Senin, 21 Mei 2012

Sebuah Hati

Berapa banyak hati di dunia ini

Yang berani jujur berbicara

Berani menantang siapa saja

Yang berusaha meredam suaranya

Sebuah hati yang tegar bertahan

Kokoh berdiri dan berkobar dalam terjangan badai



Bahkan ketika hatiku terbuka

Melayang bebas di angkasa

Bahkan ketika suaranya menggema

Mengisi kosong di lembah

Sebuah hati yang lara

Tak akan mampu bertahan lama

Pulang

Deburan itu terus menggulung

Berlari dan memanggilku pulang

Tapi aku butuh kebebasan

Karena itulah aku terbang

Terus menjauh dari keramaian

Goresan Luka

Menggores...

Tanganku enggan berhenti menggores

Pensil menggores kertas

Tapi pensil tak melukai kertas



Tak semua goresan meninggalkan luka

Tapi goresan kehadiranmu

Membuat luka menganga yang dalam

Kenapa kau memilih jadi goresan yang luka

Pagiku Buta

Tepian langit masih merah bata
Suara Azan mengiringi pagi yang semakin dekat
Rasa sepi ini terus menghantuiku
Tak ada kesempatan bagiku untuk mengistirahatkan tubuh walau sejenak
Pikiranku dipenuhi berbagai cara
Bagaimana aku harus lakukan demi hilangnya rasa sepi
Bukan dengan cara yang akan membuatku menyesalinya beberapa saat kemudian
Bukan juga meneruskan diam yang membuatku perlahan gila
Aku butuh jalan cepat

Pada akhirnya aku kembali menyerah pada air mata
Obat mujarab yang mampu menghanyutkan sebagian luka
Walau aku tak anggap ini jawabannya
Aku berharap pagiku hari ini buta
Aku tak ingin ia melihatku berlinang air mata

Matinya Rasa

Mana bisa hati ini bersuara

Saat semua berhenti seketika

Trauma ini membuatnya bisu

Tuli dari suara-suara

Penjajah Cinta

Hatimu tak lagi utuh

Sekerat cintamu direnggut dariku

Dan kau pasrah atas penjajahan itu

Diam mu membunuh perasaanku

Lebih baik aku pergi

Biarkan jasadmu mengabdi pada kompeni

Orang yang kini kau sebut kekasih

Manusia yang berhasil merebut cintamu

Pengorbanan

Bila marah sampaikan padaku

Bila benci lampiaskan padaku

Bila bosan katakan padaku

Biar semua tak jadi penghalau

Biar hatiku tetap melekat hatimu

Boleh kau sampaikan padaku

Bukan tinggalkan aku

 

Aku Tak Mencegahnya

Hitam itu datang padaku
Berbisik manja penuh goda
Menggedor dinding kalbu
Bentengku retak di depan mata
Tanpa bisa kucegah

Asa Sebuah penantian

Hari yang biasa
Seperti hari sebelumnya
Dan, buaian asa menghampiri lewat jendela
Samar aroma rumput
Suara gemericik air yang riak gembira
Penantian ini, terus memaksaku gila
Rasanya ia tak akan berhenti sebelum aku gila
Bukankah penantian ini telah usai masa-nya ?
Kenapa ia masih lagak berkuasa ?
Sementara sedihku ini
tak lagi mampu bersuara


Aku bahagia, tapi bahagia ini tak akan sama

Minggu, 06 Mei 2012

Something Magic About this Mushroom

Pengalaman ini berdasarkan kisah nyata, petualanganku di Bali bersama beberapa teman seperjalanan. Tepatnya kami berempat, dengan satu rombongan lagi yang pisah tempat. Sebuah pengalaman yang tak terlupakan.


