Minggu, 24 Juni 2012

Tentang Hati : Menunggu

Bila ada waktu tersisa
Untuk benih ini berkecambah
Sekedar merasakan hembusan udara pertama 
di permukaan daunnya yang rapuh
Mencicipi air dari akarnya yang seperti 
serabut kaca tipis 


Mira... Aku masih merenungkan arti air mata yang mengalir deras di-pipi-nya semalam. Ada apa gerangan. Bukankah seharusnya dia bahagia melangkah bersamaku hingga detik mendebarkan menuju pagi ini, di katedral ini. Tapi dia tak datang. Dua jam terlambat, atau tengah berada dalam pesawat menuju Milan. Semalam baru aku tahu isi hatinya yang terdalam. Semalam seharusnya kubatalkan pernikahan ini di detik-detik terakhir. Tapi tak kulakukan karena baru sekarang aku sadar arti kata 'harapan' setelah sekian lama aku hidup. Aku berharap Mira akan berubah pikiran dan muncul dalam balutan gaun putih yang telah kami pilih bersama.

Aku duduk dalam di tangga depan katedral, menunduk menyembunyikan rasa malu bercampur kesal, kecewa, amarah, dan penyesalan. Sebatang rokok mengepulkan asapnya yang bebas mengangkasa tanpa sedikitpun kuhisap. Abunya jatuh ke lantai tangga, tepat di antara sepatu kulit putih yang kupoles sepenuh hati demi hari ini. Aku terus berpikir bagaimana mungkin Mira meninggalkan aku ketika impian kami hanya sejengkal dari mata. Lalu apa gunanya perjuangan kami sejauh ini. Aku bahkan tak sanggup untuk menangisi hatiku yang perih, atau lambungku yang terus menjerit kelaparan minta diisi. Hanya Mira yang ada dalam pikiranku sekarang. Hanya Mira.

***
Malam sebelumnya, kami masih tertawa bersama, menghabiskan beberapa botol bir lokal sebelum melanjutkan kebahagiaan kami dengan sebotol anggur merah ditemani cahaya lilin dan lampu kota. Kami berada di tempat yang seharusnya. Kami bahagia karena bersama. Setidaknya aku yakin itu, sebelum semuanya berakhir begitu cepat. Dalam perjalanan pulang, kami bergandengan tangan. Aku merasakan tangan Mira begitu dingin. Segera kutarik dan aku menghangatkannya dengan hembusan nafasku. Kuhembuskan sambil kukecup pelan kedua tangannya. Aku melihatnya tersenyum, yang paling manis yang pernah aku lihat. Bukan karena pengaruh alkohol tentunya, karena kami tidak dalam keadaan mabuk. Mabuk asmara mungkin, tapi bukan karena alkohol. Matanya berkaca-kaca. Lalu tiba-tiba senyum itu tersapu dari bibirnya. Aku melihat ada yang salah dengan bintang-bintang yang sirna dari matanya. Mira menundukkan wajah, merapat ke dadaku. Nafasnya pelan. Rambutnya begitu harum, dan nafasnya hangat di dadaku. Aku mendekapnya erat beberapa saat sebelum akhirnya ia melepaskan diri dariku dan mundur beberapa langkah. Aku terkejut melihat air matanya tiba-tiba mengalir deras di kedua pipinya yang merah merona. Aku berusaha meraihnya, tapi ia menjauh mundur beberapa langkah. Tangannya memberi tanda agar aku berdiri diam ditempatku. Aku merasa seolah dunia ini runtuh. Aku tak tahu ada apa, tapi aku merasa bahwa ini sesuatu yang sangat serius.

Mira terisak sepanjang ceritanya padaku. Kedua orang tuanya tak setuju dengan pernikahan kami. Aku tahu itu, dan seharusnya ini tak menjadi bahasan lagi karena kami telah sepakat untuk hidup bersama walau dunia menolak dan menertawakan. Kenapa ini harus menjadi penghalang di detik-detik terakhir. Aku tak bisa terima dengan keadaan ini, tapi aku tak ingin Mira semakin tersiksa. Aku berusaha mendengarkan hingga akhir ceritanya tanpa sedikitpun membantah. Mira merasa janjinya padaku sangatlah bodoh. Dia yakin, tak akan pernah bahagia bila menikah tanpa restu kedua orang-tuanya. Lebih menyakitkan lagi ketika ia mengaku telah membeli tiket penerbangan ke Milan, tempat kedua orang-tua Mira tinggal, tepat di jadwal pernikahan kami. Ia menjelaskan bahwa dirinya sama sekali tidak bermaksud meninggalkanku dengan cara seperti ini, tapi ia tak pernah menemukan saat yang tepat untuk memberitahukannya hingga saat ini, detik-detik terakhir. Dan ia mengakui sakit yang ia rasakan ketika harus menceritakan kenyataan ini padaku. Bahwa mimpinya bersamaku harus menemui akhir dengan perpisahan yang sangat pilu. Mira meminta agar kenangan malam ini dihapuskan dari ingatan, dan cukup mengenang saat-saat indah yang telah kami lewati. Perpisahan tak harus membunuh rasa cinta yang pernah ada. 

