Rabu, 26 September 2012

Aelien : Halloween di rumah Nenek

Aku Aelien, gadis kecil dengan bulu mata lentik dan rambut ikal, semua orang mengatakan aku cantik. Termasuk Papa dan Mama. Sebentar lagi usiaku sebelas tahun. Tepatnya, pada malam Halloween. Setiap tahunnya, mama memaksa aku merayakan ulang tahun di rumah Nenek yang letaknya agak jauh, di pinggir kota dekat hutan belantara. Biasanya Papa dan Mama akan mengantarku dengan bus kota, kadang Papa mengantarku dengan mobilnya. Tapi memasuki umur sebelas, mereka ingin aku menjadi gadis yang lebih mandiri. Apalagi, menstruasi pertamaku baru saja terjadi tak lama ini. Aku merasa seperti Alice yang terbangun dari mimpinya di Wonderland. Tiba-tiba aku harus menjadi lebih dewasa hanya karena menstruasi yang bahkan aku sendiri tak mengerti sama sekali sebelum dijelaskan oleh Mama. Apa boleh buat, aku harus bangun dari mimpi indah masa-masa sebelum ini. Apalagi, di hari ulang tahunku yang ke sebelas, Papa dan Mama tak lagi mengantarku ke rumah Nenek. Artinya, akan sangat membosankan sekali walau hanya satu malam di sana. Sejak dulu aku merasa takut berada dekat dengan Nenek. Wajahnya sangat tua, dengan dagunya yang belah. Tapi Nenek bukan orang yang jahat. Buktinya, setiap kali aku ke sana, selalu ada kue tart lezat hasil tangannya. Nenek juga wangi. Aroma peppermint selalu tercium ketika tangannya mengelus lembut rambutku yang ikal. Sebenarnya tak ada yang lebih aneh dari sepatu lancip yang tak pernah lepas dari kakinya yang keriput dan penuh urat. Mama bilang, Nenek sejak kecil suka sekali dengan sepatu lancip. Bahkan ketika melahirkan Mama dan dalam setiap foto bersama Mama, Nenek selalu terlihat memakai sepatu lancip. Diam-diam, aku pun pernah penasaran seperti apa rasanya mengenakan sepatu lancip. Pertama dan terakhir kalinya aku mencoba sepatu lancip adalah ketika umurku delapan tahun, tepat di hari ulang tahunku. Aku mencoba sepatu Nenek yang tentu saja terlalu besar untuk kaki mungilku. Saat mencoba untuk melangkah, aku terjatuh dan kakiku terkilir. Sejak itu aku bersumpah tak akan pernah memakai sepatu lancip lagi.


Tiga hari menjelang Halloween, Mama mulai sibuk mempersiapkan kostum dan permen untuk menjamu anak-anak tetangga. Sayangnya, aku tak akan ada di sini untuk bermain bersama mereka. Sedikit kesal, tapi kesal itu hilang ketika aku membayangkan kue tart dan aneka makanan buatan Nenek. Walau aku tetap lebih suka tinggal di rumah dan bermain bersama teman-temanku mengitari perumahan ini seperti cerita mereka padaku. Aneh, aku merasa sepertinya aku mengalami "hal itu" lagi. Seperti sedang melakukan sesuatu yang sebelumnya sudah pernah aku lakukan. Aku tak tahu bagaimana menyebutnya. Sesuatu yang mulai aku rasakan setelah menstruasi pertamaku. Aku tak berani menceritakan pada Mama. Aku takut disangka gila. Maklum, keluargaku masih sedikit kolot untuk sesuatu yang berbau mistis. Apalagi pihak keluarga Papa. Setahuku, mereka menentang pernikahan Papa dan Mama, sehingga sampai sekarang pun mereka tak pernah mau mengakui aku sebagai anggota keluarga, dan membuang Papa. Jadi, keluarga kami selain aku, Papa dan Mama, hanya ada Nenek. Aku bertanya-tanya, kenapa Nenek tak pindah kemari saja. Bukankah rumah ini cukup besar untuk kami berempat ? Tapi setiap kali aku bertanya, Mama selalu mengatakan bahwa itu urusan orang dewasa, dan segera mengalihkan pembicaraan. Setahuku, Papa dan Nenek juga selalu akur. Lama kelamaan aku pun berhenti menanyakan hal itu. Hari ini, aku yakin Freddy akan muncul dari pintu belakang rumahku dan mengajakku bermain ke rumah Rudy dan Berta. Tebakanku tepat. Sama seperti yang "terjadi" sebelumnya. Aku tahu kami akan bermain petak umpet, karena memang aku sudah melakukan permainan ini di hari yang sama persis, tapi di hari sebelum hari ini. Entah kapan dan bagaimana, tapi begitulah yang aku tahu. Aku sudah mulai terbiasa dengan keadaan ini karena sudah terjadi berulang kali.

