Pagi yang
cerah disempurnakan dengan bentangan pelangi indah di angkasa. Perempuan itu
menebar selembar kain putih untuk dijemur di halaman rumahnya yang sederhana.
Sentuhan jemarinya menunjukkan bahwa dia adalah seorang ibu rumah tangga yang
telaten. Sambil bersenandung tembang lawas yang terdengar merdu walau hanya
senandung sederhana-ia melengkungkan senyuman hangat walau tak ada siapa pun di
dekatnya saat itu. Risa namanya. Erisa. Tanpa nama belakang. Wanita keturunan
dengan paras cantik, janda beranak satu. Semua warga sekitar memanggilnya Risa,
kadang “Lisa” karena sulit mengucapkan huruf “R”. Risa sehari-harinya bekerja
sebagai dukun-kalau tak mau disebut dokter-yang menyembuhkan pasien dengan
jamu-jamuan. Warga sekitar sangat menyukai Risa karena sifatnya yang ramah dan
murah senyum. Tak jarang warga mengutang biaya berobat hingga berbulan-bulan tanpa
pernah ditagih oleh Risa. Perempuan ini bukannya rugi, malah mendapat berbagai
macam hadiah berupa hasil sawah dan kebun dari warga yang pernah ditolongnya.
Janda cantik ini tak pernah kekurangan makanan. Keramahan warga sekitar membuatnya
betah tinggal di kampung terpencil di kaki gunung ini. Nala, anak perempuannya,
agak pendiam sejak tragedi mengerikan merenggut ayahnya. Ayahnya adalah pribumi
yang tewas saat kampungnya diserang oleh segerombolan perampok. Beruntung
ketika itu Risa dan Nala tengah mencari tanaman obat di hutan sehingga mereka
selamat dari kekejaman para perampok. Nala adalah gadis berumur sembilan tahun.
Gadis periang yang berubah menjadi dingin sejak kematian ayahnya. Nala hanya
tersenyum untuk ibunya seorang.
“Nala, boleh
bantu ibu ambil air di sumur ?” Risa memanggil anak gadisnya yang sedari tadi
memandangi ibunya dari teras rumah.
“Baik, Bu.
Berapa ember ?” Nala menyanggupi.
“Dua ember
saja, sayang. Terima kasih, ya.” Risa menjawab dengan senyum khas-nya.
Gadis itu
bergegas melangkah ke sumur yang letaknya tak jauh dari halaman rumah.
Tatapannya kosong seperti biasanya. Seperti tak ada kehidupan di sana. Karena
memang hanya Risa-lah satu-satunya alasan ia hidup. Nala mengambil ember yang
terbuat dari kayu tua, dengan tali tambang yang juga tak kalah tua. Sumur itu
cukup dalam, tapi airnya terlihat bening berkilauan di dalam sana. Nala segera
melempar ember ke dalam sumur dan menarik keluar satu ember penuh berisi air
bersih dari perut bumi. Mereka bersyukur memiliki sumur ini, karena kualitas
airnya bahkan lebih bersih dari air sungai yang terletak di dekat hutan. Nala
menyeret ember itu menuju tempat ibunya berdiri. Tanpa sengaja, sudut matanya
menangkap sosok pria tengah berdiri di luar pagar rumah mereka, memandanginya.
Gadis itu terkejut, memekik kecil lalu menjatuhkan embernya dan berlari ke
balik tubuh ibunya. Risa pun dengan sigap melindungi anak gadisnya, sambil
memastikan siapa orang tiba-tiba muncul di depan pagar rumah mereka.
“Kamu…”
Risa memicingkan mata.
“Nala, kamu
masuk dulu, sayang.” Risa meminta Nala untuk kembali ke dalam rumah. Setelah
itu, barulah ia menghampiri sosok misterius yang baru saja datang.
“Risa…”
Sosok itu memanggil namanya.
“Ya, sudah
waktunya ?” Risa menjawabnya dengan sedikit enggan.
“Ya, di
waktu yang tepat. Sesuai perjanjian kita.” Sosok itu menjawab.
Risa
terdiam. Tangannya menggenggam erat gaun putihnya, sedikit gemetar.
