Jumat, 30 Agustus 2013

Berbaliklah Walau Sakitnya Menyayat Hati

Aku berharap esok akan datang lebih awal, Aku berharap esok menghampiriku dengan terangnya yang mengikis gelap di sekelilingku. Aku berharap... Aku akan berbalik dari ruang ini dan menerjang cahaya pagi. Walau jasadku harus terbakar habis.


Mereka yang di depan sana, adalah mereka yang terlihat bodohnya. Manusia mana yang lebih bodoh dari mereka ini. Yang ingin ditemukan, tapi terus menerus bersembunyi. Sama seperti hati yang kesepian tapi tak pernah membuka pintu untuk orang lain menghampiri. Begitulah kira-kira gambaran manusia di sekelilingku. Aku pun belajar menjadi serupa mereka. Tak jauh beda. Biar aku tak dianggap gila.

Manusia itu unik adanya. Mereka terlahir untuk meniru lingkungannya. Belajar bagaimana bertahan hidup dengan menyesuaikan diri. Membaur dengan makhluk di sekitarnya. Sebenarnya aku merasa aneh dan tak nyaman, tapi setidaknya aku aman. Itu menurutku. Tapi masalah itu justru dimulai dari dalam. Sesuatu dalam diriku perlahan memberontak dan ingin berkuasa. Sedangkan aku... terkikis dan mati perlahan.

***

Aku tak ingat berapa usiaku, yang jelas aku masih kecil. Itu karena mereka selalu meledekku, mengatai aku anak kecil, anak mami, anak emas dan lain sebagainya. Tentu saja bukan salahku kalau Mbok Min lebih sayang padaku karena (sekali lagi) aku belajar menyesuaikan diri dan menjadi makhluk yang disenangi di lingkungan ini. Aku menurut segala perintah Mbok Min, dan tidak melanggar larangan-larangannya. Begitulah kira-kira yang membuat Mbok Min selalu mendahulukan aku di meja makan, dan memberi perhatian lebih di luar ruang makan. Kurasa aku terlalu muda untuk belajar menyenangkan semua orang. Itulah sebabnya ada saja yang merasa iri dan tidak suka padaku. Aku mulai belajar untuk tidak terlalu pamer dan menjadi lebih diam, agar mereka tak semakin menjadi.

Mereka yang kumaksud adalah anak-anak panti asuhan tempat aku dibesarkan. Rupa kami semua berbeda satu sama lain. Bahkan sifat pun begitu. Padahal aku sempat berpikir mungkin kami semua ini hanyalah robot yang diciptakan oleh pabrik bernama Panti Asuhan Sugihwaras ini. Ternyata imajinasiku salah dan kenyataan berkata lain. Kami semua tercipta berbeda. Lalu imajinasiku berandai lagi, mungkin ini karena onderdil kami diambil dari rongsokan dengan porsi dan bentuk berlainan sehingga otak kami pun ternyata tak sama. Itu imajinasi yang jauh lebih masuk di akal.

Sehari-hari kami bangun, makan, mandi, bermain, belajar, bermain lagi, lalu makan lagi, mandi lagi dan tidur. begitu seterusnya. Benar-benar tidak menarik. Lebih parahnya, wilayah yang boleh kami jelajahi hanyalah sebatas pagar Panti Asuhan ini. Orang-orang di luar sana selalu memasang wajah aneh ketika memandang kami yang ada di dalam pagar. Mbok Min berkata, bahwa mereka tidak mengerti keindahan yang Tuhan turunkan dalam bentuk anak-anak manis seperti kami (Padahal tak jarang Mbok Min meneriakkan makian-makian seperti anak setan, atau nama-nama binatang saat memarahi anak-anak lain). Manusia itu memang luar biasa rumit untuk dipelajari.

Mbok Min tak sadar kalau aku belakangan mulai mengintip ke luar pagar. Bahkan berbincang-bincang dengan anak gadis di seberang rumah beberapa jam sebelum orang tuanya tiba-tiba berteriak dari dalam rumah meminta anak gadisnya menjauh dari pagar dan kembali masuk ke rumah. Dari gadis itu aku tahu kenapa orang-orang di luar sana memandang kami dengan aneh. Mereka menganggap kami ini anak haram yang tidak diinginkan. Kami ini manusia-manusia yang dibuang. Aku kaget mendengar kenyataan itu. Tapi aku tak berani menceritakannya pada anak-anak lain, apalagi pada Mbok Min.

