Aku berharap esok akan datang lebih awal, Aku berharap esok menghampiriku dengan terangnya yang mengikis gelap di sekelilingku. Aku berharap... Aku akan berbalik dari ruang ini dan menerjang cahaya pagi. Walau jasadku harus terbakar habis.
Mereka yang di depan sana, adalah mereka yang terlihat bodohnya. Manusia mana yang lebih bodoh dari mereka ini. Yang ingin ditemukan, tapi terus menerus bersembunyi. Sama seperti hati yang kesepian tapi tak pernah membuka pintu untuk orang lain menghampiri. Begitulah kira-kira gambaran manusia di sekelilingku. Aku pun belajar menjadi serupa mereka. Tak jauh beda. Biar aku tak dianggap gila.
Manusia itu unik adanya. Mereka terlahir untuk meniru lingkungannya. Belajar bagaimana bertahan hidup dengan menyesuaikan diri. Membaur dengan makhluk di sekitarnya. Sebenarnya aku merasa aneh dan tak nyaman, tapi setidaknya aku aman. Itu menurutku. Tapi masalah itu justru dimulai dari dalam. Sesuatu dalam diriku perlahan memberontak dan ingin berkuasa. Sedangkan aku... terkikis dan mati perlahan.
***
Aku tak ingat berapa usiaku, yang jelas aku masih kecil. Itu karena mereka selalu meledekku, mengatai aku anak kecil, anak mami, anak emas dan lain sebagainya. Tentu saja bukan salahku kalau Mbok Min lebih sayang padaku karena (sekali lagi) aku belajar menyesuaikan diri dan menjadi makhluk yang disenangi di lingkungan ini. Aku menurut segala perintah Mbok Min, dan tidak melanggar larangan-larangannya. Begitulah kira-kira yang membuat Mbok Min selalu mendahulukan aku di meja makan, dan memberi perhatian lebih di luar ruang makan. Kurasa aku terlalu muda untuk belajar menyenangkan semua orang. Itulah sebabnya ada saja yang merasa iri dan tidak suka padaku. Aku mulai belajar untuk tidak terlalu pamer dan menjadi lebih diam, agar mereka tak semakin menjadi.
Mereka yang kumaksud adalah anak-anak panti asuhan tempat aku dibesarkan. Rupa kami semua berbeda satu sama lain. Bahkan sifat pun begitu. Padahal aku sempat berpikir mungkin kami semua ini hanyalah robot yang diciptakan oleh pabrik bernama Panti Asuhan Sugihwaras ini. Ternyata imajinasiku salah dan kenyataan berkata lain. Kami semua tercipta berbeda. Lalu imajinasiku berandai lagi, mungkin ini karena onderdil kami diambil dari rongsokan dengan porsi dan bentuk berlainan sehingga otak kami pun ternyata tak sama. Itu imajinasi yang jauh lebih masuk di akal.
Sehari-hari kami bangun, makan, mandi, bermain, belajar, bermain lagi, lalu makan lagi, mandi lagi dan tidur. begitu seterusnya. Benar-benar tidak menarik. Lebih parahnya, wilayah yang boleh kami jelajahi hanyalah sebatas pagar Panti Asuhan ini. Orang-orang di luar sana selalu memasang wajah aneh ketika memandang kami yang ada di dalam pagar. Mbok Min berkata, bahwa mereka tidak mengerti keindahan yang Tuhan turunkan dalam bentuk anak-anak manis seperti kami (Padahal tak jarang Mbok Min meneriakkan makian-makian seperti anak setan, atau nama-nama binatang saat memarahi anak-anak lain). Manusia itu memang luar biasa rumit untuk dipelajari.
Mbok Min tak sadar kalau aku belakangan mulai mengintip ke luar pagar. Bahkan berbincang-bincang dengan anak gadis di seberang rumah beberapa jam sebelum orang tuanya tiba-tiba berteriak dari dalam rumah meminta anak gadisnya menjauh dari pagar dan kembali masuk ke rumah. Dari gadis itu aku tahu kenapa orang-orang di luar sana memandang kami dengan aneh. Mereka menganggap kami ini anak haram yang tidak diinginkan. Kami ini manusia-manusia yang dibuang. Aku kaget mendengar kenyataan itu. Tapi aku tak berani menceritakannya pada anak-anak lain, apalagi pada Mbok Min.
***
Sebelas tahun di dalam kurungan ini, aku menjadi manusia yang begitu suram. Memendam semua hal yang seharusnya kuungkap tapi aku tak merasa perlu lagi karena aku tahu itu hanyalah perih yang menyakiti siapa saja yang mendengarnya. Aku tak lagi menikmati hidup seperti waktu kecilku dulu. Anak-anak Panti yang lain juga beberapa sepertinya mulai sadar makna kami di masyarakat ini. Tak sedikit yang berubah lebih suram dariku. Kami seperti bayangan yang gelap, yang menggeliat di atas tanah tanpa tujuan pasti. Aku tak tahu akan seperti apa esok pagi, apakah akan ada orang asing yang datang menjemputku pergi seperti beberapa anak lainnya, atau mungkin aku akan bernasib seperti penjaga kebun yang ternyata menghabiskan seluruh hidupnya di Panti Asuhan ini (melihat dari umurnya, sangat kecil kemungkinan untuknya pergi dari sini dalam keadaan hidup).
