Mama dan Nenek bertengkar hebat di telepon. Sepertinya mereka berdebat tentang perjanjian, yang tentunya tak berani aku tanyakan karena aku yakin Mama ataupun Nenek tak akan mau membahasnya. Apalagi dibahas denganku yang masih kecil dan dianggap serba tak tahu. Aku duduk sambil menunggu Nenek yang sedang menyiapkan teh dan memotong kue tart. Tak ada ucapan selamat ulang tahun, sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Hanya potongan kue tart, teh herbal, dan belaian lembut di kepalaku. Nenek selalu memuji rambutku yang ikal dan kecoklatan, seperti cream pie katanya. Maka dari itu Nenek lebih sering memanggilku Cream-Pie. Tanpa sadar, aku tertidur di sofa ruang tamu Nenek. Entah berapa lama. Aku terbuai belaian lembut tangan nenek dan aroma peppermint darinya. Samar-samar aku mendengar dalam tidurku yang setengah sadar. Nenek berdebat lagi dengan Mama. Tapi kali ini sepertinya bukan di telepon. Mama berbisik, begitu pun Nenek. Ada apa... aku terbangun dari tidurku, dan mereka terdiam menatapku dengan tajam. Seperti kesetanan, Nenek setengah berlari ke arahku, menarik lenganku dengan keras hingga aku menjerit pelan karena terkejut. 

"Linda, kau ingat perjanjian kita dua puluh tahun yang lalu. Anak perempuan pertamamu... untukku !" Nenek berkata ke arah Mama dengan mata merah, sungguh mengerikan.

"Aku tahu dan ingat perjanjian itu Bella, tapi tolong, Aelien masih kecil." Mama mulai terisak, dan aku makin cemas.

"Demi kamu, Linda. Aku mengorbankan anak perempuanku. Kenapa sekarang kamu ingkar ? Apa kamu lebih suka kakakmu ini mati ?" Kali ini suara Nenek seperti menahan marah dan tangis. Antara itu.

"Bella, kumohon, jangan di depan anakku." Mama memelas, tapi tak dihiraukan.

"Mama, Nenek, ada apa... ?" Aku mulai terisak dan bertanya dengan segenap keberanianku.

"Cream-pie, kamu mau kan, berkorban untuk Nenek ? Nenek butuh jasadmu untuk mengganti tubuh Nenek yang sudah renta ini." Nenek meminta seolah tubuhku ini boneka yang bisa dipinjamkan begitu saja.

Aku menjerit ketakutan dan berusaha melepas genggaman Nenek. Cengkeraman tangan Nenek begitu kencang. Saat berhasil melepaskan diri, aku merasa sebagian kulit tanganku terkelupas tercabik kuku Nenek yang sangat tajam. Aku menjerit kesakitan dan segera berlari ke lantai dua, bersembunyi di kamar, mengunci pintu dan sembunyi di bawah ranjang. Jantungku berdegup kencang. Tubuhku gemetaran berselimut rasa takut. 

"Mama, Papa, tolong..." hati kecilku menjerit minta tolong.

"Cream-pie... kemari sayang, Nenek punya sesuatu untukmu." Nenek memanggilku dengan lembut. Tapi aku tahu itu tipuan.

"BUKA, CREAM-PIE !!!" kali ini Nenek menjerit keras dan melengking. Aku mundur menyentuh dinding dibelakangku.

"Atau... Nenek akan masuk dan menghukummu." Suara nenek seperti berbisik lalu menghilang.

Tiba-tiba aku melihat pintu kamar yang tadi terkunci, sekarang membuka perlahan. Mataku tak sanggup berkedip. Pintu akhirnya terbuka lebar. Aku melihat Nenek tersenyum mengerikan dengan bibirnya yang membentuk lengkungan bulan sabit. Tangannya menggenggam sebilah belati dengan ukiran antik. Setengah gemetar, entah karena belati itu berat, atau Nenek terlalu bersemangat. Tak menunggu lama, Nenek membacakan sesuatu, dan seketika itu kaki ku seperti ditarik oleh tangan raksasa yang tak kasat mata. Tubuhku terseret keluar dari bawah ranjang, dan dilempar ke atas ranjang. Kedua tangan dan kakiku seperti terkunci ke empat ujung ranjang. Aku ketakutan dan menangis tanpa suara. Mama berdiri di belakang Nenek tanpa daya. 

"Linda, kamu mau selesaikan ini dengan cepat, atau harus aku yang menyakiti anakmu ini ?" Nenek seakan mengancam Mama.

"Bella, kumohon... ambil saja jasadku." Mama memohon sambil berlutut menyentuh kaki Nenek. Tapi tentu saja tak digubris oleh Nenek yang dari awal matanya tak pernah lepas dariku.

"Linda, kau tahu syaratnya. Harus perawan yang baru merekah. Suci dan polos. Anak yang memiliki darah kaum kita, kaum Lilim. Bukankah aku pun menyerahkan anakku demi kamu, Linda. Kau lupa itu ?" Nenek mengingatkan Mama akan janji mereka.

"Aku tahu Bella, tapi sudah berapa ratus tahun umur kita. Kapan ini akan berakhir. Aku sudah tak sanggup lagi menyerahkan darah daging kita demi keabadian. Apalah artinya hidup abadi dengan cara terkutuk seperti ini Bella. Aku ingin mengakhirinya." Mama terisak di kaki Nenek.

"Linda, kau sungguh egois. Hanya kita berdua yang tersisa dari kaum kita. Bagaimana mungkin kau mau mengakhiri garis keturunan kaum kita ?"

Nenek berpikir sejenak lalu melanjutkan "Begini saja, kau boleh memiliki satu anak lagi, dan akan kubiarkan dia hidup sebagai penggantimu. Bagaimana ?" Nenek kembali tersenyum mengerikan.

