Kamis, 27 Juni 2013

Spirit Room

Aku memejamkan mata... Cukup lama hingga aku tak ingat tepatnya berapa lama. Aku merasa nyaman dan tenang. Mungkin lebih tepatnya aku memejamkan mata untuk mencari ketenangan itu sendiri. Lalu aku perlahan membuka kedua mataku. 

Aku duduk dalam sebuah kamar, ukurannya cukup luas untuk belasan orang. Dinding semen kasar berwarna putih dengan ornamen kayu bertema shabby chic dengan jendela besar kesukaanku berada di kiri tempat aku duduk. Jendela selebar dinding berbentuk lengkungan di bagian atas dan siku di bagian bawah, seluruhnya kaca tanpa bingkai tengah. Di bagian bawahnya ada sedikit tempat untuk duduk, lengkap dengan bantal dan beberapa pot-kaca-kecil berisi bunga. Di luar jendela adalah taman. Aku bisa melihat taman itu walaupun samar karena di luar temaram oleh purnama. Aku duduk di kursi kayu dengan dudukan busa empuk. Berwarna putih pucat dan tekstur kayu tua. Begitu juga meja di depanku. Meja putih pucat dari kayu bekas, di atasnya terdapat pot-kaca-kecil berisi air dengan bunga lotus putih mengapung di atasnya. Saat aku memperhatikan lebih dekat, aku melihat ada kristal-kristal kecil di dasar pot itu. Di seberangku ada perapian dari batu bata yang dicat warna putih dan dinding di atasnya sengaja diberi semen kasar. Tak jauh dari perapian ada sofa dan meja yang cukup besar untuk kumpul keluarga. Aku suka sekali dengan ruangan ini. Pintunya terletak di sebelah kanan tempat aku duduk. Pintu itu seperti pintu kapal, bentuknya versi panjang dari jendela. Ada bulatan jendela kaca di pintu itu, setinggi kepala orang dewasa. Aku tidak melihat apa-apa di balik kaca itu, hanya kegelapan yang pekat. Aku tak ingin mencari tahu apa yang ada di balik pintu itu, karena aku merasa nyaman berada dalam ruangan ini.

Aku memejamkan mata sekali lagi. Lalu aku mulai mendengar suara-suara. Agak ramai. Ada suara wanita, pria, dewasa, remaja, dan anak-anak. Aku membuka mata. Ruangan ini menjadi temaram, tapi aku tak lagi sendirian. Ada beberapa orang bersamaku di ruangan ini. Mereka masing-masing memegang satu lilin putih yang menyala. Lilin-lilin inilah yang sekarang menerangi ruangan. Yang paling mencolok adalah wanita dengan pakaian sangat minim, duduk bersila di sofa dengan gayanya yang menggoda. Wanita itu mengenakan rok mini berwarna khaki yang hampir tidak berfungsi menutup tubuhnya. Atasannya hanya berupa kutang sewarna bawahannya. Bibirnya dipoles begitu indah hingga setiap pria yang melihat pasti ingin mengecupnya. Postur tubuhnya seperti model. Aku tak tahu siapa dia, tapi aku merasa tak asing dengannya. Lalu ada seorang pria yang tampak rupawan, rapi dengan jas dan rambutnya tertata licin. Wajahnya rupawan tapi terlihat licik. Berdiri di sudut ruangan, ada seorang anak kecil yang tertunduk sedih. Lalu ada seorang gadis manis, agak tomboi, duduk di jendela memandangi purnama. Aku memandangi lilin di depanku, di atas meja dan aku baru sadar, ada seorang pria lainnya berpakaian abu-abu dan wajahnya agak tersembunyi dalam bayang-bayang tapi jelas dia rupawan, berdiri di seberangku dekat perapian, dia tidak membawa lilin.

"Bisa mulai ?" Pria tanpa lilin itu memecah keheningan dalam ruang. Semua mata tertuju padanya tak lama lalu kembali menatap ke arah lilin masing-masing.

Wanita yang mengundang perhatian itu menghela nafas panjang, lalu menghembus pelan menghabiskan udara yang tadi dihisapnya. Lalu ia memulai apa yang dimaksud pria tadi.

