Kamis, 02 Agustus 2012

Senja Pelangi Jingga

Siang ini ada hati yang berdetak lebih dari biasanya. Lebih cepat, lebih bersemangat. Iramanya memburu seperti dikejar pembunuh. Mungkin yang punya hati baru selesai olahraga atau habis minum viagra. Mungkin perasaannya yang sedang gundah. Sebuah tanya yang si-hati itu sendiri bingung menjawabnya. Matanya melihat ke kiri dan ke kanan, berulang-ulang seperti robot di taman hiburan. Sebenarnya, matanya sedang mencuri pandang ke sudut taman. Malu-malu memandang sosok yang duduk di kursi taman ujung jalan, yang sedang asik membaca buku bersampul jingga. 

Cepat-cepat dia memalingkan wajahnya, ketika sosok yang ditatapnya tersebut menoleh ke arahnya. Wajahnya seketika memerah bagai udang rebus. Malu? Sudah pasti. Gugup? Sangat. "Hai, boleh aku duduk di sini?" suara berat seorang pemuda menyapa telinganya, membuatnya terlonjak sedikit dari kursi  taman yang didudukinya. Jantungnya berdetak semakin kencang dan cepat. Malu-malu dia menganggukkan kepala.

Salah tingkah. Pura-pura membenarkan kacamata, malah jadi miring sebelah. Bibirnya yang dipoles tipis sewarna aslinya kini bergerak seolah ingin bicara tapi tertahan. Tangannya gelisah memilin ujung rambut kepangnya tanpa berani menatap pemuda di hadapannya. Pemuda yang sedari awal terus diamati sepenuh hati. "Bo..Boleh. Silahkan. Boleh kok." Jawabnya dengan gugup dilanjut tertawa nyengir, lalu diam dan tertunduk dengan wajah merah padam sambil sesekali melirik ke tangan pemuda tadi. Ke arah buku bersampul jingga. Pemuda itu duduk beberapa senti dari tempatnya duduk. Sementara ruang kosong di kursi taman tak mengharuskan jarak mereka sedekat itu. Jantungnya menari makin tak karuan, antara bahagia dan gelisah.

Bingung harus bagaimana dan bicara apa, tangannya masih saja memilin ujung rambutnya. Hening berbicara diiringi desah nafas gelisahnya dan suara halaman buku yang dibalik. Sesekali diliriknya pemuda yang duduk di sampingnya kini. Mata pemuda itu sudah kembali terpaku pada buku bersampul jingga. Penasaran, dicobanya mengintip isi buku itu dengan diam-diam. Terlihat olehnya barisan huruf di halaman buku tersebut. Sayang, ukuran font-nya terlalu kecil untuk bisa dibacanya. Aksinya terhenti ketika tiba-tiba pemuda itu menutup bukunya lalu menatapnya sambil tersenyum. "Hobi baca juga?" tanya pemuda itu. Dia mengangguk. Pemuda itu menyodorkan buku bersampul jingga tersebut kepadanya. Dia terdiam. Ragu.

Ada jedah panjang dalam kaku-nya tingkah mereka. Pemuda itu menyodorkan buku sambil menunggu gadis belia menerimanya dalam gerakan lamban dengan kepala tertunduk. Saat telunjuknya menyentuh buku itu, seketika itu juga ia menyambar seperti belut listrik menerkam mangsa. Pemuda itu dibuat hampir tersentak. Kaget pastinya. Sekarang giliran pemuda itu yang salah tingkah, garuk-garuk kepala dengan ekspresi muka yang terlihat sedikit kecewa. Tapi pemuda itu berusaha terlihat biasa-biasa saja sambil melebarkan senyum tipis melihat gadis itu mulai sibuk membuka lembaran buku yang kini dipegangnya. Pemuda itu memperhatikan lekuk hidung dan bibir gadis itu, lalu tersipu malu sendiri dan memalingkan muka, seolah baru saja tertangkap basah berbuat salah.

Ada getar aneh merambat perlahan di jantung hati pemuda tersebut. Getaran yang membuat duduknya tak lagi nyaman. Yang membuatnya tersenyum kikuk selagi menatap gadis itu untuk kesekian kalinya. Dengan sembunyi-sembunyi tentunya. Sementara itu, keadaan seakan berbalik sekarang. Gadis di sampingnya mulai terlena dengan buku bersampul jingga. Pemuda itu tak heran sebenarnya, buku bersampul jingga tersebut seperti candu bagi penikmat buku. Sekali telunjukmu menyentuh halaman pertama buku tersebut, nyaris tidak mungkin melepaskan genggaman dan pandanganmu dari barisan kata di dalamnya. Pemuda itu semakin gelisah, wangi parfum gadis itu menggelitik hidungnya. Sedap malam bercampur dengan entahlah, daun teh, mungkin? Pemuda itu tak yakin sepenuhnya, yang jelas wangi parfum ini membuainya dengan cara yang mengerikan. Bagai serangga yang tanpa sadar melangkah menuju mulut Kantung Semar.

