Selasa, 21 Juli 2015

Nada-Nada Cin...ta

Tak ada kata terlambat untuk cinta. Tak ada kata terlambat baginya, walau harus menunggu hingga ku tak mampu. Tak ada kata terlambat. Hanya kapan... dan di mana.

Siang begitu terik. Segelas jeruk dingin pun tak meluruhkan dahaga yang mencekik tenggorokan ini. Mungkin karena cuaca, mungkin juga karena gelisah tak tersalurkan menunggu kabar darinya. Harusnya dia datang satu jam yang lalu. Harusnya dia datang tepat waktu. Segelas jeruk dingin menyisakan buih di dasar gelas. Sibuk tanganku mengaduk-aduk buih itu dengan sedotan plastik. Seolah mengaduk perasaanku yang berbuih akibat terlalu lama berputar-putar dalam gundah gelisah. Dia tahu aku paling benci menunggu. Dia tahu.

Buih di dasar gelas pun enggan lebih lama lagi diaduk. Seolah bisa mendengar protes dari buih-buih di dasar gelas, aku pun beranjak dari kursi tempatku duduk, menuju kasir dan membayar tagihan biaya satu gelas jeruk dingin dan sepotong kue bolu yang telah habis sedari tadi. Tak berlama-lama, dan aku pun meninggalkan tempat itu. Pulang. Menyeret kesal yang memuncak. Sudah cukup. Aku tak ingin lagi meneruskan hubungan ini. Sambil berjalan ke arah pulang, aku matikan ponsel, dan mengusap butiran air di pelupuk mata. 

***

Namaku Randi. Laki-laki yang jatuh cinta setengah mati. Berusaha membuktikan bahwa cintaku bukan picisan yang hanya indah di awal tanpa akhir yang pasti. Aku ingin membahagiakan Ratna, wanita yang menjadi kekasihku saat ini. Belakangan, aku sadar hubungan kami semakin renggang. Bukan karena rasa ini berubah padanya. Kuharap bukan juga sebaliknya. Kami semakin sering bertengkar karena masalah sepele (buatku, entah apakah sepele juga bagi dia). Mungkin aku yang kurang peka. Tapi yakinlah, rasa ini tak pernah berubah padanya sejak awal berjumpa. Aku tengah menuliskan sebuah lagu untuk kekasihku Ratna, sebagai hadiah hari jadi kami yang ke-lima. Aku ingin besok menjadi hari yang istimewa. Menjadi jembatan untuk mempertemukan rasa. Menghapuskan dilema yang menerpa hubungan kami tanpa diminta. Aku ingin menjadi laki-laki yang sama yang membuatnya tersenyum bahagia saat aku memintanya menjadi kekasihku lima tahun yang lalu. Laki-laki yang telah berhasil masuk dalam hatinya.

***

Satu minggu sudah aku mengabaikan pesan singkat dari Randi. Tak aku baca. Melihat pesan panggilan tak terjawab pun aku jengah. Ada yang salah dengan rasa ini. Mungkin keputusanku untuk mengakhiri hubungan kami adalah pilihan terbaik. Aku merasa semuanya berubah sejak dua bulan yang lalu. Semakin jarang dia mengabariku, semakin jarang dia mencari tahu. Mungkin dia pun merasakan yang sama, bahwa hubungan kami telah tiba pada titik akhir cerita. Tak akan indah bila dilanjutkan lebih lama. Bisa-bisa malah menghancurkan semua kisah indah di awal cerita. Sama seperti serial TV. Memukau di awal cerita, tapi semakin tak masuk akal bila ceritanya  dipaksakan berlanjut terlalu lama. Semua yang berawal pasti akan ada akhirnya. Hanya masalah waktu saja. Aku berjanji tak akan membencinya. Aku memang tak membencinya. Aku hanya butuh waktu. Aku sendiri tak tahu berapa banyak waktu yang aku butuhkan sebelum akhirnya aku memutuskan untuk bisa membuka diri bagi Randi sekali lagi. Sebagai teman.

***

Salahku, terlalu memaksa untuk membuat kejutan ini. Aku sadar, demi kejutan ini telah kukorbankan waktu terlalu banyak mengabaikan Ratna. Wajar kalau dia marah. Aku hanya tak menyangka semua ini malah menjadi bumerang pada hubungan kami. Aku berhasil menyelesaikan lagu untuknya, tapi aku terlambat dua jam di hari jadi kami. Saat aku tiba di sana, dia sudah tak ada. Ponselnya mati hingga keesokan harinya. Semua panggilan dan pesan singkatku tak dibalas. Setiap aku main ke rumahnya, selalu dibilang Ratna tak ada di rumah. Aku tahu dia mengintip dari balik jendela kamarnya di lantai dua. Tapi aku yang salah, dan tak pantas buatku memaksa. Mungkin dia butuh waktu. Aku harus terima.

