Rabu, 15 Februari 2012

My Valentine

"Rin.. gimana ? Jadi kan ?" Panggilan Ranti mengagetkanku.

"Eh, entah, Ran. Aku mungkin tak seyakin kemarin."

Tangan Ranti menyelinap dari balik punggungku, mengarahkan tanganku yang sejak tadi gemetaran, mengarah ke botol racun tikus di rak paling atas.

"Rin, ingat... ini demi kamu dan bayi yang sedang kamu kandung." Ranti berbisik tepat di samping telingaku. Bisikan lembut yang menghipnotis aku untuk segera mengambil botol itu dan tanpa ragu meletakkannya ke dalam keranjang belanja.

***

Aku Rina, wanita biasa saja. Lahir dalam keluarga biasa, tumbuh seperti anak perempuan lainnya yang juga biasa saja. Tamat kuliah, aku sempat bekerja di perusahaan biasa. Hingga suatu hari aku bertemu pria luar biasa dan menikah dengannya. Sejak itu, kehidupanku menjadi luar biasa. Tapi aku... tetaplah Rina, wanita yang biasa saja.

Pernikahanku dengan Mas Randi berjalan baik-baik saja selama dua tahun pertama. Tapi, karena belum juga mendapat momongan, Mas Randi mulai berubah tabiatnya. Apalagi hasutan dari pihak mertua membuat Mas Randi kian hari makin menjauh dariku. Kehidupan luar biasa yang kunikmati bersama suamiku seketika raib diterpa badai prahara rumah tangga. Mas Randi kini terlibat cinta terlarang dengan sekretarisnya. Aku tahu, tapi memilih diam. Hingga ketika aku mengetahui kehamilanku, aku berharap ini akan menjadi awal yang baru buat aku dan Mas Randi. Tapi aku salah. Wanita simpanan Mas Randi telah lebih dulu mengandung. 

Meski Mas Randi tak pernah mengaku secara langsung padaku, tapi aku tahu sejauh mana hatinya telah berlabuh di hati perempuan itu. Sulaman cinta yang kami rangkai telah terburai, cerai berai. Lebih tepatnya, hanya aku sendiri yang terus berusaha menambal kerusakan itu dengan kesabaranku yang tak terbatas. Semuanya berubah ketika aku mengenal Ranti. Kehadirannya begitu tiba-tiba, tapi dalam waktu singkat kami menjadi begitu dekat. Ranti mengerti keadaanku, menjadi sahabat curhatku, dan menguatkan aku dari segala sisi ketika aku membutuhkannya. Ranti sosok sahabat yang sempurna di mataku. 

***

Usai membayar di kasir, aku bergegas pulang bersama Ranti. Ranti yang menyetir dengan aku duduk di sampingnya sambil memeluk plastik belanjaan. Jantungku berdegup kencang. Kami tak saling bicara selama perjalanan pulang. Ranti yang biasanya riang pun diam dan terlihat konsentrasi dengan kemudinya. Aku menerka-nerka apa yang ada dalam benaknya. Ranti... wanita yang menjadi kekasih pengganti suamiku. Kekasih yang membuatku merasa nyaman melebihi kedekatanku dengan pasangan hidupku.

Kebisuan yang terus menjaga jarak di antara kami berdua berlangsung sepanjang perjalanan pulang. Ini jedah terpanjang yang pernah ada di antara kami. Tak biasanya kami saling diam lebih dari lima menit. Ada saja perbincangan yang mempertemukan kedua batin dan raga kami dalam gelak tawa. Seandainya saja Randi memiliki sebagian dari Ranti. Padahal nama mereka hanya beda satu karakter. Kenapa juga aku membandingkan nama keduanya sementara aku tahu beda di antara mereka terlampau jauh dibanding sebuah arti nama.

Perjalanan pulang terasa lebih, lebih, dan lebih jauh dari biasanya. Tiga kali kelipatannya. Begitu aku membuka kunci pintu, Ranti mendesak tubuhku ke dalam. Bibirku terbungkam oleh sentuhan lembut bibir Ranti. Tangannya menggenggam tanganku, merapatkan tubuhku ke dinding rumah. Detak jantungku berdegup kencang, tubuh kami seolah membeku bersama ruang dan waktu. Air mataku menitik, mengaliri pipi, turun ke dagu dan akhirnya... menitik ke dada Ranti.


***

Aku telentang dan telanjang di atas ranjang. Ranti di sebelahku sedang sibuk menyentuh telapak tanganku sambil sesekali dikecupnya dengan lembut. Ranti juga telanjang, dan tak perlu kujelaskan apa saja yang terjadi satu jam sebelum sekarang. Aku bahagia. Sentuhan Ranti mengalahkan sentuhan Mas Randi saat malam pertama. Bagiku sekarang ini Ranti adalah belahan jiwaku, belahan dadaku, dan penemu belahan diriku yang sempat hilang.

