Sabtu, 10 Desember 2016

Babad Lintang : Bintang Jatuh

  Jalan setapak menanjak dengan batuan kerikil menghias langkah kecil dua pemuda dalam remang cahaya bulan. Keduanya tengah dalam perjalanan menuju pucuk bukit untuk menikmati pengalaman cukup langka dalam sejarah manusia. Mengamati komet Halley.

  Moja, yang berada di depan, berusaha memudahkan perjalanan mereka dengan cahaya dari lentera. Dipta, pemuda satunya berusaha mengikuti dengan nafas yang memburu. Rute menanjak menghabiskan lebih banyak tenaga. Moja dan Dipta adalah sahabat dekat. Keduanya bertemu di sekolah menengah, tepatnya dua tahun lalu. Moja adalah murid pindahan dari kota kecil di luar pulau. Moja dan Dipta cepat akrab karena mereka sama-sama suka mengamati bintang. Keduanya pun termasuk anak pendiam di kelas dan agak dikucilkan. Mereka tidak sepopuler anak remaja pada umumnya. Sebagian besar waktu mereka dihabiskan di kelas untuk corat-coret buku atau sekedar membaca buku di perpustakaan. Perkenalan mereka pun berlangsung di perpustakaan. Ketika itu, Dipta tengah membaca buku tentang komet Halley. Moja seperti menemukan belahan jiwanya. Perkenalan singkat membawa mereka ke hari-hari yang dipenuhi bahasan tentang benda angkasa. Dari sana lah sebuah janji kemudian mengikat keduanya. Janji untuk melihat komet Halley bersama. Komet Halley adalah komet yang hanya terlihat sekitar 75-76 tahun sekali dari bumi. Pengalaman menakjubkan yang tidak boleh dilewatkan oleh keduanya yang memiliki hobi serupa.

"Ja, masih jauh ?" Dipta mulai merengek.
"Di depan sana. Tanah lapang. Cocok untuk melihat bintang." Jawab Moja. Dipta pun tak melanjutkan protesnya.

Langkah mereka tiba di tanah lapang yang dikelilingi pepohonan rindang. Moja segera menggelar tikar yang telah disiapkan. Tak lupa rantang berisi camilan ringan disusun di atasnya. Dipta hanya berjongkok di dekat sahabatnya sambil menunggu semuanya dipersiapkan. Bukan karena tak ingin membantu, tapi karena dia tahu Moja tidak suka diganggu.

Tak selang berapa lama, mereka pun siap. Mereka telentang menghadap hamparan langit malam berbintang, menunggu kemunculan komet yang fenomenal. Dalam dingin malam dan semilir angin, sulit rasanya menjaga agar mata mereka tidak tergoda untuk meluncur ke dalam lelap. Sebagai penangkalnya, Moja mengalihkan kantuk yang mengintai dengan mulai bercerita.

"Dip, pernah dengar cerita tentang reinkarnasi ?"

Dipta yang mendengar topik aneh dari temannya tak lantas merasa aneh. Karena otak mereka, entah kenapa, tercipta serupa walaupun tak sama. Topik ini bukan hal aneh untuk dibicarakan.

"Pernah, Ja. Aku bahkan sering mencari bahasannya di perpustakaan. Tak banyak juga informasinya. Mungkin takut dianggap syirik sama lingkungan beragama di sekolah kita." Jawab Dipta.

"Kamu percaya, Dip ?"

"Percaya reinkarnasi ? Percaya gak percaya sih, belum ada buktinya kan ?"

"Kalau reinkarnasi itu terjadi di depan kamu gimana Dip ?"

Dipta terdiam, seperti berpikir sejenak.

"Maksudnya, Ja ? bukti di depan mataku gitu ? Mungkin aku bisa percaya."

Moja tersenyum tipis mendengar jawaban sahabatnya itu, sementara mata mereka terus menerawang angkasa mencari tanda-tanda kemunculan komet Halley.

"Dip, pernah dengar kalau Roh nenek moyang manusia bisa berpindah lewat pergerakan bintang di angkasa ?"

"Maksudnya, Ja ? belum tuh. Coba ceritakan."

"Jadi begini, Dip. Dahulu kala, selain manusia, ada bangsa lain yang berwujud seperti kita, tapi hidup jauh sebelum manusia ada. Roh nenek moyang. Mereka berpindah dari planet ke planet mengendarai bintang." Moja melihat reaksi Dipta dari sudut matanya. Memastikan sahabatnya masih menyimak, bukannya terlelap.

"Terus ?"

"Perpindahan mereka bukan dalam wujud fisik, Dip. Hanya Roh mereka yang berpindah."

"Bisa gitu, Ja ? keren."

"Ya. Roh itu membawa ingatan dan pengetahuan dari masa ke masa, dari planet ke planet."

"Tujuannya apa ya ?"

"Dari sekian banyak Roh yang berpetualang, tak semuanya kembali ke sumber mereka. Ada yang tersesat di planet-planet karena berbagai hal. Ada yang tidak mau meninggalkan planet yang mereka kunjungi karena terikat perasaan. Ada juga yang terjebak. Dari sana lah muncul yang namanya hantu, arwah penasaran, dan lain sebagainya. Itu kalau menurut ceritanya." Moja menjelaskan.

"Duh, Ja. Malam-malam jangan bahas gituan, ah. Merinding nih." Dipta protes.

"Dip, kalau aku bilang aku bagian dari mereka, kamu bisa percaya ?" Moja memalingkan muka ke arah sahabatnya dengan tatapan serius.

"Maksud kamu, Ja ? aku gak ngerti." Dipta menatap wajah serius sahabatnya itu. Keringat dingin muncul di kening Dipta.