Mama terhenti dari isak tangisnya. Mengambil belati dari tangan Nenek. Awalnya kupikir Mama akan menolongku, tapi ternyata Mama menghampiriku dan menikam tepat di jantungku. Saat itulah aku menjerit, hatiku menjerit, dan jiwaku menjerit. Aku mati tiga kali. Aku tak menyangka Mama akan tega melakukannya.

Mama memanggilku dari dapur. Pagi sekali, terlalu pagi. Aku mimpi buruk. Aku merasakan air mata mengalir di pipiku. Segera kuusap dan bergegas ke kamar mandi untuk cuci muka, lalu turun ke dapur. Tak lama setelah menghabiskan sarapan, aku mencuci piring dan menghabiskan susu yang Mama sediakan. Tak lama, Freddy datang lewat pintu belakang. Kami akan bermain ke ke rumah Rudy dan Berta. Tebakanku tepat. Sama seperti yang "terjadi" sebelumnya. Aku tahu kami akan bermain petak umpet, karena memang aku sudah melakukan permainan ini di hari yang sama persis, tapi di hari sebelum hari ini.

Hari ulang tahunku tiba. Pagi sekali mama sudah membangunkan aku untuk sarapan. Tak lama, telepon berdering. Sepertinya dari Nenek. Pembicaraan mereka agak aneh. Mama seperti memohon sesuatu. Tak lama percakapan mereka terputus. 

"Ma, tak perlu khawatir. Semua akan berakhir tahun ini." Aku sendiri tak tahu kenapa aku mengatakan ini pada Mama, tapi jiwaku tahu apa yang terucap dari bibirku, seperti sumpah. Mama terlihat kebingungan.

Saat Mama menyiapkan bekal dan bingkisan untuk Nenek, aku mengambil sebilah pisau dan menyisipkannya ke dalam keranjang. Aku pun pamit dan segera bergegas ke rumah Nenek. Beban di tanganku tetap harus kubawa sampai ke rumah Nenek walaupun aku akan mengeluh sepanjang perjalanan. 

"Ma, tak perlu menyusul ke rumah Nenek, tolong jemput aku besok siang. Janji ?" itu pesan terakhirku sebelum meninggalkan rumah, dan Mama menyanggupi.

Seperti menyadari kedatanganku, Nenek membuka pintu ketika aku beberapa langkah dari pintu. Sebuah tart berbentuk labu yang aneh, bahkan agak mengerikan, berada di tangannya. Ini kue tart terbesar yang pernah dibuatkan Nenek untukku. Bentuknya memang aneh, tapi aku yakin rasanya enak sekali, karena aku sudah mencicipinya setiap tahun. Nenek tersenyum mengerikan seperti biasanya. Mungkin karena bibirnya yang sudah keriput itu dipaksakan membentuk lengkungan bulan sabit. Aku masuk ke ruang tamu, persis seperti dalam mimpi. Setelah minum teh herbal dan menghabiskan dua potong kue tart buatan Nenek, aku terlelap. Tapi kali ini tidak benar-benar lelap. Tepat ketika Nenek berjalan ke dapur, aku bangun dan mengambil pisau yang terletak dalam keranjang dekat tempatku tidur. Terdengar satu jeritan panjang, lalu hening dan tenang. Seolah hutan disekitar rumah ini telah menelan habis jeritan tadi.

***

Siang keesokan harinya, Mama datang menjemputku. Hanya ada aku duduk sendiri di sofa dekat perapian, sedang menikmati secangkir teh dan sepotong kue tart. Mama berdiri di dekat pintu, seolah ragu untuk beranjak jauh dari sana. Mama membuka pembicaraan dengan menanyakan keberadaan Nenek, dan aku tak menjawabnya. Aku mengalihkan pembicaraan dengan menanyakan bekal apa yang dibawanya untukku siang ini. Mama sempat terdiam sebentar, lalu tersenyum. Senyumnya manis, melengkung seperti bulan sabit. Hari ini Mama memakai sepatu lancip. Bekal untukku menggantung di tangan kirinya.

"Ma, sekarang rumah ini milik kita." Aku pun tersenyum menirukan senyuman Mama yang indah.

"Iya, Aelien. Milik kita." Mama kembali tersenyum.

"Ma, Aelien sering melihat masa depan. Semalam, Aelien bermimpi... melihat Mama menusuk Aelien... dengan pisau dapur." Seketika itu, senyuman Mama menghilang perlahan dan wajahnya yang putih terlihat bertambah pucat. Bekal untukku terjatuh dari tangannya.

Aku membacakan sesuatu yang kudapat dari mimpi semalam. Pintu di belakang Mama menutup kencang tanpa ada yang menyentuhnya, dan aku... tersenyum manis. Senyum manis yang melengkung seperti bulan sabit.






Kamis, 20 September 2012

Dan,...

Terik matahari siang menembus jaket hitam yang melekat di kulitku menyatu bersama debu jalanan dan keringat dari tubuhku. Masih tersisa juga jejak asap rokok semalam yang kunikmati berdua bersama kekasihku di kamarnya yang tak terlalu luas dengan ventilasi yang kurang. Satu batang rokok untuk berdua, jauh lebih romantis dari menu istimewa di restoran berbintang dengan sebatang lilin manis di tengah meja. Satu batang rokok untuk dua bibir yang kemudian bertautan dalam remang-remang kamar kos murahan. Pikiranku masih enggan beranjak dari gambaran semalam yang masih terus berbayang seolah takut terlupakan. Mana mungkin aku lupa dengan kenangan manis itu. Malam pertamaku dengan kekasihku yang baru aku kenal satu bulan. Kekasihku yang begitu manis dan semakin manis sekarang ini. Tubuhku beranjak darinya, tapi isi kepalaku menurut kemana langkah kakinya. Baru beberapa menit kami terpisah di lampu merah jalanan ibu kota. Dia harus ke kantor, sedang aku harus bergegas pulang untuk kemudian bersiap ke kampus. 