"Jadi, rencana itu masih akan berlanjut ?" Ranti berbisik lirih dari balik telapak tanganku. Matanya menerawang ke langit-langit kamar dengan tatapan kosong.

"Demi anakku, iya." , "Dan demi kamu." jawabku

Aku merasakan senyuman puas membentuk di bibirnya, lewat sentuhan telapak tangan. Tak lama aku pun terlelap sambil memeluk tubuh Ranti.

***

Mas Randi mengajakku makan malam di rumah. Sesuatu yang ajaib, apalagi ajakan kali ini dengan nada sangat lembut. Bahkan sebelum aku menjawabnya, aku sudah tahu ia menginginkan sesuatu dariku. Benar saja, Mas Randi ingin menceraikan aku dan menikahi wanita sialan yang tengah hamil tua sama sepertiku. Lebih parahnya, Mas Randi tega meminta hak asuh anak dalam kandunganku dengan iming-iming jatah gono-gini. Sejak kapan suamiku berubah menjadi binatang menjijikkan seperti ini. Rasanya makan malamku sudah tak menggugah selera. Ingin kulempar ke mukanya, sekalian kusumpal paha ayam ke mulutnya biar mati tersedak.

"Terserah Mas saja. Aku nurut." jawabku sambil memalsukan senyum.

"Baguslah kalau begitu. Terima kasih, Rin." Mas Randi tampak lega. Ia tak tahu rencana apa yang menunggunya.

Usai makan malam, Mas Randi bergegas pergi ke rumah wanita sialan itu, tak sabar mengabarkan kemenangan mereka. Tentu saja mereka tak akan pernah menang dariku. tak mengapa, biarlah mereka senang-senang dulu. Aku pun perlu menenangkan emosiku agar rencanaku bersama Ranti tak menjadi berantakan. Aku bergegas ke kamar untuk mengistirahatkan penatku sejenak. Aku melihat ke arah jendela, sebuah celah kotak yang membatasiku dari dunia di luar kamar. Aku mengamati entah berapa lama hingga akhirnya mataku terlelap. Bulan mengantar tidurku menuju mimpi indah tentang Ranti yang aku cinta. Aku tak sabar menunggu hari kemenangan kami.

***

Dua hari setelah makan malam, Mas Randi sudah berani mengajak perempuan itu ke rumah. Katanya, ia tidak akan merasa lega kalau belum benar-benar mendapat restu dariku dengan memperkenalkan aku pada perempuan sundal yang kelak akan mengasuh anakku (yang menurut mereka, aku akan membiarkan hal itu terjadi begitu saja).

Sudah kuputuskan, malam ini adalah waktu yang tepat. Malam yang tenang, sangat cocok untuk menghabisi dua insan tak tahu diri yang telah berani meminta hak asuh anakku. Ranti telah kuhubungi dan bersedia membantu aku untuk mengemas mayat Mas Randi dan wanita simpanannya setelah kuhabisi malam ini. Racun tikus sudah ditabur dan diaduk rata bersama spaghetti isi jamur dan sapi cincang. Kusamarkan dengan lada hitam. Menu favorit Mas Randi.

Detak jantungku memburu sambil mataku tak lepas dari jam dinding hadiah perkawinanku dulu. Makin dekat dengan waktu yang telah disetujui, jantungku berdetak makin pelan. Tenang. Tak lama lagi semua ini akan berakhir bahagia. Penantianku yang panjang segera usai.

Bel rumah berbunyi tiga kali. Mas Randi tiba tepat waktu. Aku bergegas merapikan gaun sederhana berbahan sutra yang kubeli bersama Ranti. Senyum manisku menjemput calon-mantan-suamiku di pintu. Senyumku bahkan bertahan ketika aku menatap wajah perempuan itu. Tak ada lagi rasa kesal, tak juga rasa marah atau cemburu. Mungkin karena hatiku tak lagi pada Mas Randi. Segera kuajak mereka masuk dan duduk di meja makan. Perempuan itu tampak canggung seolah tak percaya aku akan semanis ini mempersilahkan dia masuk ke rumah. Seharusnya insting perempuan tak semudah itu percaya. Mungkin juga rayuan Mas Randi telah mematikan alarm radar perempuan ini.

Perkenalan singkat, senyum palsu dan jedah singkat sebelum makan malam kusajikan. Seperti yang telah kuduga, Mas Randi segera mengambil spaghetti dalam porsi besar ke dalam piringnya, wajahnya merona ketika sadar aku melihat kerakusannya itu. Segera ia mengambilkan porsi yang tak kalah banyaknya ke piring calon istri barunya. Ada sedikit percikan api dalam diriku, tapi segera kusadarkan diri bahwa yang dituang ke dalam piring perempuan itu adalah racun. Seharusnya aku senang dan puas.