“Ikut
denganku…” Risa mengajaknya menjauh dari halaman rumah. “…Lintang.”
***
Erisa,
perempuan keturunan eropa berusia dua puluh dua tahun dengan paras cantik. Pada
suatu petang ia datang ke sebuah kampung nan jauh di pedalaman, di kaki gunung
yang dikelilingi hutan perawan. Risa datang bersama beberapa ajudan dan kuli
panggul. Ia membeli sepetak tanah lengkap dengan bangunan rumah tua yang telah
disulap menjadi rumah sederhana. Rumah yang tidak terlalu megah tapi terlihat
nyaman untuk ditinggali. Risa datang sebagai tukang obat tradisional. Profesi
yang masih asing bagi warga sekitar. Parasnya yang cantik membuat profesinya
tidak dipermasalahkan. Apalagi tak lama setelah tinggal di sana, ia telah
berhasil mengobati banyak warga sekitar dengan pengetahuannya tentang
obat-obatan herbal yang banyak tumbuh di hutan sekitar kampung. Tak butuh waktu
lama bagi Risa menarik perhatian pemuda desa untuk meminangnya. Termasuk
diantara pemuda-pemuda itu adalah Suliman. Pemuda sederhana tapi rupawan dan
sopan. Risa yang sebatang kara kemudian menerima pinangan Suliman dan hidup
bahagia di tempat tinggal barunya. Mereka dikaruniai seorang putri cantik yang
mereka beri nama Unala. Warga sekitar memanggilnya Nala. Gadis periang yang
mencerahkan sekelilingnya seperti matahari pagi. Tak ada yang lebih sempurna
dari keluarga kecil yang walaupun hidup sederhana tapi begitu bahagia. Seperti
halnya tak ada kesempurnaan yang lolos dari mata dengki manusia-manusia berhati
kotor yang tak suka melihat kebahagiaan orang lain dan selalu dibuat iri
dengannya. Salah satunya adalah Ratih, kembang desa yang kini kalah pamor sejak
kedatangan Risa. Ratih dulunya pernah dipinang oleh Suliman tapi berkali-kali
pula Ratih menolak karena Suliman dianggap kurang mapan. Tapi sekarang, setelah
Suliman menikah dengan Risa, entah kenapa Ratih merasa tak rela. Walaupun
keluarga kecil itu tak berlebihan harta juga. Bahkan masih banyak pemuda mapan
yang meminang Ratih. Tetap saja hatinya tak tenang.
Malam tak
berbintang, saat kampung terlelap dalam bisu, Ratih yang hatinya gelap menyewa
beberapa penjahat kawan ayahnya untuk menghabisi keluarga Risa. Rumah mereka
yang letaknya agak jauh dari rumah warga sekitar membuat teriakan mereka tak
terdengar dan hilang ditelan malam. Suliman ditikam dengan golok hingga
kepalanya terpenggal. Sementara Risa, jauh lebih tragis. Setelah dipaksa
menyaksikan anak kesayangannya digilir hingga mati oleh penjahat yang sama
sekali tak ia kenal, Risa ditikam dan dibiarkan mati kehabisan darah. Jasad mereka
sekeluarga dibuang ke dasar jurang, hilang tak berbekas. Ratih yang mendapati
kabar sukses dari suruhannya, tertawa puas. Walaupun ia tak mendapat apa-apa
dari perbuatannya. Tidak, selain dendam dan jeritan balas dendam dari wanita
yang telah ia bunuh dengan sadisnya.
Risa telah
mati. Tapi Roh-nya tak pernah pergi dengan tenang. Risa kembali sebagai sosok
hantu bergaun merah yang menghantui kampung dan menyebar tulah. Ratih dan
keluarganya menjadi korban pertama. Ratih dicabik hingga isi perutnya terburai
dan wajahnya sulit dikenali. Keluarganya satu per satu mati dengan cara yang
sama. Sementara, para penjahat yang disewa oleh Ratih tewas dengan tubuh
terpisah-pisah. Celakanya, Risa bukan lagi manusia yang punya nalar. Ia hanya
Roh yang dipenuhi amarah. Kemarahannya kini telah menghancurkan setengah isi
kampung. Sisa warga yang masih hidup kemudian pindah keluar kampung demi
menghindari tulah. Sejak itu, Roh Risa berkeliling kampung mencari anak dan
suaminya. Setiap malam terdengar rintihan, tangisan, jeritan pilu dari Risa.
