Rabu, 24 Desember 2014

Jealousy

Apa yang mereka sebut cinta... Apa yang mereka pamerkan dan sebut dengan indahnya hidup sebagai manusia... Semua ada waktunya.

Pagi bukannya tak indah, hanya terik mentari kadang terlalu menyengat sampai ingin kupadamkan saja (andai ada remote-nya). Yang berlebih tak pernah lebih menyenangkan selain kelebihan uang. Begitu juga pagi ini. Duduk sendirian di kursi taman sambil menyerap energi dari matahari dan sekeliling agar kulitku tidak terlampau pucat seperti mayat. Duduk di kursi taman berwarna coklat dengan latar taman mawar berwarna merah darah membuat warna kulitku terlihat sedikit mencolok. Tak heran, orang-orang yang sedang lari pagi memasang ekspresi aneh ketika melihatku. Seperti melihat penampakan yang munculnya salah waktu. Tak masalah buatku, sudah terbiasa dengan pandangan semacam itu.

Pagi ini bekalku sebuah buku, sekotak sandwich tuna pedas, dan termos kecil berisi teh hangat campur madu. Aku lupa dengan penyelamat jiwaku, pemutar musik dan earphone kesayangan. Terlalu malas juga untuk berbalik ke rumah mengambilnya. Toh, beberapa jam tanpa musik tak membuatku tenggelam dalam dunia sesat yang super berisik ini. Suara mesin kendaraan, suara orang berbicara dengan aneka nada suara, suara binatang, bahkan suara-suara tak penting seperti decit kayu tua dan suara sepatu. Ketika aku menutup telinga, aku masih harus mendengar suara denyut nadiku sendiri. Dunia ini dikuasai oleh suara. Tak ada celah tempat bersembunyi dari suara, kecuali kau tuli atau telah mati.

Selain suara, tentu saja pemandangan yang tak diharapkan pun ada di mana-mana. Anak kecil berlarian di tengah jalan (semoga terlindas mobil lewat), pasangan tua-muda yang asik bermesraan di taman seolah tak ada tempat lain untuk sekedar berciuman mesra. Dikiranya aku ingin melihat adegan-adegan itu. Mata ini tak bisa menyaring apa yang boleh dan apa yang tidak boleh terlihat. Aku ingin melewatkan adegan-adegan tak penting, tapi aku takut kehilangan pemandangan yang sulit didapat di kesempatan lain. Seperti adegan anak kecil itu terjatuh dan menangis karena lututnya terluka mungkin ?

Intinya, hidup ini adil sekaligus tak adil. Indah diselingi sesuatu yang menjijikkan. Sama seperti mawar indah yang menutupi bangkai di bawahnya. Sama seperti sandwich tuna di tanganku yang kini terlihat menggiurkan setelah kutabur dengan bubuk cabai super pedas kesukaanku. 

Sambil menggigit sandwich aku melihat sekelilingku melihat andainya ada pemandangan menarik lainnya. Ternyata tak ada. Hanya ada sepasang tua tengah bermesraan duduk tak jauh di seberang kursi tempatku duduk. Mereka terlihat bahagia berdekapan seperti sedang bercanda sambil tertawa kecil. Sungguh, pasangan yang terlihat bahagia.

Aku mengalihkan pandangan dari mereka, menyibukkan mataku dengan halaman-halaman buku yang sejak tadi kujadikan tatakan kotak sandwich. Memulai lanjutan cerita ketika pagi hari sebenarnya cukup berat. Apalagi dengan banyaknya godaan suara dan pemandangan. Tak ada musik untuk menenangkan telingaku. Aku masih saja mendengar pasangan tua itu bercanda seolah mereka masih pertama kali jatuh cinta. Seumur-umur, aku belum pernah merasakan cinta seperti yang kubayangkan tengah mereka nikmati bersama. Aku bertanya-tanya kenapa ada orang yang bahagia dan ada juga orang yang kesepian ? Kenapa cinta begitu pemilih? Kenapa bukan aku yang dipilih ?