Keduanya makan dengan lahap. Aku menatap jijik pada bibir mereka yang terus melahap sajian terakhir mereka. Saus spaghetti menempel di bibir mereka, saus kental berwarna putih yang tidak sepenuhnya putih dengan sentuhan bintik-bintik lada hitam. Aku tiba-tiba mual melihat mereka yang sedang lahap. Tiba-tiba mereka menatapku dan bertanya dengan wajah polos, kenapa aku tidak menyentuh makan malamnya. Aku beralasan sedang mual karena kehamilanku. Mas Randi mengerti, dan tak lama kemudian mereka menyelesaikan makan malam lalu pamit pulang. Aku bertanya-tanya dalam hati. Berapa lama waktu yang dibutuhkan racun itu untuk bereaksi.

Aku naik ke kamar, menyalakan keran air hangat ke dalam bak. Aku berjalan ke depan cermin di depan ranjang. Orang bilang, pantang meletakkan cermin tepat di hadapan ranjang karena berakibat ketidak-harmonisan dalam rumah tangga. Aku percaya itu. Tak penting juga untuk mengubahnya. Kemenanganku sudah di depan mata. Aku melepas pakaianku perlahan, menikmati setiap gesekan di kulitku. Aku telanjang bulat dan berjalan masuk ke kamar mandi. Mematikan keran, lalu menyentuh permukaan air di bak dengan telunjukku. Seolah aku sedang menunjuk pantulan wajahku di permukaan air. Telunjukku menusuk masuk ke dalam permukaan air, lalu permukaan itu menelan hampir seluruh pergelanganku. Hangatnya sesuai dengan yang kuharap. Aku pun mencelupkan setengah tubuhku ke dalam bak. Lalu merendam seluruh tubuhku. Menahan nafas selama yang ku bisa, sambil memejamkan mata. Seketika itu dalam benakku muncul wajah Ranti, kekasihku. Andai ia bisa hadir semudah dan secepat aku membayangkannya.

Tiba-tiba aku teringat janji Ranti yang bersedia membantu aku mengurus mayat Mas Randi dan perempuan itu. Segera kusudahi nikmatnya berendam air hangat, mengeringkan tubuhku dan mengambil ponsel untuk menghubungi Ranti. Aku mencari-cari namanya dalam daftar kontak. Ranti... Ranti... aneh, kenapa tak ada nama itu dalam kontak nama. Aku menelusuri dari awal hingga akhir, tak juga kutemukan inisial yang menyerupai namanya. Mungkinkah aku tak sengaja menghapusnya dari daftar kontak nama di ponsel ? Tak mungkin juga, karena aku selalu berhati-hati kalau menyangkut perkara Ranti. Aku cek pesan-pesan singkat terakhir darinya, tak ada juga. Aku mulai gugup. Mungkinkah Mas Randi telah mengetahui perselingkuhanku dengan Ranti ? Celaka...

Aku tak bisa tidur, berharap Ranti akan menghubungiku. Tapi penantianku sia-sia. Tak ada yang menghubungi ponsel maupun telepon rumah. Mataku tak sanggup terpejam lebih dari sepuluh menit. Jantungku berdebar-debar. Berulang kali aku bangun dari tempat tidur, mengintip ke luar jendela berharap akan ada Ranti di bawah sana yang menunggu kehadiranku. Tapi halaman rumah terlihat kosong. Tak ada siapa pun di bawah sana. Ada apa dengan Ranti. Mungkinkah Mas Randi telah menghubungi dan melarangnya untuk mendekatiku ? Tapi Mas Randi sama sekali tak menunjukkan emosi semacam itu saat makan malam tadi, seolah ia tak tahu apa pun. Bahkan aku tak melihat setitik pun kecemburuan di matanya. Apa mungkin Ranti melupakan janjinya padaku ? Seharusnya ia muncul malam ini untuk membantu aku. Kemana kamu, Ranti. Aku lebih mengkhawatirkanmu daripada racun tikus yang belum bereaksi di tubuh Mas Randi dan perempuan itu.

Tak terasa, siang sudah menjelang seperti wanita jalang yang tak tahu kapan waktunya ia boleh datang. Belum ada juga tanda-tanda kehadiran Ranti di rumah ini. Rasa cemas ini mulai bermutasi menjadi benci. Aku menyibukkan pikiranku dengan membayangkan proses mutasi dari cemas menjadi benci, kubayangkan cemas itu berwujud kelinci putih yang cantik dengan kedua mata merahnya yang sayu. Perlahan punggung kelinci itu mulai bergetar hebat. Tiba-tiba tulang punggungnya mencuat keluar, mengucurkan darah kemana-mana. Tulang punggungnya berubah menjadi duri tajam yang disusul suara remuk di bagian kaki dan tangannya, lalu bagian kepalanya. Kelinci putih kini menjadi seonggok daging terkoyak-koyak dengan isi perut terburai dan darah segar mewarnai bulu putihnya. Aku tersadar dari lamunan mengerikan itu, berlari ke kamar mandi dan memuntahkan isi perutku. Saat aku berbalik, aku melihat Ranti. Dalam cermin.