***

Enam bulan sudah berlalu. Aku mengabaikan Randi. Pagi tadi, datang satu paket darinya. Isinya, Ipod-ku yang dulu tertinggal di apartemennya, juga beberapa barang lainnya. Tak ada yang penting sebenarnya. Mungkin dia mengerti arti diamku selama ini. Mungkin dia akhirnya pun menyerah pada keputusanku ini. Aku egois, tapi aku memang sudah tak mau lagi. Tak ada gunanya terus mengalah kalau aku hanya menipu perasaanku, dan rasa bahagianya. Dia ber-hak untuk bahagia yang sesungguhnya. Begitu juga aku.

***

Enam bulan, aku tak berhasil juga mencairkan es di hati Ratna. Tak ada satu hari pun terlewati tanpa pesan singkat dan permintaan maaf dariku. Enam bulan, cukup rasanya. Tak selamanya aku bisa mengalah pada hatiku yang kesepian dan butuh dihangatkan oleh senyum dari seorang wanita. Aku memutuskan untuk menyerah. Ratna bukan lah wanita satu-satunya di dunia. Sungguh, aku tak membencinya.

***

Tepat satu tahun setelahnya, Randi mengirimkan sebuah undangan. Entah apa maksudnya. Mungkin sebagai balasan rasa sakit hatinya karena telah kutinggalkan tanpa memberinya kesempatan. Tapi sungguh, aku tak merasakan sakit sedikit pun. Tidak, aku bohong. Entah kenapa rasanya sesak sesaat. Tapi aku tak menggubris. Hidupku sudah tenang sekarang, tanpa dirinya. Mungkin aku akan datang dan memberinya ucapan selamat. Sebagai tanda bahwa di antara kami resmi telah usai. Tak akan ada lagi rasa cinta atau kecewa. Hanya sebagai teman.

Sambil melipat undangan, aku teringat dengan paket yang telah kuabaikan. Ada di bawah ranjang. Paket berisi barang-barangku yang terasa begitu asing bagiku. Padahal sebelumnya, aku selalu akrab dengan musik ipod-ku. Bahkan kadang terlalu asyik dengan musik hingga aku lupa bahwa Randi ada di depanku tengah memperhatikanku. Tunggu dulu, kenapa baru sekarang aku memikirkan itu ? di saat undangan sudah tercetak dengan nama lain bersanding di samping Randi. Sudah terlalu naif untuk memikirkannya. Aku tak ingin terjerembab lebih dalam lagi dengan nostalgia gila barusan. Aku menarik ipod dari dalam kardus, lalu mengisi baterainya yang terabaikan terlalu lama di dalam sana. Sambil aku bersiap mandi. Sebentar lagi aku ingin pergi ke mal untuk belanja bulanan.

***

Ratna, aku sungguh terpaksa untuk memilih wanita lain sebagai pendampingku. Aku sungguh tak menemukan celah untuk menggapaimu. Maaf kalau aku menyerah terlalu cepat. Aku berharap tak akan ada penyesalan di kemudian hari. Aku tak ingin kau terluka. Aku juga tak ingin berlama-lama menyimpan rasa ini sendirian. Aku telah bertemu dengan wanita lain yang mampu membuatku jatuh kembali. Aku bingung, bagaimana memberitahukan padamu. Mungkin kau bahkan tak akan perduli lagi. Pada akhirnya, aku tetap nekad mengirim undangan ini untuk memberitahukan padamu, bahwa di antara kita sudah tak mungkin ada lagi rasa seperti yang dulu. Bahwa aku telah memilih dia untuk mengisi sisa hidupku. Bukan aku tak pernah memilihmu, tapi aku telah gagal membuatmu memilih aku. 

***

Usai mandi dan menyegarkan pikiranku dalam guyuran air di kamar mandi, aku bergegas mengenakan pakaian dan bersiap untuk jalan. Pakaian santai, dan tentu saja ipod yang baterainya baru terisi kurang dari setengah. Aku bahkan hampir lupa lagu-lagu yang tersimpan di dalam sana. Mungkin nanti aku akan mengatur ulang seluruh lagu di dalamnya. Terlalu banyak kenangan yang bisa berakibat fatal bila bangkit dari kuburnya. Aku tak ingin menjadi kalap dan histeris sendiri tersiksa oleh rasa yang telah kubuang sekian lama. Aku tak boleh lemah. Aku Ratna yang bahagia.

