Rabu, 19 Oktober 2011

Bad Day

Kiri ke kanan, lalu kembali ke kiri. Bergerak ke kanan lagi, kembali ke kiri lagi. Tubuh ini terus berguling di atas ranjang. Lalu bola mataku ikut berputar searah putaran jarum jam. Hatiku yang hampa dibungkus rapi oleh tubuh yang pasrah dikelilingi empat sisi tembok dingin yang mati. Bosan.

Kemarin seperti hari ini, dan besok mungkin akan seperti ini. Berlanjut dengan irama yang sama setiap hari. Aku bosan.

Dering bel pintu berbunyi tiga kali di bawah, sama sekali tidak menggugah minatku untuk beranjak dari ranjang lantai tiga. Persetan dengan siapa pun di bawah sana yang seenak jidat membunyikan bel rumah. Selama tidak ada panggilan lewat ponsel, aku tak akan sudi turun dua lantai hanya untuk membukakan pintu bagi orang asing. Toh mereka-mereka yang kukenal sudah pasti punya nomor ponselku. Bel pintu masih dipencet dengan penuh nafsu. Mataku yang dari tadi berputar mulai mengkerut karena jengkel. Rasanya ingin kulempar siapa pun itu di lantai satu dengan pot bunga dari lantai tiga.

Siapa pun dia yang berada di bawah, sepertinya tidak juga menyerah. Terpaksa aku turun untuk sedikit menyalurkan marah dan penasaran yang kutampung dari tadi. Malas sekali rasanya harus turun tangga dua lantai. Andai saja aku meminta tambahan tiang seluncuran seperti yang biasa dipakai pemadam kebakaran dan penari striptease, perjalanan ke lantai satu akan jauh lebih mudah. Aku tinggal mengaitkan kakiku di tiang, menguatkan pegangan dengan kedua tanganku dan sim-sala-bim aku meluncur dengan anggunnya ke lantai satu. Mimpi memang indah, tapi kenyataannya aku harus rela kaki ini semakin perkasa berkat latihan rutin naik turun tangga. Jengkel ku masih menempel di dada, bertanya-tanya siapa yang ada di bawah.

Tiba di ujung tangga, kuintip dari jendela. Awalnya tak nampak wajah, tiba-tiba nongol dari balik semak samping pagar. Untung aku sempat memasukkan kepalaku ke balik dinding. Ternyata petugas tagihan uang keamanan dan biaya sampah. Sial, uang bulanan belum dikirim dari mama, bagaimana mau bayar iuran macam ini. Bikin jengkelku makin menjadi saja. Entah alasan apa lagi yang musti kumajukan agar petugas itu mau mengundurkan jadwal iuran beberapa hari lagi. Komplek sini memang "serba-ada". Ada saja alasan untuk mendapatkan uang dari manusia lemah tak berdaya dan tak beruang macam diriku. Sialnya, aku selalu gagal menolak iuran berkat petugas bermulut manis dengan mata bling-bling-nya (baca : berkaca-kaca yang seperti mata anak kucing itu loh). Pelan-pelan aku naik lagi ke lantai tiga tanpa suara. Bahkan tanpa mendesah karena kecapaian naik tangga. Tubuhku kembali ke ranjang dan menutup telingaku dengan headset.

***

Aku tertidur, tak tahu berapa lama. yang jelas, di luar jendela sudah gelap tak berbayang. Aku buru-buru keluar kamar untuk menyalakan lampu. Tapi ada yang aneh. kenapa di luar kamar semuanya begitu hitam ? Biasanya masih ada sedikit cahaya dari lampu tetangga yang menembus kaca jendela. Tapi sekarang terlihat seperti dinding hitam di depanku. Tapi tentu saja ini tidak akan menghentikanku untuk menyelesaikan misi menyalakan lampu rumah. Tanganku meraba-raba dinding rumah. Terasa lembab dan dingin. Mungkin tadi hujan. Aku mencari-cari saklar yang seharusnya ada di dekat pintu kamar, tapi ternyata sangat sulit menemukannya dalam kegelapan. Sialnya, pintu kamarku tiba-tiba tertutup dengan sendirinya. Sekarang, aku berada dalam kegelapan total. Membuat nyaliku agak menciut. Apalagi dekat pintu kamarku ada tangga menuju ke bawah. Salah langkah bisa-bisa aku terjatuh dan lebih sialnya lagi, tidak ada siapa-siapa lagi di rumah ini selain aku. jadi, tak akan ada yang bisa menolongku kalau terjadi sesuatu. Memikirkan itu, aku semakin gelisah.

***

Mimpi... ternyata hanya mimpi. Aku terbangun dan melihat sekeliling kamarku, aku sudah kembali ke dunia nyata. Tapi keadaannya sama seperti dalam mimpi. Aku buru-buru keluar dari kamar untuk memastikan. Ternyata aku sudah kembali ke dunia nyata, keadaan di luar kamar tidak segelap mimpiku. Aku menghela nafas dan melepas headset dari telingaku. Segera kunyalakan saklar lampu agar rumah ini menjadi terang. Setelah itu, bergegas mandi. Agak takut juga mengingat mimpiku tadi, jadi sengaja kubuka pintu kamarku lebar-lebar dan kuganjal kamus setebal batu bata. Musik bisa membuatku lebih tenang, jadi kumainkan 'Akira Yamaoka - Promise' di komputer kamar. Tentu saja dengan pintu kamar mandi yang juga terbuka lebar. Toh, di rumah cuma ada aku sendirian.

Selesai mandi, badanku terasa lega. Pikiran juga lebih jernih, jadi kembali ke diriku semula, bergoyang-goyang sambil telanjang sehabis mandi, mengikuti alunan musik di kamar. Rasanya aku hampir lupa dengan mimpiku tadi. Tiba-tiba lampu padam.

Jantungku berdegup kencang. Kenapa musik di kamarku terus mengalun walaupun listrik sudah padam ? Sekarang musiknya mengerikan. Salahku juga mengurutkan musik-musik dari Akira Yamaoka, soundtrack Silent Hill. Bulu kuduk ku merinding gak karuan. Mataku melihat ke kiri dan ke kanan tak berdaya menembus gelapnya ruangan. Mataku tertuju ke arah kamar. Layar komputerku menyala, jadi aku berjalan ke arahnya. Ya Tuhan, jantungku hampir lompat keluar waktu aku melihat layarnya, gambar desktop-nya ternyata belum kuganti, gambar gadis kecil dengan wajah mengerikan sedang nyengir. Duh, bisa gila aku. Bisa-bisanya aku lupa kalau UPS komputerku sudah kuperbaiki, jadi komputerku bisa terus menyala walau listrik tiba-tiba padam. Segera kumatikan saja komputer laknat itu setelah aku meraih senter yang kuletakkan tak jauh dari meja komputer. Aku ini pecinta senter karena aku takut kegelapan. Bukan takut sebenarnya, cuma merasa tak nyaman saja berlama-lama di kegelapan (sama saja sebenarnya, hehehe) Lalu aku turun ke lantai bawah untuk melihat apakah ada kerusakan gara-gara listrik padam. Sudah tak terhitung jumlah lampu neon yang pecah gara-gara kasus serupa. Menyebalkan.

Ide gila apa ini yang membuatku turun dalam keadaan telanjang bulat, tanpa alas kaki pula. kalau ada pecahan lampu, entah bagaimana nasib kaki ku nanti. Akhirnya aku batal turun ke lantai satu. Aku berdiri diam di lantai dua. Perasaanku tak enak. Aku segera naik lagi ke kamar, dan mengunci pintu. Aku meringkuk di balik selimut sambil menyalakan senter. Tiba-tiba aku teringat tulisanku di komputer yang tadi belum sempat aku save. yang bisa kulakukan hanya menjerit keras-keras di balik selimut sambil menggigit ujung bantal.

Sesalku mendampingi hingga lelap menelan kesadaranku. Aku terbangun esoknya ditampar bunyi bel pintu oleh orang yang sama. Ingin kugigit lepas kepalanya untuk tumbal emosiku dari semalam.