***

Sirine ambulance berbunyi nyaring, dikemudikan dengan terburu-buru sebagaimana seharusnya dan biasanya mobil ambulance itu meluncur di jalanan. Pengemudinya seorang pemuda akhir dua puluhan. Dari rumah sakit hingga tempat menjemput korban, ia hanya melambat ketika jaraknya hanya beberapa ratus meter dari tempat kejadian perkara. Di depannya sudah ada beberapa mobil polisi. Tampaknya mobil-mobil polisi itu kosong karena manusia-manusianya berjejer rapi mengelilingi sebuah mobil sedan mewah yang tampaknya menerjang pembatas jalan hingga terperosok dan menabrak sebatang pohon perkasa. Ada dua orang. Bukan, ada tiga orang polisi yang terlihat merapikan diri di belakang teman-temannya sambil berbisik. Mungkin mempersiapkan diri untuk wawancara dengan reporter TV. Seorang polisi tampak melangkah ke pohon yang agak jauh dari mobil ringsek itu dan muntah.

Seketika ambulance berhenti, beberapa orang petugas dari rumah sakit bergegas mengeluarkan tandu dan kotak P3K. Walaupun telah dilaporkan bahwa tak ada korban selamat dalam kecelakaan itu. Tapi tak ada salahnya menaruh sedikit harap demi rasa kemanusiaan. Petugas-petugas itu bagai prajurit surgawi yang datang untuk menyelamatkan manusia. Prajurit yang bekerja dengan jiwa satria, bukan demi uang semata. Setidaknya mereka masih lebih manusiawi dibanding polisi yang asik bersolek tadi.

Korbannya sepasang manusia. Tampaknya kecelakaan terjadi sejak malam hari, dan baru ketahuan dini hari. Seorang pengendara yang kebetulan lewat melaporkan kecelakaan tersebut. Yang pria kepalanya pecah terhantam setir, wanitanya terlihat pucat dengan darah mengalir dari bibirnya yang membiru. Keracunan. Sekali lihat dan petugas itu mengenali dengan pasti tanda-tandanya. Tapi semua harus melalui proses visum sebelum dinyatakan sebagai fakta. Dalam waktu dua jam, kedua korban berhasil dievakuasi. Kondisinya mengenaskan. Polisi menemukan dompet korban dan segera meluncur ke alamat si korban pria, sedangkan polisi lainnya meluncur ke alamat korban wanita. Dijamin, tak ada satu pun dari keluarga korban yang tak akan kaget menerima kabar mengenaskan di pagi buta.

***

Aku membatin. Apa-apaan ini. Ranti berada di hadapanku, di dalam cermin. Tidak, itu bukan Ranti. Itu aku yang berwujud Ranti. Aku menggaruk-garuk wajahku dengan cemas. Ada apa ini sebenarnya. Aku ketakutan, gemetaran, dan pucat. Segera aku berlari turun. Di bawah, di ruang tamu, pembantuku sedang duduk bersama seorang polisi. Aku tak sempat menanyakan apakah wajahku telah berubah menjadi Ranti pada pembantuku. Aku melihat air mata di wajah renta perempuan tua itu. Aku teringat racun tikus. Polisi segera menyampaikan berita duka padaku. Berita kecelakaan maut yang menewaskan suamiku dan wanita keparat itu. Aku membatin, setidaknya aku tak perlu repot membuang mayat mereka berdua.

Polisi itu pamit pulang karena masih akan mengurus berkas-berkas dan kasus lainnya. Aku segera bertanya pada pembantuku itu, apakah ada yang aneh dengan wajahku. Ia mengernyitkan alis dan menggeleng-geleng pasrah. Aku diam lalu terduduk lemas. Perempuan tua itu mengira aku lemas karena memikirkan nasib suamiku. Duniaku kini ambruk meremukkan jiwa dan ragaku.




Sabtu, 04 Februari 2012

Semuanya Demi Kamu . . .

Aku anak Ibuku satu-satunya. Kalau orang bilang, anak laki-laki pertama biasanya kesayangan keluarga. Tapi nasibku beda. Aku anak laki-laki pertama dari istri muda Ayah.