Hari ulang tahunku tiba. Pagi sekali mama sudah membangunkan aku untuk sarapan. Tak lama, telepon berdering. Sepertinya dari Nenek. Pembicaraan mereka agak aneh. Mama seperti memohon sesuatu. Tak lama percakapan mereka terputus. Aku mencoba bertanya, tapi Mama sibuk menyiapkan bekal untuk aku selama perjalanan nanti. Dari rumah kami ke tempat Nenek memakan waktu tiga jam dengan bus kota. Seperti perjanjian kami, ini kali pertama aku mencoba sendirian ke tempat Nenek. Dengan malas kulangkahkan kaki menuju halte bis terdekat. Bekal di tanganku terasa berat, entah apa saja isinya. Setahuku hari ini Mama menyiapkan panekuk dengan saus apel. Mungkin ada anggur khusus buatan Mama. Nenek suka sekali dengan anggur buatan Mama. Padahal, Nenek seharusnya lebih jago membuat minuman fermentasi karena resepnya datang dari Nenek (menurut penuturan Mama). Entahlah, mungkin Nenekku juga punya sifat manja sepertiku. Beban di tanganku tetap harus kubawa sampai ke rumah Nenek walaupun aku mengeluh sepanjang perjalanan. 

Seperti menyadari kedatanganku, Nenek membuka pintu ketika aku beberapa langkah dari pintu. Sebuah tart berbentuk labu yang aneh, bahkan agak mengerikan, berada di tangannya. Ini kue tart terbesar yang pernah dibuatkan Nenek untukku. Bentuknya memang aneh, tapi aku yakin rasanya enak sekali, karena aku sudah mencicipinya setiap tahun. Nenek tersenyum mengerikan seperti biasanya. Mungkin karena bibirnya yang sudah keriput itu dipaksakan membentuk lengkungan bulan sabit. Tapi yang lebih menyeramkan adalah dagu Nenek yang seperti terbelah oleh kapak. Aku berusaha menghindari bagian wajah itu dengan mengalihkan mataku ke bawah. Aku melihat sepatu lancip seperti yang biasa Nenek pakai. Hitam mengkilap terawat seperti baru. Nenek memang terkenal paling pandai merawat barang. Rumahnya pun rapi dan serba bersih. Nenek menyuruh aku segera masuk dan beristirahat di ruang tamu. Aku pun bergegas menuju ruang tamu, dan melihat seisi ruangan. Tak banyak berubah sejak terakhir aku datang, tahun lalu. Mataku melirik ke arah sofa. Aku selalu canggung setiap akan duduk di sofa mungil yang terletak dekat perapian, seolah pakaianku terlalu kotor untuk menyentuh permukaan sofa itu. Seperti membaca pikiranku, Nenek mempersilakan aku untuk duduk dan menganggap rumah sendiri. Nenek memang pernah berkata bahwa suatu hari nanti rumah ini akan menjadi tempat tinggalku. Aku tak pernah bertanya apa maksudnya, tapi wajahnya terlihat sendu ketika mengatakannya. Aku tak berani bertanya lebih jauh, takut menyinggung perasaan Nenek. Aku belum pernah melihat Nenek marah di depanku, tapi tahun lalu aku mendengar Mama dan Nenek bertengkar hebat di telepon. Sepertinya mereka berdebat tentang perjanjian, yang tentunya tak berani aku tanyakan karena aku yakin Mama ataupun Nenek tak akan mau membahasnya. Apalagi dibahas denganku yang masih kecil dan dianggap serba tak tahu. Aku duduk sambil menunggu Nenek yang sedang menyiapkan teh dan memotong kue tart. Tak ada ucapan selamat ulang tahun, sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Hanya potongan kue tart, teh herbal, dan belaian lembut di kepalaku. Nenek selalu memuji rambutku yang ikal dan kecoklatan, seperti cream pie katanya. Maka dari itu Nenek lebih sering memanggilku Cream-Pie. Tanpa sadar, aku tertidur di sofa ruang tamu Nenek. Entah berapa lama. Aku terbuai belaian lembut tangan nenek dan aroma peppermint darinya. Samar-samar aku mendengar dalam tidurku yang setengah sadar. Nenek berdebat lagi dengan Mama. Tapi kali ini sepertinya bukan di telepon. Mama berbisik, begitu pun Nenek. Ada apa... aku terbangun dari tidurku, dan mereka terdiam menatapku dengan tajam. Seperti kesetanan, Nenek setengah berlari ke arahku, menarik lenganku dengan keras hingga aku menjerit pelan karena terkejut. 