"Dipta, malam ini saatnya. Roh ku pulang bersama komet Halley."

"Hah, jangan aneh-aneh kamu, Ja. Aku takut nih." Dipta terduduk kaget.

"Dip, setelah aku pergi, akan ada penggantiku yang masuk ke dalam tubuh ini, melanjutkan misi bangsa kami. Sampai waktunya nanti dia akan pulang juga, sama sepertiku sekarang." Air mata menitik dari sudut mata Moja. Matanya masih menerawang ke angkasa, melihat sekilas jejak komet yang mulai terlihat.

"Ja, aku gak ngerti. Apa maksudmu ? Kalau kamu masih aneh seperti ini, mending kita pulang deh." Dipta bersiap untuk bangun dari duduknya.

Moja terduduk perlahan, mengusap air matanya. Bibirnya membisikkan perpisahan lirih untuk Dipta. Hampir tak terdengar, tapi Dipta terdiam, pertanda pesan itu tersampaikan cukup jelas untuk dimengerti olehnya. Tangan Moja menggenggam ringan dalam posisi seperti tengah berdoa. Tepat ketika komet melintas di atas mereka, genggaman tangan Moja terlepas dan terjuntai lemas. Moja terduduk lemas seperti raga kosong, bersamaan dengan hembusan nafas panjang yang keluar darinya. Hembusan nafas Moja seolah ikut menarik seluruh udara dalam tubuh Dipta. Terkejut dengan apa yang baru saja terjadi - dan dia seolah tahu bahwa Moja tidak sedang bercanda - wajah Dipta berubah pucat. Tangannya bergetar

"Ja... ?" Dipta memastikan dengan memanggil temannya. Tiga kali ia mengulang dengan nada yang sama.

"Ja, kalau kamu bercanda terus, aku pulang nih !" Kali ini nada suara Dipta meninggi.

Tetap, Moja terdiam tak bergerak. Dipta coba berdiri untuk mendekati tubuh Moja. Ia seperti melihat bibir Moja bergerak tanpa suara. Baru saja Dipta menjulurkan tangan, tiba-tiba sesuatu mendorongnya menjauh. Sesuatu dari dalam tanah. Menusuk tepat di ulu hati tembus hingga belakang tubuhnya, lalu melilit tubuh dan tangan Dipta dengan sengitnya. Dipta menjerit kesakitan. Moja mengangkat kepalanya melihat ke arah Dipta. Matanya sayu, tapi tidak bersahabat.

"Sudah seharusnya." Moja berucap lirih.

Dipta yang kesakitan terus meronta. Terlihat wajahnya kini dilanda ketakutan yang sangat parah. Dipta sadar, yang di hadapannya sekarang bukan lagi Moja yang ia kenal. Matanya membelalak hingga air mata menitik dari pelupuk matanya. Tak bisa dijelaskan apakah itu air mata kesakitan atau karena rasa takutnya yang begitu besar.

"Si..Siapa kamu ?" Dipta bertanya sambil gemetar.

"Siapa aku ? kamu sudah tahu kan ?" Moja bertanya balik.

"Kamu... seharusnya kali ini bukan kamu yang datang." Dipta berubah garang. Kini suaranya seperti menantang dengan penuh marah. Ia berusaha melepaskan diri dari jeratan yang ternyata semacam akar pohon yang mencuat begitu saja dari dalam tanah.

"Ya, seharusnya Roh lain yang datang. Tapi aku punya urusan penting untuk diselesaikan. Aku harus datang duluan." Moja menjelaskan dengan santai.

"Lintang ?" Dipta bertanya kembali.

"Ya, Dipta... atau harus aku panggil kamu Sang-Pengawal ?" Roh dalam tubuh Moja mengiyakan.

Dipta, Sang-Pengawal semakin gemetar. Mulutnya terkunci rapat. Tak ada lagi keberanian untuk berkoar di depan Lintang.

"Nadi Bumi, Aku, Roh PendahuluMu, Ingin Meminjam KekuatanMu.
 Ikat Sang-Pengawal Dengan Jalinan AkarMu. 
 Segel Jiwa Yang Sesat Hingga Tiba Harinya Perang Usai.
 Redam Amarahnya Dalam Lelap Yang Panjang."

Lintang menyelesaikan mantra pengikatnya. Akar pohon yang tadi menyerang tubuh Dipta terlihat bergulung semakin tebal menutupi tubuh mangsanya.

"Kenapa kau mengikatku ?" Sang-Pengawal menggeram.

"Sama seperti aku yang mempertanyakan, kenapa kalian selalu menghalangi kedatangan kami ?"

Mata nanar Sang-Pengawal menutup perlahan dalam lelap. Gulungan akar yang mengikatnya kini membentuk pohon besar yang menenggelamkan tubuh Sang-Pengawal. Lintang menyentuh lembut permukaan pohon itu, mengecupnya, lalu beranjak.

"Tidurlah dengan damai." Lintang membisikkan.


  Dalam remang cahaya bulan, tubuh Lintang bergerak meninggalkan tempat itu. Tak sekali pun ia berbalik. Hanya sisa-sisa cerita dua pemuda - Moja dan Dipta yang bertualang melihat Komet Halley - dan butiran air mata Lintang yang jatuh ke tanah tanpa bersuara. Walaupun Roh di tubuhnya telah berganti, tapi tubuh itu tetap menyimpan kenangan dari Roh sebelumnya. Tak mudah tentunya bagi tubuh ini untuk menerima kenyataan yang menyedihkan. Malam ini, tak hanya kehilangan seorang 'teman', Lintang juga harus meninggalkan kehidupan lamanya, untuk segera menyelesaikan misi yang ia bawa bersama kedatangannya.