Umurku beda dua hari dengan kakak tiri-ku yang merupakan anak laki-laki pertama di keluarga ini. Beda dua hari ini menjadi kutukan tersendiri buatku, dan juga Ibuku. Seandainya aku lahir dua hari lebih awal, tentu Ibu akan menjadi istri kesayangan Ayah. Tak lagi dihina dan dicampakkan seperti sekarang ini. Menjadi istri muda bukanlah pilihan mudah, karena harus memakan pahitnya perlakuan sinis dari mertua ditambah kebencian istri tua. Tapi buatku yang masih kecil ini, kepahitan itu berupa tangisan Ibuku di saat malam tiba. Ketika ia menyanyikan lagu pengantar tidur buatku sambil menitikkan air mata.

Satu-satunya hiburan Ibu di rumah nan megah ini adalah taman mawar kesayangan Ibu. Letak rumah Ibu dengan istri tua Ayah bersebelahan, hanya dibatasi setengah tembok bata. Letak rumah Ibu mertua ada di sebelah rumah istri tua. Ayah termasuk suami yang cukup adil berbagi harta, rumah kedua istrinya masing-masing diberi satu taman dan satu kolam, agar tidak ada kesan pilih kasih. Tapi di zaman ini, wanita dengan status istri muda selalu merupakan siksaan tersendiri. Ibu rela menyandangnya atas dasar cinta. Ayah pun tak berlaku kejam pada Ibu, hanya pihak mertua Ibu saja yang kelakuannya tidak menyenangkan. Setiap kali Ayah berangkat berdagang ke luar kota, Nenek ku akan menghampiri rumah kami dan menyuruh Ibu belanja ke pasar, membersihkan lantai, mencuci piring kotor, dan mencuci pakaian Ibu tiriku. Padahal di rumah ini ada banyak pembantu di masing-masing rumah. Ayahku termasuk saudagar kaya raya di kota kami, tapi kelakuan Nenekku sama sekali tidak mencerminkan sifat orang terpelajar. Tak heran, wanita di zaman ini memang jarang yang berpendidikan tinggi. Ibu termasuk beruntung karena terlahir di keluarga bangsawan. Ayah dan Ibu bertemu ketika Ayah berdagang ke luar kota dan menginap di rumah seorang saudagar bangsawan kenalan Ayah. Ibu adalah putri dari bangsawan itu. Aku sendiri lupa apa nama kota asal Ibu, tapi Ibu selalu bercerita bahwa kota tersebut sangat indah, letaknya jauh dari sini, dan kehidupan di sana jauh berbeda dengan keadaan di sini. Ibu selalu bercerita bahwa ia ingin pulang ke kampung halamannya suatu saat nanti, bersama Ayah dan aku.

Di rumah megah ini, teman bermainku adalah Ibu dan kakak tiri-ku. Usia kami yang hanya beda dua hari menjadikan kami teman bermain yang seumuran. Tentunya kami bermain tanpa sepengetahuan Ibu tiri-ku. Sebenarnya tidak menjadi masalah kalau ketahuan kami bermain bersama, selama tidak ada Ibu di sampingku. Permainan pun menjadi tidak seru karena aku selalu harus mengalah pada kakakku. Makanya kami pun lebih senang bermain bersama pelayan-pelayan rumah. Kehidupan aku dan Ibuku di rumah ini berlangsung seperti ini silih berganti. Bahagia ketika Ayah ada di rumah, dan tersiksa ketika Ayah pergi berdagang ke luar kota. Suatu hari, Nenek mengusir Ibu dari rumah hanya karena Ibu tak sengaja memecahkan salah satu periuk nasi  kesayangan Nenek . Semenjak itu aku sangat membenci Nenek. Bahkan manisan pemberian Nenek tak lagi kumakan melainkan kubuang ke tempat sampah. Ibu memarahi aku karena perbuatanku itu. Tapi rasa benciku pada Nenek terlampau dalam. Tak lama kemudian Ibu tiri-ku memarahi Ibu hanya karena warna pakaian dalamnya pudar. Pakaian dalam yang seharusnya kalau ia cukup tahu malu, tak akan diperlihatkan pada Ibu, apalagi meminta Ibu untuk mencucikannya. Aku melihat kejadiannya dari balik pintu. Sepertinya Ibu tiri-ku sadar ada yang memperhatikan, sehingga ia buru-buru menyudahi caciannya di hadapan Ibu. Mungkin ia takut aku mengadu pada Ayah. Ibu selalu melarangku mengadu pada siapa pun. Akan semakin parah, kata Ibu. Kami harus bisa menerima perlakuan buruk di rumah ini, dan berusaha menikmati bahagia sebanyak-banyaknya ketika Ayah ada. 

