Rabu, 24 Desember 2014

Jealousy

Apa yang mereka sebut cinta... Apa yang mereka pamerkan dan sebut dengan indahnya hidup sebagai manusia... Semua ada waktunya.

Pagi bukannya tak indah, hanya terik mentari kadang terlalu menyengat sampai ingin kupadamkan saja (andai ada remote-nya). Yang berlebih tak pernah lebih menyenangkan selain kelebihan uang. Begitu juga pagi ini. Duduk sendirian di kursi taman sambil menyerap energi dari matahari dan sekeliling agar kulitku tidak terlampau pucat seperti mayat. Duduk di kursi taman berwarna coklat dengan latar taman mawar berwarna merah darah membuat warna kulitku terlihat sedikit mencolok. Tak heran, orang-orang yang sedang lari pagi memasang ekspresi aneh ketika melihatku. Seperti melihat penampakan yang munculnya salah waktu. Tak masalah buatku, sudah terbiasa dengan pandangan semacam itu.

Pagi ini bekalku sebuah buku, sekotak sandwich tuna pedas, dan termos kecil berisi teh hangat campur madu. Aku lupa dengan penyelamat jiwaku, pemutar musik dan earphone kesayangan. Terlalu malas juga untuk berbalik ke rumah mengambilnya. Toh, beberapa jam tanpa musik tak membuatku tenggelam dalam dunia sesat yang super berisik ini. Suara mesin kendaraan, suara orang berbicara dengan aneka nada suara, suara binatang, bahkan suara-suara tak penting seperti decit kayu tua dan suara sepatu. Ketika aku menutup telinga, aku masih harus mendengar suara denyut nadiku sendiri. Dunia ini dikuasai oleh suara. Tak ada celah tempat bersembunyi dari suara, kecuali kau tuli atau telah mati.

Selain suara, tentu saja pemandangan yang tak diharapkan pun ada di mana-mana. Anak kecil berlarian di tengah jalan (semoga terlindas mobil lewat), pasangan tua-muda yang asik bermesraan di taman seolah tak ada tempat lain untuk sekedar berciuman mesra. Dikiranya aku ingin melihat adegan-adegan itu. Mata ini tak bisa menyaring apa yang boleh dan apa yang tidak boleh terlihat. Aku ingin melewatkan adegan-adegan tak penting, tapi aku takut kehilangan pemandangan yang sulit didapat di kesempatan lain. Seperti adegan anak kecil itu terjatuh dan menangis karena lututnya terluka mungkin ?

Intinya, hidup ini adil sekaligus tak adil. Indah diselingi sesuatu yang menjijikkan. Sama seperti mawar indah yang menutupi bangkai di bawahnya. Sama seperti sandwich tuna di tanganku yang kini terlihat menggiurkan setelah kutabur dengan bubuk cabai super pedas kesukaanku. 

Sambil menggigit sandwich aku melihat sekelilingku melihat andainya ada pemandangan menarik lainnya. Ternyata tak ada. Hanya ada sepasang tua tengah bermesraan duduk tak jauh di seberang kursi tempatku duduk. Mereka terlihat bahagia berdekapan seperti sedang bercanda sambil tertawa kecil. Sungguh, pasangan yang terlihat bahagia.

Aku mengalihkan pandangan dari mereka, menyibukkan mataku dengan halaman-halaman buku yang sejak tadi kujadikan tatakan kotak sandwich. Memulai lanjutan cerita ketika pagi hari sebenarnya cukup berat. Apalagi dengan banyaknya godaan suara dan pemandangan. Tak ada musik untuk menenangkan telingaku. Aku masih saja mendengar pasangan tua itu bercanda seolah mereka masih pertama kali jatuh cinta. Seumur-umur, aku belum pernah merasakan cinta seperti yang kubayangkan tengah mereka nikmati bersama. Aku bertanya-tanya kenapa ada orang yang bahagia dan ada juga orang yang kesepian ? Kenapa cinta begitu pemilih? Kenapa bukan aku yang dipilih ?