Satu hari penuh aku melayang-layang dalam angan. Kelas hari ini berlalu tanpa ada satu pun materi yang tersangkut di kepalaku. Hatiku merindu, sedang tubuhku gelisah tak karuan ingin disentuh kekasihku. Mataku tak jauh dari ponsel, berharap kekasihku akan menghubungiku, atau sekedar bualan manis lewat tulisan pesan singkat seperti yang rutin masuk selama satu bulan kami berhubungan. Sepi. Ponselku tak bersuara, lama hingga aku tertidur tanpa disengaja. Aku ingat, sebelum tidur aku sempat menitikkan air mata, berpikir kekasihku telah melupakan aku setelah satu malam kami bersama.

Tiba-tiba hari sudah siang ketika aku membuka mata. Teriknya matahari menusuk mataku lewat kaca jendela yang semalam tirainya kubiarkan terbuka agar cahaya bulan menemani kegelisahanku dan bintang-bintang menjadi saksinya. Tak lain dan tak bukan, yang pertama kusentuh adalah ponsel. Ada tiga pesan singkat di dalamnya. Segera kubuka. Satu dari Linda teman kampusku yang menanyakan keberadaanku. Satu lagi Rudy, menanyakan hal yang sama. Terakhir, ya, dari kekasihku. Ia menanyakan keadaanku setelah malam pertama kami. Ajaibnya pesan singkat ini telah mengubah kegalauan semalam menjadi riang berbinar-binar. Baru akan mengetik pesan balasan untuk kekasihku, aku teringat pesan Linda. Ya Tuhan, pagi ini aku melewatkan jadwal ujian akhir salah satu mata kuliahku.

Tak mau mengulang mata kuliah yang sama, aku segera mengurus surat ijin agar bisa mengikuti ujian susulan. Kampus memang tak pernah perduli dengan kegalauan mahasiswanya untuk urusan cinta. Bahkan untuk hari khusus seperti waktu melayat kakekku saja surat ijinnya rumit sekali. Harus ada surat dari RT setempat, dari orang tua, dan kartu keluarga. Kadang aku merasa perkuliahan ini sudah seperti kemiliteran. Segala sesuatunya dibuat begitu rumit seolah ingin membuat mahasiswanya gagal dan mengulang setiap mata kuliah. Kalau perlu DO sekalian biar jumlah lulusan berkurang dan menyelamatkan jumlah kursi lapangan kerja yang tersedia sekarang ini. Lanjut dengan perjuanganku mencari surat ijin, setengah hari aku berburu dokter baik hati yang bersedia membuatkan surat sakit palsu. Tentunya dari dokter yang tidak tercantum dalam buku hitam pihak kampus. Sudah pasti pihak kampus memiliki buku hitam semacam itu. Bayangkan saja, dari sekian ribu mahasiswa, tentu bukan hanya aku yang memalsukan surat ijin. Lelahku terbayar dengan selembar surat yang sudah aman di tangan, kutitipkan pada Linda sahabatku untuk disampaikan ke pihak kampus. Aku ijin tiga hari, dan rencananya akan kuhabiskan di kamar kos kekasihku. Aku segera mengabarinya lewat pesan singkat. Satu menit... dua menit... tiga menit... tak ada balasan, dan aku mulai kehilangan minatku pada rencanaku. Malamnya, kekasihku mengabarkan dirinya tengah berada di luar kota. Kabar yang mengagetkan karena sama sekali tak ada pemberitahuan sebelumnya. Kecewa bercampur sedih dan galau. Aku tak membalas pesannya, dan kumatikan ponselku. Aku menatap bintang di langit yang tak ditemani bulan. Air mataku menitik kembali, dan aku lupa kapan tepatnya mataku terlelap dalam kantuk.

Tiga hari berlalu tanpa kabar dari kekasihku. Aku pun tak berusaha mencarinya. Aku ingin dia yang mencariku. Bukankah seharusnya memang dia yang mencariku. Mungkin aku terlalu manja, tapi seharusnya dia tahu itu dari hubungan kami selama satu bulan. Dan, selama ini dia menerima kelakuanku, jadi tak ada alasan menjadikan sifat manja-ku untuk bungkam atau menghindar. Pikiranku makin kacau. Kuliahku mulai terpengaruh. Aku kehilangan minat dalam segala hal. Bahkan buang air besar pun aku setengah hati. Terus berpikir kenapa kekasihku sungguh tak pengertian. Apalah gunanya pacaran kalau rasanya seperti sendirian. Apa mungkin dia cuma menginginkan malam pertama itu. Aku kembali menitikkan air mata, menatap bintang yang sekarang ditemani bulan, dan kembali terlelap oleh lelahnya otakku yang tak henti mencari di mana letak kesalahanku.

Satu bulan berlalu, aku baru tahu kalau ternyata Rudy menaruh perhatian padaku. Kami pun mulai menjalin hubungan sesama jenis. Rudy jauh lebih perhatian dari kekasihku, mantan kekasih lebih tepatnya. Mereka berkelamin sama, tapi sifatnya sungguh beda. Aku bahkan berharap Rudy-lah yang bersama denganku malam itu berdua di kos murahan. Aku berharap Rudy-lah kekasihku waktu itu. Atau aku berharap kekasihku memiliki hati seperti Rudy. Yang jelas, sekarang hatiku terisi oleh seorang Rudy. Kami satu kampus dan satu jurusan, satu kelas bersama Linda. Aku bahagia sekarang, dan aku masih merindukan mantan kekasihku. Aku bingung dengan diriku sendiri. Aku sekarang pacaran dengan Rudy, dan diam-diam semalam masih menangis ditemani bulan dan bintang ketika mantanku mengirim pesan "Kok gak ada kabar ?"