Tak ada yang bisa menolongnya. Tak ada yang berani mendekati kampungnya.
***
Risa
mengajak Lintang berjalan ke arah hutan, menjauh dari kampung. Keduanya tak
saling bicara hingga tiba di sebuah tanah lapang di tengah hutan. Sinar
matahari tak menembus rimbunnya pepohonan di sekitar.
“Risa, tak
apa meninggalkan anakmu sendirian di rumah ?” Lintang memulai pembicaraan.
“Tenang
saja, 70 tahun cukup untuk aku mempelajari lebih dari sekedar trik murahan.
Pagar gaib melindungi anakku dari orang-orang yang berniat jahat.” Risa
tersenyum manis.
Keduanya
saling menatap dalam diam.
“Jadi,
harus hari ini kah ?” Risa memecah keheningan.
“Satu
siklus, Risa. Tak kurang dan tak lebih.” Lintang menjawab datar.
“Beri aku
waktu. Tiga hari lagi. Boleh ?” Risa menjawab dengan senyum ramah.
“Risa…”
Lintang menghela nafas.
“Aku janji.
Tiga hari. Tak lebih dan tak kurang.” Risa menegaskan.
“Tiga hari
untuk kamu menyiapkan hati, atau tiga hari untuk kamu menyiapkan strategi ?”
Lintang menjawab dengan nada tetap datar.
“Kita
lihat, tiga hari lagi. Di sini.” Risa memalingkan matanya. Nada suaranya
semakin pelan.
Lintang
menatapnya sejenak, lalu berbalik meninggalkan Risa di tengah hutan sendirian
dalam bimbang.
***
Roh penuh
kemarahan tak akan pernah meninggalkan dunianya. Terikat oleh emosi. Mengulang
kemarahan itu terus menerus seperti sebuah rekaman yang diputar berulang-ulang
tanpa ujung. Risa menjadi bagian dari siklus menyedihkan. Perempuan yang
seharusnya hidup bahagia, menjadi korban kebiadaban manusia lainnya tanpa sebab yang pasti hingga harus
berakhir tragis. Tak ada yang tahu seperti apa garis hidup tiap-tiap makhluk di
dunia. Dari mana garis itu dimulai, kemana garis itu berakhir. Untuk Risa,
Garis hidupnya telah berakhir, tapi kisahnya tak berakhir di sana. Ia bertemu
dengan Lintang. Bukan sebuah kebetulan. Lintang datang pada Risa dengan satu
tujuan. Menitipkan “kepingan” dirinya sebelum pergi.
“Wahai Roh
yang dipenuhi amarah, aku Roh Pendahulumu, ingin berbicara.
Aku
perintahkan kamu untuk menghadapi aku tanpa emosi.”
“Siapa kau,
makhluk lancang yang berani mengaku leluhurku ?” Risa mengamuk dan menerjang ke
arah Lintang.
Lintang
mengangkat tangan kirinya dan muncul perisai tak kasat mata yang menghalangi
Risa. Cakar tajam Risa menyentuh perisai itu dan muncul percikan api ke segala
arah. Risa melompat mundur seperti seekor singa. Risa menggeram penuh amarah.
Matanya tak henti mencari celah untuk menyerang makhluk di depannya. Tapi ia
tahu, makhluk di depannya berbeda dengan manusia lain yang telah ia tebas
dengan mudahnya.
“Risa, aku
datang untuk membuat perjanjian. Kalau kau menolak, aku akan mencari Roh
lainnya. Tak perlu memakai kekerasan.” Lintang mengajak Risa berdialog.
“Siapa
kamu, dari mana kau tahu nama ketika aku masih hidup ? ada perlu apa ?” Risa
menggeram.
“Risa, aku
Roh Pendahulumu. Aku perlu kau untuk menjaga sebagian diriku selagi aku tak di
sini. Setidaknya sampai aku kembali nanti.” Lintang menjelaskan dengan singkat.
“Kenapa aku
harus membantumu ?” Risa memekik kesal.