Setengah jam kira-kira aku membalik lembaran-lembaran dalam buku di tanganku, tanpa banyak isinya yang masuk dalam kepalaku. Pikiranku tengah melayang-layang ke berbagai tempat. Aku tak cukup fokus untuk melanjutkan buku ini. Telingaku masih mendengar bisikan-bisikan mesra dari arah pasangan tua itu. Kebahagiaan mereka seolah kekal. Tak berubah dari awal hingga sekarang. Entah berapa lama lagi mereka akan bahagia seperti itu. Mungkin selamanya, kalau dewa cinta belum berencana mengkhianati pasangan manusia bahagia itu. 

Kesepian ini sungguh menarik utuk didalami. Kadang aku bahagia dengan kesendirianku, mengingat kekasih-kekasihku dulu tidaklah sempurna seperti bayanganku. Sendiri itu kadang lebih nyaman karena aku tak lagi perlu mengatur waktu untuk bisa bersama dengan kekasihku. Tapi kadang kesepian itu menyiksaku sewaktu-waktu aku ingin memiliki pelukan hangat kekasihku. Tak ada manusia sempurna yang bisa menempatkan waktu sedemikian tepatnya hingga tak ada ketidakcocokan dengan jadwal hidupku. Kalau cinta butuh pengorbanan, maka perasaan adalah tumbalnya. Aku sudah korbankan begitu besar perasaanku untuk menutup lubang perbedaan di antara aku dan kekasih-kekasihku dulu. Tapi lubang itu bukannya menutup, malah semakin besar. Seolah tak ada habisnya aku harus memberi tumbal. Perlahan aku semakin kesepian, semakin rapuh dan tak lagi merasa hidup. Itulah kenapa aku memilih untuk sendiri.

Aku penasaran dengan pasangan tua itu. Mungkinkah mereka berhasil melalui lubang-lubang jebakan dan mencapai garis akhir, sebuah nirwana cinta mungkin ? Atau mereka masih terlena dengan candu yang kita sebut itu cinta hingga suatu ketika nanti mereka akan terbangun dalam kondisi koma dan tak berdaya ketika habis candunya.

Cinta itu tak berawal dan tak berakhir, karena cinta itu ilusi karangan manusia. Cinta adalah sebutan untuk momen yang dianggap indah. Ketika momen itu lewat, cinta pun dipersalahkan. Bodohnya manusia yang menyalahkan momen indah setelah mereka melewatinya dengan bahagia.

Matahari kian terik di atas sana, seolah mengusir manusia kesepian ini dari hadapannya. Padahal, kemana pun aku pergi, ia tetap akan ada di atasku. Baiknya ia naikkan suhu untuk membakarku jadi arang agar tak perlu lagi melihat aku di bumi ini. Aku pun enggan tersengat teriknya lebih lama. Aku bergegas beranjak dari kursiku, mencabut sekuntum mawar merah yang paling cantik di antara kerumunannya. Yang terbaik selalu terpilih, sama seperti cinta memilih manusia mana yang berhak mendapatkannya. Bukan aku pastinya. Kubersihkan duri-duri mawar itu lalu kucium harumnya. Mawar terbaik di taman ini mungkin. Aku melihat pasangan tua yang masih kasmaran itu.

"Setangkai mawar terindah untuk wanita cantik yang berbahagia." Aku menyodorkan mawar itu untuk wanita tua yang setengah terkejut lalu tersenyum semanis mungkin dengan kerutan-kerutan di bibirnya. Pasangannya pun tersenyum ramah dan berterima kasih. Aku pun bergegas pergi meninggalkan pasangan bahagia itu. Mereka terlihat kebingungan karena kami sama sekali tak saling kenal.

