Rabu, 23 September 2009

Dendam

Demi pedih yang kurasa
Saat menunggumu
Dan kebohongan
Yang kau jadikan hadiah
Disaat perpisahan tiba
Aku pantas membencimu
Sampai mati pun
Aku membencimu

Rabu, 16 September 2009

Hug

Pagi ini terbangun bersimbah keringat. Puanas tenan... baru kemarin dengar di radio tentang matahari yang tengah mendekati khatulistiwa. Jadi kita yang di Indonesia udah pasti kena imbasnya. AC di kamar serasa gak berfungsi (atau emang udah saatnya dibersihin). Bangun jam 3 dan gak bisa tidur lagi sampai sekarang, pukul 06.06 sedang asyik menulis beberapa kalimat penghalau penat. Siapa tau cape ketik2 masih sempat tidur satu jam sebelum mata dipaksa melek, siap-siap mau ke kantor buat kerja praktek.

Keseharian memang membosankan. Tak ada alasan untuk tidak mengulang. Berapa kali aku katakan juga tetap percuma. Lagi dan lagi semua terus berlari mengejar dan menerjang waktu mencari entah apa yang akan terjadi di kemudian hari. Bedanya, aku bukan orang yang akan terus berlari walau nafas tersengal. Aku lebih menikmati hidupku dengan cara sendiri. Memandang lalat seharian pun kujabani, selama pemandangan itu kuanggap pantas dimengerti. Seperti orang gila karena aku beda dengan mereka yang menatap. Tapi aku bangga karena bisa menikmati hidup. Bukan seperti mereka yang terus berlari mengejar waktu.

Jeleknya adalah aku terus diingatkan bahwa waktu adalah uang dan uang adalah tiket untuk bertahan hidup. Waktu untuk menikmati hidup pun disunat sampai tinggal sejengkal. Apa ini masih bisa disebut hidup ?

Andai aku lahir di zaman purba saat manusia hanya perlu mengisi perut dengan buah, tinggal petik saja. Lalu menikmati hidup dengan mempelajari alam. Memandangi apel jatuh ala Newton, Tapi zaman sudah berubah. Manusia semakin susah cari makan. Harus relakan sebagian besar waktu untuk mencari uang. Tentu... tanpa itu manusia gak bisa hidup senang. Mau jadi manusia purba sama dengan menjadi gembel jalanan. Menjadi seniman gak harus gembel. Tapi manusia yang mau hidup di dunia maya, mungkin harus merelakan kehidupan di dunia nyata.

Tulisan tak penting ini dibuat bukan untuk alasan apa. Tertulis jelas di depan sana, Blog ini berisi suara hati empunya. Kadang nyaring terdengar, kadang juga gemerisik seperti radio rusak. Paham atau tidak tergantung bagaimana kalian menyusunnya. Puzzle kata-kata yang sebenarnya cukup mudah dimengerti, asal kalian tidak berpikir dengan logika matematis. Apalagi kalau diterjemahkan dengan bahasa program. Jelas berbeda... :)

Aku butuh pelukan. Pelukan hangat untuk hati yang muram. Aku bosan di pinggir jalan, memandang ke depan hanya manusia berjalan tanpa tujuan. Mukanya juga suram-muram. Aku tak mendengar detak jantung mereka. Semua seperti mesin pembunuh yang berburu uang.


Kamis, 10 September 2009

Tembang Para Wanita

Sebulat tekad hati ingin memiliki
Satu cinta yang benar-benar nyata
Tak lagi dipermainkan oleh nasib
Terlahir sebagai wanita
Selalu teraniaya

Disakiti aku tak mampu melawan
Dikhianati aku pun tak berdaya
Nasib terlahir sebagai wanita
Terlalu mudah diperdaya
Tapi ku terima

Bilangan kalender usang dekat jendela
Terus berganti seiring hari
Lewati masa sedihku sendiri
Berdendang melodi sepi gambaran diri
Tembang para wanita yang disakiti

Dan hati ini kadang terlalu pedih
Tak lagi takut hidup diakhiri
Tegar aku berdiri sendiri
Di ujung karang melawan badai emosi
Yakin menunggu datangnya pelangi

Walau ku tak tahu kapan yang pasti

Bilangan kalender usang dekat jendela
Terus berganti seiring hari
Lewati masa sedihku sendiri
Berdendang melodi sepi ciptaan sendiri
Tembang para wanita yang disakiti

Bilangan kalender usang dekat jendela
Masih berganti tanpa permisi
Melintasi orbit mimpi yang sunyi
Diiringi melodi sepi gambaran diri
Tentang wanita yang disakiti

Berdendang melodi sepi ciptaan sendiri
Tembang para wanita yang tersakiti