Setelah pamit dengan orang rumah, aku berjalan menelusuri gang kecil perumahan menuju jalan raya untuk menghadang taksi. Musik berkumandang di telinga, mengiringi langkah cepatku yang seolah menari. Musik memang bagian hidupku yang tak pernah layu dimakan waktu. Musik mungkin bisa disamakan dengan makanan sehari-hari yang membuatku terus hidup. Di saat senang, sedih, gelisah, semua memiliki musik yang setia menemani dan mengerti aku dengan begitu tepatnya melebihi manusia mana pun. Bahkan kadang melebihi diriku sendiri. Musik adalah belahan jiwaku yang sesungguhnya.

***

Entah, apakah undanganku diterima oleh Ratna atau tidak. Aku sama sekali tak mendapat kabar darinya. Tapi bagaimana pun juga, aku harus melanjutkan rencana hidupku bersama Nadya. Tak ada langkah mundur. Tak boleh ada yang menghentikan waktu yang terus berlalu menuju hari bahagia kami. Bersama undangan itu, telah kukirimkan puing-puing rasa yang pernah ada bersama Ratna. Tak bersisa lagi di hatiku selain Nadya. Karena tak mungkin hatiku mampu menampung dua rasa itu dalam ruang yang sama. Tak mungkin bisa.

***

Cukup lama aku berdiri menunggu taksi di pinggir jalan raya. Musik terus mengalun meneduhkan hatiku dari panasnya cuaca. Musik memang formula istimewa yang mampu mempermainkan rasa. Menunggu taksi di cuaca sepanas ini pun tak mengapa selama ada musik memanjakan telinga. Paling, hanya tanganku saja yang tak henti menepis keringat bercucuran melewati dahi.

Tiba-tiba, sebuah musik bernuansa aneh mengalun. Musik asing yang aku yakin tak pernah dengar di mana pun. Suara gitarnya terdengar direkam secara murahan, tapi juga lumayan. Hatiku sibuk menebak siapa gerangan musisi penciptanya, hingga suara yang kukenal samar perlahan membuyarkan semua tebakan. Ya, suara Randi. Aku hampir tertawa mendengar suara sumbangnya bernyanyi, tapi aku tahan demi mendengarkan setiap kata-katanya. Cukup romantis. Patut diperhitungkan untuk musisi dadakan. 

Terlalu fokus dengan lagu Randi, beberapa taksi telah berlalu di depanku. Untungnya aku segera sadar dan menghentikan salah satunya yang memberi kode lampu dari kejauhan. Aku melanjutkan musik dari Randi di dalam taksi setelah memberitahukan lokasi tujuanku ke supir taksi. Mungkin supir taksi itu mengira aku gila, karena dalam taksi aku tak mampu lagi menahan tawa menggelegar setelah mendengar kata-kata dalam lagu Randi. Rasanya tak mungkin laki-laki sepertinya menuliskan kata-kata romantis seperti ini. Sungguh bukan dia. Supir taksi itu terus melihatku dari kaca spion, tapi kuabaikan. 

Musik berdurasi empat menit itu pun berakhir di tiga puluh detik terakhir. Mungkin dia masih amatir, pikirku. Setelah jedah beberapa detik dari dentingan terakhir suara gitar, suara Randi terdengar lagi. Kata-kata terakhirnya hampir menghentikan jantungku. Air mata pun mencair dari hatiku yang beku sejak hari jadi kami yang kelima.

***

Ratna, kuharap kau tak menertawakan musik yang kutulis untukmu. Sungguh, aku bukan musisi handal seperti mereka-mereka yang musiknya mengisi ipod-mu dan menemani hari-harimu. Tapi musikku ini dari hati. Sungguh, aku tak mengisi musik ini dengan rayuan gombal belaka walau terdengar seperti itu pada akhirnya. Aku ingin segera mengakhiri rasa canggung di antara kita. Aku ingin kita bisa seperti pertama bertemu dulu. Aku ingin kau menjadi pasanganku hingga akhir waktu. Ratna, aku berharap kau akan mendengarkan musik ini hingga akhir, karena di hari jadi kita yang kelima ini, aku menghadiahi kita sebuah lamaran untuk menyatukan kita selamanya.