Tiga minggu sebelum imlek, Ayah pergi berdagang ke kota sebelah dan baru akan kembali dua minggu kemudian. Aku melihat Ibu sedang menjalankan rutinitas selama Ayah pergi. Aku melihat Ibu sedang menimba air dari sumur di belakang rumah. Padahal, langit mendung dan udara terasa dingin. Saat aku mendekat, tangan ibu terlihat merah. Ibu menyuruh aku masuk ke dalam rumah agar tidak masuk angin. Aku menangis di dalam kamar, membayangkan Ibu diperlakukan seperti pembantu. Sungguh tidak adil. Aku berharap lahir lebih awal sehingga kehidupan Ibu akan menjadi lebih mudah di rumah ini. Aku terus mengintip Ibu menyelesaikan pekerjaannya dari jendela kamar. Berharap pekerjaannya cepat selesai dan Ibu bisa bergabung bersamaku dalam hangatnya kamar ini.

Tengah malam, pintu rumah digedor oleh pelayan Ibu tiri-ku. Terdengar begitu panik. Aku melihat bayangan api obor di jendela. Ibu menyuruhku kembali tidur, tapi aku mengintip dari balik pintu kamar. Saat Ibu membuka pintu rumah, pelayan Ibu tiri-ku mengatakan sesuatu yang kurang jelas, karena nafasnya terengah-engah. Sesuatu yang sangat serius sepertinya. Tak lama berselang, beberapa pelayan datang menyeret Ibu keluar rumah. Aku mengikutinya diam-diam dari belakang. Ibu diseret ke rumah Ibu tiri-ku. Aku melihat wajah Ibu begitu pucat. Sepertinya ia tidak tahu apa yang sedang terjadi, sedangkan wajah Ibu tiri-ku begitu mengerikan. Marah, dengan mata merah bengkak seperti usai mengeluarkan tetes air mata terakhirnya hingga lecet. Duduk di kanannya adalah Nenekku yang tak kalah garang. Matanya membelalak seperti mata anjing yang sedang marah dan siap menerkam siapa saja. Semua pelayan tertunduk ketakutan. Ibu gemetaran bertanya ada apa sebenarnya.

"Bu, ada apa ini ?" Bibir Ibu terlihat gemetar ketakutan. Wajahnya pucat pasi.
"Kamu benar-benar tidak tahu ? atau kamu sengaja pura-pura tidak tahu ?" Ibu tiri-ku menggeram.

"Kak, saya sungguh-sungguh tidak tahu. Ada apa ini ? Apakah A-Lung berbuat nakal ?" Ibu memelas. Mungkin ia mengira aku telah berbuat salah di rumah ini.
"Bukan. Ini bukan tentang anakmu. Ini tentang A-Hong anakku." Ibu tiri-ku kembali menggeram, tapi kali ini suaranya lebih pelan tapi dengan nada yang mengerikan.

"Kamu sungguh tidak tahu apa yang terjadi ?" Nenekku bertanya menyelidik.
"Bu, saya sungguh tidak tahu, ada apa sebenarnya ?" Ibu berkaca-kaca menahan air mata.

"A-Hong, anak kakakmu tadi sore ditemukan tenggelam di sumur belakang rumah." Nenek mengucapkannya dengan nada dingin.
Semuanya terdiam. Ibu kaget dengan mulut terbuka tanpa kata-kata. Ia tahu, hari-harinya di rumah ini telah berakhir. Walau pun ia tak merasa melakukan sesuatu yang menyebabkan nyawa kakak tiri-ku berakhir di dalam sumur. Ibu tiri-ku berdiri dari duduknya, berjalan pelan ke hadapan Ibuku, kemudian menampar pipi Ibu hingga keduanya jatuh ke lantai. Setelah itu, Ibu tiri-ku menangis histeris. Malam itu, semuanya berubah seketika.

***

Sebelas tahun berselang, kehidupan kami di rumah ini berubah total. Sejak malam kejadian meninggalnya kakak tiri-ku, aku menjadi pewaris utama di rumah ini. Nenek menjadi sangat perhatian padaku. Ibu tiri-ku menjadi tidak waras, selalu dikunci di rumah kami, sedangkan kami sekeluarga dipindahkan ke rumah utama. Ayah pun tak lagi mengunjungi Ibu tiri-ku. Sungguh kasihan melihat keadaannya sekarang, tapi mengingat apa yang dulu ia lakukan pada Ibu, aku memilih untuk memalingkan muka, menganggap ia tak pernah ada di rumah ini. Peristiwa jatuhnya A-Hong ke sumur juga sudah lama tidak diperbincangkan. Banyak pelayan rumah yang berbisik-bisik menuduh Ibu sebagai pelakunya. Sebagian dari pelayan itu telah diusir oleh Nenek ketika ketahuan olehnya. Sisanya memilih diam dan melupakan peristiwa paling memilukan di rumah ini. Saat ini umurku delapan belas tahun. Cukup besar untuk mulai belajar berdagang bersama Ayah. Bulan depan adalah pertama kalinya aku pergi berdagang ke luar kota bersama Ayah. Ibu sangat senang melihat kedekatanku dengan Ayah. Saat ini Ibu tengah mengandung anak ketiga. Adik pertamaku saat ini berumur delapan tahun. Cucu kesayangan Nenek, setelah aku tentunya. Andai kami sebahagia ini sejak awal. 