"Aku... pemilik sifat genit, acuh, angkuh, materialistis. Aku ada di sini sejak dua puluh tahun yang lalu. Dunia membentuk aku, dan kemudian membenci kehadiranku. Tapi aku tetap ada karena kalian butuh aku. Aku tidak suka melihat mereka berbisik di belakangku, sementara kehadiranku berasal dari ulah mereka. Manusia memang egois, dan egois itu menular dari satu ke yang lainnya. Selain sifat jelek, aku juga menyimpan sifat positif. Aku pengisi keceriaan, tawa dan banyak orang menyukaiku. Aku selalu berusaha menyenangkan orang lain. Tapi aku benci anak kecil. Mungkin karena aku membenci kepolosan dan sifat manja mereka. Aku lebih suka bermain dengan orang dewasa, membuat mereka terpana, jatuh cinta. Tapi seringnya aku lah yang terlalu mudah jatuh cinta dan pada akhirnya terluka. Hidup memang tak adil buatku, tapi keadilan itu sendiri rancu. Adil buatku mungkin tak adil bagi yang lainnya. Bukankah semua manusia itu egois ? seperti apa yang aku katakan sebelumnya. Untungnya hatiku ini perlahan mati rasa. Belajar melepas rasa cinta, dan perlahan menjadi budak seks semata. Aku sadar bahwa itu salah, itu dosa. Tapi aku tak sanggup menghentikannya. Mungkin aku tercipta untuk mengemban tugas ini, yang tidak semua orang mau mengerjakannya. Dan aku tidak menyesalinya." Wanita itu tersenyum tipis, lalu memejamkan mata dan meniup mati lilin dalam genggamannya. Bersamaan dengan padamnya lilin, wanita itu memudar mengikuti asap di pucuk lilin. 

Semua diam, aku pun diam. Seolah tak ada apa pun yang terjadi. Tapi dalam dadaku, jantung ini terasa sakit seperti di iris-iris.

"Selanjutnya ?" Pria berpakaian abu-abu kembali bersuara. 

"Aku..." Pria lainnya bersuara. "Aku yang berikutnya." Pria itu melanjutkan.

"Aku... pemillik sifat iri, dengki, tamak, penuh muslihat. Aku juga mengandung cemburu yang buta. Tak jarang aku melahirkan sifat kejam, setara pembunuh berdarah dingin. Psikopat. Bukan berarti semua dalam diriku bersifat negatif. Aku ada karena dunia terlalu kejam padaku. Aku ada sebagai pelindung. Tanpa kelicikanku, aku pasti kalah bersaing dengan manusia-manusia lainnya yang dengan mudah akan mencuri daya hidupku, menguras harta bendaku, tenagaku, dan emosiku. Bukankah manusia paling hebat adalah manusia yang mampu meninggalkan manusia lainnya beberapa langkah di belakang ? Aku harus berjuang meninggalkan mereka dengan cara apa pun. Karena aku ingin terus hidup. Kesombongan bukan bagian dariku. Aku hanyalah alat untuk mencapai posisi itu. Aku melihat penderitaan mereka tapi aku tak tergerak untuk menolongnya. Tanpa mereka, hidupku akan lebih mudah. Bukankah hatiku sudah cukup lelah melihat tangisan darah dan air mata sejak enam belas tahun yang lalu ? Sudah sepantasnya aku berhenti menguras emosi demi mereka yang aku bahkan tak kenal Bapak-Ibu-nya atau siapa anaknya dari siapa. Aku ada untuk bertahan dari penderitaan dunia. Aku-lah ketegaran. Tak terbawa arus kesedihan yang meluap di muka Bumi. Aku berjuang melangkah ke daratan yang paling tinggi." Pria itu memejamkan mata, meniup mati lilin dalam genggamannya, dan memudar seperti wanita tadi.

Sesaat setelah Pria rupawan itu memudar, gadis yang sedari tadi terduduk diam di jendela beranjak berdiri dan mulai berbicara.
 
"Aku... pemilik sifat tomboi, pendiam, santai, tak acuh, menikmati duniaku sendiri. Penuh imajinasi dan tak tersentuh dunia luar. Aku seniman yang terlahir untuk diriku sendiri. Walaupun tomboi, tapi aku menyimpan sifat keibuan. Aku sayang dengan anak kecil, bahkan bisa lebih perhatian daripada suster-suster sewaan yang merajalela sekarang. Tak ada yang memperhatikan kelebihanku karena aku terlalu pendiam. Aku pun tak berusaha membuktikan apa-pun karena aku sudah terbiasa sendirian dalam dunia imajinasiku. Aku bahkan sempat menganggap mereka tak penting untuk ada ataupun tiada. Bukankah aku cukup bahagia walau sendirian dalam duniaku ? Kenapa harus peduli dengan apa yang terjadi di luar sana ? Karena aku tahu mereka pun tak peduli padaku. Goresan tanganku yang lembut meliuk-liuk mewarnai lembaran-lembaran waktu. Kadang aku menekan keras pensilku, membentuk garis-garis pekat dan kaku. Apa pun yang kuciptakan, adalah seni. Luapan emosi. Hanya mereka yang sejiwa denganku yang bisa menerjemahkannya, menikmatinya. Aku adalah seni yang mengalir dalam aliran sungai Bima Sakti. Tak terhenti oleh rintangan." Gadis itu memejamkan mata lalu melakukan hal yang sama seperti dua orang tadi. Maka ia pun memudar dari ruangan yang semakin gelap ini.