Dari kejauhan aku mendengar wanita itu berteriak panik, disambut teriakan panik dari pasangannya, lalu sumpah serapah yang ditujukan padaku.

Tanpa perlu membalikkan wajah, aku bisa membayangkan ekspresi mereka. Wanitanya tentu tengah terisak kesakitan karena baru saja menghirup cabai bubuk super pedas yang kutaburkan dalam mawar cantik tadi, dan pasangan pria nya panik karena momen indah mereka pagi ini harus selesai lebih awal berkat hadiah tak terduga dariku.

 

Selasa, 07 Januari 2014

Peri Kecilku

Kepada peri kecilku yang mungil dan cantik. Kepadamu yang sedari dulu tersimpan rapat di kotak pandora yang tenggelam ke dasar hatiku bersamaan dengan berlalunya waktu. Kepadamu yang sempat terlupa beberapa waktu bersama lamunan panjang dan jiwaku yang separuh beku. Malam ini aku membuka kembali petimu. Membuka kembali rasa yang seharusnya kusentuh agar hidup dan bernafas baru. Aku harus melihatmu, walau perih dan lebammu akan merasuki aku.

Malam purnama berselimut kabut tipis bernuansa dingin tapi lembut menghanyutkan. Lirih terdengar suara nyanyian makhluk-makhluk malam yang membuat bulu kuduk berdiri bagi orang-orang awam. Tidak buatku yang sesama makhluk malam. Aku manusia malam yang benci terang. Terlalu banyak perih yang kurasa di saat terang, hingga aku kabur dan bersembunyi bersama gelapnya malam, menikmati hidup bersendirian. Sekian lama, kenapa baru sekarang aku sadar betapa aku merasa kesepian. Seperti hidupku selama ini telah dicuri dariku. Tapi oleh siapa, tak lain tak bukan adalah diriku sendiri yang menjadi malingnya. Aku hidup tapi tak sepenuhnya hidup. Seperti sambaran petir di siang yang cerah, aku teringat dengan peri kecil yang telah aku kubur. Butuh perjalanan panjang untuk mencapai dasar hatiku. Tapi aku perlu ke sana untuk menghidupkan kembali jiwaku. Banyak orang yang telah memperingatkan aku bahwa penemuan jati diri akan melalui kenangan-kenangan pahit yang mungkin telah kita coba untuk lupakan, atau bahkan kita tutupi dengan kebahagiaan palsu dan kita buatkan taman bunga agar tak tercium busuknya. Tapi penyembuhan selalu membuka kembali luka lama. Dan malam ini... aku berjalan ke sana.

Awalnya aku menembus tirai pertama. Tirai sutera berwarna perak agak tembus pandang. Begitu lembut, hampir tak tersentuh oleh kulitku. Dibaliknya adalah hutan yang rindang. Hijaunya masih terlihat berkat cahaya bulan. Semakin jauh ke dalam semakin gelap dan hitam pekat. Aku takut, tak tahu apa yang ada di dalam sana. Tapi aku harus melewatinya untuk mencapai dasar hatiku. Aku menutup mata dan berjalan lurus ke depan. Terdengar isak tangis di depanku. Aku abaikan. Terdengar lagi semakin keras dan semakin dekat. Aku masih abaikan. Suara itu kini berada di sampingku, di sisi kanan. Aku tak berani melihat. Tanganku gemetar dan dingin. Kakiku tak mampu bergerak maju. Ada sesuatu yang mengharuskan aku untuk bertatap muka dengan sesuatu yang berada di sisi kanan tubuhku. Sesuatu yang aku benci tapi harus aku hadapi. Entah apa itu. 