Aku berpikir, betapa bodohnya mantan kekasihku yang tak mengerti isi hatiku. Atau mungkin aku yang bodoh karena tak mengerti bagaimana menyampaikan isi hatiku. Atau mungkin ego ini yang lebih pantas disalahkan. Aku bingung kenapa hati ini harus memikirkan mantanku sementara saat ini aku bahagia bersama Rudy. Atau mungkin karena sudah menemukan kebahagiaan makanya aku menganggap remeh apa yang kudapat sekarang ini. Mungkin aku akan lebih menyesalinya ketika perpisahan tiba pada waktunya nanti. Sementara otakku masih terus berpikir di mana letak kesalahanku yang dulu. Dan, aku membayangkan jawaban itu sedang dalam perjalanan ke hatiku, mungkin tersesat di hutan mistis atau terperangkap badai tsunami. Dan, tanpa sadar aku terlelap dalam letih yang mendalam.

Kamis, 02 Agustus 2012

Senja Pelangi Jingga

Siang ini ada hati yang berdetak lebih dari biasanya. Lebih cepat, lebih bersemangat. Iramanya memburu seperti dikejar pembunuh. Mungkin yang punya hati baru selesai olahraga atau habis minum viagra. Mungkin perasaannya yang sedang gundah. Sebuah tanya yang si-hati itu sendiri bingung menjawabnya. Matanya melihat ke kiri dan ke kanan, berulang-ulang seperti robot di taman hiburan. Sebenarnya, matanya sedang mencuri pandang ke sudut taman. Malu-malu memandang sosok yang duduk di kursi taman ujung jalan, yang sedang asik membaca buku bersampul jingga. 

Cepat-cepat dia memalingkan wajahnya, ketika sosok yang ditatapnya tersebut menoleh ke arahnya. Wajahnya seketika memerah bagai udang rebus. Malu? Sudah pasti. Gugup? Sangat. "Hai, boleh aku duduk di sini?" suara berat seorang pemuda menyapa telinganya, membuatnya terlonjak sedikit dari kursi  taman yang didudukinya. Jantungnya berdetak semakin kencang dan cepat. Malu-malu dia menganggukkan kepala.

Salah tingkah. Pura-pura membenarkan kacamata, malah jadi miring sebelah. Bibirnya yang dipoles tipis sewarna aslinya kini bergerak seolah ingin bicara tapi tertahan. Tangannya gelisah memilin ujung rambut kepangnya tanpa berani menatap pemuda di hadapannya. Pemuda yang sedari awal terus diamati sepenuh hati. "Bo..Boleh. Silahkan. Boleh kok." Jawabnya dengan gugup dilanjut tertawa nyengir, lalu diam dan tertunduk dengan wajah merah padam sambil sesekali melirik ke tangan pemuda tadi. Ke arah buku bersampul jingga. Pemuda itu duduk beberapa senti dari tempatnya duduk. Sementara ruang kosong di kursi taman tak mengharuskan jarak mereka sedekat itu. Jantungnya menari makin tak karuan, antara bahagia dan gelisah.

Bingung harus bagaimana dan bicara apa, tangannya masih saja memilin ujung rambutnya. Hening berbicara diiringi desah nafas gelisahnya dan suara halaman buku yang dibalik. Sesekali diliriknya pemuda yang duduk di sampingnya kini. Mata pemuda itu sudah kembali terpaku pada buku bersampul jingga. Penasaran, dicobanya mengintip isi buku itu dengan diam-diam. Terlihat olehnya barisan huruf di halaman buku tersebut. Sayang, ukuran font-nya terlalu kecil untuk bisa dibacanya. Aksinya terhenti ketika tiba-tiba pemuda itu menutup bukunya lalu menatapnya sambil tersenyum. "Hobi baca juga?" tanya pemuda itu. Dia mengangguk. Pemuda itu menyodorkan buku bersampul jingga tersebut kepadanya. Dia terdiam. Ragu.

Ada jedah panjang dalam kaku-nya tingkah mereka. Pemuda itu menyodorkan buku sambil menunggu gadis belia menerimanya dalam gerakan lamban dengan kepala tertunduk. Saat telunjuknya menyentuh buku itu, seketika itu juga ia menyambar seperti belut listrik menerkam mangsa. Pemuda itu dibuat hampir tersentak. Kaget pastinya. Sekarang giliran pemuda itu yang salah tingkah, garuk-garuk kepala dengan ekspresi muka yang terlihat sedikit kecewa. Tapi pemuda itu berusaha terlihat biasa-biasa saja sambil melebarkan senyum tipis melihat gadis itu mulai sibuk membuka lembaran buku yang kini dipegangnya. Pemuda itu memperhatikan lekuk hidung dan bibir gadis itu, lalu tersipu malu sendiri dan memalingkan muka, seolah baru saja tertangkap basah berbuat salah.

Ada getar aneh merambat perlahan di jantung hati pemuda tersebut. Getaran yang membuat duduknya tak lagi nyaman. Yang membuatnya tersenyum kikuk selagi menatap gadis itu untuk kesekian kalinya. Dengan sembunyi-sembunyi tentunya. Sementara itu, keadaan seakan berbalik sekarang. Gadis di sampingnya mulai terlena dengan buku bersampul jingga. Pemuda itu tak heran sebenarnya, buku bersampul jingga tersebut seperti candu bagi penikmat buku. Sekali telunjukmu menyentuh halaman pertama buku tersebut, nyaris tidak mungkin melepaskan genggaman dan pandanganmu dari barisan kata di dalamnya. Pemuda itu semakin gelisah, wangi parfum gadis itu menggelitik hidungnya. Sedap malam bercampur dengan entahlah, daun teh, mungkin? Pemuda itu tak yakin sepenuhnya, yang jelas wangi parfum ini membuainya dengan cara yang mengerikan. Bagai serangga yang tanpa sadar melangkah menuju mulut Kantung Semar.