***

Sebelas tahun di dalam kurungan ini, aku menjadi manusia yang begitu suram. Memendam semua hal yang seharusnya kuungkap tapi aku tak merasa perlu lagi karena aku tahu itu hanyalah perih yang menyakiti siapa saja yang mendengarnya. Aku tak lagi menikmati hidup seperti waktu kecilku dulu. Anak-anak Panti yang lain juga beberapa sepertinya mulai sadar makna kami di masyarakat ini. Tak sedikit yang berubah lebih suram dariku. Kami seperti bayangan yang gelap, yang menggeliat di atas tanah tanpa tujuan pasti. Aku tak tahu akan seperti apa esok pagi, apakah akan ada orang asing yang datang menjemputku pergi seperti beberapa anak lainnya, atau mungkin aku akan bernasib seperti penjaga kebun yang ternyata menghabiskan seluruh hidupnya di Panti Asuhan ini (melihat dari umurnya, sangat kecil kemungkinan untuknya pergi dari sini dalam keadaan hidup).

Aku sempat menulis surat kepada Tuhan, melayangkannya dalam genggaman kaki burung merpati. Tapi aku tak pernah mendapat balasan. Aku pernah juga mengikat suratku pada seekor tikus dan tentu saja tidak  pernah ada surat balasan untukku. betapa bodohnya aku. Mungkin Tuhan pun jijik dengan surat yang kutulis di atas kertas lusuh. Tapi hanya itu yang bisa kudapat di Panti Asuhan sangat sederhana ini. Jumlah kami terlalu banyak hingga segala sesuatunya harus dipakai bergiliran atau dibagi hingga hampir tak berbentuk lagi. Miris, tapi tak berdaya untuk mengubahnya. Kami hanyalah anak-anak yang patuh pada aturan agar tidak mendapat hukuman cambuk dari Mbok Min.

***

Tahun ke-tiga-belas, Ada sepasang suami istri datang melihat-lihat Panti dan sepertinya berminat padaku. Aku senang sekali. Sejak pertama kali bertemu, mereka menjadi tamu rutin setiap minggunya, membawakan banyak kue dan mainan untuk kami. Tak ada yang sempurna menurut Mbok Min, tapi bagiku kedua orang ini tentulah calon sempurna untuk menjadi orang tua yang paling sempurna. 

Harapanku sirna pada bulan ketiga ketika suaminya meninggal dalam kecelakaan hebat. Wanita itu terlihat lebih suram dariku. Kue terakhir darinya pun seolah terasa pahit dan tercekat di leherku. Aku menangis sejadi-jadinya seolah kedua orang-tuaku-lah yang telah mati. Pada saat itu aku baru sadar, ini pertama kalinya aku memikirkan kedua orang-tua kandungku.

***

Dua puluh tahun di sini, dan hari itu pun tiba. Kedua orang-tua kandungku datang dan mencariku. Mbok Min yang mulai sedikit pikun mengaku tak salah lagi bahwa mereka lah orang-tua kandungku. Tapi aku merasa tak penting lagi mereka datang sekarang. Aku bukan lagi anak kecil yang berharap dikasihi atau pun dikasihani. Aku kesal kenapa mereka meninggalkan aku selama dua puluh tahun lamanya. Tak ada alasan yang bisa membenarkan perbuatan mereka. Mereka sekarang hidup berkecukupan, tapi tidak bisa memiliki keturunan lagi. Mereka berkisah bahwa dulu kehidupan mereka sangatlah miskin. Keluarga mereka pun menentang pernikahan mereka. Sayangnya masa kelam itu tak sekelam apa yang ada dalam hatiku sekarang. Mereka melahirkan malaikat yang menelurkan iblis dalam dirinya. Akulah anak mereka yang manis menggemaskan tapi menyimpan emosi meledak-ledak tak terlihat oleh mata. 

Dengan segala cara, mereka meminta aku untuk pulang dan kembali menjadi anak mereka. Segala janji manis ditawarkan agar aku luluh. Aku pun setuju, tapi bukan karena janji-janji itu. Aku ingin berbagi kelam ini bersama kedua orang-tua-ku.