Entah berapa lama berselang tanpa aku berani memicingkan mata melihat apa itu yang ada di kanan. Dan sesuatu itu pun tak berusaha memaksa aku untuk melihat wujudnya. Aku tahu tak mungkin bisa melewati hutan ini tanpa melihat sesuatu itu. Aku memaksakan mata kananku untuk membuka. Hitam... berbulu. Tatapannya tajam mengarah tepat ke mataku. Matanya hijau seperti jamrud. Seekor serigala hitam. Aku menatapnya. Lebih tepatnya kami saling bertatapan. Seolah ia tengah mengirimkan pesan lewat tatapan matanya. Tapi aku tak mengerti isi pesan itu. Aku hanya diam berdiri dan menatapnya. Serigala itu tiba-tiba berbicara. Dengan bahasa manusia tentunya.

"Aku adalah lambang kekuatan. Penjaga rasa takutmu agar tidak keluar dari hutan ini. Aku juga menjaga agar kau tidak mencarinya ke dalam hutan itu. Aku adalah pedang bermata dua yang kau taruh di pintu masuk menuju hatimu. Lewati aku kalau memang kau berani." Serigala itu menyeringai memamerkan giginya yang tajam dan seputih mutiara.

Aku ketakutan dan diam. Sejak kapan aku menaruh makhluk ini untuk menjaga hatiku. Aku bahkan tak mengenalnya sama sekali. Atau mungkin aku pun melupakan bahwa aku telah meletakkan makhluk ini di sini. Aku harus melewati pengawalku sendiri untuk menuju hatiku. Sungguh ironis. 

"Bagaimana caranya agar aku bisa melewati kamu dan melanjutkan perjalanan ini ?" aku bertanya dengan suara gemetar.

"Tidak ada cara. Aku hanya menerima keberanian sebagai harga untuk membiarkanmu lewat tanpa cedera." Serigala itu membalas, lalu melangkah tepat ke depanku.

"Tanpa keberanian, lebih baik kamu berbalik dan pergi." Kali ini nadanya mengancam.

Aku hanya diam, dan bertahan di tempatku berdiri. Sambil memikirkan bagaimana caranya kabur dari makhluk yang terus menatapku di dengan tajam. Aku harus melewati ini untuk bisa masuk ke dalam hatiku. Aku kembali memejamkan mata, mencari keberanianku. Aku mencari sesuatu dalam diriku yang masih mau berjuang, mengumpulkannya. Aku membayangkan sesuatu yang kusebut keberanian itu keluar dari diriku. Aku mewujudkannya dalam bentuk sepasang serigala berbulu merah menyala. Keduanya perlahan mengelilingiku, seolah menunggu perintah dariku.

"Ijinkan aku lewat, setidaknya aku telah menampakkan keberanianku di hadapanmu. Aku tak ingin melukaimu." Aku berusaha mencari ijin dari serigala hitam yang masih terlihat garang.

"Lewati aku... dengan keberanianmu." Serigala hitam itu menerjang maju, menerkam kedua serigala merah yang merupakan perwujudan keberanianku.

Aku terkejut dan terlempar ke belakang, untung kedua serigala merah itu menghadang taring serigala hitam. Tak terbayang kondisiku bila terkoyak taring-taring tajam si serigala hitam. Aku melihat ketiganya bertempur garang. Serigala hitam itu begitu kuat, hingga imbang melawan sepasang keberanianku. Aku berharap-harap cemas dan setiap kali aku merasa dilanda takut, kedua serigala merah makin lemah. Aku pun belajar dari kesalahan itu, dan memberanikan diri. Menguatkan kedua keberanianku yang saat ini bertarung untukku. Aku harus kuat, untuk bisa menguatkan mereka. Dalam keadaan terdesak, keberanian memancar lebih dari yang kita tahu. Itulah rahasia yang membuat induk hewan rela mati untuk melindungi anak-anaknya. Keberanian semacam itu yang kini muncul dan akhirnya memenangkan pertarungan.