Bali, pulau dewata. Tempat yang dari dulu selalu mengisi tanya dalam benakku. Ini kedua-kalinya aku menjejakkan langkahku ke pulau Bali. Tapi rasanya seperti baru pertama kalinya. Perjalanan ini telah direncanakan jauh-jauh hari bersama teman-teman seperjalananku. Sebut saja Pefil, Bella, dan Nina (Nama samaran tentu saja, dan mereka cowok semua). Singkat cerita, setelah melalui kesepakatan rumit akhirnya jadwal perjalanan kami jatuh pada tanggal 4 April 2012 - 8 April 2012 dari Jakarta-Bali-Jakarta. Ini pertama kalinya aku menggunakan transportasi udara. Pengalaman pertama yang penuh kenangan tentunya. Sehari sebelum keberangkatan, aku mendapat surprise paling menyakitkan dari pacarku. Kami break. Yang aku tak habis pikir, kenapa hebat sekali dia memilih hari, ketika seharusnya aku menikmati perjalanan ini dengan gembira. Tapi memang tak akan sama tanpa dirinya ikut dalam perjalanan ini. Yang jelas, aku benar-benar kecewa. Dengan membawa sebongkah beban rasa di dalam hati, aku berangkat liburan ke Bali. Berharap perjalanan ini akan membawa suasana baru untukku.  

Dengan perasaan campur aduk, aku menikmati penerbangan pertamaku. Singkat sekali, dan aku sempat tertidur dalam perjalanan yang tak sampai dua jam itu karena malam sebelumnya aku tak sempat tidur memikirkan hubunganku yang baru kembali single. Rasanya sesak, ingin menangis tapi tak bisa. Tak lama kami pun tiba di bandara Ngura Rai Bali. Pefil menjemput kami dengan tingkah khas-nya, centil dan hangat. Tak lupa, ia telah menyiapkan sarung pantai untuk kami berempat, sama persis, dengan gambar tokek dan nuansa warna hitam-biru keunguan (Inilah asal mula munculnya Ordo Tokexz). Dari bandara kami langsung melesat mencari makan malam sebelum ke hotel untuk beristirahat.

Hari pertama Pefil tak ikut dalam petualangan kami karena masih harus kerja. Kami menghabiskan waktu berputar sekitaran Pasar Burung, Ubud, dan aku lupa kemana lagi tepatnya. Kami bertiga sibuk berpose sambil bercanda. Waktu berlalu dengan cepatnya. Aku hampir lupa dengan perasaanku yang sedang luka.

Hari-hari berikutnya kami bersenang-senang bersama, hingga malam tanggal 6 April 2012, tepatnya di sekitaran pantai Kuta (hotel kedua tempat kami menginap), aku mendapat pengalaman luar biasa dengan Magic Mushroom yang dibawa oleh Pefil dan Nina. Awalnya aku dan Bella berpikir ini hanya jamur goreng biasa. Kami makan sambil bermain permainan kartu. Tak lama, Bella mulai tertawa, tapi tawanya agak aneh. Hampir seperti orang mabuk, tapi masih sadar. Saat itu aku masih sadar, belum merasakan reaksi apa-apa, jadi aku lanjutkan makan. Setelah satu kotak (seukuran tupperware untuk simpan cookies) telah habis, kami berempat mulai merasakan reaksinya. Aku ikut tertawa melihat apapun yang mereka lakukan. Tapi aku masih sadar dan terkendali. Karena sudah malam, Pefil dan Nina pamit pulang. Saat itulah, aku mulai tak terkendali. Saat aku memejamkan mata, yang terlihat seperti kaleidoskop (sebelumnya Pefil sempat bertanya apa aku melihat sesuatu yang aneh, dan sekarang aku mengerti apa maksudnya). Pecahan-pecahan kaca penuh warna itu terus berputar. Aku pun memiringkan tubuh ke arah tembok, tidur dengan posisi miring ke kanan membelakangi mereka. Tiba-tiba pecahan kaca penuh warna itu berubah warna menjadi abu-abu, dan aku menangis lepas. Aku merasa seperti ada sesuatu yang salah, takut, kesepian, dan rasa sakit yang selama ini kutahan berusaha untuk keluar. Pefil, Nina, dan Bella kaget melihat reaksiku. Aku pun tak bisa mengendalikannya. Saat aku mendengar suara mereka, aku masih tak bisa fokuskan pandangan, semua terlihat abu-abu. Aku ingat Pefil menyuruhku untuk kuatkan diri, dan meminta aku untuk tidur. Aku menjawab iya, dan masih sempat tertawa-tawa setelah menangis tadi. Saat itu aku merasa seharusnya aku menangis lebih lama lagi agar beban ini keluar semuanya.

