Minggu, 28 Juni 2015

Gelapnya Terang

Duduk, dengan ujung mata membendung gumpalan air mata. Tanpa alasan jelas. Tanyakan saja pada hatiku yang juga pasti tak tahu dari mana muasal sesak yang menghimpit jantungku erat. Hanya lembaran kertas dan pensil kesayangan di tangan yang mampu mengurangi penderitaanku, menerjemahkan rasa ini dalam bentuk goresan-seolah tak berarti. Tapi sesungguhnya memiliki arti tersendiri, dalam dunia dan bahasanya yang asing untuk makhluk di luar batas lembaran kertas. Aku lah pencipta dunia tanpa penghuni, yang tak gila puja dan puji. Aku hanya ingin mengisi duniaku dengan harta karun satu-satunya yang kupunya. Seluruh rasa.

Segelas kopi panas mengepulkan aromanya mengitari lingkar kepala setinggi lubang hidungku. Tak ada celah untuk tak menghirup aroma wanginya yang menggugah selera. Kopi hitam yang diseduh dengan kekentalan setara hitungan matematika. Selalu pas. Khas dari warung tempat jiwa tua-ku yang lelah ini memanjakan diri dari penatnya dunia nyata. Tentu saja seperti biasa juga, dengan bekal secarik kertas kosong dan pensil kesayangan. Tanganku mulai asyik menari tanpa menunggu ijin turun dari otakku. Sudah terlalu biasa, hingga tak perlu sungkan lagi katanya. Lancang memang tanganku ini, terlalu dimanja. Tak apa lah, sudah lelah ia bekerja menerjemahkan isi otakku setiap harinya. Anggap saja ini tamasya baginya. 

Saat aku mulai menggambar, sekelilingku perlahan hilang. Aku masuk semakin dalam dan semakin dalam ke dalam duniaku sendiri. Ruang dan waktu yang begitu sempurna bagiku. Bahkan kalau ada artis terkenal duduk di sampingku pun rasanya tak akan mengubah sesuatu apa pun. Saat seperti ini, adalah saat di mana duniaku adalah segala-galanya.

Cerita ini tak akan mungkin ada seandainya saja dia tak datang sore ini, yang entah dengan ilmu apa telah berhasil menerobos masuk ke dalam duniaku. Membuyarkan semuanya.

"Lagi asyik gambar ?" dia bertanya dengan senyum mendengus. Pertanda bendera perang. Aku bahkan tak kenal siapa dia.

"Hmm..." aku 'menjawab' sambil memicingkan mata.

"Ingat gue ? kita pernah sekelas dulu." Dia melemparkan serangan fatal tanpa permisi.

"Harus ya ?" Jawabku ketus.

"Hehe... Kerja apa loe sekarang ? masih sempat coret-coret gitu."

Aku menjawab dengan diam. Sebuah jawaban khas yang menjadi senjata andalan untuk mengusir lalat pengganggu jenis ini. Tapi ternyata salah.

"Emangnya coretan gini bisa jadi uang ?" dia masih memancing.

Tak lama, dia menarik kursi dan duduk berhadapan denganku. Tanpa undangan, tentunya.

"Daripada coret-coret gak jelas, kenapa gak pakai waktu buat bikin sesuatu aja sih ?" celetuknya.

Kali ini aku terpancing. Menatapnya langsung ke mata. Tampaknya dia sadar kata-katanya berhasil membangunkan gajah bunting.

"Sorry ?" tanyaku dengan nada kasar.

"Gak perlu marah kali, cuma tanya." Dia membela diri.

"Ok, gini deh... wahai orang yang aku lupa siapa nama-mu dan dari mana asal-mu barusan. Maaf kalau kesannya kasar, tapi kayaknya dirimu perlu mengerti sedikit batasan teritori yang baru saja dirimu langgar. Ada waktu sebentar buat dengerin ?"

"Ermm... ok...ok..." wajahnya memerah. Entah menahan marah, atau malu.

Aku membalikkan kertas ku, merelakan sebagian area kosong di duniaku untuk menjelaskan pada orang asing ini.

"Begini... (kugambar sebuah tembok) Kamu di sisi sana... aku di sisi ini. Oke ?"

"Oke... terus ?" 

"Nah... (kugambar matahari di sisinya, lalu mengarsir bagianku dengan warna hitam)."

"Terus... apa maksudnya ?" dia penasaran.

"Begini, Anggaplah sisi mu adalah bagian terang, dan sisiku adalah bagian gelap ini. Nah, dalam keadaan seperti ini, kamu... (aku menggambar sebuah peti harta karun beserta isinya, di sisiku) gak akan bisa melihat apa yang berharga dari sisiku, karena kamu terbiasa dengan terang. Matamu hanya melihat sisi gelap ini sebagai sesuatu yang kosong. Padahal... di dalam area yang kamu anggap kosong ini, ada sesuatu yang berharga bagiku. Sesuatu yang mungkin hanya aku sendiri yang tahu. Sesuatu yang bagi orang lain mungkin tak penting."

"Hmm..." Dia menyimak.

"Sebaliknya, dari sisiku, duniamu itu terlalu menyilaukan. Aku tak bisa melihat apa yang ada di sana. Baik atau buruk, penting atau tidak penting. Kita sama-sama hidup di dunia kita sendiri. Apa yang barusan kamu sebut corat-coret ini penting buatku. Jadi jangan sekali-kali kamu menggurui apa yang aku kerjakan sekarang. Duniaku... milikku. Sama seperti aku tidak berusaha memasuki duniamu karena aku tahu di sana aku tidak akan merasa nyaman."

"hmm..." Dia mengerti, meminta maaf, lalu pergi.

Dan aku, kehilangan duniaku, kehilangan rasa nikmat kopi, kehilangan teman lama. Tapi aku merasa lega. Setiap orang memiliki batas teritori yang pantang untuk dilanggar. Saat ada orang lain yang dengan seenaknya melanggar, sudah seharusnya kita mendorong mereka keluar.