"Linda, kau ingat perjanjian kita dua puluh tahun yang lalu. Anak perempuan pertamamu... untukku !" Nenek berkata ke arah Mama dengan mata merah, sungguh mengerikan.

"Aku tahu dan ingat perjanjian itu Bella, tapi tolong, Aelien masih kecil." Mama mulai terisak, dan aku makin cemas.

"Demi kamu, Linda. Aku mengorbankan anak perempuanku. Kenapa sekarang kamu ingkar ? Apa kamu lebih suka kakakmu ini mati ?" Kali ini suara Nenek seperti menahan marah dan tangis. Antara itu.

"Bella, kumohon, jangan di depan anakku." Mama memelas, tapi tak dihiraukan.

"Mama, Nenek, ada apa... ?" Aku mulai terisak dan bertanya dengan segenap keberanianku.

"Cream-pie, kamu mau kan, berkorban untuk Nenek ? Nenek butuh jasadmu untuk mengganti tubuh Nenek yang sudah renta ini." Nenek meminta seolah tubuhku ini boneka yang bisa dipinjamkan begitu saja.

Aku menjerit ketakutan dan berusaha melepas genggaman Nenek. Cengkeraman tangan Nenek begitu kencang. Saat berhasil melepaskan diri, aku merasa sebagian kulit tanganku terkelupas tercabik kuku Nenek yang sangat tajam. Aku menjerit kesakitan dan segera berlari ke lantai dua, bersembunyi di kamar, mengunci pintu dan sembunyi di bawah ranjang. Jantungku berdegup kencang. Tubuhku gemetaran berselimut rasa takut. 

"Mama, Papa, tolong..." hati kecilku menjerit minta tolong.

"Cream-pie... kemari sayang, Nenek punya sesuatu untukmu." Nenek memanggilku dengan lembut. Tapi aku tahu itu tipuan.

"BUKA, CREAM-PIE !!!" kali ini Nenek menjerit keras dan melengking. Aku mundur menyentuh dinding dibelakangku.

"Atau... Nenek akan masuk dan menghukummu." Suara nenek seperti berbisik lalu menghilang.

Tiba-tiba aku melihat pintu kamar yang tadi terkunci, sekarang membuka perlahan. Mataku tak sanggup berkedip. Pintu akhirnya terbuka lebar. Aku melihat Nenek tersenyum mengerikan dengan bibirnya yang membentuk lengkungan bulan sabit. Tangannya menggenggam sebilah belati dengan ukiran antik. Setengah gemetar, entah karena belati itu berat, atau Nenek terlalu bersemangat. Tak menunggu lama, Nenek membacakan sesuatu, dan seketika itu kaki ku seperti ditarik oleh tangan raksasa yang tak kasat mata. Tubuhku terseret keluar dari bawah ranjang, dan dilempar ke atas ranjang. Kedua tangan dan kakiku seperti terkunci ke empat ujung ranjang. Aku ketakutan dan menangis tanpa suara. Mama berdiri di belakang Nenek tanpa daya. 

"Linda, kamu mau selesaikan ini dengan cepat, atau harus aku yang menyakiti anakmu ini ?" Nenek seakan mengancam Mama.

"Bella, kumohon... ambil saja jasadku." Mama memohon sambil berlutut menyentuh kaki Nenek. Tapi tentu saja tak digubris oleh Nenek yang dari awal matanya tak pernah lepas dariku.

"Linda, kau tahu syaratnya. Harus perawan yang baru merekah. Suci dan polos. Anak yang memiliki darah kaum kita, kaum Lilim. Bukankah aku pun menyerahkan anakku demi kamu, Linda. Kau lupa itu ?" Nenek mengingatkan Mama akan janji mereka.