***

Satu bulan berlalu sejak aku pulang, dan rumah ini berubah menjadi neraka. Tak ada satu pun pembantu yang suka dengan kehadiranku. Ayah dan Ibu (begitu kira-kira aku memanggilnya sekarang) tahu aku sengaja berulah. Mereka hanya diam. Mungkin karena mereka merasa bersalah, atau mungkin karena memang hanya aku satu-satunya anak kandung yang mereka punya hingga tak ada pilihan lain. Aku tak perduli juga. Aku terus berulah hingga ketika aku menemukan kotak itu. Kotak berisi buku harian Ibu. 


"Diary-ku, aku tak habis pikir mengapa hidup melemparkan aku ke dalam lautan api ketika sejengkal lagi aku akan tiba di padang bunga serupa surga. Aku kehilangan harga diriku oleh orang yang seharusnya menjagaku lebih dari apa pun. Aku malu dan kehilangan harapan hidup. Sungguh aku tak tahu harus ke mana berkisah. Hanya kau dan lembaran-lembaran terakhir ini yang tersisa untuk berbagi tangis dan pedihku. Aku sungguh beruntung kekasihku masih membela aku dan bersedia menikahiku. Tapi tidak dengan anak yang kukandung sekarang ini. Kau tak tahu betapa hancurnya hatiku harus membuang anak ini, walau aku membenci orang yang menitipkannya dalam rahimku. Bagaimana mungkin aku membuang darah dagingku tanpa sesal dan merasa salah. Deritaku sebagai wanita lengkaplah sudah."


Aku membakar diary itu. Membakar rumah itu dan kedua orang-tuaku. Aku membakar semua yang ada di rumah itu bersama kenangan pahit di dalamnya. Lalu aku membakar diriku sendiri hingga menjadi abu.
 

Rabu, 07 Agustus 2013

Kau Pasti Kembali

Aku bisa menunggu,
itu janji yang terucap dariku.
Aku bisa menunggu hingga kapan kau kembali
Bersamaku lagi.

Seribu sepi dan jutaan tangis
Rasa takut karena sendiri
Kulalui semua itu tanpa ragu
Karena ku tahu kau pasti kembali

Jangan pergi dariku
Terlalu lama jauh dariku
Jangan pergi dariku
Jangan lupa kembali padaku

Dan aku masih terus menunggu
Bersama hujan dan badai rindu yang lalu
Kulalui semua itu tanpa ragu
Karena ku tahu kau pasti kembali

Jangan pergi dariku
Terlalu lama jauh dariku
Jangan pergi dariku
Jangan lupa kembali padaku

Jangan pergi dariku
Terlalu lama jauh dariku
Jangan pergi dariku
Cepatlah pulang ke sisiku

Selasa, 16 Juli 2013

Temanku buka usaha tour untuk ke eropa dan berbagai tempat wisata lainnya. Bagi yang sedang butuh tour guide untuk ke sana bisa menghubungi Danny Lim dengan kontak yang ada di atas. :)



Kamis, 27 Juni 2013

Spirit Room

Aku memejamkan mata... Cukup lama hingga aku tak ingat tepatnya berapa lama. Aku merasa nyaman dan tenang. Mungkin lebih tepatnya aku memejamkan mata untuk mencari ketenangan itu sendiri. Lalu aku perlahan membuka kedua mataku. 

Aku duduk dalam sebuah kamar, ukurannya cukup luas untuk belasan orang. Dinding semen kasar berwarna putih dengan ornamen kayu bertema shabby chic dengan jendela besar kesukaanku berada di kiri tempat aku duduk. Jendela selebar dinding berbentuk lengkungan di bagian atas dan siku di bagian bawah, seluruhnya kaca tanpa bingkai tengah. Di bagian bawahnya ada sedikit tempat untuk duduk, lengkap dengan bantal dan beberapa pot-kaca-kecil berisi bunga. Di luar jendela adalah taman. Aku bisa melihat taman itu walaupun samar karena di luar temaram oleh purnama. Aku duduk di kursi kayu dengan dudukan busa empuk. Berwarna putih pucat dan tekstur kayu tua. Begitu juga meja di depanku. Meja putih pucat dari kayu bekas, di atasnya terdapat pot-kaca-kecil berisi air dengan bunga lotus putih mengapung di atasnya. Saat aku memperhatikan lebih dekat, aku melihat ada kristal-kristal kecil di dasar pot itu. Di seberangku ada perapian dari batu bata yang dicat warna putih dan dinding di atasnya sengaja diberi semen kasar. Tak jauh dari perapian ada sofa dan meja yang cukup besar untuk kumpul keluarga. Aku suka sekali dengan ruangan ini. Pintunya terletak di sebelah kanan tempat aku duduk. Pintu itu seperti pintu kapal, bentuknya versi panjang dari jendela. Ada bulatan jendela kaca di pintu itu, setinggi kepala orang dewasa. Aku tidak melihat apa-apa di balik kaca itu, hanya kegelapan yang pekat. Aku tak ingin mencari tahu apa yang ada di balik pintu itu, karena aku merasa nyaman berada dalam ruangan ini.