“Membantuku,
sama saja membantu dirimu, untuk menemukan jalan pulang.” Lintang menjelaskan.
“Pulang ?”
Risa mendesis.
“Pulang,
lepas dari ikatan emosimu sekarang.” Lintang tersenyum.
Lintang
menarik keluar sebuah cahaya kecil dari arah jantungnya. Seperti kunang-kunang.
Kecil berkilauan. Ia mengarahkannya pada Risa.
“Jaga ini.
Sampai aku datang untuk mengambilnya kembali.” Lintang menyerahkannya pada Risa
tanpa meminta persetujuan.
Risa
menerima cahaya itu, mendekapnya, ada
perasaan aneh merasukinya. Sesuatu yang hangat dan telah lama ia lupakan.
Sesuatu yang menarik kembali kenangan terindah tentang kehidupannya yang lalu.
Risa mengerti tanpa harus diberi tahu. Ia sadar sesuatu yang telah lama hilang
itu telah ia temukan, dan untuk pertama kali setelah
kebangkitannya, ia menangis.
***
Malam ini,
Risa tak bisa memejamkan mata, memikirkan tiga hari waktunya yang tersisa.
Bagaimana mungkin ia akan melepas apa yang diperjuangkannya selama 70 tahun
belakangan. Tiba-tiba Nala mendekap ibunya yang tengah duduk di bangku teras. Wajahnya
terbenam di punggung ibunya seolah mengerti gundah yang terpendam di sana.
“Bu, belum
tidur ?” Nala bertanya pelan.
“Nala, kok
kamu masih bangun ? Ibu sebentar lagi tidur kok. Nala kembali ke kamar sekarang
ya.” Risa mengusap lembut rambut anak kesayangannya, kemudian mengecup
keningnya. Air mata Risa menitik tanpa suara.
“Ibu… menangis
?” Nala mendekap ibunya makin erat.
“Ibu gak
apa-apa Nala, Ibu cuma kangen Ayah.” Risa mendekap anaknya erat.
“Yuk kita
tidur, nak.” Keduanya bergegas masuk ke rumah. Meninggalkan gundah di balik
pintu rumah bersama dinginnya malam, berharap gundah itu terbawa bersama angin
malam.
Setelah
menerima titipan dari Lintang, Risa perlahan mendapatkan kembali wujud
manusianya. Risa menggunakan kesempatan itu untuk mendalami pengobatan dan
sihir kuno ke berbagai daerah. Ia bahkan berhasil mengubah “benda” titipan
Lintang itu menjadi wujud anak gadisnya yang ia rindukan. Walaupun tak
sempurna. Risa memasukkan kenangan palsu ke dalam tubuh anaknya. Nala tak
pernah tumbuh menjadi lebih dewasa, dan beberapa kali telah berpindah tempat
tinggal untuk menghindari kecurigaan warga. Sementara itu, cerita bahwa Risa
adalah janda korban perampokan menjadi senjata andalan mereka untuk menarik
simpati warga kampung yang mereka datangi. Dengan sifat ramah dan kemampuan
pengobatannya, Risa dengan mudah diterima di mana pun ia berada. Hanya satu
kekhawatirannya, kapan Lintang akan datang mengambil kembali “benda”
titipannya. Risa sesungguhnya tak pernah tenang. Tapi ia bahagia, setidaknya
bisa hidup sekali lagi bersama Nala.
Tiga hari,
ternyata jauh lebih singkat dari yang diharapkan. Risa belum siap, dan mungkin
tidak akan pernah siap. Tapi ia harus menghadapi janjinya. Atau mungkin, menghadapi
Lintang.
Tepat tiga
hari, Risa kembali ke hutan. Tatapannya kosong. Ia mengenakan gaun putih
terbaik yang ia punya. Rambutnya disanggul rapi seolah bersiap menghadiri acara
penting. Memang sekarang adalah saat-saat terpenting dalam hidupnya. Langkahnya
pasti, tak menyisakan ruang untuk keraguan yang sesungguhnya telah melahap hamper
seluruh semangat hidupnya tiga hari belakangan. Ia harus menentukan apa yang
akan ia lakukan, suka atau tidak suka. Sekarang. Lintang telah menunggu di
tengah-tengah tanah lapang seperti yang telah dijanjikan. Pemuda berperawakan
tegap kisaran delapan belas tahun itu berdiri dengan wajah datar. Keduanya kini
berhadapan dan saling diam.
