Jemari
lentiknya lincah menari, seolah tengah meraba senar-senar takdir yang tak kasat
mata. Bibir tipisnya bergumam tak jelas. Tak ada juga yang akan perduli setiap
kata yang akan tumpah dari sana. Perempuan itu menghabiskan hari-harinya dalam
ruang kecil tanpa celah. Pasrah menunggu hari ketika namanya akan dipanggil.
Untuk diakhiri hidupnya.
Namanya
Nila. Janda karena pilihan. Ia perempuan sakti yang telah berhasil membunuh
suaminya-yang berpostur tiga kali lipat darinya-dengan sebilah pisau dapur.
Suaminya adalah preman buronan polisi yang telah lama dalam pelarian. Entah
memang jawara atau akal-akalan petugas saja yang enggan menangkap penjahat
kelas kakap yang kerap menghabisi aparat tanpa kenal ampun. Setelah pembunuhan
itu, nama Nila menjadi bahan pembicaraan sampai ke pelosok negeri. Kau tahu
kenapa ? karena yang dia bunuh adalah orang paling keji yang kerap membunuh
tanpa pandang bulu. Lalu bagaimana mungkin seorang Nila bias membunuh bajingan
itu, jika tidak memiliki kesaktian ?
Pemberitaan
atas dirinya, lengkap dengan pujian-pujian di media massa yang datangnya dari
keluarga korban kekejian suaminya, tidak sama sekali meringankan hukuman atas dirinya.
Setiap pembelaan atas nama Nila seperti surat kepada Tuhan yang tidak pernah
diketahui alamatnya. Hukum membutuhkan kambing hitam. Walau kambing itu adalah
seorang Nila, perempuan yang menikah pun karena terpaksa. Ia adalah korban
penculikan hanya karena parasnya yang cantik. Setelah dinikahi pun ia tak
pernah merasakan Bahagia. Mulai dari perkosaan di malam pertama, kekerasan
secara mental dan fisik yang datangnya setiap hari. Semua ia telan demi
kelangsungan hidup kedua orang tuanya. Suaminya selalu mengancam akan membakar
hidup-hidup kedua orang tua Nila di depan matanya bila ia berani mencoba kabur.
Tak ada yang berani menolong seorang Nila yang teraniaya. Tak ada yang berani
bahkan untuk sekedar mengobati luka di punggungnya, bekas cambukan suaminya.
Melirik saja harus diam-diam karena tabiat suaminya yang sangat posesif. Hidupnya
terpenjara melebihi burung dalam sangkar. Air matanya mengering perlahan dalam
penderitaan berlarut-larut. Ia berhenti berdoa karena Tuhan seolah tidak
melihat penderitaannya. Ia mengutuk kecantikan yang Tuhan titipkan padanya.
Dulu ia kebanggaan kedua orang tuanya karena dikira kelak akan mendapat suami
rupawan kaya raya anak bangsawan. Nyatanya, ia justru diculik dan diperlakukan layaknya
budak nafsu belaka. Seperti bunga yang dipetik hanya untuk disia-sia.
Ruang
sempit tanpa celah ini tak menjadi tempat yang aman untuk tubuh kecilnya. Tak
jarang petugas hidung belang menghampirinya ketika malam tiba. Nila tak perduli
juga dengan apa yang mereka perbuat pada tubuhnya yang memang telah penuh luka
dari siksa suaminya. Nila menganggap kerelaannya sebagai bentuk amal sebelum
ajalnya datang menjemput. Setidaknya ia bisa berguna untuk orang lain. Untuk
serigala-serigala kelaparan yang kalap melahap sisa-sisa kecantikannya. Dalam
hati, Nila hanya berharap semoga saja serigala-serigala itu tidak menyesali
perbuatannya kelak ketika mereka tahu bahwa kembang yang mereka lahap ini
adalah muara dari segala penyakit kelamin yang dititip secara paksa oleh
suaminya. Andai mereka tahu, mereka tak akan mungkin sanggup menyentuhnya.
Melihat saja pasti jijik dan muntah. Begitulah manusia, pikirnya. Selalu melihat
dari tampilan luar saja. Mereka tak melihat bahwa di dalamnya, perempuan mungil
ini hanyalah bangkai abadi. Tak lagi hidup. Bukan lagi manusia seutuhnya.
Penantian
adalah pekerjaan yang sangat melelahkan. Apalagi kalau kita tidak tahu kapan
berakhirnya. Sesekali Nila berdendang tak jelas, ala kadarnya. Satu-satunya
penghiburan yang dia punya. Lagu nya pun terbatas, yang bisa dia ingat saja. Beberapa
lagu daerah dan tembang jawa yang kerap dinyanyikan sebagai pengantar tidurnya.
Apakah kedua orang tuanya tahu keadaan Nila sekarang ? kenapa mereka tidak
pernah datang menjenguk ? apakah mereka tidak tahu bahwa anak perempuan mereka
telah menjadi pahlawan yang telah berhasil membunuh monster legendaris ? apakah
pemberitaan besar-besaran itu tidak pernah sampai pada mereka ??? atau mereka
memilih untuk menjadi Tuhan yang tak lagi memiliki alamat di bumi ini sehingga berita-berita
itu tak lagi menemukan jalan ke sana ? ah, peduli apa, lebih baik mereka tak
tahu saja. Tak perlu menambah penderitaan mereka untuk mengetahui bahwa anak
perempuan yang pernah mereka banggakan ini sebentar lagi akan meregang nyawa
atas nama keadilan yang timpang sebelah. Keadilan memang hanya nama di negeri
ini. Semua orang juga tahu itu. Maka dari itu mereka terus bersuara walau tak pernah
didengar. Setidaknya mereka tidak diam. Tidak merelakan kebenaran disepelekan. Bukankah
kebenaran selalu menang pada akhirnya ? apabila satu nyawa Nila bisa menjadi
bahan bakar untuk menghidupkan bara perjuangan atas nama kebenaran, ia sangat
rela. Seperti yang telah kukatakan sebelumnya. Selama masih bisa bermanfaat, ia
rela.
Penantian
panjang seperti tak berujung, dengan amal perbuatan hampir setiap malam,
akhirnya tiba waktunya nama Nila disebut. Tanggal kepastian dibacakan. Tiga hari
dari sekarang. Nila akan diperlakukan istimewa. Ia boleh makan apa pun yang dia
mau. Menuliskan surat terakhir untuk nantinya dikirim ketika ia telah tiada. Beberapa
lembar kertas tanpa amplop dan sebatang kecil pensil. Hanya itu yang diberikan.
Tangannya sempat hampir menuliskan segalanya di atas kertas-kertas itu. Tapi diurungkan.
Ia tak ingin penderitaanya tumpah dan menulari siapa saja nanti yang
membacanya. Tak ada pembelaan dari bibirnya hingga akhir. Tak ada juga
kata-kata memelas untuk sedikit pengampunan. ia tahu bahwa apa yang telah dilakukannya
tak lebih biadab dari kelakuan suaminya. Semua orang pun tahu itu, tapi mereka
memilih diam. Lalu untuk apa seorang Nila harus membela diri kalau semua yang
ingin dikatakan sebenarnya telah diketahui semua orang ? tak ada gunanya. Ia memilih
bungkam menunggu hingga akhir. Ia hanya berharap untuk kali terakhirnya, Tuhan
sendiri yang akan datang menjemputnya, agar ia bisa mempertanyakan ketidakadilan
yang telah ia terima. Tapi harapan itu tak berani ia pupuk lebih jauh. Doa saja
tidak didengar, apalagi berharap untuk dijemput pulang ? terlalu lancang,
pikirnya. Siapalah Nila. Hanya perempuan tanah seberang yang ternoda dan jatuh
dalam kubangan dosa.
Hari
yang ditentukan telah tiba. Nila hanya meminta sayur asem dengan sambal terasi
dan tongkol balado, juga sepotong gaun ungu tua sebagai permintaan terakhirnya.
Tanpa riasan wajah ataupun alas kaki. Santapan terakhir itu hanya disentuh satu
suapan saja. Rasanya begitu nikmat. Mirip racikan ibunya. Satu suapan terakhir
yang tak akan mungkin terlupakan. Lebih dari cukup. Gaun ungu dikenakan, dengan
rambut diikat ala kadarnya, Nila siap menghadap ajal. Dikawal oleh dua serigala
yang sering meminta jatah amal, Nila hanya menatap lurus ke depan. Tak perduli
dengan apa pun di sekitarnya. Matanya kosong seperti biasa. Bibirnya bungkam. Ia
dikawal hingga ke mimbar untuk menyampaikan setidaknya satu kali penyesalan
atas perbuatannya. Ditonton oleh banyak orang dan media yang siap mengabadikan.
Saat ia telah tiba di depan mimbar, semua mata tertuju padanya. Tak sedikit
yang sesengukan menangisi nasib perempuan malang itu. Sebagian lagi menatap
haru penuh rasa terima kasih atas keberaniannya membalaskan perbuatan keji suaminya
terhadap keluarga mereka. Tapi semuanya tak berkata-kata. Mereka menunggu bibir
Nila menyampaikan kata-kata terakhir.
“Hari
ini, takdir menggiring seorang Nila ke hadapan kalian, dengan atau tanpa persetujuanku.
Sama seperti takdir menyeret seorang Nila dalam kegelapan tanpa ampun. Hari ini,
aku, Nila, berdiri di sini, sebagai simbol perjuangan wanita. Bahwa hidup kita tidak
harus tunduk di bawah kaki pria. Bahwa aku, Nila yang kecil dan terlihat rapuh,
telah menghabisi suamiku karena apa yang kalian semua tahu telah ia perbuat. Yang
aku tahu, aku memang tahu. Bahwa apa yang aku lakukan tidak dapat dibenarkan
secara hukum. Tapi hukum siapa yang membiarkan seorang Nila mengalami semua ini
? Keadilan yang menempatkan seorang Nila menjadi tersangka. Keadilan yang pada
akhirnya akan membungkam mulut seorang Nila. Keadilan yang itu… tak akan menghentikan
Nila-Nila lain di luar sana untuk berbuat yang sama seperti Nila yang berdiri
di depan kalian. Jangan biarkan Nila-Nila di luar sana harus mengalami apa yang
aku alami. Membiarkan, lebih keji dari perbuatan-perbuatan suamiku.”
Air mata
terakhir Nila menitik. Ia turun dari mimbar. Langkah kakinya diiringi sorak riuh usai keheningan panjang yang menyelimuti seluruh saksi
yang hadir. Tak lama setelahnya, takdir menuntaskan kerjanya. Tiga tembakan diletuskan, salah satunya mengakhiri hidup Nila. Tapi, kata-kata terakhirnya
menjadi gelombang raksasa yang membangunkan Nila-Nila lain di luar sana.
“Karena
membiarkan, sama saja dengan membenarkan.”