Aku memejamkan mata sekali lagi. Lalu aku mulai mendengar suara-suara. Agak ramai. Ada suara wanita, pria, dewasa, remaja, dan anak-anak. Aku membuka mata. Ruangan ini menjadi temaram, tapi aku tak lagi sendirian. Ada beberapa orang bersamaku di ruangan ini. Mereka masing-masing memegang satu lilin putih yang menyala. Lilin-lilin inilah yang sekarang menerangi ruangan. Yang paling mencolok adalah wanita dengan pakaian sangat minim, duduk bersila di sofa dengan gayanya yang menggoda. Wanita itu mengenakan rok mini berwarna khaki yang hampir tidak berfungsi menutup tubuhnya. Atasannya hanya berupa kutang sewarna bawahannya. Bibirnya dipoles begitu indah hingga setiap pria yang melihat pasti ingin mengecupnya. Postur tubuhnya seperti model. Aku tak tahu siapa dia, tapi aku merasa tak asing dengannya. Lalu ada seorang pria yang tampak rupawan, rapi dengan jas dan rambutnya tertata licin. Wajahnya rupawan tapi terlihat licik. Berdiri di sudut ruangan, ada seorang anak kecil yang tertunduk sedih. Lalu ada seorang gadis manis, agak tomboi, duduk di jendela memandangi purnama. Aku memandangi lilin di depanku, di atas meja dan aku baru sadar, ada seorang pria lainnya berpakaian abu-abu dan wajahnya agak tersembunyi dalam bayang-bayang tapi jelas dia rupawan, berdiri di seberangku dekat perapian, dia tidak membawa lilin.

"Bisa mulai ?" Pria tanpa lilin itu memecah keheningan dalam ruang. Semua mata tertuju padanya tak lama lalu kembali menatap ke arah lilin masing-masing.

Wanita yang mengundang perhatian itu menghela nafas panjang, lalu menghembus pelan menghabiskan udara yang tadi dihisapnya. Lalu ia memulai apa yang dimaksud pria tadi.

"Aku... pemilik sifat genit, acuh, angkuh, materialistis. Aku ada di sini sejak dua puluh tahun yang lalu. Dunia membentuk aku, dan kemudian membenci kehadiranku. Tapi aku tetap ada karena kalian butuh aku. Aku tidak suka melihat mereka berbisik di belakangku, sementara kehadiranku berasal dari ulah mereka. Manusia memang egois, dan egois itu menular dari satu ke yang lainnya. Selain sifat jelek, aku juga menyimpan sifat positif. Aku pengisi keceriaan, tawa dan banyak orang menyukaiku. Aku selalu berusaha menyenangkan orang lain. Tapi aku benci anak kecil. Mungkin karena aku membenci kepolosan dan sifat manja mereka. Aku lebih suka bermain dengan orang dewasa, membuat mereka terpana, jatuh cinta. Tapi seringnya aku lah yang terlalu mudah jatuh cinta dan pada akhirnya terluka. Hidup memang tak adil buatku, tapi keadilan itu sendiri rancu. Adil buatku mungkin tak adil bagi yang lainnya. Bukankah semua manusia itu egois ? seperti apa yang aku katakan sebelumnya. Untungnya hatiku ini perlahan mati rasa. Belajar melepas rasa cinta, dan perlahan menjadi budak seks semata. Aku sadar bahwa itu salah, itu dosa. Tapi aku tak sanggup menghentikannya. Mungkin aku tercipta untuk mengemban tugas ini, yang tidak semua orang mau mengerjakannya. Dan aku tidak menyesalinya." Wanita itu tersenyum tipis, lalu memejamkan mata dan meniup mati lilin dalam genggamannya. Bersamaan dengan padamnya lilin, wanita itu memudar mengikuti asap di pucuk lilin. 