Serigala hitam itu terkoyak di lehernya, tersungkur dan bernafas terengah-engah. Aku melihat mata hijaunya yang indah kini berkaca-kaca. Aku bingung, kenapa ia terlihat bahagia. Tiba-tiba angin berhembus dari arah hutan, menerjang tubuhku. Ada sesuatu dalam angin itu. Ada satu ingatan yang merasuki aku bersamaan dengan angin itu. Aku berlari memeluk tubuh serigala hitam yang terbaring kaku dengan nafasnya yang memburu. Arion. ya... Arion namanya. Dialah "Tekad" yang kuletakkan di pintu masuk ini, tekad yang melarangku masuk kembali ke dalam hatiku. Sahabat terbaikku yang selalu ada setiap aku terjatuh. Aku telah menyakiti tekadku sendiri. Tapi tanpa melaluinya aku tak akan bisa masuk ke dalam hatiku. Aku memeluknya begitu erat dan menangis. Arion yang terluka parah malah tersenyum padaku. Ketika air mataku jatuh mengenai wajahnya, seketika itu setitik cahaya putih keluar dari bulu hitam Arion, lalu meluas seperti merontokkan bulu-bulu hitamnya. Luka di lehernya pun tertutup sempurna. Kini Arion berwujud serigala putih bermata hijau jamrud. Kini tekadku telah memihak padaku. Keberanianku berhasil mengubahnya. Aku senang berhasil melewati satu tirai dan menemukan kembali ingatan tentang sahabatku ini, tapi Arion memperingatkan aku bahwa di depan sana masih banyak bahaya yang merintang. Aku harus tetap waspada. Kami pun bersatu dan melanjutkan perjalanan.

Setiap penjaga memegang satu ingatan, dan Arion hanya mengingat bahwa aku tak boleh melewati hutan bila aku tak punya cukup keberanian. Dengan tekad dan keberanian, aku akan melewati ujian berikutnya. Aku menelusuri hutan yang tadi terlihat menakutkan, tapi bersama Arion, aku melangkah dengan pasti. Tirai berikutnya berwarna hitam, lebih kasar, seperti kain usang. Dibaliknya ada batuan karang hitam dengan pendar kristal-kristal tajam yang mencuat tak beraturan. Ada begitu banyak pendaran-pendaran berwarna putih seperti kunang-kunang. Tapi aku tak yakin apa itu. Aku juga mendengar suara seperti sesuatu yang bergesekan dengan tanah. Sesuatu yang berat, dan mengerikan.

"Siapa di sana ?" aku bertanya, hampir gemetar.

Tak ada jawaban, hanya gesekan-gesekan yang membuat bulu kuduk merinding. Gerakan yang terdengar semakin dekat dan terus mendekat. Aku berusaha melihat dalam kegelapan. Seketika, berhembus angin kencang. Seperti disengaja. Atau memang disengaja oleh makhluk di depanku. Arion berusaha menghalau terpaan angin, tapi ia terangkat dan terlempar jauh ke belakang. Begitu juga kedua serigala merah. Mereka seperti diikat di sana, dan aku kini sendirian. Lalu sosok itu menampak padaku. Seorang gadis kecil. Pucat, putih sekali. Bola matanya berwarna biru pudar, hampir serupa mayat. Rambutnya hitam sebahu, tanpa sehelai pun pakaian. Bukan, bukan gadis kecil. makhluk ini tidak memiliki pusar ataupun segala sesuatu yang seharusnya ada di tempatnya. Makhluk ini lebih mirip gadis bertubuh alien. Seperti tubuh yang terbuat dari silikon tanpa celah. Tangannya menggenggam sesuatu, kecil dan berdenyut. Astaga, gadis itu memegang jantung. Dari dalam jantung itu mencuat kristal-kristal tajam yang berpendar keperakan. Ia menatap tajam ke arahku, dengan ekspresi seperti marah, tapi juga sedih. 

"Cukup sampai di sini, jangan berharap untuk lewat." Bibir mungil makhluk itu bergerak, tapi suaranya merupakan paduan dari beberapa suara. Wanita, pria, dewasa dan anak-anak. Gadis itu mengancam dengan raut muka yang sama. Seperti marah, tapi juga sedih.

