Sabtu, 28 Maret 2009

Pantai



Tebaran kerikil menusuk tapak kaki-ku tanpa ampun. Seolah
menjadi hukuman bagiku. Ya... aku harus terus melangkah kesana,
dengan aral sekejam apa, aku harus sampai di sana.



Awal January 2008 aku berjalan kesal dari rumah menuju pantai. Tempat favorit yang tak akan bosan kudatangi. Suara alam dan gemericik air menjadi sarana pelepas gundah. Ya... Pantai memang indah.
Aku tak perlu sebut nama, bukan kebiasaanku memamerkan sebuah nama. Walau orang selalu bilang nama adalah kekal, saat kau mati, hanya nama dan tulang belulang tersisa. Tak lain dan tak bukan, sejarah dipenuhi nama-nama.
Awal january ini aku bertengkar hebat dengan sahabatku. Sahabat sekaligus cinta dalam hidupku. Pertengkaran karena masalah kecil, namun berulang dan sering. Aku makin muak dengan hubungan ini. Tak ada titik temu yang mengerucut ke satu tujuan yang pasti. Kami hanya menikmati saat-saat indah bersama, lalu saling diam ketika pertengkaran tiba. Aku diam dalam penyesalan, begitupun dirinya. Tak habis aku bertanya mengapa dalam percintaan perlu ada pertengkaran. Bumbu paling pedas yang kusebut racun cinta. Rasanya tidak enak namun melengkapi citarasa.

"Andai dia tak begitu..." pintaku dalam hati.

Dia bukan manusia bersumbu pendek. Aku pun cukup tenang menghadapi situasi. Tapi kenapa sering terjadi perang dingin berujung caci maki... Aku bingung karena tak kutemukan pemicu sengketa ini. Langit senja mulai memerah, aku baru sadar telah menghabiskan terlalu lama waktuku di pantai. Bergegas kulangkahkan kaki untuk pulang walau segan. Aku marah, tapi hatiku di sana.

Diujung jalan samar kulihat dia tertunduk,habis menangis nampaknya. hatiku iba, tak tahu harus berbuat apa. Ingin kudekap dan kukecup keningnya sambil ucapkan maaf, tapi ego ku menolak harga diri-ku terinjak olehnya. Kali ini dia tak main-main. Sebuah koper tergeletak di depannya, tentu berisi pakaian dan keperluannya. Aku ingin melarangnya pergi, tapi lagi dan lagi ego-ku melarang, membungkamku erat tanpa celah untuk lidahku berbicara.

Dia pergi... hatiku remuk tak karuan. Sehari... dua hari... Seminggu berlalu dan yang kudapat darinya hanyalah satu telepon saja. Aku memintanya pulang namun ia ingin bersama kedua orangtua-nya sementara.

"Aku akan pulang saat aku siap, tolong ngerti... Aku butuh
waktu." ucapan terakhir sebelum terdengar isakan, lalu gagang
diletakkan pelan.

Apa yang salah... biar kupikirkan sekarang. Apa...

Dua minggu sudah berlalu tanpa telepon darinya. Aku semakin sibuk memikirkan apa yang salah. Pertengkaran ini dimulai dua bulan yang lalu. Dia menolak bercumbu. Masuk angin, katanya. Saat kuajak ke dokter, dia menolak dan merebah. Tidur dalam pelukanku sambil kuperhatikan setitik air mata menetes darinya. Hari-hari berikutnya semakin parah, ia lupa membuat sarapan dan mencuci pakaian. Dirinya seperti kehilangan separuh nyawa. Sering kulihat ia termenung dekat jendela memandang lekat ke samudera. Kadang kupikir ia ingin mengakhiri hidupnya disana. Ngeri aku membayangkan dia menenggelamkan diri ke tengah-tengah samudera.

Pertengkaran ini pecah setelah aku bertanya apakah ia ingin bertemu kedua orangtua-nya. Dikiranya aku hendak mengusirnya pulang ke desa. Niatku tak kesana, kukira ia merindukan kampung halaman yang lama tak dijenguknya. Maksudku menjelaskan malah membuatnya makin marah. Dikatanya aku mencari alasan mengusirnya. Sejak itu segala apa yang kuperbuat adalah salah. Dan aku pun ikut marah. Entah kebodohan apa yang membuat kami berpisah. Aku begitu merindukannya. Cepatlah pulang, cinta...

Aku hidup tak ada yang urus, rumah berantakan bagai kapal pecah. sampah berceceran dimana saja. Saatnya bersih-bersih rumah pikirku. Aku beranjak dari sofa menuju dapur tempat plastik kuletakkan dilaci kaca. Butuh beberapa plastik jumbo untuk semua sampah dirumah. Melihat saja aku sudah malas. Entah bagaimana perasaannya yang tiap hari harus mengumpulkan sampah-sampah di rumah. Jasanya memang luar biasa. Dia memberiku cinta dan mengurusku tanpa pamrih. Betapa bodohnya aku yang tak pernah sadari kebaikannya. Empat jam berlalu, ruang tamu dan ruang dapur sudah beres. Tinggal kamar mandi dan ruang tidur. Rumah ini cukup besar untuk kami berdua, tapi rasanya terlalu besar untuk kutinggali sendiri. Aku kesepian dan hampir frustasi mengenang kehadirannya.
Aku butuh dia...

Kamar tidurku sudah rapi sekarang, semua pakaian kotor sudah masuk keranjang untuk dicucikan. Kamar mandi juga sudah kusikat. Sudah beres semua sekarang. Tinggal bersantai sambil menunggu telepon darinya. Mungkin segelas kopi bisa membuatku tenang. Kucari dilemari dapur dan kutemukan disana. tersusun rapi lagi-lagi berkat jasanya. Saat kuperhatikan, ada yang terselip di sana. Seperti pena, bukan... mirip termometer. Sepertinya tak asing. Sering kulihat barang sejenis di televisi. Alat tes kehamilan.Mataku terbelalak dan bibirku terbuka diam. Apa ini ?

"Dia hamil ?" hanya itu yang terucap dalam kesunyian.

Aku segera berlari mencari telepon. Kucari record nomor telepon rumahnya di desa. Nada tunggu membuatku tak sabar, waktu terasa begitu lama. Kemana dia...

Sebuah suara di ujung sana menyapa
"Bapak... Tolong jawab... Benar dia hamil ?" tanyaku langsung.
Sejenak mertuaku diam lalu menjawab gusar
"Memangnya kamu perduli ? Anakku berhak mendapat pasangan
lebih baik darimu. Berulang kali dia mencoba bunuh diri. kalau
memang kamu laki, datang ke sini !"

Bunuh diri ? kenapa... Apakah hamil itu salah ?
jangan-jangan....

aku teringat percakapan kami beberapa bulan lalu. Ia bertanya dengan manja "Kapan kita mau punya anak ?"

dan aku dengan egoisnya menjawab "Kita belum siap, tunggu beberapa tahun lagi. Aku gak mau punya anak dulu."

Apa mungkin karena itu ? gadis tolol... Aku terlalu mencintainya sampai aku takut tak sanggup bahagiakan dia dan anak darinya. Belum siap bukan berarti aku tak menginginkan anak darinya.
Tolol...

Aku segera berlari keluar rumah, menaiki mobil dan bergegas menuju rumah mertua. Aku harus jelaskan betapa aku merindukannya. Hidupku sepi tanpanya... Aku butuh dia. Sepanjang jalan hatiku bergetar resah, andai aku lebih peka. Ternyata ini sumber masalah, andai aku lebih terbuka padanya, tentu ia tak tersiksa. Aku tak bisa membayangkan betapa stress dirinya menyimpan rahasia itu sendiri. Kehamilan yang seharusnya dirayakan itu bagai petaka pikirnya, mengingat kekasih hatinya tak menginginkan anak. Gadis tolol... Tentu aku sangat menginginkan anak darinya. Yang kubutuhkan hanya dukungan semangat untuk meyakinkan bahwa aku pantas menjadi seorang ayah.

Setengah hari aku mengendarai mobil tanpa henti. selanjutnya aku harus parkir di hotel sebelum aku meneruskan perjalanan dengan bus. Desa itu cukup maju, tapi jalan ke sana cukup terjal, lebih aman dengan kendaraan besar seperti bus. Aku duduk di depan, berharap segera berjumpa dengannya. Kerinduan ini butuh muara. Dan aku harus meminta maafnya untuk semua kebodohanku. Andai kusadari lebih awal, tentu kami sedang bahagia sekarang di rumah pantai.

Sial... ditengah jalan, bus kami mogok. Ban kendaraan itu rusak karena batuan tajam. Aku memutuskan berjalan saja daripada menunggu tak jelas kapan ban cadangan tiba. Barang bawaan penumpang tak menyisakan tempat untuk ban cadangan, terpaksa menunggu kiriman dari pusat. Sandalku putus dan hujan mengguyur, melengkapi kekesalanku seolah langit menghalangi perjuanganku. Tebaran kerikil menusuk tapak kaki-ku tanpa ampun. Seolah menjadi hukuman bagiku. Ya... aku harus terus melangkah kesana, dengan aral sekejam apa, aku harus sampai di sana.

Setelah perjuangan satu jam, aku sampai di depan rumah mertua dengan kaki berdarah dan pakaian basah. Dia ada di sana, terbaring lemah akibat kehilangan darah. Entah berapa kali ia potong nadinya karena putus asa. Aku sungguh menyesal tak ada disini mencegah kebodohannya. Kupeluk erat badan lemah tak berdaya, kucium lembut wajah pucat. Kubisikkan betapa aku mencintainya dan calon anak darinya. Kuberitahukan betapa aku menginginkan mereka...

Mertuaku terisak sedih, merangkulku dengan air mata. Kami saling bermaafan. Lalu menikmati sepiring nasi hangat dengan lauk sederhana sambil bercanda. Dia terlihat bahagia walau masih lemah.

Sepanjang malam kupeluk erat tubuhnya. Kupastikan kelak tak lagi kami berdiam saat marah. Semua harus diutarakan walau tak menyenangkan. Sepahit apapun kebenaran, lebih baik diucapkan. Jangan disimpan menjadi racun manis yang mematikan.

Senin, 23 Maret 2009

Hati Pengecut

Lembar surat yang sudah basi
Terlalu lama kusimpan
Tanpa keberanian tuk kirimkan
Isi hatiku yang terdalam
Tertutup rapat oleh amplop kumal

Sekian tahun berlalu tanpa permisi
Dan aku tetap ingat semua itu
Sebelah jiwaku tumpah jadi kata
Meleleh mengikuti air mata
Menetaskan kesedihan di dunia

Inisial kususun rapih
Menyusun untaian hati
Mengikat memori berduri
Mencari sebuah arti
Tuk sampaikan rasa ini

Surat kugenggam erat dekat nadi
Menunggu sebentuk keberanian mengirimkan ini
Setengah hari kuterpaku di sini
Jemariku dingin bergetar tak terkendali
Surat ini kukirim, bukan hari ini