Perjalanan bisnis dengan Ayah berlangsung menyenangkan. Untuk pertama kalinya aku merasa dewasa. Ayah membawaku ke beberapa tempat hiburan, melihat wanita-wanita cantik menari dan bernyanyi. Dunia yang baru pertama kali aku masuki. Ayah tampak sangat bangga memperkenalkanku pada rekan-rekannya. Aku pun bangga bisa membuat Ayah sebahagia itu. Dalam hati, aku masih teringat Ibu. Seandainya Ibu bisa ada di sini saat ini, tentu kebahgiaan ini akan berlipat ganda rasanya. Tapi aku tahu, itu tak mungkin. Perjalanan bisnis bukanlah urusan wanita. Sekarang aku sudah dewasa, dan sudah saatnya memasuki dunia laki-laki yang jauh dari orang tua. Tentu saja, kecuali di rumah.


Pulang dari perjalanan bisnis, Ayah membangga-banggakan aku di depan Ibu dan Nenek saat sedang makan malam bersama. Kami semua begitu bahagia. Satu malam yang luar biasa dalam hidupku. Aku merasa begitu sempurna. TIba-tiba mataku tertuju pada lubang sumur yang terlihat dari jendela. Kursi tempatku duduk tepat berhadapan dengan sumur itu. Aku melihat ada anak kecil basah kuyup, tidak jelas wajahnya, berdiri di belakang sumur. Ketika aku mengedipkan mata, bayangan itu hilang seketika. Jantungku berdegup kencang, tanpa ada seorang pun yang tahu. Makan malam kami berlanjut hingga akhir tanpa ada seorang pun yang menyadari apa yang aku lihat tadi. Penglihatan yang sama berulang beberapa kali dalam satu tahun sejak pertama kali aku melihat sosok a-Hong di dekat sumur. Aku merasa takut untuk terlalu dekat dengan sumur di belakang rumah.  


Berselang dua tahun, Nenek jatuh sakit. Ayah yang sedang bertugas di luar kota telah dikabari dan akan segera pulang. Tampaknya kali ini Nenek tak akan bertahan lama. Wajahnya begitu pucat, nafasnya tersengal, dan kadang mengigau. Beberapa kali aku menjaganya di samping tempat tidur dan mendengar Nenek menyebut a-Hong. Awalnya aku mengira Nenek sedang merindukan kakak tiri-ku itu. Tapi sepertinya aku salah. Nenek-ku menangis setelah menyebut nama a-Hong.


Setelah lelah duduk seharian di kamar menjaga Nenek, aku berjalan keluar dari kamar itu. Entah kenapa aku seperti ditarik ke dekat sumur. Ya, sumur yang sama yang telah menelan kakak tiri-ku. Aku seperti mendengar suaranya. Suara kakakku. Merintih, menangis, memohon.


"a-Lung... a-Lung... tolong..."


Aku merinding mendengar suara itu. Bahkan ketika aku menutup kedua telingaku, suara a-Hong masih terdengar jelas seperti dibisikkan tepat di samping telingaku.


"a-Lung... aku butuh bantuanmu. Tanyakan Nenek kenapa... kenapa..."


Seketika itu aku melihat sekelebat gambar bergerak, sebuah adegan. Mataku terbelalak, kedua lututku lemas dan aku tersungkur ke tanah. Aku menangis sendirian di depan sumur belakang rumah.


Aku kembali ke dalam kamar Nenek dan menutup pintu. Sepertinya Nenek telah bangun. Aku melihatnya bergerak dan mengubah posisinya. Sekarang ia terduduk di ranjang. Ada bekas air mata di kantung matanya. Aku segera mengambil kursi dan duduk di samping ranjang Nenek.


"Nek, aku ingin tanya. Aku tak tahu apakah ini waktu yang tepat, tapi seseorang perlu tahu jawabannya segera. Atau ia tidak akan tenang selamanya."


Nenek menatapku dengan aneh. Tak lama, ia tertunduk dan mulai bercerita dengan suara serak dan lemah.


"A-Lung... Kau tahu, a-Hong dari dulu adalah cucu kesayanganku. Tak perlu kuberitahu pun kamu dan Ibumu sudah tahu." ia terdiam sejenak. Matanya kembali berkaca-kaca.


"Malam itu, setelah aku perintahkan Ibumu untuk mencuci, aku menyiapkan makan malam yang telah kutabur racun untuk kamu dan Ibumu. Tapi a-Hong melihatnya. Aku minta agar dia tutup mulut, tapi anak itu tak mau. Cucu kesayanganku membantah dan mengancam akan melaporkan itu ke Ayahmu. Aku tak pernah menerima kehadiran kalian di rumah ini, tapi anakku... Anakku begitu mencintai Ibumu. A-Lung, aku sungguh berdosa." Kali ini air mata tak terbendung dan Nenek menangis tersedu-sedu.