"Siapa kamu ?" aku melanjutkan bertanya. Walau aku tak yakin akan mendapat jawaban yang kumau.

"Siapa ? Aku ? kamu ?" makhluk itu menjawab dengan cara yang sama.
"Siapa kita ?" lalu ia tersenyum sinis dan melangkah mendekat.

Aku gemetar tapi berusaha tegar. Bukankah makhluk di depanku ini ternyata hanya setengah dari tinggi badanku, tapi kenapa rasanya dia jauh lebih kuat dariku ?

"Kau bertanya siapa aku... akulah rasa takutmu." Dan kemudian ia melangkah mundur dariku. 

"Rasa...takut..ku ?" aku merasa makhluk itu bukan sedang mundur, tapi bersiap menyerang ketika aku lengah.

"Bukankah sebagian besar hidupmu terisi dengan rasa takut ? takut akan dunia di luar sana yang terlalu menyakitkan untuk manusia lemah sepertimu. Takut akan pengalaman pahit yang melukai perasaanmu terlalu dalam. Takut akan mencintai kemudian lagi-lagi dan lagi, disakiti hingga kau memilih untuk membungkam hatimu, menutup mata hatimu, dan mematikan rasa, memadamkan satu-satunya penerang, sumber cahaya di dunia dasar hatimu ini. Tempat kau menyembunyikan... aku." Makhluk itu kini meringis mengerikan.

"Ijinkan aku melewatimu. Aku harus masuk lebih dalam." Aku memelas. Karena aku tak tahu harus bagaimana melewatinya.

"Kalau kau berani menggenggam jantung ini, dan bertahan, kau boleh melewati aku."

"Jantung ? jantung siapa itu ?"

Pertanyaan terakhir dariku tak mendapat jawaban. Ia hanya tersenyum sinis dan mendekat sambil mendorong jantung itu mendekati wajahku.

"Ambil..."

Aku mendekatkan tanganku pada jantung itu. menyentuhnya pelan. Dingin, dan berdenyut. Dengan kristal-kristal tajam yang ternyata jauh lebih hangat dari jantung itu sendiri. Rasanya begitu lembut, seolah akan lebur kalau aku menekannya lebih kuat. Aku hampir menikmatinya ketika kristal-kristal dari dalam jantung itu tiba-tiba berpendar dan seolah tumbuh, menusuk tangan-tanganku. Aku berteriak kesakitan. Sakitnya luar biasa. Rasa sakitnya menjalar dari tangan naik ke lengan, seolah menjalar. Dan lebih parahnya, aku tak bisa lepas darinya. Tunggu, ini bukan rasa sakit karena tertusuk kristal. Rasa sakit ini, kenapa aku mengenalinya lain dari rasa sakit seperti tertusuk jarum atau teriris pisau ? rasa sakit ini sangat kukenal. Rasa sakit ini...

"Cukup," kataku. Dan air mata menitik pelan, karena aku mengerti.

Makhluk itu tersenyum, lebih ramah. Tapi tak bertambah hidup sedikitpun. Lalu dari arah pusarnya (posisi di mana pusar manusia berada) terlihat ada cahaya. Cahaya itu seolah membelahnya dari dalam. Ajaib, yang keluar dari dalam tubuhnya. Seorang gadis kecil, rambutnya begitu putih, kulitnya seputih merpati, bola matanya merah keunguan. Sisanya begitu putih. Albino. 

"Akulah Nina, kelemahan terbesarmu, rasa takutmu, yang sesungguhnya hanya membutuhkan kamu untuk menerima aku. Jangan pernah sembunyi dariku. Jangan sembunyikan aku. Aku adalah kamu." Gadis itu berpendar, pecah menjadi jutaan cahaya serupa kunang-kunang, menyalakan kristal-kristal di ruang ini. 