Waktu bergulir, terasa lama sekali. Pemuda itu mulai gatal ingin berkenalan. Otaknya sibuk mencari cara untuk menarik perhatian gadis itu. Mulai dari pura-pura batuk, menatap terus-menerus, hingga bersin dan senggolan ringan sama sekali tak dihiraukan gadis yang kini terpaku dalam lembaran-lembaran baru. Pemuda itu mulai kesal dan bosan. Ia bersandar ke punggung kursi dan terdiam, sambil sesekali masih melirik ke arah gadis di sebelahnya. "Seru amat bacanya." Ia menyindir dengan nada halus. "Iya, lagi seru nih. Gue kelarin dulu ya." Gadis itu menjawab dengan nada dan gaya yang sama sekali berbeda.

Merasa bosan dan tak diacuhkan, pemuda tersebut mulai kesal. Tanpa tedeng aling-aling, dirampasnya buku yang dipegang sang gadis. Cepat dan kuat. Gadis itu tersentak kaget lalu menoleh menatap sang pemuda. Matanya membara, jelas sekali dia marah dan merasa terganggu dengan ulah sang pemuda. "Gue rasa sudah cukup waktu lo buat baca ini buku," ujarnya sambil memegang erat buku bersampul jingga. Senyum kemenangan tersungging di bibirnya. Gadis itu menggigit bibir bawahnya, sepertinya sedang menahan amarahnya. Kemudian dengan perlahan dilepaskan kacamata lalu mengurai rambutnya yang tadinya dikepang dua. Rambutnya yang hitam, panjang dan lurus kini tergerai bebas. Sambil memiringkan kepalanya sedikit ke kanan, gadis itu tersenyum sinis. Pemuda itu tersentak kaget, gadis di hadapannya sekarang benar-benar berbeda dengan gadis yang hendak dia goda tadi. Tidak ada lagi kesan polos, culun, dan gugup darinya sekarang. Tanpa disadari, tubuhnya mulai bergidik ngeri. Intuisinya mengatakan bahwa dia harus lari sejauh mungkin dari gadis ini. Bahwa gadis ini berbahaya. Namun, seperti yang sudah sering dia lakukan, diabaikan suara-suara  peringatan di kepalanya. Sebagian karena dia tertarik dengan gadis ini, sebagian lagi karena dia terlalu malu mengakui bahwa dia takut dengan gadis yang duduk di hadapannya saat ini.

"Jadi... Lo penulis buku ini kan?" Gadis itu bertanya dengan mata tajam menusuk. Tubuhnya begerak condong ke arah pemuda yang kini terlihat gugup dan sedikit gemetar. Gadis itu seperti macan betina yang siap menerkam mangsanya. "Lo tahu kenapa gue setiap hari duduk di sini menatap lo ?" Gadis itu melanjutkan kata-katanya sambil terus menyingkat jarak di antara mereka. "Gue... Ratna. Anak dari penulis buku itu, yang isinya lo curi." Mata gadis itu kini membara penuh dengan api neraka.

Matahari mulai terbenam, lampu-lampu taman yang temaram mulai menyala. Sepi sekali taman itu sekarang, hanya tersisa dia dan Ratna di taman ini. Pemuda itu masih terbelalak, jantungnya seakan berhenti berdetak. Dia menelan ludah dengan susah payah, mulutnya membuka lalu mengatup lagi. Megap-megap seperti ikan mas yang tergeletak di tepi kolam. Tak ada sepatah katapun yang meluncur keluar dari bibirnya. Tak banyak yang dia tahu tentang Ratna sebenarnya, kecuali bahwa gadis itu merupakan anak dari Pak Cipto. Tanpa diinginkan, sosok lelaki tua sederhana yang berkacamata dengan kepala hampir botak menari di benaknya. Lelaki itu Pak Cipto, si penjaga perpustakaan tua di dekat kampusnya dulu. Pak Cipto memiliki bakat dan kegemaran menulis berbagai macam cerita di dalam sebuah buku tulis lusuh. Cerita-cerita yang ditulisnya sangat menarik untuk dibaca. Setiap cerita yang dirangkainya selalu terselip petuah hidup yang indah tapi tidak menggurui bagi pembacanya. Pemuda itu memang dikenal dekat dengan Pak Cipto, hampir semua tulisan Pak Cipto dilumatnya. Buku tulis lusuh itulah yang suatu sore tanpa disengaja ditemukan olehnya tergeletak di sebuah meja perpustakaan, yang kemudian dibawanya pulang lalu semua isinya diketiknya ulang di komputer. Pemuda itu mengirimkannya ke penerbit dengan menyertakan namanya sendiri sebagai sang penulis. Buku bersampul jingga, yang lima tahun yang lalu berhasil diterbitkan dan menjadi Best Seller di seantereo negri ini. Sejak saat itulah dia selalu menghindari Pak Cipto kemana pun dia pergi. Sebagian karena malu, sebagian lagi karena pemuda itu takut ketahuan bahwa bukan dia hanyalah seorang plagiat.