Semua diam, aku pun diam. Seolah tak ada apa pun yang terjadi. Tapi dalam dadaku, jantung ini terasa sakit seperti di iris-iris.

"Selanjutnya ?" Pria berpakaian abu-abu kembali bersuara. 

"Aku..." Pria lainnya bersuara. "Aku yang berikutnya." Pria itu melanjutkan.

"Aku... pemillik sifat iri, dengki, tamak, penuh muslihat. Aku juga mengandung cemburu yang buta. Tak jarang aku melahirkan sifat kejam, setara pembunuh berdarah dingin. Psikopat. Bukan berarti semua dalam diriku bersifat negatif. Aku ada karena dunia terlalu kejam padaku. Aku ada sebagai pelindung. Tanpa kelicikanku, aku pasti kalah bersaing dengan manusia-manusia lainnya yang dengan mudah akan mencuri daya hidupku, menguras harta bendaku, tenagaku, dan emosiku. Bukankah manusia paling hebat adalah manusia yang mampu meninggalkan manusia lainnya beberapa langkah di belakang ? Aku harus berjuang meninggalkan mereka dengan cara apa pun. Karena aku ingin terus hidup. Kesombongan bukan bagian dariku. Aku hanyalah alat untuk mencapai posisi itu. Aku melihat penderitaan mereka tapi aku tak tergerak untuk menolongnya. Tanpa mereka, hidupku akan lebih mudah. Bukankah hatiku sudah cukup lelah melihat tangisan darah dan air mata sejak enam belas tahun yang lalu ? Sudah sepantasnya aku berhenti menguras emosi demi mereka yang aku bahkan tak kenal Bapak-Ibu-nya atau siapa anaknya dari siapa. Aku ada untuk bertahan dari penderitaan dunia. Aku-lah ketegaran. Tak terbawa arus kesedihan yang meluap di muka Bumi. Aku berjuang melangkah ke daratan yang paling tinggi." Pria itu memejamkan mata, meniup mati lilin dalam genggamannya, dan memudar seperti wanita tadi.

Sesaat setelah Pria rupawan itu memudar, gadis yang sedari tadi terduduk diam di jendela beranjak berdiri dan mulai berbicara.
 
"Aku... pemilik sifat tomboi, pendiam, santai, tak acuh, menikmati duniaku sendiri. Penuh imajinasi dan tak tersentuh dunia luar. Aku seniman yang terlahir untuk diriku sendiri. Walaupun tomboi, tapi aku menyimpan sifat keibuan. Aku sayang dengan anak kecil, bahkan bisa lebih perhatian daripada suster-suster sewaan yang merajalela sekarang. Tak ada yang memperhatikan kelebihanku karena aku terlalu pendiam. Aku pun tak berusaha membuktikan apa-pun karena aku sudah terbiasa sendirian dalam dunia imajinasiku. Aku bahkan sempat menganggap mereka tak penting untuk ada ataupun tiada. Bukankah aku cukup bahagia walau sendirian dalam duniaku ? Kenapa harus peduli dengan apa yang terjadi di luar sana ? Karena aku tahu mereka pun tak peduli padaku. Goresan tanganku yang lembut meliuk-liuk mewarnai lembaran-lembaran waktu. Kadang aku menekan keras pensilku, membentuk garis-garis pekat dan kaku. Apa pun yang kuciptakan, adalah seni. Luapan emosi. Hanya mereka yang sejiwa denganku yang bisa menerjemahkannya, menikmatinya. Aku adalah seni yang mengalir dalam aliran sungai Bima Sakti. Tak terhenti oleh rintangan." Gadis itu memejamkan mata lalu melakukan hal yang sama seperti dua orang tadi. Maka ia pun memudar dari ruangan yang semakin gelap ini.

Bocah laki-laki di sudut ruangan kini maju mendekat padaku. Ia berhenti beberapa langkah dariku. Wajahnya terangkat, dan baru sekarang aku melihatnya. Putih mulus seperti porselen. Rambutnya hitam pekat dan terlihat lembut terawat seperti disisir seratus kali tiap pagi dan malam. Bocah itu tersenyum kecil dan mulai berbicara.