Setengah jam kira-kira aku membalik lembaran-lembaran dalam buku di tanganku, tanpa banyak isinya yang masuk dalam kepalaku. Pikiranku tengah melayang-layang ke berbagai tempat. Aku tak cukup fokus untuk melanjutkan buku ini. Telingaku masih mendengar bisikan-bisikan mesra dari arah pasangan tua itu. Kebahagiaan mereka seolah kekal. Tak berubah dari awal hingga sekarang. Entah berapa lama lagi mereka akan bahagia seperti itu. Mungkin selamanya, kalau dewa cinta belum berencana mengkhianati pasangan manusia bahagia itu. 

Kesepian ini sungguh menarik utuk didalami. Kadang aku bahagia dengan kesendirianku, mengingat kekasih-kekasihku dulu tidaklah sempurna seperti bayanganku. Sendiri itu kadang lebih nyaman karena aku tak lagi perlu mengatur waktu untuk bisa bersama dengan kekasihku. Tapi kadang kesepian itu menyiksaku sewaktu-waktu aku ingin memiliki pelukan hangat kekasihku. Tak ada manusia sempurna yang bisa menempatkan waktu sedemikian tepatnya hingga tak ada ketidakcocokan dengan jadwal hidupku. Kalau cinta butuh pengorbanan, maka perasaan adalah tumbalnya. Aku sudah korbankan begitu besar perasaanku untuk menutup lubang perbedaan di antara aku dan kekasih-kekasihku dulu. Tapi lubang itu bukannya menutup, malah semakin besar. Seolah tak ada habisnya aku harus memberi tumbal. Perlahan aku semakin kesepian, semakin rapuh dan tak lagi merasa hidup. Itulah kenapa aku memilih untuk sendiri.

Aku penasaran dengan pasangan tua itu. Mungkinkah mereka berhasil melalui lubang-lubang jebakan dan mencapai garis akhir, sebuah nirwana cinta mungkin ? Atau mereka masih terlena dengan candu yang kita sebut itu cinta hingga suatu ketika nanti mereka akan terbangun dalam kondisi koma dan tak berdaya ketika habis candunya.

Cinta itu tak berawal dan tak berakhir, karena cinta itu ilusi karangan manusia. Cinta adalah sebutan untuk momen yang dianggap indah. Ketika momen itu lewat, cinta pun dipersalahkan. Bodohnya manusia yang menyalahkan momen indah setelah mereka melewatinya dengan bahagia.

Matahari kian terik di atas sana, seolah mengusir manusia kesepian ini dari hadapannya. Padahal, kemana pun aku pergi, ia tetap akan ada di atasku. Baiknya ia naikkan suhu untuk membakarku jadi arang agar tak perlu lagi melihat aku di bumi ini. Aku pun enggan tersengat teriknya lebih lama. Aku bergegas beranjak dari kursiku, mencabut sekuntum mawar merah yang paling cantik di antara kerumunannya. Yang terbaik selalu terpilih, sama seperti cinta memilih manusia mana yang berhak mendapatkannya. Bukan aku pastinya. Kubersihkan duri-duri mawar itu lalu kucium harumnya. Mawar terbaik di taman ini mungkin. Aku melihat pasangan tua yang masih kasmaran itu.

"Setangkai mawar terindah untuk wanita cantik yang berbahagia." Aku menyodorkan mawar itu untuk wanita tua yang setengah terkejut lalu tersenyum semanis mungkin dengan kerutan-kerutan di bibirnya. Pasangannya pun tersenyum ramah dan berterima kasih. Aku pun bergegas pergi meninggalkan pasangan bahagia itu. Mereka terlihat kebingungan karena kami sama sekali tak saling kenal.

Dari kejauhan aku mendengar wanita itu berteriak panik, disambut teriakan panik dari pasangannya, lalu sumpah serapah yang ditujukan padaku.

Tanpa perlu membalikkan wajah, aku bisa membayangkan ekspresi mereka. Wanitanya tentu tengah terisak kesakitan karena baru saja menghirup cabai bubuk super pedas yang kutaburkan dalam mawar cantik tadi, dan pasangan pria nya panik karena momen indah mereka pagi ini harus selesai lebih awal berkat hadiah tak terduga dariku.