Bocah laki-laki di sudut ruangan kini maju mendekat padaku. Ia berhenti beberapa langkah dariku. Wajahnya terangkat, dan baru sekarang aku melihatnya. Putih mulus seperti porselen. Rambutnya hitam pekat dan terlihat lembut terawat seperti disisir seratus kali tiap pagi dan malam. Bocah itu tersenyum kecil dan mulai berbicara.

"Aku... pemilik sifat manja, nakal, dan ingin tahu. Aku tidak sabaran, temperamental. Aku juga kadang berbohong untuk mendapatkan apa yang kuinginkan. Aku sangat mencintai barang-barang milikku. Tak ada orang lain yang boleh menyentuh barang-barangku, tapi barang-barang mereka harus rela dibagi denganku. Kalau mereka tak rela, maka barang-barang itu akan menjadi milikku dengan cara apapun. Aku adalah jiwa polos yang mudah tersentuh. Aku sensitif dan menawan. Orang dewasa melihatku sebagai makhluk polos yang begitu menggemaskan. Mereka tak sadar dengan peribahasa 'Serigala berbulu domba' dan seringnya mereka tertipu dengan apa yang mereka lihat pada diriku. Aku selalu takut kesepian. Aku ingin menjadi pusat perhatian. Aku berusaha menjadi riang agar disukai banyak orang. Kadang aku bertingkah aneh dan berkorban perasaan. Aku hanya tak ingin sendirian." Bocah itu memejamkan mata, lalu meniup mati lilinnya dan segera memudar.

Setiap kali lilin padam, aku merasa semakin hampa. Sekarang, aku hampir merasa kosong. Tapi inilah aku, yang sebenarnya. Aku hampir tak merasakan apa-apa. Seperti helaian kain putih yang benar-benar lepas dari noda. 

Pria tanpa lilin mulai berbicara.

"Aku... yang datang di awal dan di akhir perjalananmu. Aku mengantar dan menjemput. Tak mengisi juga tak mengurangi apa yang ada dalam hidupmu. Aku hanya mengembalikanmu ke semula. Kamu baru saja menyelesaikan satu kali perjalanan hidup, dan mungkin segera melanjutkan perjalananmu ke hidup yang berikutnya, atau kembali menyatu dengan Roh lainnya di alam kita. Apakah kamu siap untuk kembali pulang bersama denganku ?" Pria itu bertanya.

Dan aku Ingat sekarang. Aku adalah Roh. Bangsa kami adalah pengamat, penjelajah. Kami datang ke dunia dalam keadaan suci dan polos. Selama berada di dunia, kami akan berkembang. Menciptakan "Aku" lainnya sepanjang perjalanan. Seperti keempat "Aku" yang tadi ada dalam ruangan. Tapi pada akhir perjalanan, kami harus disucikan kembali. Semua "Aku" yang lain harus dihilangkan sebelum kami pulang ke alam Roh. Tujuannya ? Untuk melihat berapa banyak dari kami yang berhasil pulang, tidak terjebak oleh "Aku" yang kami ciptakan sendiri. Terlalu banyak dari kami yang pada akhirnya bergentayangan di dunia karena tak sanggup melepas "Aku". Terlalu banyak hingga pada akhirnya kami terus bergiliran datang ke dunia untuk menyadarkan kaum kami agar pada akhirnya tak ada satu pun dari kami yang terdampar dan menderita di dunia. Kali ini perjalananku berakhir, aku harus pulang bersama Pria itu. Aku tak merasa takut atau sedih. Aku tak merasa kehilangan atau bahagia.

Pria itu mengulurkan tangan padaku, dan aku menyentuh tangannya dengan tanganku. Aku memejamkan mata, lalu meniup mati lilin dalam genggamanku, dan aku memudar.

***
Bunyi bip... yang panjang terdengar dari salah satu kamar di ruang gawat darurat rumah sakit (yang katanya terkemuka) di Ibu kota. Seorang pemuda baru saja menghembuskan nafas terakhirnya. Ia tenggelam ketika berusaha menyelamatkan seorang anak kecil yang jatuh ke kolam, sementara dia sendiri tak pandai berenang. Sanak saudaranya tengah duduk cemas di ruang tunggu. Bisa kau tebak kelanjutannya, tangis mereka akan pecah hingga hari ketika jasadnya masuk ke bumi. Tapi kesedihan seperti ini... sudah ada lama sekali di muka bumi. Kita menyebutnya perpisahan, dan kita tidak pernah siap menghadapinya.