"Aku... pemilik sifat manja, nakal, dan ingin tahu. Aku tidak sabaran, temperamental. Aku juga kadang berbohong untuk mendapatkan apa yang kuinginkan. Aku sangat mencintai barang-barang milikku. Tak ada orang lain yang boleh menyentuh barang-barangku, tapi barang-barang mereka harus rela dibagi denganku. Kalau mereka tak rela, maka barang-barang itu akan menjadi milikku dengan cara apapun. Aku adalah jiwa polos yang mudah tersentuh. Aku sensitif dan menawan. Orang dewasa melihatku sebagai makhluk polos yang begitu menggemaskan. Mereka tak sadar dengan peribahasa 'Serigala berbulu domba' dan seringnya mereka tertipu dengan apa yang mereka lihat pada diriku. Aku selalu takut kesepian. Aku ingin menjadi pusat perhatian. Aku berusaha menjadi riang agar disukai banyak orang. Kadang aku bertingkah aneh dan berkorban perasaan. Aku hanya tak ingin sendirian." Bocah itu memejamkan mata, lalu meniup mati lilinnya dan segera memudar.

Setiap kali lilin padam, aku merasa semakin hampa. Sekarang, aku hampir merasa kosong. Tapi inilah aku, yang sebenarnya. Aku hampir tak merasakan apa-apa. Seperti helaian kain putih yang benar-benar lepas dari noda. 

Pria tanpa lilin mulai berbicara.

"Aku... yang datang di awal dan di akhir perjalananmu. Aku mengantar dan menjemput. Tak mengisi juga tak mengurangi apa yang ada dalam hidupmu. Aku hanya mengembalikanmu ke semula. Kamu baru saja menyelesaikan satu kali perjalanan hidup, dan mungkin segera melanjutkan perjalananmu ke hidup yang berikutnya, atau kembali menyatu dengan Roh lainnya di alam kita. Apakah kamu siap untuk kembali pulang bersama denganku ?" Pria itu bertanya.

Dan aku Ingat sekarang. Aku adalah Roh. Bangsa kami adalah pengamat, penjelajah. Kami datang ke dunia dalam keadaan suci dan polos. Selama berada di dunia, kami akan berkembang. Menciptakan "Aku" lainnya sepanjang perjalanan. Seperti keempat "Aku" yang tadi ada dalam ruangan. Tapi pada akhir perjalanan, kami harus disucikan kembali. Semua "Aku" yang lain harus dihilangkan sebelum kami pulang ke alam Roh. Tujuannya ? Untuk melihat berapa banyak dari kami yang berhasil pulang, tidak terjebak oleh "Aku" yang kami ciptakan sendiri. Terlalu banyak dari kami yang pada akhirnya bergentayangan di dunia karena tak sanggup melepas "Aku". Terlalu banyak hingga pada akhirnya kami terus bergiliran datang ke dunia untuk menyadarkan kaum kami agar pada akhirnya tak ada satu pun dari kami yang terdampar dan menderita di dunia. Kali ini perjalananku berakhir, aku harus pulang bersama Pria itu. Aku tak merasa takut atau sedih. Aku tak merasa kehilangan atau bahagia.

Pria itu mengulurkan tangan padaku, dan aku menyentuh tangannya dengan tanganku. Aku memejamkan mata, lalu meniup mati lilin dalam genggamanku, dan aku memudar.

***
Bunyi bip... yang panjang terdengar dari salah satu kamar di ruang gawat darurat rumah sakit (yang katanya terkemuka) di Ibu kota. Seorang pemuda baru saja menghembuskan nafas terakhirnya. Ia tenggelam ketika berusaha menyelamatkan seorang anak kecil yang jatuh ke kolam, sementara dia sendiri tak pandai berenang. Sanak saudaranya tengah duduk cemas di ruang tunggu. Bisa kau tebak kelanjutannya, tangis mereka akan pecah hingga hari ketika jasadnya masuk ke bumi. Tapi kesedihan seperti ini... sudah ada lama sekali di muka bumi. Kita menyebutnya perpisahan, dan kita tidak pernah siap menghadapinya.