Kini semua tampak benderang dan jauh dari kelam. Karang hitam berubah menjadi karang penuh warna dengan tanaman-tanaman dan air yang seolah mengalir keluar dari segala arah. Begitu hidup.

Rasa sakit yang tadi kurasakan, adalah rasa takut untuk kalah, rasa takut untuk mencoba, rasa takut untuk hidup menjadi diriku apa adanya. Dari pengalaman-pengalaman buruk, aku semakin takut untuk hidup. Bukankah rasa takut adalah semacam firasat untuk melindungi diri kita dari keterlukaan ? Bukankah rasa takut itu seharusnya ada dalam diri kita ? Tanpa rasa takut kita tak akan tahu batasan mana yang tidak boleh kita langgar. Tapi terlalu banyak rasa takut akan membuat kita terkurung dalam satu ruangan sempit. membuat kita mati juga. Jadi, rasa takut itu aku wujudkan dalam bentuk makhluk berkepribadian ganda. Ketika dibutuhkan, ia akan cukup kuat untuk menghentikan aku. Aku bersyukur menemukan kembali ingatan ini.

Di depan sana, ada satu pintu lagi. Tak terlalu besar, sebuah pintu kayu. Putih, dengan engsel kuningan berukir bunga lili. 

Aku segera mendekat dan menjulurkan tangan menyentuh engsel itu. Hangat. Lalu berubah panas. Kemudian membara. Aku pun menarik tanganku menjauh. Memang tak mungkin mudah karena semakin aku mendekati tujuanku. Aku tahu tantanganku akan semakin berat. Ada angin berhembus menyentuh wajahku, lalu berputar mengitari telinga hingga ke telinga lainnya. Dalam sentuhannya aku mendengar angin berbisik samar. 

"Ini lah hatimu, minta apa pun yang kau mau. Dia akan berikan apa pun itu, selama datangnya dari dirimu." Lalu angin itu melesat pergi.

"Apa pun itu ?"

"Pintu, ijinkan aku masuk !" aku diam dan melihat apa yang terjadi. Tak ada perubahan, tak ada suara, tak terjadi apa-apa. Tentu saja tak akan semudah itu, pikirku.

"Datang dari diriku ?"

"Hatiku... ya, hatiku. Aku ingin masuk."

Hening belasan detik, tapi terasa lama sekali hingga akhirnya terjadi reaksi. Engsel pintu itu seperti tumbuh menjalar, melilit pintu putih dan meremukkannya ke dalam hingga membentuk sebuah lubang besar. Cukup besar untuk aku merangkak ke dalam. Aku pun merangkak tanpa tahu apa yang ada di dalam sana.

Lubang itu ternyata cukup dalam. Aku merangkak hingga lututku perih. Mungkin kulit lututku telah mengelupas atau setidaknya melepuh. Cahaya di ujung sana semakin dekat. Ujung dari lubang pintu ini. Terang, putih menyilaukan. Saat aku tiba di ujung sana, ternyata lubang ini membawaku ke sebuah ruangan serba putih. Di tengah sana terdapat sebuah kotak putih dengan ukiran bunga lili berwarna keemasan. Inikah kotak pandora yang kucari ?

Aku berjalan pelan mendekat ke kotak berukuran tak lebih dari kotak tissue yang ada di rumah. Kusentuh setiap detailnya. Saat kusentuh, seolah ada pendaran dari kotak itu yang menyilaukan mataku. Seolah meminta aku untuk segera membukanya. 

"Klik..." Bunyi ketika aku membuka penutup kotak. Dan aku membukanya sangat perlahan hingga cahaya putih di dalamnya seolah tumpah ke luar.

Seketika aku telah berada di suatu tempat. Semuanya serba putih. Terang, dan tenang. Tidak dingin, juga tidak hangat. Tak ada angin berhembus dan tak ada gravitasi. Aku butuh beberapa waktu untuk menyadari bahwa aku melayang. Tak tahu mana atas, bawah, depan, belakang. Aku tak tahu berada di mana.