“Jadi, mana
kepinganku ?” Lintang memulai.
“Lintang,
kau tahu apa arti kepingan itu untukku sekarang ?” Risa melempar pertanyaan.
Berharap untuk dimengerti.
“Kepingan
itu… adalah “rasa” milikku. Tanpa itu aku tak hidup, Risa.” Lintang menjawab.
“Maksudmu ?”
Risa terkejut.
“Sebelum
aku pergi, aku harus menitipkan “rasa” itu agar tidak hilang. Aku butuh itu
untuk menyelesaikan misiku sekarang. Ini bukan sekedar tentang milikku, atau
untukmu. Ini tentang dunia, Risa. Aku tak bisa melibatkan perasaan karena aku
tak memilikinya saat ini. Perasaanku… ada di dalam kepingan itu.” Lintang
menjelaskan.
“Jangan
bercanda. Bagaimana mungkin kamu menitipkan hal sepenting itu padaku ?”
“Aku tak
sedang bercanda. Seperti yang kukatakan padamu saat itu. Kalau kau menolak, aku
akan mencari Roh lain yang kuanggap kuat dan mampu menjaganya.” Lintang
menjelaskan.
“Kuat ? kau
memanfaatkan aku ?” Risa terlihat marah.
“Aku
meminta bantuanmu, dan sekaligus menawarkan bantuan. Kamu bisa menggunakan
kepingan itu untuk lepas dari emosi yang mengikatmu. Kalau kamu menggunakannya
dengan benar.” Lintang menjawab datar.
“Intinya,
tak mungkin kau menyerahkan kepingan ini untukku ?” Risa berbisik.
“Tidak.”
Lintang menjawab.
Keduanya
terdiam cukup lama tanpa suara. Kemudian, Risa mengarahkan tangannya ke atas
kepala, seperti mencari sesuatu. Setelah menemukannya, ia menarik keluar benda itu
dengan suara mengerikan seperti menarik paku yang menyangkut di tengkoraknya.
Benda itu ditarik keluar dengan perlahan. Bersamaan dengan itu, darah segar
menetes dari kepala, mata, dan telinga Risa, semakin deras hingga seluruh gaun
putihnya berubah menjadi merah. Benda itu lebih panjang dari paku, sebuah
tongkat kira-kira sepanjang telapak tangan orang dewasa, berwarna merah
mengkilap seperti batu rubi. Lebih tepatnya, seperti darah yang dipadatkan.
Risa yang kini berubah wujud menjadi Risa yang mengerikan, dengan wajah marah,
pucat, dan tak hidup, mengacungkan tongkatnya kearah Lintang. Ia merapal
mantra. Sebuah kilatan berwarna merah menyambar tubuh Lintang hingga terlempar
jauh, menabrak pohon besar di belakangnya.
“Tak ada
pilihan lain.” Risa memekik.
Lintang
bangun dengan bibir berdarah. Tak ada kemarahan dalam tatapannya. Ia benar-benar
seperti tubuh tanpa emosi. Yang ia tahu, tubuhnya tak boleh terus menerima
serangan. Walaupun tubuh ini akan sembuh dalam waktu singkat, misinya harus
segera diselesaikan. Tak ada waktu untuk bermain terlalu lama. Lintang bersiap
melancarkan serangan ketika Risa menancapkan tangannya menembus ulu hati
Lintang dari belakang.
“Maaf, aku
tak bisa kehilangan hidupku untuk kedua kalinya” bisik Risa.
Tangan
Lintang menggenggam tangan Risa, menahannya agar tidak kabur.
“Wahai Roh
yang terikat emosi dunia, aku Roh Pendahulumu, dengan ini memutus kontrakmu
dengan tanah dan elemen dunia. Aku perintahkan, lepaskan !”
Tangan Risa
seolah terbakar dan membara. Tangannya yang menembus tubuh Lintang kini
perlahan hilang menjadi abu yang hancur terbawa angin. Risa menjerit keras
kesakitan.