Angin malam bersiul pelan di antara Ratna dan pemuda yang tampak berkeringat bukan karena gerah. Keringat dingin hasil suling dari rasa cemas, takut, dan malu. Pemuda itu hampir berhasil berucap tapi didahului oleh Ranta. "Gak nyangka kan lo, kalau ternyata kecurangan lo bakal ketahuan." Gadis itu menyindir ketus. "Lo tau apa yang terjadi setelah buku 'pelangi jingga' terbit ? Bapak ku gak pernah sekalipun mengutuk perbuatanmu. Bahkan gak ada niatan meminta hak atas karyanya. Bapakku mati di kamar belakang perpustakaan karena sakit. Seharusnya Bapak bisa selamat kalau ada uang untuk berobat. Seharusnya elo punya nurani buat sekedar membayarkan biaya rumah sakit !" Air mata mengalir dari kedua mata Ratna. Kepalanya tertunduk di dada pemuda yang sekarang berkaca-kaca. "Ratna... Maaf, gue gak tau kalo Pak Cipto sakit. Gue gak sanggup melihat wajahnya setelah apa yang gue perbuat." Tangisan ratna terhenti dan berubah menjadi tawa kecil yang mengerikan. Kedua tangannya mendorong pemuda itu hingga jatuh ke tanah. "Elo... Banyak bacot. Telat !!! Bapak uda MATI !" Ratna mengeluarkan sebilah belati dari balik jaket hoodie abu-abunya.

Sang pemuda mengerang kesakitan ketika belati itu bersarang di perutnya. Dinginnya belati bercampur dengan panas membara dan gempuran rasa sakit menyiksa dirinya. Nafasnya tersengal-sengal menahan perih. Tidak, dia tidak boleh diam saja menunggu mati,pikirnya. Dengan sekuat tenaga dikepalkan tangannya lalu berusaha memukul Ratna dengan membabibuta. Berharap pukulan-pukulannya dapat mengenai gadis yang sedang menduduki tubuhnya. Sia-sia saja. Ratna tidak seperti wanita pada umumnya yang lemah dan memiliki tenaga kurang dari lelaki rupanya. Jemari lentik Ratna melayang menepis pukulan pemuda itu lalu telak mengenai wajahnya. Pemuda itu kelelahan, perutnya makin terasa sakit. Dia membuka mulutnya, berteriak minta tolong. Percuma, tentu saja percuma. Taman ini terletak di pinggiran kota dan tidak banyak dikunjungin orang, apalagi setelah matahari terbenam. Sebuah tamparan menghantam wajahnya lagi. Kelelahan, pemuda itu terbaring diam di tanah. Ratna masih bergeming, tak ada suara yang keluar dari bibir mungilnya. Sedetik kemudian, tangannya mencengkeram gagang belati lalu memutarnya perlahan-lahan. Pemuda itu berteriak kesakitan. Nafasnya tertahan ketika dirasakan belati itu ditarik menjauh dari perutnya.

Dendam dan benci sudah merasuki Ratna, jauh dalam hatinya dia tahu bahwa pemuda ini bukanlah penyebab kematian ayahnya. Tapi Bapak semakin parah sakitnya setelah buku itu terbit, pikirnya geram. Ditatapnya pemuda yang terbaring lemah, wajahnya yang tampan itu mulai memucat pertanda mulai kehabisan darah. Mati! Dia harus mati! Kata itu berulang-ulang berteriak di benaknya. Dikencangkan pegangannya ke gagang belati kemudian ditusukkannya berkali-kali ke sekujur tubuh pemuda itu sambil berteriak histeris. Buku bersampul jingga tergeletak di samping tubuh pemuda yang kian pasrah. Jingga berhias percikan darah. Ratna mulai kehabisan tenaga dan gerakannya makin pelan. Belati terlepas dari genggamannya. Perlahan ia lihat kedua telapak tangannya yang berlumuran darah, dan penuh goresan luka. Luka goresan belati yang tadi dipegangnya. Tak terasa sakit, karena lebih sakit hatinya yang luka akibat kematian Bapak yang paling dicintainya. Bapak yang membesarkan Ratna dari kecil karena Ibu pergi meninggalkan mereka. Pemuda ini. Pemuda ini seharusnya bisa menolong Bapak saat itu. Tapi dia sibuk dengan ketenaran palsu yang direbut dari Bapak. Ratna masih menduduki tubuh lemas pria itu yang kini meregang nyawa. Ratna makin histeris memukul jasad yang kaku. "Bangun loe... jangan mati segampang ini. Bangun ! Bangun !!!" Gadis itu merasa belum cukup membayar dendamnya. Masih terus dipukulnya jasad itu hingga bulan membumbung tinggi di atas mereka. Buku bersampul jingga tergeletak kaku, seperti jasad pemuda itu, seperti Ratna yang terduduk diam dan kosong setelah dendamnya meluap lepas.

"Pelangi Jingga" - sebuah cerpen kolaborasi Jony Kho & Yerikho

Minggu, 24 Juni 2012

Tentang Hati : Menunggu

Bila ada waktu tersisa
Untuk benih ini berkecambah
Sekedar merasakan hembusan udara pertama 
di permukaan daunnya yang rapuh
Mencicipi air dari akarnya yang seperti 
serabut kaca tipis 


Mira... Aku masih merenungkan arti air mata yang mengalir deras di-pipi-nya semalam. Ada apa gerangan. Bukankah seharusnya dia bahagia melangkah bersamaku hingga detik mendebarkan menuju pagi ini, di katedral ini. Tapi dia tak datang. Dua jam terlambat, atau tengah berada dalam pesawat menuju Milan. Semalam baru aku tahu isi hatinya yang terdalam. Semalam seharusnya kubatalkan pernikahan ini di detik-detik terakhir. Tapi tak kulakukan karena baru sekarang aku sadar arti kata 'harapan' setelah sekian lama aku hidup. Aku berharap Mira akan berubah pikiran dan muncul dalam balutan gaun putih yang telah kami pilih bersama.