Aku mulai kehilangna kesadaranku, dan saat itu posisiku masih tertidur membelakangi mereka. Pefil dan Nina beranjak pulang ke tempat mereka (saat itu mereka membawa mobil). Dalam pikiranku, astaga... aku saja seperti ini, bagaimana mereka bisa mengendarai mobil sampai tujuan. Aku harus cegah. Aku pun berusaha bangun dari tempat tidur, merebut kunci kamar dan melarang mereka pulang. Aku khawatir mereka dalam kondisi tidak sadar dan mungkin akan terjadi sesuatu bila mereka benar-benar pulang dalam keadaan seperti ini. Tapi Pefil dan Nina meyakinkan aku kalau mereka baik-baik saja dan mereka masih terkendali. Aku terus meyakinkan diri kalau aku harus mencegah mereka pulang, tapi aku tak bisa. Aku bahkan mulai kesulitan untuk berpikir. Saat mereka keluar dari kamar, aku masih sempat ke kamar mandi untuk buang air kecil. Setelah itu, semua menjadi semakin kelam.

Setelah aku kembali ke ranjang dengan posisi yang sama, aku meringkuk. Sangat ketakutan. Dalam hati aku terus meminta tolong. Aku teringat rombonganku yang lain, ada Chen (kakakku), Yolla, Om, dan Cel. Aku terus menjerit dalam batinku, "Chen... Yolla... tolong. Stop mereka... mereka bisa mati. Tolong..." tapi aku tak bisa apa-apa. Aku berpikir untuk telepon kakakku, tapi aku bingung sekarang aku di mana. Bahkan aku sempat membatin minta tolong pada Iko sahabatku yang saat itu berada di Jakarta. Aku terus memohon dalam hati agar Pefil dan Nina tidak jadi pulang, dan kembali ke kamar. Aku terus ketakutan. Lebih hebatnya lagi, ini deja vu. Aku merasa sudah pernah mengalami keadaan ini sebelumnya. Entah karena reaksi dari jamur, tapi aku yakin sekali ini sudah pernah terjadi. Pikiranku mulai kacau. Aku mendengar Bella menghubungi Pefil dengan ponsel, mengatakan "Pef, tolong balik. si Ony kenapa tuh. Lo gila ya ninggalin kami berdua kayak gini sendirian. Kali ini bercandanya elu kelewatan." Pecahan kaca kaleidoskop kembali muncul, dan kali ini serpihannya membentuk tangga spiral dengan warna hijau kelam, merah kelam, dan ungu dengan background hitam gelap. Lalu aku mendengar suara-suara seperti berita (seperti narasi gitu, menjelaskan). Inilah Bali yang sebenarnya, sebuah perhentian akhir bagi orang-orang depresi yang mencari pencerahan. Semua mengakhiri hidup di sini, menemukan jalan pulang dengan damai. (Intinya, di tempat inilah orang-orang yang kehilangan harapan mengakhiri hidup dengan jamur ajaib. Mengantar mereka ke dunia lain dengan damai). Aku sangat ketakutan. Aku memanggil-manggil nama pacarku beberapa kali, aku menyesal kenapa hubungan kami berakhir walau bukan kesalahanku. Aku menyesal akan meninggalkannya sendirian tanpa sempat berpamitan. Saat itu aku yakin sekali hidupku akan berakhir malam itu di kamar itu. Dan dalam kondisi deja vu total.

Aku tak ingat berapa lama rasa takut itu muncul. Perlahan aku mulai melawannya. Aku meyakinkan diri kalau aku masih hidup. Seperti ada proses rewind (putar balik) ketika aku merasa ada yang salah, aku akan menarik kesadaranku kembali ke titik awal. Saat aku merasa tak nyaman, aku akan kembali ke awal, tepat seperti video yang diputar balik. Lalu aku teringat Pefil dan Nina. Aku merasa seperti mereka sudah tiada, dan itu karena kesalahanku. Aku terlambat menyelamatkan mereka. Lalu muncul bayangan kami berempat, tapi tiba-tiba Nina menghilang, seperti tidak ada. Aku bertanya-tanya Nina siapa... seperti eksistensinya tiba-tiba hilang.