Aku mengambilkan sapu tangan di lemari Nenek dan menuangkan secangkir teh untuknya. Hatiku tertusuk pilu, tapi aku perlu tahu selengkapnya apa yang terjadi malam itu. Aku pun meminta Nenek melanjutkan ceritanya.


"Malam itu, aku terpaksa mengikat a-hong di kamar ini, memasukkannya ke bawah ranjang dan membekap mulutnya agar tidak bercerita pada siapapun. Niatku hanya ingin memberi pelajaran padanya. Tapi karena Ibunya datang mencari, aku terpaksa menghibur Ibunya, hingga aku lupa waktu. Ketika Ibunya kembali ke rumah utama, aku melihat a-Hong telah membiru. Ia mati kehabisan nafas. Sungguh, bukan niatku untuk mencelakai cucu kesayanganku sendiri. Sungguh..." Nenek terisak-isak sambil meniupkan ingusnya ke dalam sapu tangan.


"Aku membatalkan niatku meracuni kalian, karena hanya kamu penerus keluarga ini setelah a-Hong tiada. Malam itu, hatiku mati bersama dengan nafas terakhir a-Hong. Setelah makan malam, aku menyeret tubuh a-Hong dan melemparnya ke dalam sumur. Selesai menghapus jejaknya, aku memanggil pelayan dan bertanya kemana a-Hong. Tentu saja, tak ada yang tahu. Setelah mencari ke seluruh bagian rumah, a-Hong ditemukan di dalam sumur belakang rumah. Tak ada yang tahu cerita ini sampai sekarang, a-Lung. Kamu orang pertama yang mengetahuinya."


"Kenapa Nenek tega berniat meracuni aku dan Ibuku ? Apa salah kami ?" Aku tak tahan menatap wanita renta itu berlama-lama. Aku memalingkan muka dan menyeruput cangkir teh di tanganku.


"Maafkan aku a-Lung. Maafkan aku. Walaupun sudah terlambat untuk semuanya. Ketika itu aku berpikir, itu adalah jalan terbaik. Agar Ibumu dan Ibu a-Hong tak perlu saling cemburu. Keluarga ini hanya butuh satu penerus. Saat itu aku memilih a-Hong." Nenek terdiam setelah menyebut nama kakakku.


Aku terdiam, menitikkan air mata, dan bergegas meninggalkan wanita renta itu sendirian. Aku berjalan melewati sumur tempat jasad kakakku dibuang. Sekilas, dari sudut mataku aku melihat sosok anak kecil tersenyum padaku. Ketika berpaling ke arahnya, sosok itu menghilang. Tapi aku tak merasakan takut. Aku tahu, itu arwah kakakku.


Satu minggu setelahnya, Ayah pulang. Keesokan harinya Nenek menghembuskan nafas terakhir di atas tempat tidur. Wajahnya tersenyum. Tangannya seperti menggenggam sesuatu. Mungkin a-Hong datang menjemputnya. Mungkin kakakku telah memaafkan perbuatannya.


Tak lama setelah kematian Nenek, sumur di belakang rumah mengering. Setelah dikerok, kami menemukan sebuah peti kecil dan terkejut melihat isinya. Sepucuk surat dan beberapa batu pemberat. Surat itu menceritakan semuanya dengan detail. Tulisan tangan Nenek. Ia berkata bahwa semuanya itu dilakukan demi Ayah. Semua itu demi anaknya yang tunggal agar keluarga besar ini bisa harmonis, walau harus mengorbankan aku dan Ibuku. Aku tak pernah menyangka bahwa perempuan bisa berlaku sekejam itu, membenarkan perbuatan keji demi kebahagiaan. Apakah kebahagiaan harus datang dari matinya kebahagiaan lainnya ? Bagaimana mungkin kebahagiaan bisa datang dari karma buruk manusia ? Aku tak pernah menemukan jawaban pembenaran dari pertanyaanku. Nenekku telah bersalah, tapi aku tak pernah membencinya.


Ayahku merasa bahwa tragedi itu sebagian besar adalah kesalahannya. Demi membayar karma Nenek, ia memutuskan untuk menghabiskan hidupnya di vihara menjadi seorang bhiksu. Aku menjadi kepala keluarga menggantikan posisi Ayah, dan aku bersumpah bahwa aku tak akan pernah mengulang tragedi yang sama di rumah ini. Sumur di belakang rumah telah ditimbun dan di atasnya ditanam sebatang pohon bunga untuk mengenang kakakku. Kehidupan di rumah ini berlangsung seperti biasa, tak ada lagi yang membahas masa lalu. Semua begitu biasa, walau dalam hati kami tersimpan pahitnya tragedi masa lalu.