Aku duduk dalam di tangga depan katedral, menunduk menyembunyikan rasa malu bercampur kesal, kecewa, amarah, dan penyesalan. Sebatang rokok mengepulkan asapnya yang bebas mengangkasa tanpa sedikitpun kuhisap. Abunya jatuh ke lantai tangga, tepat di antara sepatu kulit putih yang kupoles sepenuh hati demi hari ini. Aku terus berpikir bagaimana mungkin Mira meninggalkan aku ketika impian kami hanya sejengkal dari mata. Lalu apa gunanya perjuangan kami sejauh ini. Aku bahkan tak sanggup untuk menangisi hatiku yang perih, atau lambungku yang terus menjerit kelaparan minta diisi. Hanya Mira yang ada dalam pikiranku sekarang. Hanya Mira.

***
Malam sebelumnya, kami masih tertawa bersama, menghabiskan beberapa botol bir lokal sebelum melanjutkan kebahagiaan kami dengan sebotol anggur merah ditemani cahaya lilin dan lampu kota. Kami berada di tempat yang seharusnya. Kami bahagia karena bersama. Setidaknya aku yakin itu, sebelum semuanya berakhir begitu cepat. Dalam perjalanan pulang, kami bergandengan tangan. Aku merasakan tangan Mira begitu dingin. Segera kutarik dan aku menghangatkannya dengan hembusan nafasku. Kuhembuskan sambil kukecup pelan kedua tangannya. Aku melihatnya tersenyum, yang paling manis yang pernah aku lihat. Bukan karena pengaruh alkohol tentunya, karena kami tidak dalam keadaan mabuk. Mabuk asmara mungkin, tapi bukan karena alkohol. Matanya berkaca-kaca. Lalu tiba-tiba senyum itu tersapu dari bibirnya. Aku melihat ada yang salah dengan bintang-bintang yang sirna dari matanya. Mira menundukkan wajah, merapat ke dadaku. Nafasnya pelan. Rambutnya begitu harum, dan nafasnya hangat di dadaku. Aku mendekapnya erat beberapa saat sebelum akhirnya ia melepaskan diri dariku dan mundur beberapa langkah. Aku terkejut melihat air matanya tiba-tiba mengalir deras di kedua pipinya yang merah merona. Aku berusaha meraihnya, tapi ia menjauh mundur beberapa langkah. Tangannya memberi tanda agar aku berdiri diam ditempatku. Aku merasa seolah dunia ini runtuh. Aku tak tahu ada apa, tapi aku merasa bahwa ini sesuatu yang sangat serius.

Mira terisak sepanjang ceritanya padaku. Kedua orang tuanya tak setuju dengan pernikahan kami. Aku tahu itu, dan seharusnya ini tak menjadi bahasan lagi karena kami telah sepakat untuk hidup bersama walau dunia menolak dan menertawakan. Kenapa ini harus menjadi penghalang di detik-detik terakhir. Aku tak bisa terima dengan keadaan ini, tapi aku tak ingin Mira semakin tersiksa. Aku berusaha mendengarkan hingga akhir ceritanya tanpa sedikitpun membantah. Mira merasa janjinya padaku sangatlah bodoh. Dia yakin, tak akan pernah bahagia bila menikah tanpa restu kedua orang-tuanya. Lebih menyakitkan lagi ketika ia mengaku telah membeli tiket penerbangan ke Milan, tempat kedua orang-tua Mira tinggal, tepat di jadwal pernikahan kami. Ia menjelaskan bahwa dirinya sama sekali tidak bermaksud meninggalkanku dengan cara seperti ini, tapi ia tak pernah menemukan saat yang tepat untuk memberitahukannya hingga saat ini, detik-detik terakhir. Dan ia mengakui sakit yang ia rasakan ketika harus menceritakan kenyataan ini padaku. Bahwa mimpinya bersamaku harus menemui akhir dengan perpisahan yang sangat pilu. Mira meminta agar kenangan malam ini dihapuskan dari ingatan, dan cukup mengenang saat-saat indah yang telah kami lewati. Perpisahan tak harus membunuh rasa cinta yang pernah ada. 

Aku ingin sekali mendekapnya erat, dan memintanya menarik kembali semua kata-kata itu. Aku ingin kembali ke beberapa jam yang lalu, menyeretnya pulang tanpa perlu mendengarkan kenyataan ini. Mungkin besok akan lebih baik. Mungkin Mira akan berubah pikiran dan muncul di pernikahan kami. Tapi pahitnya kenyataan hidup harus kunikmati sebagai hadiah terakhir yang kudapat dari orang yang paling kucinta. 

Sebelum berpisah, aku memintanya untuk berpikir kembali. Besok pagi aku tetap akan menunggunya di katedral. Aku menganggap kehadirannya besok sebagai jawaban terakhir untuk hubungan kami.

***
Kebodohan apa yang telah meracuni pikiran Mira. Apakah cinta kami sama sekali tak punya arti dalam hidupnya. Apakah restu kedua orang-tuanya lebih berharga dari kebahagiaan kami berdua. Kenapa ia harus memikirkan perasaan orang lain sementara dunia menutup mata pada hubungan kami berdua. Apakah perpisahan kami akan membuat Mira bahagia dalam jerat keinginan kedua orang-tuanya. Apakah salah untuk hidup sesuai keinginan hati. Satu per satu pertanyaan melintas dalam benakku. Lima jam dari jadwal. Sahabat-sahabat terdekat dan beberapa saksi telah meninggalkan katedral. Tak ada yang mengucapkan sepatah kata-pun. Kurasa mereka tahu betapa hancurnya hatiku, dan tak ada yang sanggup mengubah itu selain kehadiran Mira. Aku pun bersiap pulang. Tiba-tiba salah satu sahabat kami, Cathalina menghampiriku, berdiri di depanku. Satu-satunya sahabat yang dengan lancang memintaku melupakan Mira.

