Kamis, 31 Desember 2009

Indah Itu Datang Dari Hal Yang Terlalu Biasa

Pagi yang tenang menghampiri hampir tanpa suara. Tak perlu kokok ayam untuk membangunkanku di penghujung tahun 2009. Mimpi semalam tak membekas barang sejejak di otakku. Yang terbayang hanya langit pagi seperti apa akan mengisi hari. Udara sejuk mengawali perkenalanku dengan hari. Awan menggarisi langit yang nampak makin elok dari hari ke hari. Indah... Tak pernah luput mataku dari subuh di depan jendela. Menikmati perubahan warna langit, udara pagi yang masih perawan, hingga gerak-gerik manusia pagi. Aku bukan manusia pagi. Aku hanya manusia yang senang mengamati pagi, sebelum kembali ke ruang hampa. Bergumul dengan selimut dekil atau sekedar guling sana guling sini (diatas kasur yang lebarnya tak melebihi satu kali gulingan tubuhku).

Ah... tak berasa kemarin sudah berlalu. Aku iri mengetahui bahwa ada mereka yang sempat menuliskan kisah hidupnya dalam diary. Sementara aku yang terlalu banyak waktu malah tak punya keseriusan macam itu. Andai aku terlahir dengan disiplin sealot ban bajaj di seberang kos, tentu sudah terkumpul begitu tebalnya cerita untuk kulempar ke meja redaksi. Aku manusia dengan banyak ide tapi terlalu sedikit minat untuk menuangkannya ke meja hidang. Andai ada yang bisa mendengar ku menjerit minta tolong supaya malasku dicerna. Biar keluar bersama sisa-sisa di jamban nanti.

Merenggang sejenak tubuh kaku ini, bersama kaos bekas senior di keluarga, yang kuambil tanpa sepengetahuan empunya. Kurasa dia pun lupa pernah jadi empunya kaos yang ngepas di raga (Kalaupun sadar, sudah terlambat lama. Kaos ini sudah berpindah tangan). Celana ini pun colongan. Hah... kasihan sekali diriku ini, cuma celana dalam yang memang
punyaku aslinya.

Asik mengamati pagi, kutengoklah manusia pagi pertama yang hadir mengisi pagi. Simbok di gang sempit, mungkin bini dari tukang bajaj. Aku bukan orang yang menilai manusia dari jumlah emas di leher mereka (toh kalaupun emasnya imitasi pun aku tak perduli). Aku menilai orang dari tingkah laku. hari ini simbok lagi gendong cucunya. Rutinitas pagi dari mertua yang sudah renta, mengayomi cucunya yang terlalu banyak sampai-sampai menantunya tak cukup tenaga untuk menternakkannya. Entah kenapa mereka begitu suka anak. Padahal sampai detik ini pun aku tak punya seupil minat untuk beranak (maksudnya menikah dan punya anak). Bukan berarti aku tak suka anak-anak (Miss u Freya, ponakanku cayank).

Usil juga mataku melirik cucu yang terkulai lemas di pelukan simbok yang sudah mulai peyot. Jadi teringat waktu kecil dulu, aku suka sekali digendong mama. Bahkan sampai umur tiga tahun pun aku masih suka merengek minta digendong, terutama waktu malam-malam bersama mama pergi ke tetangga. Digendong sambil asik dengar mereka bergosip.


Tak lama dalam angan gak guna, muncul bapaknya si anak, tukang bajaj yang setiap pulang kerja berlumur entah apa dimukanya. Oli mungkin atau debu yang saking tebalnya mampu bersaing dengan bedak di muka bininya. Kalau pagi sih mukanya masih bersih (maksudnya bebas dari materi hitam legam) dan segar. Walau hidup mereka serba pas-pasan, rasanya mereka cukup bahagia. Terlihat dari ekspresi mereka pagi ini. Simboknya senang walau musti gendong si cucu (yang terlihat cukup berat untuk porsi tubuh mini simbok), belum lagi bapak nya si anak juga senyum-senyum sambil bergurau dengan anaknya. Di belakang si bapak, ada anak-anak lainnya yang tak beda jauh umurnya dari yang digendong simbok. Pusinglah kalau anakku sebanyak itu. Bisa-bisa aku memilih kabur daripada menghadapi berisiknya anak-anak dimasa pertumbuhan seperti itu.

Di satu sisi aku iri. Suasana harmonis yang nampak di keluarga ini, melemparku ke masa lalu. Saat keluarga kami masih tinggal di sumatra, Keluarga yang pas-pasan. Tapi aku merasa bahagia (tanpa memperhitungkan
repotnya papa mama mengurus kami yang terlalu aktif). Mirip dengan keluarga ini kurasa. Aku ingat sekali kenakalanku tempo dulu. Rasanya baru kemarin saja kejadiannya. Betapa nakalnya sampai mama sering mengoleskan cabai giling dimataku setiap aku meraung-raung tanpa alasan. manja. Dulu aku sangat ingin diperhatikan. Sering aku menangis hanya untuk diperhatikan, sementara mama begitu banyak kegiatan. Mengurus sarapan dan segala urusan rumah tangga. Mama adalah orang tua yang hebat. Aku ingin memiliki pasangan hidup (kalau tak menikah ya setidaknya punya seorang pembantu) yang seperti mama.

Senyum mesum pagi ini. Banyak orang bilang senyumku agak-agak mesum. Padahal tak ada sekilaspun hal-hal mesum sedang melintasi otakku. Ah, ternyata hidup ini indah. Indah kalau kita mau meneliti setiap det
ailnya dengan seksama. Tentunya melihat yang indah itu bukan dengan hati yang penuh sesak. Kita butuh waktu luang, lepas dari segala masalah. Tinggalkan sejenak masalah-masalah itu di kamar. Titipkan diatas bantal. Toh masalah itu tak akan kabur kemana-mana (seolah masalah itu barang berharga. Hahahaa).

Langit pagi ini indah. Manusia pagi ini juga indah. Senyumku indah. Nafasku indah. Semuanya indah. Kuharap bisa berbagi keindahan pagi ini dengan semua manusia. Kuharap semua manusia punya kesempatan melihat detail indah seperti ini dalam hidupnya. Manusia-manusia pagi yang hidup dari pendaran mentari. manusia-manusia pagi yang mengisi rongga dadanya dengan udara pagi. Mereka yang bahagia walau nampaknya susah. Mereka yang memberiku pelajaran betapa materi tak menjadi kendala untuk bisa tersenyum lebar. Bukankah itu indah ? Padahal tak ada yang luar biasa.



Kamis, 17 Desember 2009

Pergi

Hatimu tak lagi utuh
Sekerat cintamu direnggut dariku
Dan kau seakan pasrah atas penjajahan itu
Diam mu membunuh perasaanku
Lebih baik aku pergi
Biarkan jasadmu mengabdi pada kompeni
Orang yang kini kau sebut kekasih
Manusia yang telah merebut cintamu dariku

Pilu

Mana mungkin hati ini bercerita
Saat semua berhenti seketika
Trauma ini membuatnya luka
Tuli dari suara-suara


Bukankah hati yang tak lagi mendengar
Maka ia tak lagi mencinta

Memori

Lipatan memori yang tersimpan begitu dalam
Mencari celah untuk satu kesempatan berkisah
Setidaknya
Cinta itu terbukti ada

Asa

Secarik kertas yang lama kusimpan, aman terselip di bawah tumpuk pakaian.
Kubuka lagi kertas lusuh berisi sejuta memori. Samar bayang-bayang itu
kembali terpanggil.

Sabtu yang kelam saat itu, kau datang sambil berlari di bawah gerimis. Sedang
aku tengah asik berlabuh dalam angan, mendengar musik sambil menghirup kopi
hangat di bawah pohon. Kopi pekat dengan sedikit gula. Hari terakhir dalam
hidupku dimana aku masih bisa menikmati hujan. Kau datang dan pelangi ku
bersinar dalam angan. Ya, kau bagian terpenting dari kepingan yang hilang.
Aku bertahan hidup karenamu.

"Sorry, gua telat." sapamu yang khas.
Tak lagi aku heran, kau tak pernah tepat waktu.
"Sudah biasa... Yuk ?" balasku.
"Hmm..."
jeda itu membuatku bingung. Tak biasanya kau menunda waktu. Kau orang
yang takut ketahuan sedang pacaran. Seperti artis-artis papan atas.

Sepucuk surat pun kau keluarkan. Setengah basah, entah karena keringatmu,

atau curahan hujan yang menimpamu. Aku makin bingung. Kau bukan tipikal
manusia romantis yang doyan bicara cinta lewat surat dan barisan puisi.
Kugenggam surat itu tanpa bicara, menunggu kau siap menyiratkan sebuah
arti. Kau pun membaca tanya di mataku. Tapi kau menghindar, dan berharap
aku tak sadar. Aku pun tetap diam.

Tak lama berselang kau pun pamit ingin pulang, bahkan sebelum rindu ini
kulepas. Tak biasanya rindumu kalah oleh sesuatu. Aku ragu. Sesuatu apa
yang sanggup membuatmu berpaling dariku. Atau mungkin aku yang semakin
redup. Sekarang kelam ini mengurungku. Rintik hujan semakin deras dan mulai
menusuk. Musik di telingaku pun jadi hambar.

Kuputuskan berjalan pulang. Aku butuh sedikit oksigen untuk mengisi

kekosongan ini. Kencan kita batal tanpa alasan. Atau setidaknya alasan itu
kau simpan sendiri untuk satu alasan lainnya. Tak lama berjalan lamunanku
terganggu bising suara kendaraan umum. Berisik. Tak bisakah aku bernafas lega
di alam pikiranku sejenak. Saat ingin tenang, dunia menjadi begitu gila
berisiknya. Atau mungkin perasaanku yang berubah manja, ingin semua berlaku
seperti yang kumau. Musik pun berbunyi makin nyaring di gendang telingaku.
Setidaknya bising yang ini membuatku lebih nyaman. Membantuku menahan
bendungan air mata. Aku tak sedih, hanya merasa tak dihargai. Rindu ini
mencekik leherku, membuatku susah menelan ludah. Lebih tepatnya, tangis
yang tertahan membuatku tak senang.

Ada pesan masuk di kantong celanaku. Handphone yang bergetar membuatku
makin kesal. Entah siapa berani mengganggu kekesalan ini. Minta mati kiranya
kalau tak penting. Kubuka pesan bertajuk namamu. Sebuah permintaan maaf
mungkin.

"Maaf.." sudah kuduga kata pertama ini.

"Kurasa kita putus saja." kalimat yang ini tak ada dalam bayangku.
"Aku harus pergi." yang ini alasan kelas teri.
Kututup handphone kesayanganku, bendungan ini akhirnya runtuh membanjiri
kerah baju.

Untung gerimis masih betah berlama-lama di bumi. Setidaknya

tangisku tak membuat malu. Apa kata orang kalau mereka tahu ada remaja
laki menangis di tengah jalan. Untung juga jalan ini sepi orang berjalan. Hanya
kendaraan umum yang tak bosan berlalu lalang menawarkan jasa angkutnya.
Aku bisa berbalik dan puaskan menangis. Tapi tidak. Aku tak butuh. Tangisan
ini boleh diakhiri sekarang juga, karena kau bukan orang pertama.

Tak sadar aku sudah di depan rumah. Suratmu masih aman tersimpan dalam

kantung celana. Niatnya kubuang tadi di jalan, sialnya aku tak ingat ada
suratmu di sana. Belum sempat aku mengingat, mama memanggilku dari dalam
rumah. Sudah terlalu lama aku berada di luar. Langit pun mulai gelap, dan
ternyata gerimis menyudahi tangisannya. Begitu pun aku yang harus
mengeringkan sisa air mataku. Berharap mama tak melihat. Dan nasib suratmu,
berakhir di bawah tumpuk pakaian dalam lemari.

Tanganku sempat terdiam menyentuh tekstur kertas di bawah tumpuk
pakaian. Seperti ada getaran yang melarangku.
"Jangan..."
Bisikan itu kuabaikan. Sudah terlalu banyak trauma dan sakit yang
berkesudahan. Kalaupun ini pertanda rasa sakit berikutnya, aku tak takut
untuk merasakannya.

Setelah kilas balik itu, aku mulai mengamati kertas yang kini agak menguning.
Tiga tahun telah berlalu, dan umur tak pernah bohong. Kertas putih itu kini
menguning. Benda mati pun tak luput dari binasa oleh waktu. Aku mengharap
memori tentangmu juga begitu. Tapi sulit menjadi nyata, karena setiap
gerimis menyapa, kau pun muncul dibaliknya. Hingga aku puas membayangkan
wajahmu dibawah gerimis, hingga detail ketika kau membalikkan tubuhmu dan
pergi meninggalkanku. Hari dimana kau telah membunuh sebagianku.

Kertas kuning itu terlipat, sisi kanan bawah terlipat ke tengah, begitu juga
sisi kanan atas, sehingga membentuk sebuah sudut di sebelah kanan mirip atap
rumah. Kubuka pelan seakan kertas itu akan menjadi abu bila aku salah
langkah. Alangkah pelitnya dirimu, hampir kosong satu halaman kertas itu.

Kuterawang lagi setiap sudutnya berharap ada kata-kata tersembunyi.
Hanya ada kata "aku" di sudut kiri dekat lipatan atas, dan "kamu" di
sudut kanan dekat lipatan bawah. Sebuah kalimat terletak persis di
persimpangan lipatan. "Kita bertemu di persimpangan ini, untuk berpisah
kemudian." Aku tak tahu apa maksudmu. Sungguh aku tak tahu. Atau mungkin
aku berharap tak tahu. Air mataku menitik tepat diatas kalimat itu.
Kebisuanku membuka kembali luka yang dalam. Luka yang kukira telah terobati
saat menertawakan kematianmu dua tahun lalu. Kebodohanku yang mengira
kau akan meninggalkanku tanpa alasan. Bukan alasan itu yang seharusnya
kupertanyakan, tapi menghargai keberanianmu menemuiku untuk
mengantarkan perpisahan ini. Kau pergi tanpa menyisakan cinta dihatiku. Kau
telah tuntaskan kewajibanmu. Saat aku menertawakan kematianmu, kuharap
kau tak sedang disampingku. Aku sangat malu menemuimu di akhirat nanti.


Persimpangan itu memisahkan kita sementara waktu. Andai aku berbalik dan
mencarimu, kita masih bisa bersama untuk semua sisa waktu. Maafkan aku...
Maafkan aku yang terlalu bisu. Asa ini kusimpan sambil menunggu waktu, saat
nanti kita bertemu.