Perjalananku belum berakhir. Setelah bayangan kematian, dan kehilangan, aku merasa seperti kembali ke dalam kamar. Aku melihat ada orang seperti Bella duduk di samping tempat tidurku, wajahnya begitu tenang dan sepertinya aku kenal sekali. Tapi itu bukan Bella. Orang ini memakai kaos lengan buntung warna hitam dan celana pendek abu-abu. Dia berusaha menenangkan aku. Menyentuh lembut wajahku, dan berkata "Sabar ya, sebentar lagi semua akan selesai." Aku masih dalam kondisi tidak sadar apakah ini mimpi atau nyata, tapi terasa benar-benar nyata. Tangannya dingin. Wajahnya seperti benar-benar aku kenal. Lalu aku tertidur. Aku mengalami perjalanan spiritual. Mengenai arti universal, bahwa Gay, Hetero, Lesbian, Waria dan semuanya adalah sama. Equal to each other. Bahwa kiamat yang sebenarnya adalah ketika semua manusia kembali menjadi satu. Cosmos... Setiap dari kita akan hidup dalam dunianya sendiri-sendiri, menjadi Tuhan untuk dunia ciptaannya. Sama seperti aku saat itu, aku yang kesepian menciptakan orang itu (yang tadi duduk di samping tempat tidurku), dan kami seperti bayangan dalam cermin, apa yang kulakukan, dia lakukan juga. Lalu aku memberinya kepribadian. Kami saling melengkapi. Dia menjelaskan, bahwa inilah akhir dunia. Ketika semua makhluk tersadar, dan menjadi universal. Bahwa ketika kita berteriak sekeras apapun, semua akan kembali ke diri kita sendiri, karena kita semua telah terjebak dalam dunia yang kita ciptakan. Aku merasa seperti mengalami proses putar ulang lagi. Bahwa semua nya berjalan seperti roda, berulang-ulang. Aku yang ada saat ini dan sedang melakukan apa, hanyalah bagian dari potongan film yang saling berjejer mengisi ruang dan waktu (dimensi) menjadi satu putaran aktivitas, padahal sebenarnya aku hanyalah satu gambar diam yang menunggu untuk diputar ulang.

Lalu aku dan pasanganku tadi mulai menciptakan dari dalam kamar (kamarnya sama persis dengan kamar hotel kami, tapi di luar jendela terlihat bernuansa orange seperti cahaya senja, tak ada apa-apa selain sinar terang berwarna orange. Lalu kami sepakat untuk mengubahnya menjadi malam yang gelap, lalu berubah lagi menjadi hutan yang rimbun, dan kami melihatnya dari dalam kamar. Semua sangat menyenangkan, pikirku, dan aku tenang dalam kondisi ini, seperti menemukan kebenaran sejati.

Tak lama, aku kembali lagi ke dalam kamar hotel, dan orang itu kembali menyapaku. Ia masih berusaha menenangkan aku. Aku merasa lemas, tak sanggup menggerakkan badanku. Tapi ia terlihat begitu perhatian. Menenangkan aku agar kembali tidur. Lalu ia tidur di ranjang yang berseberangan dengan ranjangku. (Lokasinya sama persis seperti kamar hotel kami, dengan dua ranjang single, tapi bedanya tempat ini seperti ada di zaman yang berbeda. Dan yang paling aku ingat, tak ada kaca besar di depan ranjangku seperti yang ada di dalam kamar hotel). Tiba-tiba aku sadar kenapa aku seperti familiar sekali dengan orang ini. Aku merasa menjadi seorang perempuan, dan dia adalah pasanganku. Kami kemari (Bali) untuk mengakhiri hidup. Aku sudah menelan obat tidur dalam jumlah banyak dan sedang menunggu ajal. Dia akan menyusul kemudian setelah menenangkan aku. Kami saling mencintai, tapi merasa seperti tidak diterima di dunia, seperti terkucil atau merasa depresi dengan pandangan orang. (Aku tak bisa mengingat wajahku, tapi aku tahu aku perempuan berambut pirang keriting). Lalu aku mulai menangis, orang itu kembali duduk di sampingku, menenangkan aku. Lalu kami bercanda, dan aku tersenyum. Dia pun kembali ke ranjangnya dan terlihat mulai tidur (mungkin sudah minum obat tidur juga, aku tak tahu). Aku berusaha meraihnya, tapi tubuhku lemas, lalu aku terjatuh dari ranjang. Aku menatapnya dari bawah dan dia menatapku sambil tersenyum tapi menitikkan air mata. Aku pun menangis dan berusaha tersenyum. Lalu aku memalingkan muka, melihat ke arah tembok dari kaki ranjang. Aku masih ingat jelas bau kayu lapuk, dan kamar hotel itu. Lalu aku kembali menatap orang itu sambil tersenyum. Lalu semuanya menjadi kabur. (Aku merasa ngeri karena ini benar-benar real, seperti sedang aku alami sendiri)