Aku ingin sekali mendekapnya erat, dan memintanya menarik kembali semua kata-kata itu. Aku ingin kembali ke beberapa jam yang lalu, menyeretnya pulang tanpa perlu mendengarkan kenyataan ini. Mungkin besok akan lebih baik. Mungkin Mira akan berubah pikiran dan muncul di pernikahan kami. Tapi pahitnya kenyataan hidup harus kunikmati sebagai hadiah terakhir yang kudapat dari orang yang paling kucinta. 

Sebelum berpisah, aku memintanya untuk berpikir kembali. Besok pagi aku tetap akan menunggunya di katedral. Aku menganggap kehadirannya besok sebagai jawaban terakhir untuk hubungan kami.

***
Kebodohan apa yang telah meracuni pikiran Mira. Apakah cinta kami sama sekali tak punya arti dalam hidupnya. Apakah restu kedua orang-tuanya lebih berharga dari kebahagiaan kami berdua. Kenapa ia harus memikirkan perasaan orang lain sementara dunia menutup mata pada hubungan kami berdua. Apakah perpisahan kami akan membuat Mira bahagia dalam jerat keinginan kedua orang-tuanya. Apakah salah untuk hidup sesuai keinginan hati. Satu per satu pertanyaan melintas dalam benakku. Lima jam dari jadwal. Sahabat-sahabat terdekat dan beberapa saksi telah meninggalkan katedral. Tak ada yang mengucapkan sepatah kata-pun. Kurasa mereka tahu betapa hancurnya hatiku, dan tak ada yang sanggup mengubah itu selain kehadiran Mira. Aku pun bersiap pulang. Tiba-tiba salah satu sahabat kami, Cathalina menghampiriku, berdiri di depanku. Satu-satunya sahabat yang dengan lancang memintaku melupakan Mira.

Aku berpikir, benih yang telah kami pupuk bersama telah berhasil tumbuh menjadi pohon yang sempurna, dengan akar yang menancap kuat, batang yang kokoh, dan ranting yang tahan terpaan badai sekalipun. Tapi aku salah. Pohon itu telah roboh tanpa pernah aku sadari. Mira menanggung semua ini sendirian tanpa pernah membagi beban denganku. Aku pun tak mampu melihat sisi gelap yang mengurungnya dalam sangkar. Andai aku tahu lebih awal. Andai aku bisa meyakinkannya dengan cara apapun. Andai aku bisa meyakinkan kedua orang-tuanya bahwa kami bahagia dan kami sanggup melawan cercaan dunia. Andai aku terlahir dalam balutan tubuh pria.


***
Satu tahun setelah gagalnya pernikahan pertamaku, aku kembali ke katedral yang sama. Kali ini pernikahanku berlangsung sukses dengan sahabat sekaligus kekasihku, Cathalina. Orang yang telah lancang memintaku melupakan mantan kekasihku, orang yang ketika itu telah lancang memaksaku makan siang berdua, orang yang telah membuatku sadar bahwa perpisahan mungkin awal untuk perjumpaan yang lebih indah. Bahwa cinta tak seharusnya menyakitkan ketika kita mengenalnya lebih dekat. Bahwa hubungan manusia hanyalah perputaran tanpa henti antara meninggalkan atau ditinggalkan.

Sekilas aku melihat punggung Mira meninggalkan katedral seusai sumpah kuucapkan dan cincin kusematkan di jari manis Cathalina.

Sabtu, 09 Juni 2012

Rasanya Seperti . . .

Kalau ditanya... gimana sih rasanya kalau tahu orang yang kamu sayangi itu jadian sama orang, dan kamu tahu beritanya langsung dari mulut orang itu... 


Ya, rasanya seperti tiba-tiba matahari padam, angin berhembus kencang dan petir menggelegar. Langit retak dan runtuh perlahan dan bumi bergejolak. Tapi semuanya begitu diam tanpa suara. Sementara matamu terbelalak memandangi wajahnya yang berseri-seri.

Begitu kira-kira gambaran singkat kondisi kejiwaan ketika mendengar berita sangat tidak mengenakkan dari orangnya langsung. Bukannya tidak senang, tapi kok ya tega sekali mengatakannya dengan wajah berseri-seri tanpa dosa begitu. Padahal tahu orang yang mendengarkan ini orang yang sayang betul padanya. Duh, dasar hati. Sudah disakiti berulang kali, masih saja bertahan mendengarkan kata-kata yang bikin mata perih. 

Sudah berusaha hidup lagi, tapi belum juga nafasku cukup panjang untuk berlari, jantungku sudah dicabut dari tempatnya. Diremukkan dan diinjak-injak olehnya. Pertanyaan paling menyakitkan adalah ketika ditanya tentang kehidupan pribadi. Seolah di antara kami tak pernah terjadi sesuatu. Tapi, wajahnya yang berseri-seri itu membuatku tak mampu emosi. Aku cuma bisa menjawab seadanya dengan menahan getaran di bibir, dan menampung air mata yang membuat mataku mulai berkaca-kaca. Tentu saja sambil membuang muka dan pura-pura melihat ke arah lain dari wajahnya.

Pengalaman menyakitkan oleh orang yang kita sayangi ini ternyata gak cuma terjadi pada satu orang. Banyak sekali manusia-manusia tak punya hati yang dengan leluasa melukai perasaan orang lainnya. Waktu mendengar mereka bercerita, aku baru sadar. Bukan cuma aku manusia bodoh di dunia ini, yang masih bisa dengan bangga mengatakan "Iya, aku juga pernah mengalaminya."