"Aku tahu Bella, tapi sudah berapa ratus tahun umur kita. Kapan ini akan berakhir. Aku sudah tak sanggup lagi menyerahkan darah daging kita demi keabadian. Apalah artinya hidup abadi dengan cara terkutuk seperti ini Bella. Aku ingin mengakhirinya." Mama terisak di kaki Nenek.

"Linda, kau sungguh egois. Hanya kita berdua yang tersisa dari kaum kita. Bagaimana mungkin kau mau mengakhiri garis keturunan kaum kita ?"

Nenek berpikir sejenak lalu melanjutkan "Begini saja, kau boleh memiliki satu anak lagi, dan akan kubiarkan dia hidup sebagai penggantimu. Bagaimana ?" Nenek kembali tersenyum mengerikan.

Mama terhenti dari isak tangisnya. Mengambil belati dari tangan Nenek. Awalnya kupikir Mama akan menolongku, tapi ternyata Mama menghampiriku dan menikam tepat di jantungku. Saat itulah aku menjerit, hatiku menjerit, dan jiwaku menjerit. Aku mati tiga kali. Aku tak menyangka Mama akan tega melakukannya.

Mama memanggilku dari dapur. Pagi sekali, terlalu pagi. Aku mimpi buruk. Aku merasakan air mata mengalir di pipiku. Segera kuusap dan bergegas ke kamar mandi untuk cuci muka, lalu turun ke dapur. Tak lama setelah menghabiskan sarapan, aku mencuci piring dan menghabiskan susu yang Mama sediakan. Tak lama, Freddy datang lewat pintu belakang. Kami akan bermain ke ke rumah Rudy dan Berta. Tebakanku tepat. Sama seperti yang "terjadi" sebelumnya. Aku tahu kami akan bermain petak umpet, karena memang aku sudah melakukan permainan ini di hari yang sama persis, tapi di hari sebelum hari ini.

Hari ulang tahunku tiba. Pagi sekali mama sudah membangunkan aku untuk sarapan. Tak lama, telepon berdering. Sepertinya dari Nenek. Pembicaraan mereka agak aneh. Mama seperti memohon sesuatu. Tak lama percakapan mereka terputus. 

"Ma, tak perlu khawatir. Semua akan berakhir tahun ini." Aku sendiri tak tahu kenapa aku mengatakan ini pada Mama, tapi jiwaku tahu apa yang terucap dari bibirku, seperti sumpah. Mama terlihat kebingungan.

Saat Mama menyiapkan bekal dan bingkisan untuk Nenek, aku mengambil sebilah pisau dan menyisipkannya ke dalam keranjang. Aku pun pamit dan segera bergegas ke rumah Nenek. Beban di tanganku tetap harus kubawa sampai ke rumah Nenek walaupun aku akan mengeluh sepanjang perjalanan. 

"Ma, tak perlu menyusul ke rumah Nenek, tolong jemput aku besok siang. Janji ?" itu pesan terakhirku sebelum meninggalkan rumah, dan Mama menyanggupi.

Seperti menyadari kedatanganku, Nenek membuka pintu ketika aku beberapa langkah dari pintu. Sebuah tart berbentuk labu yang aneh, bahkan agak mengerikan, berada di tangannya. Ini kue tart terbesar yang pernah dibuatkan Nenek untukku. Bentuknya memang aneh, tapi aku yakin rasanya enak sekali, karena aku sudah mencicipinya setiap tahun. Nenek tersenyum mengerikan seperti biasanya. Mungkin karena bibirnya yang sudah keriput itu dipaksakan membentuk lengkungan bulan sabit. Aku masuk ke ruang tamu, persis seperti dalam mimpi. Setelah minum teh herbal dan menghabiskan dua potong kue tart buatan Nenek, aku terlelap. Tapi kali ini tidak benar-benar lelap. Tepat ketika Nenek berjalan ke dapur, aku bangun dan mengambil pisau yang terletak dalam keranjang dekat tempatku tidur. Terdengar satu jeritan panjang, lalu hening dan tenang. Seolah hutan disekitar rumah ini telah menelan habis jeritan tadi.

***

Siang keesokan harinya, Mama datang menjemputku. Hanya ada aku duduk sendiri di sofa dekat perapian, sedang menikmati secangkir teh dan sepotong kue tart. Mama berdiri di dekat pintu, seolah ragu untuk beranjak jauh dari sana. Mama membuka pembicaraan dengan menanyakan keberadaan Nenek, dan aku tak menjawabnya. Aku mengalihkan pembicaraan dengan menanyakan bekal apa yang dibawanya untukku siang ini. Mama sempat terdiam sebentar, lalu tersenyum. Senyumnya manis, melengkung seperti bulan sabit. Hari ini Mama memakai sepatu lancip. Bekal untukku menggantung di tangan kirinya.

"Ma, sekarang rumah ini milik kita." Aku pun tersenyum menirukan senyuman Mama yang indah.

"Iya, Aelien. Milik kita." Mama kembali tersenyum.

"Ma, Aelien sering melihat masa depan. Semalam, Aelien bermimpi... melihat Mama menusuk Aelien... dengan pisau dapur." Seketika itu, senyuman Mama menghilang perlahan dan wajahnya yang putih terlihat bertambah pucat. Bekal untukku terjatuh dari tangannya.

Aku membacakan sesuatu yang kudapat dari mimpi semalam. Pintu di belakang Mama menutup kencang tanpa ada yang menyentuhnya, dan aku... tersenyum manis. Senyum manis yang melengkung seperti bulan sabit.






Kamis, 20 September 2012

Dan,...

Terik matahari siang menembus jaket hitam yang melekat di kulitku menyatu bersama debu jalanan dan keringat dari tubuhku. Masih tersisa juga jejak asap rokok semalam yang kunikmati berdua bersama kekasihku di kamarnya yang tak terlalu luas dengan ventilasi yang kurang. Satu batang rokok untuk berdua, jauh lebih romantis dari menu istimewa di restoran berbintang dengan sebatang lilin manis di tengah meja. Satu batang rokok untuk dua bibir yang kemudian bertautan dalam remang-remang kamar kos murahan. Pikiranku masih enggan beranjak dari gambaran semalam yang masih terus berbayang seolah takut terlupakan. Mana mungkin aku lupa dengan kenangan manis itu. Malam pertamaku dengan kekasihku yang baru aku kenal satu bulan. Kekasihku yang begitu manis dan semakin manis sekarang ini. Tubuhku beranjak darinya, tapi isi kepalaku menurut kemana langkah kakinya. Baru beberapa menit kami terpisah di lampu merah jalanan ibu kota. Dia harus ke kantor, sedang aku harus bergegas pulang untuk kemudian bersiap ke kampus. 

Satu hari penuh aku melayang-layang dalam angan. Kelas hari ini berlalu tanpa ada satu pun materi yang tersangkut di kepalaku. Hatiku merindu, sedang tubuhku gelisah tak karuan ingin disentuh kekasihku. Mataku tak jauh dari ponsel, berharap kekasihku akan menghubungiku, atau sekedar bualan manis lewat tulisan pesan singkat seperti yang rutin masuk selama satu bulan kami berhubungan. Sepi. Ponselku tak bersuara, lama hingga aku tertidur tanpa disengaja. Aku ingat, sebelum tidur aku sempat menitikkan air mata, berpikir kekasihku telah melupakan aku setelah satu malam kami bersama.

Tiba-tiba hari sudah siang ketika aku membuka mata. Teriknya matahari menusuk mataku lewat kaca jendela yang semalam tirainya kubiarkan terbuka agar cahaya bulan menemani kegelisahanku dan bintang-bintang menjadi saksinya. Tak lain dan tak bukan, yang pertama kusentuh adalah ponsel. Ada tiga pesan singkat di dalamnya. Segera kubuka. Satu dari Linda teman kampusku yang menanyakan keberadaanku. Satu lagi Rudy, menanyakan hal yang sama. Terakhir, ya, dari kekasihku. Ia menanyakan keadaanku setelah malam pertama kami. Ajaibnya pesan singkat ini telah mengubah kegalauan semalam menjadi riang berbinar-binar. Baru akan mengetik pesan balasan untuk kekasihku, aku teringat pesan Linda. Ya Tuhan, pagi ini aku melewatkan jadwal ujian akhir salah satu mata kuliahku.

Tak mau mengulang mata kuliah yang sama, aku segera mengurus surat ijin agar bisa mengikuti ujian susulan. Kampus memang tak pernah perduli dengan kegalauan mahasiswanya untuk urusan cinta. Bahkan untuk hari khusus seperti waktu melayat kakekku saja surat ijinnya rumit sekali. Harus ada surat dari RT setempat, dari orang tua, dan kartu keluarga. Kadang aku merasa perkuliahan ini sudah seperti kemiliteran. Segala sesuatunya dibuat begitu rumit seolah ingin membuat mahasiswanya gagal dan mengulang setiap mata kuliah. Kalau perlu DO sekalian biar jumlah lulusan berkurang dan menyelamatkan jumlah kursi lapangan kerja yang tersedia sekarang ini. Lanjut dengan perjuanganku mencari surat ijin, setengah hari aku berburu dokter baik hati yang bersedia membuatkan surat sakit palsu. Tentunya dari dokter yang tidak tercantum dalam buku hitam pihak kampus. Sudah pasti pihak kampus memiliki buku hitam semacam itu. Bayangkan saja, dari sekian ribu mahasiswa, tentu bukan hanya aku yang memalsukan surat ijin. Lelahku terbayar dengan selembar surat yang sudah aman di tangan, kutitipkan pada Linda sahabatku untuk disampaikan ke pihak kampus. Aku ijin tiga hari, dan rencananya akan kuhabiskan di kamar kos kekasihku. Aku segera mengabarinya lewat pesan singkat. Satu menit... dua menit... tiga menit... tak ada balasan, dan aku mulai kehilangan minatku pada rencanaku. Malamnya, kekasihku mengabarkan dirinya tengah berada di luar kota. Kabar yang mengagetkan karena sama sekali tak ada pemberitahuan sebelumnya. Kecewa bercampur sedih dan galau. Aku tak membalas pesannya, dan kumatikan ponselku. Aku menatap bintang di langit yang tak ditemani bulan. Air mataku menitik kembali, dan aku lupa kapan tepatnya mataku terlelap dalam kantuk.

Tiga hari berlalu tanpa kabar dari kekasihku. Aku pun tak berusaha mencarinya. Aku ingin dia yang mencariku. Bukankah seharusnya memang dia yang mencariku. Mungkin aku terlalu manja, tapi seharusnya dia tahu itu dari hubungan kami selama satu bulan. Dan, selama ini dia menerima kelakuanku, jadi tak ada alasan menjadikan sifat manja-ku untuk bungkam atau menghindar. Pikiranku makin kacau. Kuliahku mulai terpengaruh. Aku kehilangan minat dalam segala hal. Bahkan buang air besar pun aku setengah hati. Terus berpikir kenapa kekasihku sungguh tak pengertian. Apalah gunanya pacaran kalau rasanya seperti sendirian. Apa mungkin dia cuma menginginkan malam pertama itu. Aku kembali menitikkan air mata, menatap bintang yang sekarang ditemani bulan, dan kembali terlelap oleh lelahnya otakku yang tak henti mencari di mana letak kesalahanku.

Satu bulan berlalu, aku baru tahu kalau ternyata Rudy menaruh perhatian padaku. Kami pun mulai menjalin hubungan sesama jenis. Rudy jauh lebih perhatian dari kekasihku, mantan kekasih lebih tepatnya. Mereka berkelamin sama, tapi sifatnya sungguh beda. Aku bahkan berharap Rudy-lah yang bersama denganku malam itu berdua di kos murahan. Aku berharap Rudy-lah kekasihku waktu itu. Atau aku berharap kekasihku memiliki hati seperti Rudy. Yang jelas, sekarang hatiku terisi oleh seorang Rudy. Kami satu kampus dan satu jurusan, satu kelas bersama Linda. Aku bahagia sekarang, dan aku masih merindukan mantan kekasihku. Aku bingung dengan diriku sendiri. Aku sekarang pacaran dengan Rudy, dan diam-diam semalam masih menangis ditemani bulan dan bintang ketika mantanku mengirim pesan "Kok gak ada kabar ?"

Aku berpikir, betapa bodohnya mantan kekasihku yang tak mengerti isi hatiku. Atau mungkin aku yang bodoh karena tak mengerti bagaimana menyampaikan isi hatiku. Atau mungkin ego ini yang lebih pantas disalahkan. Aku bingung kenapa hati ini harus memikirkan mantanku sementara saat ini aku bahagia bersama Rudy. Atau mungkin karena sudah menemukan kebahagiaan makanya aku menganggap remeh apa yang kudapat sekarang ini. Mungkin aku akan lebih menyesalinya ketika perpisahan tiba pada waktunya nanti. Sementara otakku masih terus berpikir di mana letak kesalahanku yang dulu. Dan, aku membayangkan jawaban itu sedang dalam perjalanan ke hatiku, mungkin tersesat di hutan mistis atau terperangkap badai tsunami. Dan, tanpa sadar aku terlelap dalam letih yang mendalam.