Saat aku sadar, aku sudah berada di atas ranjang, celanaku basah karena ompol. Kepalaku masih mengalami sensasi aneh (coba kamu putar-putar di tempat sebanyak 25x dengan cepat). Lalu aku menatap Bella di sebelah kiriku, lalu menatap ke depan, berusaha mengumpulkan nyawaku. Tak lama aku sadar kalau aku kedinginan. Aku membersihkan diri ke kamar mandi dan ganti pakaian. Bella saat itu sudah sadar. Dia bilang, sepanjang malam aku teriak-teriak seperti orang gila (maksudnya mungkin skip seperti orang mabuk). Selesai bilas dan ganti pakaian, aku bertanya pada Bella, apa yang terjadi semalam. Ternyata pengalamannya berbeda denganku, dan dia masih lebih sadar dari aku. Kami keluar kamar dan ngobrol sebentar sambil tiduran di kursi dekat kolam. Saat itu aku merasa seperti ada yang lepas dariku, tapi biasa-biasa saja, seperti tidak terjadi apa-apa. Aku justru penasaran sebenarnya apa yang terjadi semalaman. Tak lama, kami kembali ke kamar dan tidur.

Siangnya, Pefil dan Nina datang ke hotel tempat kami menginap, dan menceritakan kisah masing-masing. Sepertinya mereka juga tak menyangka reaksiku akan sehebat itu. Pefil bilang dia melihat penampakan makhluk halus dan sebangsanya, sedang Nina mengalami situasi melankolis. Bella sendiri punya pengalamannya sendiri, tapi terlalu panjang untuk diceritakan, dan detailnya aku juga kurang jelas. Pulang dari Bali, aku merangkai semuanya kembali menjadi satu cerita utuh, sama sekali tak ada rekayasa. Saat hari pertama sadar, pikiranku masih agak kacau karena shock dengan pengalaman pertama itu, tapi lama-kelamaan setiap detailnya bermunculan dengan sendirinya. Ini bukan rekayasa karena aku sendiri mengalaminya. Deja vu yang kualami juga benar-benar terjadi sepanjang malam. Sebenarnya sebelum kejadian makan jamur, aku sudah mengalami deja vu sepanjang perjalanan dari pantai Kuta ke hotel (malam itu kami jalan-jalan dulu dari kuta ke tugu bom bali lalu ke hotel).

Sepulangnya dari Bali dengan membawa pengalaman berharga ini, aku jadi makin mengerti arti hidup, arti cinta yang sesungguhnya, dan arti persahabatan.  Bahwa kematian bisa datang kapan saja, bahwa hidup memiliki jalannya sendiri. Terima kasih untuk pasangan bunuh diri (aku yakin sekali sudah pernah melihat peristiwa ini sewaktu kecil dulu) yang menyadarkanku bahwa cinta sejati itu masih ada di dunia ini, dan aku tak perlu mengambil jalan yang salah seperti yang mereka alami. Thanks to Pefil, Bella, dan Nina yang memberiku kesempatan untuk melewati perjalanan tak terlupakan bersama kalian.