Waktu bergulir, terasa lama sekali. Pemuda itu mulai gatal ingin berkenalan. Otaknya sibuk mencari cara untuk menarik perhatian gadis itu. Mulai dari pura-pura batuk, menatap terus-menerus, hingga bersin dan senggolan ringan sama sekali tak dihiraukan gadis yang kini terpaku dalam lembaran-lembaran baru. Pemuda itu mulai kesal dan bosan. Ia bersandar ke punggung kursi dan terdiam, sambil sesekali masih melirik ke arah gadis di sebelahnya. "Seru amat bacanya." Ia menyindir dengan nada halus. "Iya, lagi seru nih. Gue kelarin dulu ya." Gadis itu menjawab dengan nada dan gaya yang sama sekali berbeda.

Merasa bosan dan tak diacuhkan, pemuda tersebut mulai kesal. Tanpa tedeng aling-aling, dirampasnya buku yang dipegang sang gadis. Cepat dan kuat. Gadis itu tersentak kaget lalu menoleh menatap sang pemuda. Matanya membara, jelas sekali dia marah dan merasa terganggu dengan ulah sang pemuda. "Gue rasa sudah cukup waktu lo buat baca ini buku," ujarnya sambil memegang erat buku bersampul jingga. Senyum kemenangan tersungging di bibirnya. Gadis itu menggigit bibir bawahnya, sepertinya sedang menahan amarahnya. Kemudian dengan perlahan dilepaskan kacamata lalu mengurai rambutnya yang tadinya dikepang dua. Rambutnya yang hitam, panjang dan lurus kini tergerai bebas. Sambil memiringkan kepalanya sedikit ke kanan, gadis itu tersenyum sinis. Pemuda itu tersentak kaget, gadis di hadapannya sekarang benar-benar berbeda dengan gadis yang hendak dia goda tadi. Tidak ada lagi kesan polos, culun, dan gugup darinya sekarang. Tanpa disadari, tubuhnya mulai bergidik ngeri. Intuisinya mengatakan bahwa dia harus lari sejauh mungkin dari gadis ini. Bahwa gadis ini berbahaya. Namun, seperti yang sudah sering dia lakukan, diabaikan suara-suara  peringatan di kepalanya. Sebagian karena dia tertarik dengan gadis ini, sebagian lagi karena dia terlalu malu mengakui bahwa dia takut dengan gadis yang duduk di hadapannya saat ini.

"Jadi... Lo penulis buku ini kan?" Gadis itu bertanya dengan mata tajam menusuk. Tubuhnya begerak condong ke arah pemuda yang kini terlihat gugup dan sedikit gemetar. Gadis itu seperti macan betina yang siap menerkam mangsanya. "Lo tahu kenapa gue setiap hari duduk di sini menatap lo ?" Gadis itu melanjutkan kata-katanya sambil terus menyingkat jarak di antara mereka. "Gue... Ratna. Anak dari penulis buku itu, yang isinya lo curi." Mata gadis itu kini membara penuh dengan api neraka.

Matahari mulai terbenam, lampu-lampu taman yang temaram mulai menyala. Sepi sekali taman itu sekarang, hanya tersisa dia dan Ratna di taman ini. Pemuda itu masih terbelalak, jantungnya seakan berhenti berdetak. Dia menelan ludah dengan susah payah, mulutnya membuka lalu mengatup lagi. Megap-megap seperti ikan mas yang tergeletak di tepi kolam. Tak ada sepatah katapun yang meluncur keluar dari bibirnya. Tak banyak yang dia tahu tentang Ratna sebenarnya, kecuali bahwa gadis itu merupakan anak dari Pak Cipto. Tanpa diinginkan, sosok lelaki tua sederhana yang berkacamata dengan kepala hampir botak menari di benaknya. Lelaki itu Pak Cipto, si penjaga perpustakaan tua di dekat kampusnya dulu. Pak Cipto memiliki bakat dan kegemaran menulis berbagai macam cerita di dalam sebuah buku tulis lusuh. Cerita-cerita yang ditulisnya sangat menarik untuk dibaca. Setiap cerita yang dirangkainya selalu terselip petuah hidup yang indah tapi tidak menggurui bagi pembacanya. Pemuda itu memang dikenal dekat dengan Pak Cipto, hampir semua tulisan Pak Cipto dilumatnya. Buku tulis lusuh itulah yang suatu sore tanpa disengaja ditemukan olehnya tergeletak di sebuah meja perpustakaan, yang kemudian dibawanya pulang lalu semua isinya diketiknya ulang di komputer. Pemuda itu mengirimkannya ke penerbit dengan menyertakan namanya sendiri sebagai sang penulis. Buku bersampul jingga, yang lima tahun yang lalu berhasil diterbitkan dan menjadi Best Seller di seantereo negri ini. Sejak saat itulah dia selalu menghindari Pak Cipto kemana pun dia pergi. Sebagian karena malu, sebagian lagi karena pemuda itu takut ketahuan bahwa bukan dia hanyalah seorang plagiat.

Angin malam bersiul pelan di antara Ratna dan pemuda yang tampak berkeringat bukan karena gerah. Keringat dingin hasil suling dari rasa cemas, takut, dan malu. Pemuda itu hampir berhasil berucap tapi didahului oleh Ranta. "Gak nyangka kan lo, kalau ternyata kecurangan lo bakal ketahuan." Gadis itu menyindir ketus. "Lo tau apa yang terjadi setelah buku 'pelangi jingga' terbit ? Bapak ku gak pernah sekalipun mengutuk perbuatanmu. Bahkan gak ada niatan meminta hak atas karyanya. Bapakku mati di kamar belakang perpustakaan karena sakit. Seharusnya Bapak bisa selamat kalau ada uang untuk berobat. Seharusnya elo punya nurani buat sekedar membayarkan biaya rumah sakit !" Air mata mengalir dari kedua mata Ratna. Kepalanya tertunduk di dada pemuda yang sekarang berkaca-kaca. "Ratna... Maaf, gue gak tau kalo Pak Cipto sakit. Gue gak sanggup melihat wajahnya setelah apa yang gue perbuat." Tangisan ratna terhenti dan berubah menjadi tawa kecil yang mengerikan. Kedua tangannya mendorong pemuda itu hingga jatuh ke tanah. "Elo... Banyak bacot. Telat !!! Bapak uda MATI !" Ratna mengeluarkan sebilah belati dari balik jaket hoodie abu-abunya.

Sang pemuda mengerang kesakitan ketika belati itu bersarang di perutnya. Dinginnya belati bercampur dengan panas membara dan gempuran rasa sakit menyiksa dirinya. Nafasnya tersengal-sengal menahan perih. Tidak, dia tidak boleh diam saja menunggu mati,pikirnya. Dengan sekuat tenaga dikepalkan tangannya lalu berusaha memukul Ratna dengan membabibuta. Berharap pukulan-pukulannya dapat mengenai gadis yang sedang menduduki tubuhnya. Sia-sia saja. Ratna tidak seperti wanita pada umumnya yang lemah dan memiliki tenaga kurang dari lelaki rupanya. Jemari lentik Ratna melayang menepis pukulan pemuda itu lalu telak mengenai wajahnya. Pemuda itu kelelahan, perutnya makin terasa sakit. Dia membuka mulutnya, berteriak minta tolong. Percuma, tentu saja percuma. Taman ini terletak di pinggiran kota dan tidak banyak dikunjungin orang, apalagi setelah matahari terbenam. Sebuah tamparan menghantam wajahnya lagi. Kelelahan, pemuda itu terbaring diam di tanah. Ratna masih bergeming, tak ada suara yang keluar dari bibir mungilnya. Sedetik kemudian, tangannya mencengkeram gagang belati lalu memutarnya perlahan-lahan. Pemuda itu berteriak kesakitan. Nafasnya tertahan ketika dirasakan belati itu ditarik menjauh dari perutnya.

Dendam dan benci sudah merasuki Ratna, jauh dalam hatinya dia tahu bahwa pemuda ini bukanlah penyebab kematian ayahnya. Tapi Bapak semakin parah sakitnya setelah buku itu terbit, pikirnya geram. Ditatapnya pemuda yang terbaring lemah, wajahnya yang tampan itu mulai memucat pertanda mulai kehabisan darah. Mati! Dia harus mati! Kata itu berulang-ulang berteriak di benaknya. Dikencangkan pegangannya ke gagang belati kemudian ditusukkannya berkali-kali ke sekujur tubuh pemuda itu sambil berteriak histeris. Buku bersampul jingga tergeletak di samping tubuh pemuda yang kian pasrah. Jingga berhias percikan darah. Ratna mulai kehabisan tenaga dan gerakannya makin pelan. Belati terlepas dari genggamannya. Perlahan ia lihat kedua telapak tangannya yang berlumuran darah, dan penuh goresan luka. Luka goresan belati yang tadi dipegangnya. Tak terasa sakit, karena lebih sakit hatinya yang luka akibat kematian Bapak yang paling dicintainya. Bapak yang membesarkan Ratna dari kecil karena Ibu pergi meninggalkan mereka. Pemuda ini. Pemuda ini seharusnya bisa menolong Bapak saat itu. Tapi dia sibuk dengan ketenaran palsu yang direbut dari Bapak. Ratna masih menduduki tubuh lemas pria itu yang kini meregang nyawa. Ratna makin histeris memukul jasad yang kaku. "Bangun loe... jangan mati segampang ini. Bangun ! Bangun !!!" Gadis itu merasa belum cukup membayar dendamnya. Masih terus dipukulnya jasad itu hingga bulan membumbung tinggi di atas mereka. Buku bersampul jingga tergeletak kaku, seperti jasad pemuda itu, seperti Ratna yang terduduk diam dan kosong setelah dendamnya meluap lepas.

"Pelangi Jingga" - sebuah cerpen kolaborasi Jony Kho & Yerikho