Aku berpikir, benih yang telah kami pupuk bersama telah berhasil tumbuh menjadi pohon yang sempurna, dengan akar yang menancap kuat, batang yang kokoh, dan ranting yang tahan terpaan badai sekalipun. Tapi aku salah. Pohon itu telah roboh tanpa pernah aku sadari. Mira menanggung semua ini sendirian tanpa pernah membagi beban denganku. Aku pun tak mampu melihat sisi gelap yang mengurungnya dalam sangkar. Andai aku tahu lebih awal. Andai aku bisa meyakinkannya dengan cara apapun. Andai aku bisa meyakinkan kedua orang-tuanya bahwa kami bahagia dan kami sanggup melawan cercaan dunia. Andai aku terlahir dalam balutan tubuh pria.


***
Satu tahun setelah gagalnya pernikahan pertamaku, aku kembali ke katedral yang sama. Kali ini pernikahanku berlangsung sukses dengan sahabat sekaligus kekasihku, Cathalina. Orang yang telah lancang memintaku melupakan mantan kekasihku, orang yang ketika itu telah lancang memaksaku makan siang berdua, orang yang telah membuatku sadar bahwa perpisahan mungkin awal untuk perjumpaan yang lebih indah. Bahwa cinta tak seharusnya menyakitkan ketika kita mengenalnya lebih dekat. Bahwa hubungan manusia hanyalah perputaran tanpa henti antara meninggalkan atau ditinggalkan.

Sekilas aku melihat punggung Mira meninggalkan katedral seusai sumpah kuucapkan dan cincin kusematkan di jari manis Cathalina.

Sabtu, 09 Juni 2012

Rasanya Seperti . . .

Kalau ditanya... gimana sih rasanya kalau tahu orang yang kamu sayangi itu jadian sama orang, dan kamu tahu beritanya langsung dari mulut orang itu... 


Ya, rasanya seperti tiba-tiba matahari padam, angin berhembus kencang dan petir menggelegar. Langit retak dan runtuh perlahan dan bumi bergejolak. Tapi semuanya begitu diam tanpa suara. Sementara matamu terbelalak memandangi wajahnya yang berseri-seri.

Begitu kira-kira gambaran singkat kondisi kejiwaan ketika mendengar berita sangat tidak mengenakkan dari orangnya langsung. Bukannya tidak senang, tapi kok ya tega sekali mengatakannya dengan wajah berseri-seri tanpa dosa begitu. Padahal tahu orang yang mendengarkan ini orang yang sayang betul padanya. Duh, dasar hati. Sudah disakiti berulang kali, masih saja bertahan mendengarkan kata-kata yang bikin mata perih. 

Sudah berusaha hidup lagi, tapi belum juga nafasku cukup panjang untuk berlari, jantungku sudah dicabut dari tempatnya. Diremukkan dan diinjak-injak olehnya. Pertanyaan paling menyakitkan adalah ketika ditanya tentang kehidupan pribadi. Seolah di antara kami tak pernah terjadi sesuatu. Tapi, wajahnya yang berseri-seri itu membuatku tak mampu emosi. Aku cuma bisa menjawab seadanya dengan menahan getaran di bibir, dan menampung air mata yang membuat mataku mulai berkaca-kaca. Tentu saja sambil membuang muka dan pura-pura melihat ke arah lain dari wajahnya.

Pengalaman menyakitkan oleh orang yang kita sayangi ini ternyata gak cuma terjadi pada satu orang. Banyak sekali manusia-manusia tak punya hati yang dengan leluasa melukai perasaan orang lainnya. Waktu mendengar mereka bercerita, aku baru sadar. Bukan cuma aku manusia bodoh di dunia ini, yang masih bisa dengan bangga mengatakan "Iya, aku juga pernah mengalaminya."


Senin, 21 Mei 2012

Sebuah Hati

Berapa banyak hati di dunia ini

Yang berani jujur berbicara

Berani menantang siapa saja

Yang berusaha meredam suaranya

Sebuah hati yang tegar bertahan

Kokoh berdiri dan berkobar dalam terjangan badai



Bahkan ketika hatiku terbuka

Melayang bebas di angkasa

Bahkan ketika suaranya menggema

Mengisi kosong di lembah

Sebuah hati yang lara

Tak akan mampu bertahan lama

Pulang

Deburan itu terus menggulung

Berlari dan memanggilku pulang

Tapi aku butuh kebebasan

Karena itulah aku terbang

Terus menjauh dari keramaian

Goresan Luka

Menggores...

Tanganku enggan berhenti menggores

Pensil menggores kertas

Tapi pensil tak melukai kertas



Tak semua goresan meninggalkan luka

Tapi goresan kehadiranmu

Membuat luka menganga yang dalam

Kenapa kau memilih jadi goresan yang luka

Pagiku Buta

Tepian langit masih merah bata
Suara Azan mengiringi pagi yang semakin dekat
Rasa sepi ini terus menghantuiku
Tak ada kesempatan bagiku untuk mengistirahatkan tubuh walau sejenak
Pikiranku dipenuhi berbagai cara
Bagaimana aku harus lakukan demi hilangnya rasa sepi
Bukan dengan cara yang akan membuatku menyesalinya beberapa saat kemudian
Bukan juga meneruskan diam yang membuatku perlahan gila
Aku butuh jalan cepat

Pada akhirnya aku kembali menyerah pada air mata
Obat mujarab yang mampu menghanyutkan sebagian luka
Walau aku tak anggap ini jawabannya
Aku berharap pagiku hari ini buta
Aku tak ingin ia melihatku berlinang air mata

Matinya Rasa

Mana bisa hati ini bersuara

Saat semua berhenti seketika

Trauma ini membuatnya bisu

Tuli dari suara-suara