Aku sempat menulis surat kepada Tuhan, melayangkannya dalam genggaman kaki burung merpati. Tapi aku tak pernah mendapat balasan. Aku pernah juga mengikat suratku pada seekor tikus dan tentu saja tidak pernah ada surat balasan untukku. betapa bodohnya aku. Mungkin Tuhan pun jijik dengan surat yang kutulis di atas kertas lusuh. Tapi hanya itu yang bisa kudapat di Panti Asuhan sangat sederhana ini. Jumlah kami terlalu banyak hingga segala sesuatunya harus dipakai bergiliran atau dibagi hingga hampir tak berbentuk lagi. Miris, tapi tak berdaya untuk mengubahnya. Kami hanyalah anak-anak yang patuh pada aturan agar tidak mendapat hukuman cambuk dari Mbok Min.
***
Tahun ke-tiga-belas, Ada sepasang suami istri datang melihat-lihat Panti dan sepertinya berminat padaku. Aku senang sekali. Sejak pertama kali bertemu, mereka menjadi tamu rutin setiap minggunya, membawakan banyak kue dan mainan untuk kami. Tak ada yang sempurna menurut Mbok Min, tapi bagiku kedua orang ini tentulah calon sempurna untuk menjadi orang tua yang paling sempurna.
Harapanku sirna pada bulan ketiga ketika suaminya meninggal dalam kecelakaan hebat. Wanita itu terlihat lebih suram dariku. Kue terakhir darinya pun seolah terasa pahit dan tercekat di leherku. Aku menangis sejadi-jadinya seolah kedua orang-tuaku-lah yang telah mati. Pada saat itu aku baru sadar, ini pertama kalinya aku memikirkan kedua orang-tua kandungku.
***
Dua puluh tahun di sini, dan hari itu pun tiba. Kedua orang-tua kandungku datang dan mencariku. Mbok Min yang mulai sedikit pikun mengaku tak salah lagi bahwa mereka lah orang-tua kandungku. Tapi aku merasa tak penting lagi mereka datang sekarang. Aku bukan lagi anak kecil yang berharap dikasihi atau pun dikasihani. Aku kesal kenapa mereka meninggalkan aku selama dua puluh tahun lamanya. Tak ada alasan yang bisa membenarkan perbuatan mereka. Mereka sekarang hidup berkecukupan, tapi tidak bisa memiliki keturunan lagi. Mereka berkisah bahwa dulu kehidupan mereka sangatlah miskin. Keluarga mereka pun menentang pernikahan mereka. Sayangnya masa kelam itu tak sekelam apa yang ada dalam hatiku sekarang. Mereka melahirkan malaikat yang menelurkan iblis dalam dirinya. Akulah anak mereka yang manis menggemaskan tapi menyimpan emosi meledak-ledak tak terlihat oleh mata.
Dengan segala cara, mereka meminta aku untuk pulang dan kembali menjadi anak mereka. Segala janji manis ditawarkan agar aku luluh. Aku pun setuju, tapi bukan karena janji-janji itu. Aku ingin berbagi kelam ini bersama kedua orang-tua-ku.
***
Satu bulan berlalu sejak aku pulang, dan rumah ini berubah menjadi neraka. Tak ada satu pun pembantu yang suka dengan kehadiranku. Ayah dan Ibu (begitu kira-kira aku memanggilnya sekarang) tahu aku sengaja berulah. Mereka hanya diam. Mungkin karena mereka merasa bersalah, atau mungkin karena memang hanya aku satu-satunya anak kandung yang mereka punya hingga tak ada pilihan lain. Aku tak perduli juga. Aku terus berulah hingga ketika aku menemukan kotak itu. Kotak berisi buku harian Ibu.
"Diary-ku, aku tak habis pikir mengapa hidup melemparkan aku ke dalam lautan api ketika sejengkal lagi aku akan tiba di padang bunga serupa surga. Aku kehilangan harga diriku oleh orang yang seharusnya menjagaku lebih dari apa pun. Aku malu dan kehilangan harapan hidup. Sungguh aku tak tahu harus ke mana berkisah. Hanya kau dan lembaran-lembaran terakhir ini yang tersisa untuk berbagi tangis dan pedihku. Aku sungguh beruntung kekasihku masih membela aku dan bersedia menikahiku. Tapi tidak dengan anak yang kukandung sekarang ini. Kau tak tahu betapa hancurnya hatiku harus membuang anak ini, walau aku membenci orang yang menitipkannya dalam rahimku. Bagaimana mungkin aku membuang darah dagingku tanpa sesal dan merasa salah. Deritaku sebagai wanita lengkaplah sudah."
Aku membakar diary itu. Membakar rumah itu dan kedua orang-tuaku. Aku membakar semua yang ada di rumah itu bersama kenangan pahit di dalamnya. Lalu aku membakar diriku sendiri hingga menjadi abu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar