Jumat, 18 November 2011

Pengaman

Ada yang bilang... Pelacur itu pekerjaan paling hina. Yang membingungkan, kenapa mereka banyak dipuja.


Cerita ini berlangsung di salah satu bilik kantor polisi. Tempat polisi menjalankan tugasnya, mencatat data-data tahanannya. Sore berselimut hawa yang bikin gerah, ditemani secangkir kopi murah dan kipas angin, dan tentu saja rokok dari warung sebelah. Polisi muda yang baru bekerja tak lama di kantor polisi ini sedang wawancara dengan seorang perempuan paruh baya, seorang pekerja seks komersil. Demikian tanya jawab yang berlangsung di antara keduanya.

"Nama ?"

"Suci." Jawab wanita itu dengan singkat.

"Nama lengkap Ibu ?"

"Sucilia Meilani Handayani. Tulis saja S-U-C-I seperti di KTP (Kartu Tanda Penduduk)." 

"Pekerjaan ?"

"Pelacur." (sambil mendengus, karena pertanyaan itu dianggap sangat tak perlu)

"Alamat ?"

"Ada noh, di KTP aku. Tapi kalau Mas mau cari saya mending ke rumah Mami, nanti saya kasih diskon." (sambil mengedip genit)

"Bu, Sudah berapa lama Ibu terjun di dunia prostitusi ? Memangnya Ibu tidak bisa mencari pekerjaan lain yang lebih halal ?"

"Saya (sambil menyentuh belahan dadanya dengan telunjuk) bukan terjun Mas, terseret arus. Bagi aku, pekerjaan apa aja halal selama bisa ngasi uang."

Polisi muda itu cuma bisa geleng-geleng, sambil jemarinya terus mengetik. Dalam benaknya, ada pertanyaan yang ia sendiri malu melontarkannya. Bagaimana mungkin wanita paruh baya dengan tubuh menimbun lemak di sana-sini seperti yang sedang duduk di hadapannya ini, bisa laku dipasarkan sebagai pekerja seks komersil. Separah itukah selera masyarakat kita ? Pertanyaan yang tak perlu di jawab juga nampaknya. Mungkin selama ada lubang dengan dua buah dada sudah cukup bagi mereka. Atau mungkin mereka terlalu merindukan kasih sayang seorang Ibu yang tak memberi mereka cukup ASI sewaktu kecil ? Mungkin juga karena alasan ekonomi yang membuat mereka tak sanggup membayar pelacur yang lebih seksi.

"Sebenarnya wawancara ini sekedar formalitas saja Bu, setelah ini Ibu silahkan mengikuti kelas ceramah oleh Ustad di ruang sebelah."

Wanita itu tak bergoyah dari kursinya, seakan ada yang ingin dilontarkan dari bibirnya yang meruncing setajam ujung pensil yang baru diasah. Matanya berkaca-kaca. 

"Ibu kenapa ? ada yang ingin disampaikan ?"

"Aku butuh pendengar, Mas. Kalau ada waktu buat aku bercerita, aku bakal berterima kasih banget." Wanita itu menitikkan air matanya.

Merasa kasihan, petugas itu pun meminta atasannya untuk memberi mereka waktu lebih lama agar wanita itu bisa bercerita. Keduanya duduk berhadapan di sofa, terhalang meja dengan dua cangkir kopi dan asbak untuk wadah dua batang rokok yang beradu cepat di dua bibir yang berbeda. Wanita pelacur itu pun mulai bercerita.

Suci memulai cerita perjalanan hidupnya dari usia belia. Keluarganya bisa dibilang cukup kaya. Hanya saja keluarganya tidak harmonis. Ayahnya punya istri simpanan dan Ibunya sangat temperamental dan ringan tangan. Suci terpaksa mencari kasih sayang di luar rumah dan hamil di usia muda. Pernikahan sederhana dengan sopir angkot membuat ia dibuang kedua orang tuanya. Tak jadi masalah juga karena dari dulu memang ia tak merasa punya orang tua. Yang menjadi perkara adalah kehidupan ekonominya yang tiba-tiba berubah drastis. Pernikahan mereka pun tak bahagia. Setelah melahirkan anak kedua, suaminya mati tertembak polisi karena kasus narkoba. Suci sempat bekerja di kedai kopi sebelum akhirnya terjerumus ke dunia prostitusi hingga saat ini. 

Sambil bercerita, wanita itu menangis terisak-isak hingga petugas terpaksa mendekapnya untuk memberi kekuatan. Suasana ruangan yang sepi dan degupan jantung keduanya yang seirama berlanjut ke gesekan-gesekan dari pundak hingga ke pantat. Keduanya tak lagi perduli malu atau umur. Dalam ruang sempit penuh asap dan aroma kopi murah, kini bercampur peluh dan desahan mesum yang ditahan takut terdengar. Air mata wanita itu kini berganti senyum sumringah penuh kepuasan.

Usai pergumulan singkat, keduanya segera berpakaian, takut ada petugas yang tiba-tiba mampir. Wanita itu menyeka air maskara dan make up yang luntur oleh peluh dan air mata. Petugas itu pun menyeka sisa-sisa di kelaminnya. Mereka lalu duduk dan tersenyum malu-malu seperti belia kasmaran. Pemandangan yang janggal di ruang yang salah, waktu yang salah. 

Satu tegukan untuk tetes kopi terakhir dan wanita itu pun pamit pulang. Petugas itu mengantarnya hingga ke pintu ruangan, lalu keduanya berpisah. Kedipan genit menjadi salam pisah dari si wanita. 

Segera setelah wanita itu keluar dari kantor dan terlihat tak ada pertanda bahwa dirinya akan kembali, rekan kerja petugas itu segera berbisik-bisik padanya

"Mas, kamu... habis main sama Ibu itu ?" tanya petugas yang lebih muda.

"Hush... jangan dipanggil Ibu, masih ok kok dia." jawab petugas itu sambil tersipu malu.

"Wah, gila lo mas... emangnya kamu gak tau kalau dia itu langganannya Pak Bos ?"

"Oh, biarin aja. Yang penting Bos gak tau kan. hehehe..."

Keduanya diam sejenak, petugas yang lebih muda masih memandangnya dengan muka penasaran dan mata kaku.

"Mas, yang kamu maksud Pak Bos tadi..." petugas yang lebih tua teringat sesuatu yang agak mengganggu.

"Iya mas, Pak Bos itu Pak Danu, yang kita semua tahu dia kena jengger ayam."

Seketika dunia terasa runtuh. Baru saja dirinya bercinta dengan pelacur atasannya tanpa kondom. Dan tentu saja, dunianya kini tak akan pernah sama seperti kemarin dan kemarinnya. Gosip terbaru segera beredar di kantor polisi tempat kerjanya sekarang. 
"welcome to the club" kata petugas yang lebih muda sambil tertawa kecil mengejek.


Dan...

Orang bilang... hidup itu tidak pernah adil. Semuanya berlangsung seperti itu agar kita mau berusaha menjadi manusia yang lebih baik. Sedang mereka yang pasrah... akan hilang terlindas roda kehidupan. Adilkah itu ? Takdir yang menentukan kemana kita melaju. Tapi nasib ada di tangan kita yang membelokkan setirnya. mau banting ke kiri ? atau ke kanan ?


Hujan merintik bumi. Sepuluh tahun yang lalu aku mengintipnya dari jeruji teras rumah. Rintik-rintik menitik, dari atap rumah dan dari angkasa. Jemariku mengetuk kayu jendela mengikut bunyi tetesan air yang jatuh ke teras. Terlihat di bawah sana, ada pemulung sedang mengorek sampah. Umurnya masih sangat muda. Pakaiannya tipis compang camping, dengan karung yang hampir dua kali besar tubuhnya. Tak ada payung apalagi jas hujan. Hanya topi dekil warna biru lebam, lengkap dengan jahitan di sana-sini. Sesekali matanya melirik ke arahku dengan malu-malu. Tak berani menatapku lama. Mungkin takut aku melapor pada Mama. Tak berselang lama, anak itu beranjak setelah mengorek apa yang dibutuhkannya dari tempat sampah. Seharusnya tak ada yang berharga di sana. Tapi aku sempat melihat matanya berbinar-binar seketika sebelum akhirnya ia membungkuk mengambil sesuatu dan bergegas pergi. 

Mama menghampiriku dengan sepiring pisang goreng hangat dan teh manis kesukaanku. Rasanya tak ada yang lebih menyenangkan dari pisang goreng ditemani teh hangat di cuaca dingin ini. Aku merasa sangat beruntung lahir di sebagai anak Mama. Setidaknya aku tak seperti pemulung tadi. Entah kemana dia pergi dalam guyuran hujan yang tak juga berhenti. Hujan tampaknya tak bersahabat pada pemulung kecil yang aku lihat tadi. Semoga saja ia segera menemukan tempat berteduh. 

Hujan masih terus mengguyur dua jam kemudian. Aku mendengar kegaduhan dekat rumah. Tampaknya ada maling ketahuan oleh warga. Ramai sekali sampai suara petir pun hampir terabaikan. Ya ampun, ternyata bocah pemulung itu. Warga menyeretnya. Menjambak rambutnya hingga pantat ratanya menggerus tanah berlumpur. Ia menjerit dan menangis memohon iba dari kerumuran warga yang nafasnya memburu dengan mata menyala-nyala bagai malaikat pencabut nyawa. Aku terdiam melihatnya. Warga menyeret bocah malang itu ke depan rumah kami. Ada apa gerangan.

"Bu Lastri... Tolong keluar sebentar." teriak pemimpin rombongan warga berwajah keji. 

Tak lama Mama pun turun dan mencari tahu ada kejadian apa sebenarnya. Aku melihat mama terlihat iba pada bocah yang disiksa rombongan pria dewasa. Warga menuduhnya telah mencuri dari rumah kami. Ada anting emas di tangannya ketika terlihat meninggalkan rumah kami, kata warga saling bersambung. Seolah mereka semua melihat langsung kejadiannya. Begitulah warga kita, setiap ada perkara maunya jadi saksi mata. Padahal matanya tak berada di tempat terjadinya peristiwa ketika sedang berlangsung kasusnya. 

Mama terlihat bingung dan meminta anting yang dimaksudkan warga. Tampaknya Mama mengenali antingnya yang hilang. Tapi Mama yakin anting itu hilang sudah beberapa hari yang lalu, bukan hari ini. 

"Ampun Bu, Ampun... Sumpah saya tidak mencurinya. Saya menemukannya dalam bungkusan sampah." Bocah itu mengiba.

"Diam kamu. Mana ada maling ngaku maling." Pria bengis yang memimpin rombongan membentaknya lalu menampar pipi bocah malang itu beberapa kali hingga ia terdiam dengan bibir berdarah.

"Sudah Pak, sudah... mungkin anting saya terjatuh waktu sedang membereskan sampah. Sudah... saya ikhlas Pak." Mama berusaha menenangkan suasana, walaupun sudah terlambat bagi bocah itu tentunya. Luka di bibirnya tak bisa ditarik kembali.

Setelah Mama berulang kali memohon akhirnya kemarahan warga mereda. Walaupun beberapa di antara mereka tetaplah manusia yang merasa paling benar dan tak punya dosa, tetap memukuli kepala bocah malang itu. Mama segera membawanya masuk ke rumah sebelum tubuhnya semakin parah dihakimi massa yang dari tadi membawa-bawa nama Tuhannya saat menghakimi si bocah. 

"Nak, kamu tinggal di mana ? Kamu sudah gak apa-apa ? Ibu antar pulang ya." Mama berusaha menenangkan bocah itu.

Aku melihatnya dari jarak dekat. Mama dan bocah pemulung itu terduduk di teras. Mama memeluknya sama seperti saat Mama memeluk aku. Biasanya aku akan marah saat melihat Mama memeluk anak lain selain aku. Tapi kali ini aku tahu, kemarahanku tak akan membuat Mama melepaskan pelukannya dari bocah itu. Mama menitikkan air matanya, dan aku tahu bocah itu lebih membutuhkan pelukan Mama sekarang ini.

Tak lama, bocah itu tak sadarkan diri. Mama sangat khawatir dan mengangkatnya ke kamar tamu. Setelah itu Mama berlari ke kamar dan mencari baju ganti dan obat-obatan seadanya. Baru sekali ini aku melihatnya begitu gugup, begitu khawatir. Padahal yang ada di hadapannya bukanlah anak kandungnya. Mama memang wanita yang luar biasa. Aku kagum padanya.

Bocah itu demam dan terus mengigau. Memohon ampun, mengatakan bahwa anting itu akan dijual untuk membeli beras. Bahwa ia sama sekali tak ada niatan jahat untuk mencuri. Aku melihat tubuhnya penuh memar waktu Mama mengganti pakaiannya tadi. Perlahan Mama mengelap tubuh kurus bocah itu. Melepaskan noda lumpur bercampur darah. Betapa kejam siksaan warga tadi padanya. Seolah bocah ini bukan manusia di mata mereka yang tadi sempat meneriakkan nama Tuhan-nya. Sinting. Menabung dosa sambil memanggil Tuhan.

Semalaman Mama menemani bocah malang itu di kamar. Subuh hari aku mendengar Mama menangis di samping ranjangku. Ia terlihat begitu kusam dan letih. 

Sesekali ia terisak "Masih begitu polos dia Tuhan, kenapa begitu cepat... Ini tak adil." 

Aku tak mengerti dan kembali tertidur ketika paginya aku mengetahui bocah malang itu telah menghembuskan nafas terakhirnya semalam. Mama pasti sedih sekali dan membayangkan bagaimana bila aku berada pada posisi bocah malang yang nyawanya direnggut pada usia begitu muda. Aku peluk Mama dengan erat, membiarkannya menangis di pundakku hingga lega.

Sore hari pun tiba, hujan seperti kemarin. Seorang ibu tua datang ke rumah untuk mengambil jasad bocah itu. Mama memberinya satu amplop yang aku yakin berisi uang. Tapi aku melihat mata merah yang sama seperti yang aku lihat menyala-nyala di rongga mata warga. Perempuan tua itu menggeram pada Mama.

"Kamu seharusnya bisa menolong anakku. Tapi apa yang kamu perbuat ? Kamu cuma melihat anakku direnggut manusia-manusia zadam itu. Aku tak sudi terima apa-apa dari kalian." Suaranya menggeram penuh dendam.


Mama menangis dan terduduk lemas. Andai perempuan itu tahu bagaimana Mama telah berusaha merawat anaknya. Tapi Mama memilih diam. Aku pun diam. Kami hanya melihat perempuan tua itu menaikkan tubuh anaknya ke dalam gerobak reyot, lalu menariknya seorang diri di tengah guyuran hujan yang makin deras. Aku melihat mata perempuan itu meredup menjadi sayu. Aku tak melihat ada kehidupan di sana.

Dan... semuanya berlalu tergilas roda waktu. Mama berusaha melupakan kejadian itu, walau aku tahu dalam hatinya selalu ada penyesalan yang menancap kuat dan berakar. Aku pun tak pernah mengungkit peristiwa kematian seorang bocah di dalam rumah kami. Mama sudah cukup terluka untuk melihat kematian seorang bocah di depan matanya. Tanpa sedikitpun ia berdaya untuk menolong bocah yang bahkan kami tidak pernah tahu siapa namanya.

Senin, 07 November 2011

Matinya Rasa...

Matinya rasa... Strawberry ? Pisang ? Aku suka sekali Banana Choco Muffin.


Waktu adalah tema yang tak pernah habis untuk dibahas setiap detiknya. Bahkan pecahan-pecahan yang lebih kecil dari detik yang begitu singkat. Sedangkan hati, selalu lupa diri. Sesungguhnya hati jika dibahas akan melebihi luasnya semesta alam. Bahkan hati yang belum setengah abad berdetak di dunia fana ini. Seperti sebuah cerita... tentang matinya rasa.
Orang bilang hati gak pernah bohong pada tuannya. Tapi itu fitnah. Hatiku selalu berbohong bahkan memendam sakit dan kecewa berlebih yang menumpuk menjadi sampah yang siap meledak kapan saja. Mungkin perasaan seperti ini yang disebut sesak di dada yang bukan gara-gara asma. Ya, sesaknya beda dengan asma, tapi sama-sama menyiksa. Sesak yang ini tak ada obatnya, dan bertahan lebih lama tersembunyi di balik dada. 

Aku selalu bilang bahwa tak akan ada asap kalau tak ada api. Tak akan ada api kalau tak ada percikan emosi. Emosi itu menimbulkan rasa, dan rasa menimbulkan masalah. Karena rasa lah kita menjadi marah. Rasa cemburu, rasa kesal, rasa kesepian dan rasa-rasa lainnya. Tak ada yang bisa menjelaskan rasa-rasa itu karena memang berbeda dengan apa yang bisa dikecap oleh indera tubuh kita. Rasa yang hanya bisa dimengerti oleh jiwa kita sendiri. Rasa yang bahkan kadang begitu sulit digambarkan lewat kata-kata. Akhirnya, rasa ini menjadi pemicu tumbuhnya sesak di dada. Lalu bagaimana caranya mengakhiri penderitaan akibat rasa sesak yang tak ada obatnya ini. Tentu saja aku harus membunuh rasa-rasa yang tak bisa dikecap itu.

Bukan belati yang bisa menipiskan rasa. Bukan juga kertas amplas untuk menghaluskannya. Jawabannya adalah dengan hati. Hati itu luar biasa. Ketika berhasil mengendalikan hati, sama dengan mengendalikan hidupmu sendiri. Bagaimana kuatnya hati yang mampu menghentikan tangisan seketika itu juga. Atau hati yang membuat seorang wanita mampu mengiris ikan hidup tanpa ampun. Hati adalah sebuah mesin luar biasa. Tapi hati yang dimaksud bukanlah organ dalam tubuh kita. Hati ini adalah sebentuk benda astral dalam tubuh kita yang seolah-olah ada di rongga dada sebelah kiri. Tapi tak dapat kita raba, tak dapat kita terawang. Tapi ia ada dan selalu di sana, mengendalikan kita. Menunggu kapan kita akan cukup kuat untuk bisa mengambil alih kendali tubuh kita. Tak lagi menjadi mesin yang digerakkan oleh hati. 

Suatu hari, sebuah rasa hinggap di dekatku, mencoba untuk masuk dalam hatiku. Saat itu hatiku sudah penuh, hingga akan meledak seketika rasa itu berhasil masuk. Aku menolaknya, tapi rasa itu tak juga menyerah. Semakin aku menolak, ia semakin mendesak. Ketika itulah aku mengambil alih hatiku agak tak lagi dijajah. Aku menikam rasa itu dengan hatiku, mencabik-cabik hingga ia menjeritkan kata ampun. Tapi aku bukan lagi manusia yang digerakkan hati. Aku lah manusia yang menguasai hati. Saat aku tak ingin memberi ampun, rasa itu tak akan mendapatkan ampun. Pelan-pelan aku menghabisinya, sama seperti Mama memotong ayam untuk memuaskan rasa lapar anak-anaknya. Sesungguhnya, setiap Ibu adalah manusia bahagia yang telah belajar mengendalikan hati seketika mereka memiliki anak. Hatinya mampu mengendalikan rasa-rasa itu demi anaknya. Sebaliknya, para Ayah tak pernah sehebat itu sehingga mampu mengalahkan hatinya sendiri.

usai dengan rasa yang mengganggu itu, aku menarik keluar parasit-parasit rasa yang menyesak di dadaku. Dan setiap kali aku menarik satu keluar, aku melihat yang lainnya berusaha kabur namun saling menginjak dan akhirnya jatuh ke dasar hatiku. Tak ada satu pun rasa itu yang mau saling mengalah. Bukti bahwa mereka memang tak pantas ada. Tempat untuk mereka adalah tempat sampah, bukan di dalam hatiku.

Waktu demi waktu berlalu. Dan hatiku menjadi begitu lapang ketika rasa-rasa tak penting itu akhirnya habis terbunuh. Memang benar kata orang, waktu bisa menyembuhkan segalanya. Tapi waktu pun tak berdaya bila kita tak ingin mengakhirinya. Bukan mengakhiri hidup, tapi mengakhiri kelemahan kita yang selalu kalah oleh hati. Kita lah pemilik hati, bukan manusia yang dikendalikan oleh hati. 

Tak perlu berlama-lama menunggu hatimu mantap untuk mengakhiri rasa-rasa itu, karena hatimu sendiri suka bohong. Percaya lah bahwa dirimu tak perlu menunggu lebih lama lagi hanya untuk mati oleh rasa.




Rabu, 19 Oktober 2011

Bad Day

Kiri ke kanan, lalu kembali ke kiri. Bergerak ke kanan lagi, kembali ke kiri lagi. Tubuh ini terus berguling di atas ranjang. Lalu bola mataku ikut berputar searah putaran jarum jam. Hatiku yang hampa dibungkus rapi oleh tubuh yang pasrah dikelilingi empat sisi tembok dingin yang mati. Bosan.

Kemarin seperti hari ini, dan besok mungkin akan seperti ini. Berlanjut dengan irama yang sama setiap hari. Aku bosan.

Dering bel pintu berbunyi tiga kali di bawah, sama sekali tidak menggugah minatku untuk beranjak dari ranjang lantai tiga. Persetan dengan siapa pun di bawah sana yang seenak jidat membunyikan bel rumah. Selama tidak ada panggilan lewat ponsel, aku tak akan sudi turun dua lantai hanya untuk membukakan pintu bagi orang asing. Toh mereka-mereka yang kukenal sudah pasti punya nomor ponselku. Bel pintu masih dipencet dengan penuh nafsu. Mataku yang dari tadi berputar mulai mengkerut karena jengkel. Rasanya ingin kulempar siapa pun itu di lantai satu dengan pot bunga dari lantai tiga.

Siapa pun dia yang berada di bawah, sepertinya tidak juga menyerah. Terpaksa aku turun untuk sedikit menyalurkan marah dan penasaran yang kutampung dari tadi. Malas sekali rasanya harus turun tangga dua lantai. Andai saja aku meminta tambahan tiang seluncuran seperti yang biasa dipakai pemadam kebakaran dan penari striptease, perjalanan ke lantai satu akan jauh lebih mudah. Aku tinggal mengaitkan kakiku di tiang, menguatkan pegangan dengan kedua tanganku dan sim-sala-bim aku meluncur dengan anggunnya ke lantai satu. Mimpi memang indah, tapi kenyataannya aku harus rela kaki ini semakin perkasa berkat latihan rutin naik turun tangga. Jengkel ku masih menempel di dada, bertanya-tanya siapa yang ada di bawah.

Tiba di ujung tangga, kuintip dari jendela. Awalnya tak nampak wajah, tiba-tiba nongol dari balik semak samping pagar. Untung aku sempat memasukkan kepalaku ke balik dinding. Ternyata petugas tagihan uang keamanan dan biaya sampah. Sial, uang bulanan belum dikirim dari mama, bagaimana mau bayar iuran macam ini. Bikin jengkelku makin menjadi saja. Entah alasan apa lagi yang musti kumajukan agar petugas itu mau mengundurkan jadwal iuran beberapa hari lagi. Komplek sini memang "serba-ada". Ada saja alasan untuk mendapatkan uang dari manusia lemah tak berdaya dan tak beruang macam diriku. Sialnya, aku selalu gagal menolak iuran berkat petugas bermulut manis dengan mata bling-bling-nya (baca : berkaca-kaca yang seperti mata anak kucing itu loh). Pelan-pelan aku naik lagi ke lantai tiga tanpa suara. Bahkan tanpa mendesah karena kecapaian naik tangga. Tubuhku kembali ke ranjang dan menutup telingaku dengan headset.

***

Aku tertidur, tak tahu berapa lama. yang jelas, di luar jendela sudah gelap tak berbayang. Aku buru-buru keluar kamar untuk menyalakan lampu. Tapi ada yang aneh. kenapa di luar kamar semuanya begitu hitam ? Biasanya masih ada sedikit cahaya dari lampu tetangga yang menembus kaca jendela. Tapi sekarang terlihat seperti dinding hitam di depanku. Tapi tentu saja ini tidak akan menghentikanku untuk menyelesaikan misi menyalakan lampu rumah. Tanganku meraba-raba dinding rumah. Terasa lembab dan dingin. Mungkin tadi hujan. Aku mencari-cari saklar yang seharusnya ada di dekat pintu kamar, tapi ternyata sangat sulit menemukannya dalam kegelapan. Sialnya, pintu kamarku tiba-tiba tertutup dengan sendirinya. Sekarang, aku berada dalam kegelapan total. Membuat nyaliku agak menciut. Apalagi dekat pintu kamarku ada tangga menuju ke bawah. Salah langkah bisa-bisa aku terjatuh dan lebih sialnya lagi, tidak ada siapa-siapa lagi di rumah ini selain aku. jadi, tak akan ada yang bisa menolongku kalau terjadi sesuatu. Memikirkan itu, aku semakin gelisah.

***

Mimpi... ternyata hanya mimpi. Aku terbangun dan melihat sekeliling kamarku, aku sudah kembali ke dunia nyata. Tapi keadaannya sama seperti dalam mimpi. Aku buru-buru keluar dari kamar untuk memastikan. Ternyata aku sudah kembali ke dunia nyata, keadaan di luar kamar tidak segelap mimpiku. Aku menghela nafas dan melepas headset dari telingaku. Segera kunyalakan saklar lampu agar rumah ini menjadi terang. Setelah itu, bergegas mandi. Agak takut juga mengingat mimpiku tadi, jadi sengaja kubuka pintu kamarku lebar-lebar dan kuganjal kamus setebal batu bata. Musik bisa membuatku lebih tenang, jadi kumainkan 'Akira Yamaoka - Promise' di komputer kamar. Tentu saja dengan pintu kamar mandi yang juga terbuka lebar. Toh, di rumah cuma ada aku sendirian.

Selesai mandi, badanku terasa lega. Pikiran juga lebih jernih, jadi kembali ke diriku semula, bergoyang-goyang sambil telanjang sehabis mandi, mengikuti alunan musik di kamar. Rasanya aku hampir lupa dengan mimpiku tadi. Tiba-tiba lampu padam.

Jantungku berdegup kencang. Kenapa musik di kamarku terus mengalun walaupun listrik sudah padam ? Sekarang musiknya mengerikan. Salahku juga mengurutkan musik-musik dari Akira Yamaoka, soundtrack Silent Hill. Bulu kuduk ku merinding gak karuan. Mataku melihat ke kiri dan ke kanan tak berdaya menembus gelapnya ruangan. Mataku tertuju ke arah kamar. Layar komputerku menyala, jadi aku berjalan ke arahnya. Ya Tuhan, jantungku hampir lompat keluar waktu aku melihat layarnya, gambar desktop-nya ternyata belum kuganti, gambar gadis kecil dengan wajah mengerikan sedang nyengir. Duh, bisa gila aku. Bisa-bisanya aku lupa kalau UPS komputerku sudah kuperbaiki, jadi komputerku bisa terus menyala walau listrik tiba-tiba padam. Segera kumatikan saja komputer laknat itu setelah aku meraih senter yang kuletakkan tak jauh dari meja komputer. Aku ini pecinta senter karena aku takut kegelapan. Bukan takut sebenarnya, cuma merasa tak nyaman saja berlama-lama di kegelapan (sama saja sebenarnya, hehehe) Lalu aku turun ke lantai bawah untuk melihat apakah ada kerusakan gara-gara listrik padam. Sudah tak terhitung jumlah lampu neon yang pecah gara-gara kasus serupa. Menyebalkan.

Ide gila apa ini yang membuatku turun dalam keadaan telanjang bulat, tanpa alas kaki pula. kalau ada pecahan lampu, entah bagaimana nasib kaki ku nanti. Akhirnya aku batal turun ke lantai satu. Aku berdiri diam di lantai dua. Perasaanku tak enak. Aku segera naik lagi ke kamar, dan mengunci pintu. Aku meringkuk di balik selimut sambil menyalakan senter. Tiba-tiba aku teringat tulisanku di komputer yang tadi belum sempat aku save. yang bisa kulakukan hanya menjerit keras-keras di balik selimut sambil menggigit ujung bantal.

Sesalku mendampingi hingga lelap menelan kesadaranku. Aku terbangun esoknya ditampar bunyi bel pintu oleh orang yang sama. Ingin kugigit lepas kepalanya untuk tumbal emosiku dari semalam.




Selasa, 27 September 2011

Jemari Amatiran

Maaf, bukannya aku sengaja. Aku tak pernah terpikir untuk berkhianat darimu. Hanya saja, aku tak sanggup menghentikan jemariku mengetik rayuan gombal dan mengirimnya ke nomor si-pelacur.


Rina tetanggaku yang malang. Setiap pagi setelah keberangkatan suaminya ke tempat kerja, ia terisak di teras. Para tetangga tahu apa yang terjadi padanya. Tangisnya lagi-lagi karena alasan yang sama. Suaminya main gila dengan pelacur yang rumahnya cuma beda satu gang. Rina yang malang. Terlalu lemah sampai kalah dengan pelacur hina. Andai Rina sekuat diriku, tentu suaminya tak mau banyak tingkah seperti sekarang. Suamiku pernah ketahuan selingkuh dengan pelacur yang sama. Hasilnya, satu tusukan ia dapat di lambung kiri. Masih untung umurnya belum kesampaian. Tuhan beri dia satu pengampunan. Dan aku sebagai istri terpaksa menuruti kemauan Tuhan, mengampuni suamiku. Tapi kuingatkan, cuma satu kali.

Rina tak seperti aku, hatinya begitu lembut. Semua perkara disimpan dalam-dalam. Entah hatinya terlalu dalam atau bahkan tak berdasar. Gilanya, pelacur itu berani terang-terangan mengumbar perselingkuhannya di depan umum. Lebih hebatnya, suami Rina tak berusaha menutupi kebusukan itu. Sungguh malang nasib Rina. Bukankah perutnya semakin membesar oleh jabang bayi laki-laki yang dipanggilnya suami itu. Semoga saja perkara ini segera usai sebelum lahiran buah hati mereka. Hati kecilku merasa iba membayangkan nasib anak mereka seandainya tumbuh dalam kondisi begini. Tiap hari melihat ibunya menangis di teras dan mendengar pergunjingan orang-orang soal bapaknya. Sungguh mengenaskan. Tapi itu baru dalam bayanganku saja. Semoga yang terjadi adalah sebaliknya.

Kehamilan Rina makin terlihat dari perutnya yang membesar. Sudah mendekati saat-saat melahirkan. Kondisinya masih sama, tiap pagi di teras terisak dalam sapu tangannya. Hatiku masih iba. Ingin rasanya kuhabisi pelacur itu bersama suaminya. Rina lebih baik hidup sendiri daripada terus menangisi nasib seperti sekarang. Yang kutahu Rina bukan perempuan tak berdaya. Dulu ia pekerja kantoran dengan gaji yang lumayan. Tanpa suaminya pun ia bisa bertahan. Keluarganya pun cukup terpandang. Mungkinkah ia bertahan demi martabat keluarga ?

Sore ini aku membulatkan tekad untuk menghampiri Rina. Tetanggaku itu sedang masak ketika aku datang. Begitu ramah, sungguh wanita sekali dia. Kami berbincang dari obrolan ringan hingga masalah suaminya. Rina terisak dalam dekapanku. Kali ini tangisannya menggila hingga ketubannya pecah. Kami bergegas menuju rumah sakit bersalin, dalam keadaan sama-sama panik dan senang bercampur aduk. Rina melahirkan bayi perempuan. Aku mencoba menghubungi suaminya dari ponsel Rina. Tapi yang mengangkat seorang perempuan. Aku tahu ini suara pelacur suaminya. Segera kututup. Bayi malang, di hari kelahiranmu, bapakmu sibuk meniduri si-pelacur.

***

Tiga bulan berlalu, tetanggaku masih terisak seperti biasa. Hanya saja sekarang keadaannya lebih menyedihkan. Ia terisak sambil menggendong bayinya yang nampak tenang. Hampir menyerupai adegan film horor ketika tokoh lelembutnya menggendong bayi sambil menangis terisak-isak pilu, dengan rambut yang menjuntai menutup wajah si bayi. Seperti itu kira-kira kondisinya.

Dua bulan setelah tiga bulan itu, Rina mendatangiku, minta agar kisahnya kuketik menjadi buku. Jemariku yang amatiran tak sanggup menolak permintaan wanita yang hatinya terkoyak sejak hari pernikahannya ini. Pernikahan yang diatur pihak keluarga. Pernikahan karena paksa tak pernah berujung bahagia. Perempuan cantik yang tak mampu menaklukkan hati lelaki. Rina yang malang. Aku tak tahu apa yang salah padanya hingga aku menemukan jawabnya pada bab enam belas, tentang keluarga bangsawan yang mengekang anak gadisnya dengan berbagai kebiadaban adat. Seorang putri berdarah biru yang harus selalu bisa terima tanpa pernah bersuara walau hatinya luka. Kehidupan yang tak mungkin bisa kujalani dengan jiwa pemberontak yang mendiami tubuhku. 

Buku biografi Rina si wanita bangsawan yang tak bahagia selesai dalam waktu tiga bulan yang penuh air mata dan keluh kesah. Aku tak menemukan ada sejengkal nilai positif dalam kehidupan tetanggaku ini. Rasanya buku itu lebih baik tak pernah ada, tak pernah kuketik dan ku tahu isinya. Begitu pahit hingga mustahil kutelan begitu saja tanpa menyangkut rasanya di tenggorokan batinku. Sakitnya hati Rina membekas di dadaku. Sakitnya terngiang setiap kali aku melihatnya terisak dari balik jendela. Aku tenggelam semakin dalam. Kadang aku menangis, dan berdoa pada Tuhan kenapa harus ada gadis semalang itu di sebelah rumah tinggalku. Kenapa juga ia adalah Rina yang begitu polos dan lugu tak mau melawan takdirnya yang terlalu saru.

***

Pagi yang cerah, tapi berisik sekali di sebelah. Sepertinya Rina bertengkar hebat dengan suaminya. Aku melihat tetanggaku berlari keluar rumah sambil terisak. Entah kemana. Mungkinkah Rina akhirnya melawan takdirnya sebagai istri yang teraniaya dan kabur dari rumah ? Atau ia hanya burung jinak yang terbang mencari kebebasan sejenak untuk kembali pulang ketika tiba saatnya takdir menariknya ke dalam kurungan neraka yang ia sebut rumah. Aku tak tahu.


Siang hari, dan rumah tetanggaku didatangi mobil polisi. Hatiku mulai cemas. Mungkinkah Rina akhirnya berbuat nekad menghabisi nyawanya sendiri ?

Aku melihat tetanggaku keluar dari mobil polisi dengan tangan diborgol. Aku yakin ada darah di wajahnya. ya Tuhan, apa yang terjadi pada tetanggaku.


Dua hari berlalu dan berbagai cerita mulai merajalela. Mulut ibu-ibu perumahan sekitar sini memang patut diacungi jempol kalau soal membicarakan orang. Tak ada satu pun di antara cerita-cerita itu yang menyampaikan simpati pada Rina. Semua memojokkan perbuatannya yang menguliti kulit wajah pelacur itu dalam keadaan hidup-hidup, tanpa anestesi. Mereka menyebut Rina perempuan horor yang gila. 

Aku duduk terdiam menatap sebuah buku setebal kitab zaman purba, buku berisi kehidupan seorang Rina. Sebuah cerita tentang perempuan merana yang kini mendekam di penjara. Aku terus menimbang apakah perlu buku ini beredar, sementara Rina tak pernah mengijinkan ceritanya berjalan keluar dari ruang kerjaku. 

Satu minggu, dan jenazah tetanggaku dikirim keluar penjara. Rina, gadis bangsawan yang mati dalam perjuangannya melawan takdir.


 

Selasa, 20 September 2011

Akasia

"Berapa kali sudah kubilang, jangan pergi ke luar rumah saat jam sembahyang !" Ibuku menjerit histeris, mengalahkan kerasnya suara tawa Mak Lampir di tayangan Misteri Gunung Merapi.

Kali ini, tak hanya muka sangar kudapat, tapi juga satu tamparan di pipi kanan. Ibu sudah keterlaluan.

"Bu, sejak kapan sih iman boleh dipaksakan ? Aku memang anak Ibu, tapi aku bukan budak yang bisa ibu suruh-suruh." bantahanku menambah satu lagi tamparan di pipi kanan.

"Lancang kamu ! Keluar !!!" Ibu mengusirku dari rumah, dan aku tak menolak untuk pergi dari sana walau hanya bermodal pakaian yang menempel di badan saja.

Uang di saku memang tak banyak, kupakai untuk naik kendaraan umum menjauh dari rumah terkutuk itu. Yang terngiang dalam kepalaku hanya rumah nenek di kampung. Nenekku muslimah yang soleha. Ibu dulu juga muslim, tapi berganti agama sejak mengenal pria yang sekarang menjadi ayah tiriku. Ibuku dulu perempuan yang tegar. Hidup mandiri sambil membesarkan seorang anak perempuan sepertiku. Tapi ibu berubah sejak mengenal ayah tiriku. Ibu bukan lagi wanita tegar. Segala sesuatu harus mendapat restu dari ayah. Aku tak berharap mendapat makanan mewah tiga hari sekali. Aku lebih suka hidup pas-pasan berdua hanya dengan ibu.



Burung Hitam

Malam semakin dekat. Malam yang membuat nyaman tanpa hujaman panas matahari. Malam yang mistik dengan cahaya perak rembulan.

Dari arah hutan aku mendengar kicauan panjang menyayat hati. Seekor burung hitam. Burung hitam yang terus mengepakkan sayapnya menuju ke arah hutan. Burung hitam terbang menuju hutan. Kicaunya sendu, menusuk dan pilu. Burung hitam terbang menuju hutan. Meninggalkan kekasihnya yang jalang.

Ponselku berbunyi nyaring. Jaraknya beberapa senti dari lubang telingaku. Mata kiri kubuka paksa, memicingkan mata untuk melihat siapa yang mengirim pesan singkat sepagi ini. Sialnya, untuk melihat nama pengirim laknat itu aku harus memencet lagi dan lagi, akhirnya kubuka kedua mataku untuk memastikan tak ada langkah yang salah. Kau tahu betapa sulitnya mencari tombol di ponsel ketika matamu baru terbuka di pagi buta. Sambil terus berusaha membuka pesan singkat di pagi buta, pikiranku terus teringat burung hitam yang terbang ke hutan. Mimpi kah ? dan aku baru sadar, keringat memenuhi dahi dan leherku walau malam ini udara cukup dingin. Ujung kaki-ku merasakan dinginnya kesendirian. Andai ada kekasihku di samping untuk sekedar berbagi tubuhnya yang hangat.


Kaki Meja

Tentang keadilan. Bayangkan sebuah meja dengan empat kaki dan satu bola tepat di tengah-tengahnya.


Bola itu adalah kebahagiaan. Sedangkan kaki-kaki meja mewakili empat orang manusia yang saling memperebutkan kebahagiaan di antara mereka. Suatu ketika, kaki di sisi kiri berkomplotan dan berhasil menambah tinggi 1 cm. Mereka berpikir, dengan bertambah tinggi maka mereka akan berhasil meraih kebahagiaan tersebut untuk dibagi berdua. Pada kenyataannya, hukum alam berlaku bagi mereka. Bola kebahagiaan menggelinding dan mengarah ke sisi lainnya, dimana sisi lainnya adalah mereka yang direndahkan.


Cerita di atas mengandung pesan yang mendalam. Dalam keseharian, ada saja orang-orang yang serakah. Berusaha mengambil jumlah terbanyak agak bisa bahagia. Berusaha meraih keuntungan sebesar-besarnya. Mereka inilah kaki-kaki meja yang berkomplot tadi. Mungkin secara fisik mereka memang lebih tinggi, lebih kaya. Tapi hukum alam akan selalu berjalan. Mereka yang teraniaya, yang direndahkan dan bersedia menerima cobaan, mereka inilah yang nantinya akan meraih kebahagiaan.




Senin, 05 September 2011

Burung Pipit

Pagi selalu datang lebih awal ketika sepi membentang menjadi jembatan untuk kedatangannya yang sering kali tak diundang. Bukan salah pagi yang datang tanpa undangan, karena memang sudah hukum alam. Tuhan menentukan begitu. Tak ada siapa pun juga yang bisa menolak aturan itu. Tak juga takdir, ataupun waktu. Tak juga aku, ataupun kamu.


Terlalu mudah untukmu mengucapkan itu. Ijin pergi satu tahun untuk mendalami ilmu di tempat yang bahkan belum pernah kita singgahi. Seakan satu tahun itu begitu singkat. Ya, memang terasa cepat saat kamu ada di sisiku. Tapi waktu tidak berkawan dengan kesendirianku. Aku tak rela hidup dalam penantian satu tahun. Aku menolak meloloskan ijin dari hatiku yang paling dalam. Tapi lagi-lagi bibir ini berdusta. Ya, bibirku meluncurkan ijin laknat itu. Dan kamu pun tak melihat kepingan kristal di mataku yang berbinar. Seolah aku tak lebih penting dari kebohongan yang ingin kau dengar. Kamu senang sekali waktu mendengar ijin itu diucapkan. Seperti merpati lepas dari kandangnya yang usang dan lama ingin ditinggal.

Seperti yang aku bilang, denganmu waktu begitu cepat melintas. Kepergianmu tiba secepat angin lewat. Aku ingin mencegah, tapi bibirku tersenyum puas karena berhasil mengalahkan isi hatiku. Kau pun pergi tanpa mendengar senandung perih hatiku yang memanggil namamu.

Berselang satu hari dari kepergianmu, waktu mulai menjajah batin dan jiwaku. Sudah pagi kah ini, atau kah malam yang menyamar dalam terangnya lampu kamar. Aku bingung. Waktu tak lagi bersahabat seperti ketika denganmu. Tanpamu, waktu tak lagi jelas bagiku. Seminggu berlalu dan aku sudah tak tahu kapan siang dan kapan malam. Semua keseharianku berlangsung setengah sadar. Tubuhku terus bergerak tanpa roh yang menjalankan. Seperti zombi yang bergerak karena ada kebutuhan. Satu bulan dan aku bukan lagi diriku. Semua berubah. Dunia melihatku sebagai manusia baru yang begitu dingin dan acuh. Ini semua karena kamu.

Tiga bulan dan aku menjadi pecandu musik yang tak henti berdendang di telingaku. Pemutar musik tak pernah lepas dari tanganku dengan headset menempel hampir dua puluh jam tanpa henti. Tanpa musik aku merasa sepi. Tanpa musik aku teringat kamu yang terlalu jauh dariku.

Enam bulan dan aku mulai kehilangan pendengaranku. Hanya musik yang terngiang di kepalaku walau telingaku tak ditutup headset. Musiknya begitu pilu dan sekarang tak ada lagi tombol untuk menghentikannya. Aku bisa gila. Di sela musik pilu itu masih bisa kudengar suara hatiku yang bertanya-tanya kapan kamu akan pulang.

Sembilan bulan, aku mulai rehabilitasi. Mama bilang aku sudah tak waras. Kemarin aku melempar kucing dari lantai lima hanya karena kucing itu tak mau lagi kupeluk. Bukan salahku kalau aku marah dan melemparnya. Sialnya kucing itu saja, kenapa punya majikan yang tinggal di lantai lima. Kalau di lantai dua mungkin kucingku cuma patah tulang. Tapi aku tetap menyalahkan tetanggaku yang memasang pagar berujung tombak. Kucingku mati bukan karena aku melemparnya dari lantai lima. Kucingku mati dengan perut ditembus pagar berujung tombak. Ini salah tetanggaku. Ini salah tetanggaku dan itu sudah pasti. Tak ada yang berhak menyalahkan aku.

Bulan ke sebelas setelah kepergianmu, aku dinyatakan waras dan boleh kembali ke hidup yang normal. Padahal aku tak pernah merasa sakit di jiwa. Yang sakit hatiku. Sakit karena ditinggal olehmu. Aku pasti bisa bertahan satu bulan lagi menyambut kepulanganmu.

Tepat satu tahun setelah kepergianmu, seharusnya kau sudah pulang. Aku berdandan cantik dan bergaun putih. Seperti pengantin yang ada di televisi. Aku mau tampil secantik bidadari untuk menyambut kepulanganmu. Aku begitu senang hingga menari di teras lantai lima. Tepat di bawah matahari yang bersinar cerah. Waktu kembali menjadi pengecut dan takluk. Siang pertama dalam setahun ini yang benar-benar kusadari. Kurasa dan kupeluk erat seolah ini pertama kalinya aku merasakan hidup. 

Tak sengaja, cincin pemberianmu terlempar ke sisi teras. Untung tak jatuh ke bawah. Aku meringkuk dan meraihnya. Cincin berhias batu merah delima. Cincin pemberianmu satu-satunya. 

Merpati anak sebelah tiba-tiba terbang dan mengejutkanku dengan kepak sayapnya yang bau unggas. Di sela-sela sayapnya mengandung debu dan kotoran kering. Mataku yang malang terasa perih terkena debu tak jelas. Aku berusaha menghindar hingga hilang keseimbangan.

Hari pertemuan kita setelah satu tahun berpisah. Hari dimana perutku terkoyak pagar tetangga yang berujung tombak. 

Aku masih bertanya-tanya kapan kamu akan kembali, sayang. Bahkan ketika kau menangis di sisi nisan bertulis namaku, aku tak merasakanmu. Aku kehilangan kamu. Satu tahun yang lalu.








Jumat, 29 Juli 2011

Nomor Ini

Bertemu denganmu di kedai kopi adalah pertemuan pertama kita. Rupawan dan penuh canda adalah kesan pertama yang kau tawarkan padaku. Aku terpana, tergoda. Tapi aku sudah ada yang punya.

Tiga minggu sudah aku tak disentuh lelakiku. Tiga minggu yang membuatku tak lagi merasa menjadi wanita nomor satu di hatinya. Waktu yang salah baginya untuk sibuk dengan rutinitas sosial. Sebenarnya tak menjadi masalah buatku, selama ia tak macam-macam dengan tubuh lain di luar sana. Aku bisa menunggu. Tapi tubuhku butuh sentuhan lembut kekasihku. Sekedar pelukan hangat yang membuatku lelap dan tertidur. Aku tak pernah menikmati kesendirianku, aku butuh pasanganku.

Satu-satunya hiburan yang bisa menjadi pengalih perhatian adalah buku sketsa yang selalu kubawa kemana-mana. Tentu saja secangkir kopi menjadi pelengkap utama. Siang ini, aku menuju kedai kopi yang tak jauh dari rumah. Pesananku tetap sama, es kopi hitam pekat dengan manis yang sedang. Minuman ini mengingatkanku pada masa kecilku dulu. Mama sering membuat satu cawan besar kopi manis. Saat itu belum banyak keluarga yang punya kulkas pribadi di rumah. Untungnya saudari Mama yang rumahnya tak jauh dari rumah kami saat itu memiliki kulkas. Aku suka sekali es kopi manis buatan Mama. Sampai sekarang, rasanya masih membekas jelas. Kedai kopi ini menawarkan rasa kopi yang mirip dengan kopi buatan mama. Selain kopi-nya, aku juga suka dengan suasana di kedai ini. Tidak terlalu ramai, tapi juga menawarkan pemandangan yang segar. Maksudku tentu saja pasangan muda-mudi yang sesekali bercanda mesra di depanku tanpa malu. Atau pasangan usia senja yang masih saja awet bergandengan tangan. Hanya aku, kopi, dan buku sketsa di tanganku yang iseng memperhatikan dengan serius ekspresi pelanggan di kedai ini sambil sesekali menggoresnya dalam bentuk sketsa. Lebih seringnya, yang muncul dalam sketsa adalah "iri" dan "sisi gelap" lainnya. Aku sering kali terbawa suasana dan menumpahkan semua perasaanku ke dalam sketsa. Kuperhatikan lagi sketsaku beberapa minggu belakangan ini. Suram, seram, dan kelam. Sebegitu gelapnya hatiku sekarang.

Laki-laki itu datang menghampiriku tanpa diundang. Membuka pembicaraan lewat pujian tentang sketsaku yang sangat menawan, katanya. Rayuan gombal yang datang entah dari mana. Atau mungkin laki-laki ini psikopat gila yang gemar mengoleksi gambar-gambar suram, pikirku. David namanya. Seorang penulis dan pecinta seni. Obrolan kami berawal seputar sketsa-sketsa yang kubuat, lalu beralih ke tulisan-tulisan David. Kebetulan aku suka juga dengan sastra. Menurutku, David cukup berbakat. Aku dengan mudahnya suka dengan cara dia berbicara. Waktu berlalu tanpa terasa, dan gelap mengikis sore di langit sana perlaha-lahan. Mataku terpaku parasnya yang rupawan. Bibirnya yang tak henti bercuap-cuap, menjalankan mesin di hatiku yang terus berdegup kencang. Aku merasakan rasa yang sama seperti ketika pertama kali aku jatuh cinta. Dari basa-basi kami beralih ke pembicaraan pribadi. Tentang aku dan kekasihku yang saat ini tak bersamaku. Tentang David dan kekasihnya yang meninggal karena kanker otak. Tentang hati kami yang menyatu di kedai kopi. Aku mengakui bahwa aku tak lagi sendiri. Tapi laki-laki ini tak mau melepasku pergi. Sedangkan hati ini masih menunggu laki-laki yang sekarang menjadi kekasihku. Tapi hatiku juga menginginkan David yang sekarang ada di hadapanku. Aku takut dan bergegas mengakhiri pembicaraan. David memberiku sebuah kartu nama. Diselipkan dalam saku jaket yang kukenakan. Ia mengantarku ke luar kedai dan menemaniku berjalan hingga beberapa blok dari rumah tempatku tinggal. Dengan satu lambaian tangan dan ciuman yang tiba-tiba menutup perjumpaan kami, David telah mencuri hatiku.

Sampai di rumah, aku terduduk lemas di atas ranjang. Pikiranku kosong dan air mataku bercucuran. Seperti orang yang baru saja hilang kesadaran, tubuhku lepas kendali. Roh ku sedang melayang jauh di atas sana. Aku bahkan tak sadar bagaimana aku sampai di kamar mandi dan terguyur air pancuran dengan pakaian masih lengkap. Tiba-tiba aku sudah ada di balik selimut sambil melamun, memikirkan David, juga memikirkan kekasihku yang belum pulang. Keduanya terus terbayang hingga aku terlelap.

***
"Ben, kamu ada perempuan lain ?" air mataku tak terbendung lagi. Kekasihku yang membuatku sendu tiga minggu terakhir, akhirnya memutuskan aku. Memutuskan nadi-nadi cinta di hatiku.

"Nita, cuma ada kamu di hatiku. Tapi aku tahu di hatimu sekarang bukan cuma aku kan ?"

Aku cuma bisa diam. Benny tak salah berkata begitu. Tapi aku juga tak pernah menyatakan perasaanku pada David. Bagaimana Benny bisa tahu tentang isi hatiku ? Sedangkan aku sendiri masih ragu.

"Ini yang terbaik, Nita. Aku mungkin gak bisa membahagiakan kamu. Sekarang kamu bebas untuk mencari laki-laki itu." Benny mengecup keningku dan bergegas meninggalkan rumah.

Aku masih diam dan tak tahu harus bagaimana. Aku ingin menghentikannya, tapi aku tahu semuanya sia-sia. Benny bukan orang yang mau mendengar saat emosinya belum reda. Walau seringnya ia marah untuk sesuatu yang salah. Aku tak pernah selingkuh darinya. Aku cuma tak bisa menghentikan debaran di dada. Cintaku masih untuknya, walau kini terpecah untuk laki-laki satunya. Aku masih berharap Benny akan membuat hati ini utuh. Tapi aku salah.

***
Sore ini aku pulang ingin memberi kejutan pada Nita kekasih hatiku. Tapi sayang ia tak ada di rumah. Aku tahu ia ada di mana, dan aku bergegas ke sana. Kulihat ia sedang asik bersama laki-laki lain di kedai kopi dekat rumah. Kubiarkan dan kulihat dari kejauhan. Hingga akhirnya kulihat lelaki itu mencium Nita tak jauh dari rumah. Hatiku hancur. Aku tak jadi pulang ke rumah, aku duduk menghabiskan satu botol vodka dan dua gelas bir di bar langganan kantor tempatku kerja. Aku tak pulang malam ini, menginap di hotel. Memuntahkan minuman yang tadi masuk kerongkonganku. Muntahkan semua kekesalanku tentang Nita dan kekasih barunya.

Esoknya aku pulang dan mendapati Nita terlelap sambil mengigau nama kekasihnya, David. Aku sangat terpukul. Tapi aku menahan rasa sakitku. Dalam saku Nita ada kartu nama laki-laki bernama David. Kurasa ini lah laki-laki yang semalam menciumnya. Mungkin salahku yang terlalu lama sibuk dengan rutinitasku. Nita, aku mencintaimu. Tapi cintaku tak untuk kau bagi dengan laki-laki lain. Kau tahu aku tak bisa terima itu.

***
Nita, perempuan cantik yang kutemui hari ini di kedai kopi. Hatiku berkata dialah perempuan dengan jiwa yang sama seperti kekasihku dulu. Aku merasa bisa jatuh cinta lagi. Sayang, hatinya sudah ada yang punya. Tapi aku berhasil mencuri sebagian hatinya. Aku berharap suatu saat nanti hati itu akan utuh menjadi milikku. Atau aku harus puas hanya mendapat sebagian hatinya dan satu ciuman penutup jumpa kami yang sangat singkat. Biarlah takdir yang menentukan.

***
Tiga bulan setelah perpisahanku dengan Benny, aku keluar dari rumah itu. Pindah jauh dari sana. Sedangkan David, aku kehilangan kontak dengannya. Nomor yang diberikan padaku hilang entah kemana. Mungkin Benny membuangnya. Atau mungkin kujatuhkan tanpa sengaja. Beberapa kali aku menunggunya di kedai kopi, tapi dia tak muncul di sana. Aku benar-benar sendiri sekarang.

Tiba-tiba ponselku berdering. Sebuah nomor asing menghubungiku. Aku menjawabnya. Ada suara laki-laki yang sangat kukenal. David. Sebuah kejutan besar buatku. Entah darimana dia tahu nomor ponsel yang tak pernah kuberikan padanya. Semua menjadi jelas setelah kami berbicara panjang lebar dari ponsel. Benny mengambil nomor yang ada di saku jaketku. Awalnya ia ingin membuangnya, tapi Benny terlalu sayang padaku. Ia menghubungi David beberapa hari setelah kami putus untuk menyampaikan bahwa aku dan dia sekarang telah berpisah. Ia ingin memastikan bahwa David akan menjagaku dengan baik. Sayangnya saat itu David sedang berada di luar kota untuk promo buku barunya. Baru sekarang ia kembali dan mendapati pesan suara dari Benny yang ditinggalkan untuknya. Benny meninggalkan nomorku untuk David pada akhir pesan suaranya. Aku terdiam dan menitikkan air mata. Bagaimana mungkin aku membiarkan laki-laki sebaik Benny lepas dariku. Aku mencintainya, dan tak pernah bermaksud menyakitinya. Aku mematikan ponselku. Aku belum siap untuk menerima laki-laki lain dalam hatiku.

***
Dua tahun sudah berlalu. Aku kembali ke kedai kopi bersama buku sketsa yang selalu menemaniku. Dua tahun yang panjang untuk menutup lubang di hatiku tanpa Benny dan David. Dua tahun aku menyendiri ke luar kota, agar aku bisa benar-benar melupakan mereka berdua. Menyesal, tapi aku merasa harus begitu. Sekarang aku kembali sebagai Nita, perempuan kesepian dan tanpa kekasih. Pemilik kedai masih ingat denganku, menawari aku segelas es kopi dingin dengan gula sedang. Aku tersenyum sebagai tanda senang karena ia masih mengingatku. Pemilik kedai adalah seorang wanita paruh baya. Kebetulan hari ini kedai agak sepi, jadi ia bisa menemaniku ngobrol dengan santai. Sesekali ia melihat buku sketsaku dan memperhatikan dengan seksama.

"Sketsa kamu kelihatan beda ya, dengan sketsa yang aku lihat terakhir kali."

"Oh ya ? Apa bedanya, mbak ?"

"Kelihatan lebih ceria." Perempuan itu tersenyum. Aku pun membalas senyumannya.

Pembicaraan kami seolah tak ada habisnya. Membicarakan perkembangan yang terjadi di sekitar kedai ini dalam dua tahun belakangan. Tentang petualanganku di luar kota, dan tentu saja tentang sejarah kedai kopi ini. Alasan kenapa aku suka sekali dengan kedai ini. Lalu muncullah dia, yang kuharap akan bertemu kembali di kedai ini. David muncul di hadapanku. Hati ini berkata sekarang ia siap menerima kehadiran laki-laki baru. Tapi mataku melihat ada cincin di jari manis laki-laki itu saat tangannya melambai padaku.




Senin, 25 Juli 2011

Coklat

Coklat, makanan favoritku sejak kecil. Satu-satunya hal di dunia ini yang tak mungkin kubagi walau dengan adik kandungku sendiri. Coklat adalah segalanya buatku, dan aku memuja orang yang pertama kali menemukan makanan selezat coklat.

"Duh,lapar... Mama belum pulang juga. Ada makanan gak ya di dapur."
Mengendap-endap, adik menuju dapur. Takut membangunkan kakaknya yang menderita cacat mental. Sebenarnya tidak ada yang perlu ditakutkan dari kakak. Hanya saja, adik selalu merasa tidak nyaman saat berada di dekat kakaknya yang selalu bertingkah aneh. Seperti boneka, yang berjalan dengan tanpa roh di dalamnya.

Setelah membuka lemarinya dan lemari Ibu, adik tak menemukan makanan sekecil apapun. Mata bulatnya melirik ke lemari kakak. Kaki mungilnya berjalan pelan ke sana, lalu mundur lagi. Maju lagi, lalu mundur lagi. Adik sangat berhati-hati dengan barang kakak. Ibu selalu berpesan untuk tidak menyentuh apa pun barang kakak di rumah ini, karena kakak akan marah kalau barang-barangnya dipakai oleh orang lain selain dirinya. Tapi perut adik sangat lapar. Setelah melihat sekeliling dan memastikan tak ada kehadiran kakak, ia memberanikan diri untuk membuka lemari kakak dan mengintip ke dalamnya. Setelah berjinjit dan meraba-raba, adik menemukan sebatang coklat di sana. Adik segera menelan ludah, merasa lega setidaknya masih ada makanan di rumah ini. Matanya segera berputar ke belakang, melihat kalau-kalau kakaknya muncul. Segera diletakkannya coklat itu ke tempat semula, lalu berjalan pelan ke depan pintu kamar kakaknya. Sambil menahan nafas, adik membuka pelan pintu kamar kakaknya. Sangat pelan seperti di film-film horor yang suka ditontonnya bersama Ibu. Setelah terbuka celah yang cukup untuk mengintip, adik mendekatkan matanya ke sana. Ternyata kakak sedang tidur menghadap ke dinding. Adik menutup kembali pintu kamarnya dengan sangat hati-hati, lalu menguping apakah ada suara gesekan kain di dalam. Adik ingin memastikan bahwa kakak tidak terbangun.

Setelah cukup lama berdiri mematung dan menguping di depan pintu kamar kakak, adik kembali ke dapur dengan langkah sangat pelan tak bersuara. Dibukanya lemari kakak dan segera melahap coklat batangan yang ditemukannya. Adik duduk di kursi sambil melahap coklat itu. Dalam hatinya, adik meyakinkan diri kalau nanti ibunya sudah pulang, ia akan segera meminta ibu untuk membelikan gantinya coklat ini di warung dekat rumah. Adik memakannya dengan sangat pelan. Entah karena takut terdengar oleh kakak, atau takut coklatnya habis terlalu cepat. Batangan coklat itu habis dalam sepuluh kali gigit. Setidaknya perut adik sudah terisi sedikit makanan untuk dicerna. Adik segera turun dari kursi untuk membuang bungkus coklat ke tempat sampah di dekat bak cuci piring. Saat berbalik, ia kaget dan pucat pasi. Kakaknya sudah berdiri di pintu dapur dengan tatapan kosong.

***
Jam tujuh malam. Seharusnya aku pulang lebih awal hari ini. Andai Ranti tak mengajakku arisan di warung depan kantor. Kasihan anak-anakku di rumah belum makan. Entah bagaimana laparnya adik dan kakak di rumah. Seharusnya aku menitipkan mereka ke rumah mama. Sayangnya, mama tak pernah berhenti mengomentari kondisi kakak yang tidak normal. Berulang kali mama memaksaku memasukkan kakak k rumah sakit jiwa. Tapi bagaimana mungkin aku melakukan tindakan keji macam itu pada anakku sendiri. Mama pernah melahirkan aku, tentunya mama tahu betapa sulitnya perjuanganku untuk menghadirkan kakak ke dunia. Bahkan suamiku pun tak mampu menerima keistimewaan kakak dan meninggalkan kami. Mungkin cuma alasannya saja, agar bisa memiliki istri lain yang lebih segalanya dariku. persetan dengan suamiku. Aku pun bergegas ke supermarket terdekat, membeli beberapa bahan makanan dan dua kotak roti untuk anak-anakku. Setidaknya roti-roti ini bisa menahan lapar mereka selama aku menyiapkan makan malam.

Aku tiba di rumah dan segera bergegas ke dapur. Kulihat dari pintu dapur, kakak sedang nonton tv dengan adik di pangkuannya. Tak biasanya adik seakur itu dengan kakak. Baguslah, setidaknya ada kemajuan di rumah ini. Aku memanggil kakak untuk mengambil roti di meja makan dan membaginya bersama adik. Kakak segera berlari ke dapur dengan wajah girang, bibirnya belepotan coklat. "Kakak, mulutnya kok belepotan gitu ? kamu bagi coklatnya ke adik gak ?" kulihat anak gadisku tersenyum manis dan mengangguk. Rasanya penat dan lelahku hilang tersapu ombak yang tak nampak. Benar-benar sebuah kemajuan. "Yasudah, itu rotinya di meja, kamu bagi sama adik ya." Kakak mengangguk dan mengambil roti-roti di meja. Kakak berhenti di pintu dapur, lalu menyerahkan satu roti ke tanganku, kemudian berlari ke ruang tamu, lanjut dengan acara tv-nya. Aku cuma bisa tersenyum puas, dan segera bersiap untuk masak makan malam. Kupikir aku perempuan paling malang di dunia, sudah dikaruniai anak cacat mental, tidak mendapat dukungan keluarga, ditinggal suami pula. Tapi melihat senyum anakku, rasanya semua itu terbayar lunas. Aku menitikkan air mata, tapi bukan air mata sedih. Aku merasa malu, kenapa baru sekarang aku menyadari itu.

Selesai masak, aku segera menyusul anak-anakku ke ruang tamu dengan makan malam di kedua tanganku. Kakak nampak sedang lahap menggigit roti sambil menggoyangkan kakinya, sedangkan adik tidur di pangkuannya dengan tenang. Mereka sedang menonton siaran anak kesukaan kakak. Andai saja aku bisa meluangkan lebih banyak waktu untuk menikmati saat-saat seperti ini bersama mereka. Kuharap segera ada laki-laki yang bersedia menerima janda beranak dua sebagai pendamping hidupnya, aku pasti segera melamarnya. Aku meminta kakak agar membangunkan adiknya untuk makan malam. Tapi sepertinya kakak masih asik dengan roti di tangannya yang belum habis digigit. Aku pun berjalan ke sana, untuk meletakkan makanan di meja ruang tamu dekat tempat sofa. Aku melihat adik ternyata tidak sedang tidur. Matanya terbuka, dan mulutnya menganga dengan coklat belepotan keluar. Kuperhatikan lagi, sepertinya ada yang aneh. Kenapa mata adik jadi putih begitu. Makan malam pun jatuh dari tanganku, menjilat lantai ruang tamu.

***
Adikku menyebalkan. Sudah tahu aku benci barangku disentuh kenapa masih nekad juga coklatku dimakan. Kali ini harus kuambil kembali, biar tahu rasa.

Kakak membuka paksa mulut adik dan memasukkan tangannya ke sana untuk mengambil coklat yang telah dimakan adik. Setelah coklatnya keluar, kakak memakannya. Berulang kali, sampai adik terdiam. Kakak pikir adik marah, jadi kakak mengajak adik nonton tv bersama sambil menunggu Ibu pulang.


Jumat, 25 Maret 2011

Mengurung Kebenaran

Pagi setia menyapaku lewat jendela yang besarnya tak seberapa. Seberkas sinarnya menyilaukan mata yang belum terpejam dan bengkak oleh tangis semalam. Malam usai sidang panjang dengan satu keputusan yang menurut hakim adalah paling tepat. Hukuman mati.

Aku adalah gadis belia usia tiga belas tahun. Kurasa aku adalah gadis paling muda di penjara ini. Paling muda, tapi dengan hukuman paling berat. Perempuan di sel sebelah sempat terkejut mendengar hasil keputusan sidangku. Cik Mimi namanya. Pelacur yang masuk penjara karena kebodohan pelanggannya, meneguk lima butir viagra dengan harapan kelaminnya bisa bermain lebih lama. Sialnya ia tewas kejang-kejang dengan mulut berbusa. Cik Mimi lah yang menjadi tersangka dan tak berdaya ketika dirinya dimasukkan ke dalam penjara. Tak ada siapa pun yang membela.

Cik Mimi tak lagi bersuara sejak mendengar keputusan sidang. Kurasa ia pun menangis semalaman dalam diam. Seharusnya aku tak memberitahukan padanya. Aku tak ingin menyakiti perasaannya di saat-saat terakhir hidupku. Hanya dia satu-satunya orang yang bisa kuanggap teman di penjara ini.

Aku Lina. Gadis yang dijual keluarganya untuk diperistri seorang saudagar kaya satu tahun yang lalu ketika umurku tepat dua belas tahun. Saat itu aku tak menangis, tak juga senang. Aku tahu keluargaku miskin dan butuh banyak uang. Ayahku yang bodoh telah meminjam sedikit uang dari tengkulak, dengan jumlah yang sangat besar yang harus ia kembalikan. Satu-satunya cara melunasi hutang adalah dengan menikahkan aku pada tengkulak brengsek itu.

Sebagai anak kelima dari delapan bersaudara, aku cukup dewasa dengan usiaku yang baru dua belas tahun. Sejak adik pertamaku lahir aku sudah mandiri. Tak pernah menyusahkan Ibu yang terpaksa bekerja sebagai kuli angkut beras demi membantu Ayahku yang seorang supir angkot. Tak jarang kami kelaparan, tapi kami adalah anak-anak yang berbahagia karena memiliki kehangatan keluarga. Kakak-kakakku sudah belajar mengamen sejak aku lahir. Aku pun belajar dari mereka. Menjadi gadis lusuh yang berkeliaran ke pusat kota untuk menyanyikan berbagai tembang yang aku sendiri tak mengerti artinya, demi beberapa koin atau kalau beruntung beberapa lembar uang yang jumlahnya cukup untuk biaya pulang dan membeli sedikit beras. Ibu tak pernah berhenti tersenyum ketika pertama kali aku membawakannya beras. Aku suka melihat Ibu tersenyum.

Ketika Ayah tak sanggup membayar, aku pun dinikahkan paksa pada tengkulak itu. Sekedar tahu saja, umur tengkulak itu sepuluh tahun di atas Ayah, dan istrinya sudah ada tiga. Anaknya pun masi ada yang lebih muda dariku. Ibu terus menghiburku. Katanya, aku beruntung bisa menikah dengan tengkulak itu. Hidupku akan terjamin, makan dan minum tercukupi. Baju mewah dan perhiasan yang selama ini hanya mimpi sekarang bisa kudapat dengan mudah. Tapi harga yang harus kubayar sangat mahal. Aku harus menikahi laki-laki tua yang sangat kubenci itu. Laki-laki yang sering mengirim preman kampung untuk melukai Ayah. Laki-laki yang akan merenggutku dari keluarga. Lebih tepatnya merenggut kebahagiaan masa kecilku bersama keluarga. Tapi aku diam dan terima saja demi Ayah dan keluarga.

Hari pernikahan pun tiba. Perayaannya sangat mewah untuk ukuran orang kampung seperti kami. Semua berbahagia. Kakak-kakak dan adik-adikku semuanya makan "makanan paling enak seumur hidup mereka" untuk pertama kalinya. Kulihat mereka kenyang dan puas. Tapi aku sama sekali tak menyentuh makanan yang dihidangkan. Aku tak sudi menyentuh makanan dari hasil mencurangi orang-orang bodoh seperti Ayah. Kasihan keluarga mereka. Tengkulak itu menikahiku dan berjanji tak akan menyentuhku hingga umurku genap delapan belas tahun. Ibu lega mendengarnya. Perjanjian itu diucap di atas kitab suci. Kuharap tengkulak itu masih punya rasa takut pada Tuhan-nya. Aku meragukan itu.

Hari-hari di rumah baru cukup menyenangkan. Aku bisa bermain dengan anak-anak dari istri tua. Mereka menganggap aku anak mereka. Memang sepantasnya begitu karena umurku jauh berbeda dari mereka. Salah satunya adalah Kak Tina, yang nasibnya serupa denganku. Selama tinggal di sana, Kak Tina paling baik padaku. Bahkan ia mengajari berbagai macam hal, mengijinkan aku bermain dan merawat anak-anaknya. Tak sekalipun aku dianggap saingan. Setidaknya ini tak seburuk yang kukira. Aku hanya perlu menahan mual setiap kali bertatap muka dengan si tengkulak.

***

Dua tahun setelah pernikahan dan usiaku baru genap empat belas tahun. Perekonomian memburuk, imbasnya cukup terasa di keluarga tengkulak tempatku tinggal sekarang. Apalagi kebiasaan hidup mewah dari istri tua membuat si tengkulak hampir jatuh miskin. Sempat aku berharap akan dipulangkan pada kedua orang tuaku, tapi tentu saja itu harapan kosong yang tak masuk akal. Mana mungkin tengkulak ini akan mengembalikanku tanpa imbalan apa pun dari keluargaku. Untungnya, aku masih diperlakukan dengan sangat baik di sini. Hari-hariku terjamin dengan makanan dan pakaian mewah. Walau tak semewah pertama aku datang ke rumah ini. Sekarang ini, istri pertama si tengkulak mulai menyebar isu miring tentang aku yang katanya membawa sial ke dalam keluarganya. Seharusnya dia tahu kalau aku pun sebenarnya tak sudi menjadi bagian dari keluarga besar tengkulak ini.

Keadaan semakin kacau ketika si tengkulak mulai mencari perempuan malam dan mabuk-mabukan setiap hari. Mulut istri pertama membuatnya tak betah berlama-lama diam di rumah. Tak jadi masalah buatku karena aku semakin jarang bertatap muka dengan si tengkulak. Tapi aku juga mendapat bagian dari cacian si istri pertama yang terus menghina aku dan keluargaku yang sekarang sudah resmi menjadi "pembawa bibit kemiskinan" baginya. Marah, tapi aku tak berkuasa melawan istri pertama. Memang lebih baik diam daripada menjadi korban pelampiasan emosi yang salah sasaran.

Malam yang dingin, hujan dan angin kencang menahan tengkulak itu pergi. Tapi tak menghentikan kebiasaan mabuknya. Aku sempat mendengar teriakan istri pertama. mereka bertengkar hebat. Aku mendengar suara piring dilempar dan jeritan wanita setan itu. Tampaknya kali ini dia yang menjadi sasaran emosi suaminya. Untuk pertama kalinya mungkin, sampai semua pelayan yang menguntit kemanapun dia pergi tiba-tiba ribut berteriak meminta bantuan karena si wanita setan itu pingsan. Kuharap wanita itu mati sekalian. Aku tak cukup perduli untuk keluar kamar dan mencari tahu bagaimana nasibnya. Kuputuskan untuk tidur lebih awal.

***

Pagiku datang dengan cara yang kasar. Pintu kamar tidurku dibuka paksa oleh orang-orang berseragam aparat. Lebih ngeri lagi melihat ekspresi wanita setan, istri pertama si tengkulak yang garang. Begitu galak dan marah, rambutku ditarik sambil ia menjerit histeris berurai air mata. Seharusnya aku yang histeris dan menjerit oleh perlakuan macam ini. Tapi aku diam karena bingung dan terkejut. Pagi yang aneh.

Ingatanku kurang jelas sebelum aku terduduk di kursi tersangka, di kantor polisi. Aku dituduh membunuh suamiku si tengkulak. Mereka bilang, malam itu si tengkulak menghampiri kamarku dan berteriak kesakitan. Mereka juga bilang tubuh si tengkulak ditemukan tak jauh dari kamarku, dengan darah yang arahnya berasal dari depan pintu kamarku. Saksi matanya tentu saja istri pertama si tengkulak yang menceritakan detail kejadiannya seperti sedang membacakan langsung dari buku pengantar tidur yang biasa dibacakan untuk anak-anaknya. Menurut penuturannya, malam itu setelah bertengkar hebat dengan dirinya, si tengkulak menghampiri kamarku dan berusaha memperkosaku. Aku melawan dan akhirnya menembak si tengkulak dengan pistol yang menjadi pajangan di dinding kamarku. Pistol yang bahkan aku sendiri tak tahu bagaimana menggunakannya. Andai aku tahu semudah itu menghabisi nyawa si tengkulak, tentu tak sulit bagiku menghabisinya beserta wanita setan yang tengah menuduhkan kebohongan atas diriku di depan hukum.


Kamis, 10 Maret 2011

Pagiku Bersemu

Aku dan pagiku yang lebam babak belur belum sempat tidur. Aku dan secangkir teh menanti pagi memberi sedikit semu di rona hariku. Sendiri, kata yang setiap kali terucap membuatku merasa pernah ditemani. Walau sebenarnya lebih sering aku sendiri melewati detik demi detik hariku.

Lebam belum juga tersamar, dan teh di cangkir muiai hilang hangatnya tersapu angin pagi. Pagi yang menganga, begitu luas dan kosong. Dingin dan sepi. Kenapa pagi harus begitu mati. Atau mungkin aku bangun sebelum yang hidup bangkit dari mimpi.

Pagiku di tempat yang baru. Tak lagi dari jendela tempat lamaku. Kali ini tak ada lagi nenek dan cucunya yang menjadi menu favoritku saat membuka hari. Tak ada juga siluet-siluet seksi yang sibuk mengolah tubuhnya dengan lari pagi. Tak semenarik kicau burung di pohon mangga seberang tempatku tinggal. Atau titik embun di pucuk daun yang kutanam. Daun, karena bunganya tak kunjung muncul beberapa bulan setelah kudengar janji manis penjualnya. Atau memang aku saja yang tak pandai memanjakan bunga yang jual mahal itu. Tak jadi masalah karena daunnya tak kalah indah. Masih ada lagi, yang membuatku betah berlama-lama hinggap di jendela. Sinar merah jambu yang malu-malu menembus awan kelabu, mengubah lebam menjadi semu. Sinar mentari pagi. Kuharap beda lokasi tak membuatnya acuh padaku.

Menunggu dan menunggu. Bagian mana dari hidup yang tak butuh kesabaran menunggu ? Bahkan kemunculan kita ke dunia pun harus menunggu sembilan bulan lamanya, kadang telat pula. Tapi semua itu tentu sudah kodratnya. Tak terbayang kan kalau kita sudah lahir dalam keadaan orok dan tali pusar kita masih menyangkut di rahim mama. Mungkin kita akan lahir dalam bentuk yang cepat beradaptasi gerak seperti anak rusa yang lincah melompat beberapa saat setelah menembus kelamin induknya, atau sial dan terlahir dalam bentuk tak berdaya yang terseret-seret macam anjing piaraan tersangkut tali pusar atau tewas mengenaskan terinjak heels mama. Untuk itu, aku tak lagi mempersoalkan kalau harus menunggu dalam batasan wajar, seperti menunggu munculnya merah semu di ufuk timur. Tak mungkin juga aku memaksanya keluar dengan kekuatanku yang tak lebih banyak dari tokoh 'Inem' si pelayan sexy. Lagipula, sabar itu banyak pahalanya. Itu kata guru agama. Semoga saja benar, dan pahala itu bisa menutup kebusukanku di dunia. Dan semoga doa orang busuk ini masih diterima.

Menunggu bukan pekerjaan mudah. Sambil berperang melawan kantuk yang siap menyerang ketika aku tak siaga, ditambah rasa bosan. Kita ibaratkan rasa bosan itu adalah dinding di sekelilingku yang perlahan semakin mendesak, berusaha meremukkan tubuhku dengan kekuatannya. itu lah bosan. Gerakannya perlahan tapi mematikan. Dalam porsi yang pas bisa membuat penantianku berakhir sia-sia dengan marah dan resminya pembatalan niat.

Terlalu lama berdiri dengan kedua kaki kemudian bergilir satu kaki, aku memanjat dinding pembatas teras. Tak terlalu tinggi, tapi cukup nyaman untuk duduk dan menggoyangkan kaki. Kulihat sepasang serangga centil sedang menyatukan pantat. Usilku timbul mendadak. Kutepuk pakai sandal sampai keduanya tewas bersamaan. Biarlah sepasang serangga itu menjadi cerita legenda dalam dunia mereka. Kisah Romi dan Juli yang tewas ditepuk saat bermesraan di teras. Tak terlalu menarik. Berapa lama lagi aku harus menunggu tak jelas.

Hidungku gatal, agak gatal, bertambah gatal dan merangsang jari kelingkingku bertindak. Mengupil. Banyak yang pura-pura tak suka kegiatan ini, tapi disaat sedang sendiri, dijamin mereka menagih. Tak kalah seru dari bernyanyi atau menggaruk gatalnya kulit kepala. Kegiatan mengupil bisa memberi kepuasan tersendiri. Tak heran banyak orang yang saking hobinya sampai lupa daratan, mengupil di sembarang tempat (lebih kurang ajar lagi, biasanya manusia macam ini tak lupa menebar upilnya di setiap mana kakinya berpijak).

Sayup-sayup kicau burung terdengar. Kusandarkan kepalaku ke teralis yang mengurungku seperti burung dalam sangkar. Entah untuk mencegah maling masuk atau mencegahku lompat keluar. Keduanya baik. Jadi aku tak permasalahkan.

Kupikir di tempat padat ini sudah tak ada kehidupan lain selain manusia, serangga dan pengerat. Tak kusangka dan tak kuduga, di rumah seberang sana sudah ada sarangnya burung gereja. Senang melihat ada kehidupan lain yang berbahagia di dekat rumah. Lumayan juga untuk menggantikan nenek di tempat lamaku yang suka repot mengasuh cucu. Untung juga burung itu bikin sarang di seberang rumah. Coba kalau sarangnya di teras ini. Sudah kuacak-acak sarangnya untuk melihat apa isinya. Telur mungil, atau burung kecil telanjang tanpa bulu. Agak jijik juga membayangkan bayi burung gereja yang mencicit tanpa bulu dan warnanya merah jambu. Seperti bayi tikus.

Kicau burung mengajak mataku terpejam. Pelan dan mulai rutin. Awalnya beberapa detik lalu beberapa menit dan pelan menyeretku ke dunia mimpi. Aku tertidur dalam penantianku yang tak pasti.

***
Dan merah jambu yang kutunggu berlalu tanpa permisi dan tanpa pamit. Sungguh kurang ajar, tak tahu aturan. Sudah kutunggu berlama-lama menahan kantuk sampai ku terlelap, dan aku ditinggal tanpa pesan.

Tapi, beginilah hidup. Penantian tak selalu berbuah manis. Semua butuh pengorbanan. Korban perasaan, korban waktu, korban apa saja. Dan semua pengorbanan itu tak menjadikan kita pihak yang pantas untuk protes saat hasilnya tak sesuai yang kita kira.

Aku kehilangan satu kesempatan melihat langit bersemu merah, tapi aku mendapat pipi bersemu merah, lekuknya sesuai bentuk teralis di teras rumah.


Minggu, 13 Februari 2011

Happy Valentine





All images in this account belong to Jony Kho. Comercial usage without my permition will charged US$3000,- each.

Selasa, 01 Februari 2011

Happy Chinese New Year 2011




All images in this account belong to Jony Kho. Comercial usage without my permition will charged US$3000,- each.

Karena Aku Merasakan

Untuk Mama yang terus menganggap aku sebagai anak kecil dalam gendongannya. Sampai kapan pun.

Bukan sekali dua kali, tak terhitung lagi berapa kali aku membuka mulut dengan nada kesal di hadapan Mama, dibarengi muka yang ditekuk-tekuk dan bibir manyun cemberut. Kadang ditambah mata menyala merah penuh amarah. Parahnya, setiap kali aku begitu, Mama terlihat tak berdaya seolah sengaja. Aku jadi seperti orang jahat yang tega menganiaya perempuan tua tak berdaya. Sedih, tapi terlanjur basah. Biasanya aku tak akan berhenti sampai amarahku mereda. Sungguh anak kurang ajar tak tahu di untung. Begitu kira-kira aku memaki diriku sendiri di dalam hati. Mama tak perlu tahu itu, walau mungkin di dalam hati ia memaki aku dengan kata-kata yang lebih pedas.

Sudah lama aku kehilangan sosok Mama yang dulu aku sayang. Bukan berarti sekarang aku tak sayang. Hanya dia satu orang yang kupanggil Mama di dunia dengan sepenuh hatiku meng-amin-i, meng-iya-kan, atau dengan kata lain, menyetujui dengan pasrah.

Aku sayang Mama ketika dia tak membuka mulutnya untuk menelurkan ribuan topik pecundang yang kalau kuhitung-hitung dengan lebih teliti pasti sudah melebihi jumlah episode sinetron murahan di televisi. Topik yang sama bisa diulang tanpa rasa bosan. Mungkin bukan maksudnya begitu, bisa saja Mama hampir mati kebosanan dan ingin mencari topik untuk dibicarakan. Topik yang salah yang membuatku makin diam.

Mungkin dalam hati, mama akan lebih memilih kakakku yang jauh lebih sabar mendengar. Tak kuragukan rasa sayang kakakku padanya tak kalah dari rasa sayangku pada Mama. Kadang aku iri dengan kesabaran yang dimiliki kakakku yang membuatnya bisa dekat dengan Mama walau dihajar dengan ribuan topik membosankan. Seperti keajaiban dan kakakku bisa mengalir dalam pembicaraan. Sedangkan aku, selalu membatu seperti kerikil yang tidur di bawah arus sungai.

Mama Bukan pribadi yang seperti ini sepuluh tahun yang lalu. Dan aku merasa diriku sekarang seperti ini juga adalah karena Mama. Aku anak keempat dari empat bersaudara, dan aku menghabiskan waktu dengan Mama jauh lebih banyak dari kakak-kakakku lainnya. Aku mempelajari berbagai sifat mama, dan diam-diam menirukan dengan gayaku sendiri. Salah satunya adalah sifat mama yang keras dan sulit dibantah. Hasil pembelajaran itu adalah sifatku menjadi musuh bebuyutan Mama. Kami sering kali saling ngotot untuk hal-hal kecil seperti bagaimana memperlakukan sampah yang benar, kadang Mama suka teledor membiarkan minuman manis yang tumpah di lantai yang akhirnya menjadi kubangan bagi semut-semut nakal. Aku paling tak bisa menerima kejorokan seperti itu. Jujur, aku bukan orang yang gila kebersihan, tapi aku juga bukan orang yang bisa hidup dalam ‘kejorokan berlebih’ seperti kasus semut dalam kubangan. Tapi yang membuatku makin kesal adalah sifat kekanak-kanakan Mama yang selalu menyangkal (walau terlihat dalam ekspresi wajahnya bahwa dia sedang berbohong) dan tak mau kalah. Biasanya kalau sudah begitu, aku akan diam dan masuk kamar.

Talenta yang kumiliki juga turunan dari Mama yang berotak briliant. Selalu ada saja ide untuk membuat alat-alat praktis dari benda sederhana. Sialnya, Mama bukan orang yang suka bekerja sama dalam satu tim. Seringnya, kami bersaing membuat satu alat yang nantinya harus ditandingkan seperti dalam lomba. Kalau aku kalah, Mama selalu bilang “Tuh kan, otak Mama gak kalah pintar dari otak kamu.” Dan biasanya aku menimpali “Yeah… pasti lah, otakku kan lahir dari Mama juga.” Sambil tersenyum kecut macam pecundang lalu pergi. Kesal, tapi juga bangga.

Tak selamanya Mama itu mengesalkan. Kadang tanpa Mama rasanya sepi sekali. Tak melihat aksi kocak dan candanya yang kekanak-kanakan membuatku kesepian. Sumpah, aku tak pernah berhenti berharap andai Mama bisa membaca pikiran anak-anaknya. Andai aku bisa berubah menjadi seperti kakakku. Rasanya aku tahu betul seberapa sulit mengubah sifatku, walaupun imbalannya adalah kasih sayang Mama yang hampir aku lupa rasanya karena sebagian besar waktu kami bersama habis untuk berdebat saja. Sekarang aku lebih banyak menghindar. Bahkan teriakan dari satu lantai di bawah kamarku lebih sering aku abaikan dengan pura-pura tidur. Beberapa saat kemudian setelah aku berpikir mungkin mama memanggilku untuk sesuatu yang penting, baru aku turun ke bawah. Seringnya aku dipanggil untuk topik tak penting itu, atau hal-hal tak perlu. Itu yang membuatku makin malas menanggapi panggilannya. Tapi aku selalu kembali memikirkan kondisi Mama yang sudah tua dan sakit-sakitan. Bisa saja panggilan itu menjadi panggilan darurat yang tak bisa diabaikan. Akhirnya, aku menanggapi setiap panggilan Mama walau harus kembali menahan kesal.

Kadang Mama berterus terang tentang sifatku yang dingin, menasehati bahwa setiap ocehannya adalah karena sayang. Bahwa umurnya tak lagi panjang (aku paling benci ketika Mama mulai membicarakan umurnya yang tak lagi panjang). Apa mungkin Mama tak pernah sadar kalau aku menyayanginya dengan sisi lainku ? bahwa setiap kali aku diam adalah karena aku sayang dan tak mau menyakitinya dengan kata-kata kasar. Seharusnya Mama tahu kenapa aku tumbuh menjadi pribadi yang dingin dan tak terlalu dekat dengan keluarga. Karena sejak dulu Mama pun begitu. Sejak aku kecil, Mama bisa saja marah dengan kelakuanku hingga mengoles mataku dengan cabai giling. Setelah ekspresi marah yang menakutkan itu, Mama bisa tersenyum ramah pada tetangga beberapa menit kemudian. Itu yang aku pelajari dari kecil. Bahwa kita bisa saja jahat pada keluarga, tapi kita tak boleh menampakkannya pada orang lain. Aku menjadi pribadi yang menyenangkan bagi orang lain, tapi mengesalkan bagi keluarga. Cukup masuk akal kan ?

Tak hanya dengan Mama, dengan kakak-kakakku pun begitu. Aku jauh lebih ramah saat dengan teman-temanku atau pun orang yang baru kenal daripada dengan keluarga kandungku.

Tak mudah mengubah sifat yang tertanam sejak kecil. Tak ada gunanya juga menyalahkan Mama sekarang ini. Dalam hatiku, Mama sudah menerima karma buruknya karena sifatku yang begini. Bukannya aku sengaja, tapi aku sulit mengubah. Aku tak pernah bisa meminta maaf langsung pada Mama, mungkin belum saatnya. Mungkin saja nanti, suatu hari. Atau tak akan pernah. Aku sendiri belum punya keberanian untuk menentukan kapan saatnya. Aku takut ego-ku lebih besar dari penyesalan yang kupendam.


seems like it was yesterday when I saw your face

You told me how proud you were, but I walked away

If only I knew what I know today

Ooh, ooh

I would hold you in my arms

I would take the pain away

Thank you for all you've done

Forgive all your mistakes

There's nothing I wouldn't do

To hear your voice again

Sometimes I wanna call you

But I know you won't be there

Ohh I'm sorry for blaming you

For everything I just couldn't do

And I've hurt myself by hurting you

Some days I feel broke inside but I won't admit

Sometimes I just wanna hide 'cause it's you I miss

And it's so hard to say goodbye

When it comes to this, oooh

Would you tell me I was wrong?

Would you help me understand?

Are you looking down upon me?

Are you proud of who I am?

There's nothing I wouldn't do

To have just one more chance

To look into your eyes

And see you looking back

Ohh I'm sorry for blaming you

For everything I just couldn't do

And I've hurt myself, ohh

If I had just one more day

I would tell you how much that I've missed you

Since you've been away

Ooh, it's dangerous

It's so out of line

To try and turn back day

I'm sorry for blaming you

For everything I just couldn't do

And I've hurt myself by hurting you

Christina Aguilera - Hurt