Dari kejauhan, ada yang mendekat ke arahku. Bayangan putih. Semula kupikir itu adalah Nina. Ternyata bukan. Sosok ini putih seperti Nina. Tapi tak jelas jenis kelaminnya. Wajahnya sehalus pualam, tapi rambutnya pendek seperti anak laki-laki. Alisnya maskulin, tapi ia tak berkelamin. Matanya biru muda hampir transparan. Mata yang indah, yang menenggelamkan setiap orang yang melihatnya. Ia berhenti tepat di hadapanku. Menyentuh wajahku, dan menatapku dengan tatapan orang yang sangat merindu.

"Apa kabar... bayanganku," ia bersuara, sama persis suaraku.

Aku kaget dan berusaha menjauh, tapi tangan-tangan kecilnya jauh lebih kuat dari yang kukira. 

"Apa maksudmu ? Aku bukan bayanganmu !" aku berusaha meronta.

"Bukan ? Lalu menurutmu aku ini apa ?" ia membalas bertanya.

"Kamu..." Dan aku bingung.

Kami berdua saling bertatapan cukup lama. Tanpa kata-kata. Tapi ia seperti menyuntikkan sebuah ingatan ke dalam otakku. Sesuatu yang aku sembunyikan dalam ruangan ini, bersamanya.

"Kamu... aku... kita... aku..." Aku meracau.



"Sekarang kamu mengerti ?" makhluk itu bertanya.

Air mataku berlinang. Aku mengerti semuanya. Alasan kenapa aku tak pernah bisa membawa makhluk ini keluar dari kotak pandora. 

Dia adalah aku. Aku juga adalah dia. Kami adalah satu yang terbagi menjadi dua. Seperti siang dan malam yang tak mungkin menyatu, tapi kami saling merindu dan melengkapi satu sama lain. Kadang dia ada menggantikan aku, dan kadang aku menggantikannya. Saat dia ada, aku harus menghilang. Tapi aku terlalu lama mencuranginya. Aku mengubur dan menutup jalan pulang karena aku tak ingin digantikan. Tanpa aku sadari, kebodohanku telah merusak keseimbangan yang seharusnya ada. Aku menjadi lepas kontrol, seperti kehilangan sesuatu tapi aku tak ingat lagi apa itu. Sesuatu yang fatal, sesuatu yang sangat vital. Celakanya, aku telah lupa bagaimana mengembalikan keseimbangan itu. Dia adalah hatiku. Peri kecilku. Kebahagiaanku. 

Bagaimana mungkin aku bisa bahagia kalau aku menyembunyikan rasa bahagia itu jauh di dalam hatiku. Mengubur dan melupakan bahwa ia ada di dalam sana, sementara aku sendiri sibuk mencari kebahagiaan di luar. Pada akhirnya, aku harus menyerah. Kebahagiaanku yang sejati terletak jauh di dalam diriku sendiri. Dan hari ini, aku bersyukur telah menemukannya kembali. Aku telah melepaskan diriku dari belenggu yang kuciptakan karena ego-ku. 

Aku memeluk erat makhluk itu, dan ia bersinar, terang sekali. Sekilas aku mendengar ia berbisik...

"Aku... Gray... Akulah kebahagiaanmu." bisiknya. Kemudian aku tertidur, dan Gray menggantikan aku untuk mengendalikan tubuhku.

***

Aku dan Gray bergiliran mengisi waktu sesuai dengan kondisi. Saat butuh menyendiri, aku muncul. Saat bergembira, Gray mengambil alih. Saat ini, tubuhku seimbang dengan seluruh karakter yang aku miliki dan telah aku temukan kembali. Peri kecilku ternyata tidak cantik seperti tinkerbel. Ia tampan walau tak berkelamin, dan aku bahagia bersamanya.