Risa
melompat mundur dan terus menjerit kesakitan, seolah ada api yang tak
henti-hentinya perlahan memakan tubuhnya dari tangan yang terpotong hingga ke
pergelangan. Ia kesakitan hingga jatuh terguling ke tanah.
Lintang
berjalan mendekat hingga beberapa langkah dari tubuh Risa. Tiba-tiba, sebongkah
batu melesat hampir mengenai kepalanya. Ia mencari arah sumber lemparan. Dari
balik semak-semak dekat pohon besar, terlihat sosok Nala menangis ketakutan
dengan tangan yang menggenggam batu. Setelah melempar batu sekali lagi, ia
segera berlari kearah Risa, mendekapnya erat.
“Jangan
sakiti Ibuku.” Teriak Nala.
Risa
terkejut melihat sosok Nala. Seharusnya Nala saat ini sedang berada di rumah
mencuci piring seperti yang ia pesan tadi. Ia tak ingin Nala melihat wujudnya
sekarang. Ia tak ingin Nala tahu masa lalunya yang menyedihkan.
“Nala,
anakku, maafkan Ibu, Nak.” Risa menangis, tapi yang mengalir adalah darah dari
kedua matanya.
“Ibu,
jangan tinggalkan Nala, Bu.” Nala menangis memeluk ibunya erat.
Lintang
berdiri menatap dengan wajah datar. Ia tak memiliki kemampuan untuk merasakan.
Tidak selama kepingan itu belum kembali padanya.
“Sudah
waktunya.” Lintang berucap.
“Aku memanggil
kembali kepingan rasa yang melengkapi Roh-ku.
Kembali ke
wujud sejatimu, kembali padaku.”
“Bu, jangan
lupakan Nala. Nala sayang Ibu” Nala menitikkan air mata terakhirnya, ketika
tubuhnya pecah menjadi jutaan kunang-kunang hingga tersisa satu kepingan kecil
yang bercahaya, melayang kembali kearah pemilik sejatinya.
“NALAAA…
ANAKKU NALA…….” Risa menjerit keras hingga tersungkur. Tangisannya lebih
menyakitkan daripada luka di tangannya.
Lintang
mendekatkan kepingan itu kearah jantungnya. Seketika kepingan itu masuk ke
dalam jantungnya, luka yang tadi menganga kini bercahaya dan menutup sembuh
seperti sedia kala. Yang tersisa adalah rasa sakit luar biasa di bagian dada. Di
jantungnya. Rasa sakit yang tak pernah ia sangka akan menjadi hadiah paling
pedih dari apa yang ia lakukan 70 tahun yang lalu. Rasa sakit yang sebenarnya
tak pernah ia rencanakan. Kembalinya rasa. Kenangan Nala yang dipaksa berpisah
dari Ibunya. Air mata Lintang menitik
deras. Kali ini kesedihan miliknya. Seolah dia adalah Nala. Karena sejatinya
Nala adalah bagian dari dirinya. Segera, ia berlari mendekap Risa. Tapi
terlambat. Sebagian besar tubuh risa telah menjadi abu. Hancur dalam
genggamannya. Berulang kali Lintang meminta maaf, tapi ia sadar, kesalahannya
terlalu fatal. Begitu mengerikan tindakan yang bisa dilakukan oleh Roh yang
kehilangan “rasa”. Lintang menangis sejadi-jadinya. Tapi tak bisa berbuat
apa-apa.
Malam
menghampiri hutan yang tenang, membekukan kesedihan dengan angin malam. Tak ada
lagi isak tangis terdengar. Hanya Lintang yang berlutut di dekat jejak tubuh
Risa. Tubuhnya tertunduk lemas, seolah semangat hidupnya terkuras habis bersama
air mata yang mengucur seharian. Apakah misi yang penting itu lebih berharga
dari “rasa” yang ia renggut dari Risa ? Apakah layak ia menghabiskan waktu
untuk mengenang kebahagiaan palsu Nala yang dulu ia titipkan ? Apakah luka oleh
“rasa” bisa hilang ?
Malam tak
bersuara, angin pun berlalu dengan acuh, meninggalkan penyesalan yang mungkin
tak lekang oleh waktu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar