Sabtu, 01 Desember 2018

Hujan Datang

Hujan datang selalu di saat yang tepat. Ketika aku sedang tak siap menyambut dingin dan sendunya. Sialnya, aku bukan makhluk super yang bisa menghentikan datangnya hujan. Aku hanya manusia biasa yang harus pasrah menyambut datang dan perginya tanpa diberi kesempatan untuk menawar.

Ritual wajib ketika hujan datang selalu diawali dengan secangkir teh hangat dengan pemanis gula aren. Aroma teh bercampur harum manis gula aren cocok untuk membalut celah sendu yang datang bersama hujan. Yang paling menyebalkan adalah bahwa hujan tidak pernah datang sendirian. Ia membawa serta kenangan. 

Tiga tahun lalu, ketika hujan menemani perpisahan kita di bawah jembatan Cinta, lukanya membekas hingga saat ini dan terbuka kembali setiap kembalinya hujan. Aku yang saat itu terluka, tidak kau hiraukan. Tak juga kau berbalik untuk sekedar menyeka air mataku. Seolah masa-masa indah sebelumnya hanyalah cerita pengantar tidur yang kemudian terlupakan saat terbangun keesokan harinya. Kau seperti bunga tidur yang ingin aku lupakan tapi tak bisa. Mimpi buruk yang membekas hingga terbawa ketika aku bangun. Bayanganmu bahkan hilir mudik mengitari kepalaku hingga saat ini. Aku sempat berpikir bahwa aku ini gila. Aku bahkan sempat mencari dokter jiwa untuk menghilangkan bekas-bekasmu. Mereka semua berkata bahwa aku tidak gila, hanya butuh waktu untuk melupakan. Tapi sampai kapan ? sementara hujan terus membawamu kembali dalam ingatan. Dan aku tak mungkin menghapuskan hujan selamanya dari muka bumi hanya untuk menghapus bayanganmu. Aku tak akan mampu.

Titik-titik hujan di kaca jendela, seolah berusaha menerobos pertahananku. Hujan mengincarku. Percikannya membuat kaca jendela menjadi buram dari sekelilingku. Semakin buram aku dari dunia nyata, semakin mudah hujan memangsa  pikiranku. Hujan bekerja diam-diam namun tepat sasaran. Sangat jenius. 

Bukan tanpa upaya aku berusaha melupakanmu. Aku bahkan pindah dari kota asal kita berdua. Aku meninggalkan rumah, keluarga, teman, dan saudara. Aku meninggalkan semuanya bahkan barang-barang kesayanganku dan buku-buku yang menggunung karena tak muat lagi di dalam rak raksasa di kamarku. Tapi dengan segala upaya itu, kenangan akan dirimu tak juga tanggal dari kepalaku. Menancap dan seolah menjadi bagian diriku yang mustahil dipisahkan lagi. Beberapa kota telah aku singgahi, teman-teman baru, suasana baru, bahkan aku mengubah gaya berpakaianku, gaya rambutku, warna kesukaanku, semuanya percuma. Kenangan itu selalu tahu keberadaanku dan menghampiri bersaman setiap hujan datang. Aku berusaha mencari solusi dengan menceritakan kenangan itu bersama teman-teman baruku. Sebagian besar mereka berpendapat yang sama. Mereka menyela di tengah-tengah cerita. Tepat ketika aku menceritakan bagian ketika kau meninggalkan aku di bawah jembatan Cinta. Mereka bilang, kalau aku tak rela kau pergi, kenapa aku tak mengejarmu atau setidaknya berusaha menghentikanmu. Mereka menyela tanpa tahu yang sebenarnya. Mereka menyela karena mereka memang bukan saksi mata seperti hujan yang mendera di antara kita.

Tiga tahun lalu, ketika kau meninggalkan aku di sana, aku tak diam. Aku berjalan di belakangmu menangis dan terus memanggil namamu. Tak kau hiraukan. Kau terus berjalan menjauh menaiki anak tangga menuju parkir mobil. Kau benar-benar membulat dengan keputusanmu. Tak ada alasan yang masuk akal bagiku untuk perpisahan ini. Kau bilang tak ada restu dari kedua orang tuamu. Bukankah saat kita memulai pun kau sudah tahu itu. Kau bilang akan memperjuangkan aku. Itu juga alasan kenapa aku bersedia menjadi pendampingmu. Tapi kau melanggar janji itu. Kau berubah haluan. Tak kau sebut pihak ketiga tapi aku tahu, kau telah menemukan orang lain yang lebih pantas untukmu. Aku tahu itu dari teman-temanmu. Aku memilih diam awalnya, berharap kau pun akan diam dan bersedia membagi cintamu dengan adil. Tapi harapanku tak mewujud nyata. Kau memilih dia. Ketika aku memanggil pun kau tak berbalik untuk mendekapku erat seperti dulu ketika kita bertengkar hebat. Aku yakin kali itu berbeda. Kali itu adalah akhirnya.

Air mataku menitik jatuh. Aku benci kenangan itu. Aku benci setiap kali ia datang bersama hujan. Aku memalingkan wajah dari jendela, menyembunyikan tangisanku dari hujan. Tiga tahun bukan waktu yang singkat terutama ketika kita tidak bisa melupakan. Satu cangkir… dua cangkir… tiga cangkir… teh menemaniku dari hujan gerimis berubah jadi deras lalu mereda. Aku perhatikan sisa-sisa titik hujan di kaca jendela hingga bosan. Setelahnya, aku meraih jaket dan dompet untuk beranjak mencari makanan terdekat. 

Kaki ini melangkah melompati genangan kecil air. Walau aku benci hujan, tapi aku suka dengan udara sehabis hujan. Ada bau tanah basah, bau segar rumput basah, sejuk melegakan. Beberapa belokan dari rumah, aku pun tiba di persimpangan jalan raya. Hari sudah mulai senja, ditambah cuaca sehabis hujan membuat hari ini lebih cepat tua. Di dekat persimpangan ini ada tempat makan kesukaanku. Mereka menjual ayam bakar dengan bumbu pedas asam manis. Rasanya unik di lidah. Ditambah sepiring nasi hangat dan lalapan petai goreng tentu nikmatnya tiada tara apalagi sehabis hujan dan air mata. Perutku berbunyi seketika aku terbayang menu barusan. Tak jauh dari persimpangan, aku melihat ada keramaian. Banyak orang berkumpul di satu sudut jalan. Terdengar mereka panik dan beberapa diantaranya sibuk mengambil gambar dengan ponsel. Tampaknya terjadi kecelakaan. Jalanan di sini memang terkenal berbahaya karena adanya persimpangan ditambah lagi sehabis hujan jalanan biasanya licin. Mungkin pengemudinya sedang terburu-buru dan tidak mengurangi kecepatan. Entahlah. Aku mendekat untuk sekedar melihat dan mungkin membantu bila aku mampu, setidaknya atas nama kemanusiaan aku tidak akan ikut-ikut mengambil gambar untuk masuk di media sosial. Korbannya seorang pria paruh baya, istrinya menangis histeris sambil memeluk jasad suaminya. Pengemudi mobil terlihat berlutut menangis dan memohon ampun, tanpa diindahkan oleh istri korban. Melihat pemandangan itu, kepalaku pening. Tiba-tiba rasanya seperti mau pecah. Aku terduduk di jalanan, seolah tiba-tiba aku teringat sesuatu yang tidak seharusnya aku ingat. Tak lama, aku menjerit histeris dan menangis sekeras-kerasnya. Semua orang tiba-tiba melihat ke arahku. Bahkan mereka yang semenjak tadi sibuk mengambil gambar, sekarang mengarah padaku. Hanya istri korban yang tak beranjak. Lalu, semua menjadi gelap. Aku hilang kesadaran.

Tiga tahun lalu, ketika hujan datang, kau pergi meninggalkan aku di bawah jembatan Cinta. Aku mengikutimu berjalan di belakang sambil terus memanggilmu. Tapi kau tak menghiraukan. Aku tak tahu apakah saat itu kau menangis, atau kau benar-benar tak lagi memiliki rasa. Kau terus berjalan menaiki anak tangga menuju parkir mobil. Aku, saat itu… Aku ketika itu… Aku… Aku tahu saat itu bahwa aku telah kehilanganmu selamanya. Aku berhenti mengikutimu. Langkahku berbalik meninggalkanmu sambil tak henti-hentinya menangis. Aku mendengar kau berteriak dari dalam mobil agar aku pulang segera ke rumah. Tapi aku pun tak lagi ingin mendengarmu. Aku berjalan terus menjauh, kemudian semakin lama semakin ke tengah jalan. Aku tak lagi ingin hidup. Aku melihat dari kejauhan ada truk melaju kencang. Setelah itu, semua menjadi gelap. Aku berpikir bahwa hidupku telah berakhir. Nyatanya, ketika aku membuka mata, aku melihat wajahmu terbaring di sampingku… bersimbah darah.

Tak ada perih melebihi sakitnya kehilangan. Tak ada kehilangan yang lebih menyakitkan dari perpisahan yang tak tuntas. Yang pergi dan yang ditinggalkan, sama-sama merasakan pahitnya kenangan yang menghampiri bersama hujan datang.


Jumat, 17 Agustus 2018

Turbulensi

  Aku datang, menghadapmu. Menyodorkan seonggok hati yang penuh luka. Aku tawarkan padamu apa yang tersisa dariku. Bagian diriku yang kiranya masih manusia. Hati yang walau tak indah tapi setidaknya dia masih manusia. Satu-satunya bagian diriku yang masih hidup walau ribuan kali terluka dan hampir meregang nyawa. Aku tawarkan padamu, berharap kau mau menjaganya.

  Petang menjelang. Aku belum juga selesai menghias wajah ini dengan segala tetek-bengek-penyedap-pandang aneka warna, rupa, dan nama. Bukannya aku sengaja terus menunda, tapi memang aku ingin tampil sempurna. Agar kau tak lagi pernah lupa bahwa orang yang kau tinggal ini adalah makhluk terindah yang pernah tercipta di dunia. Berkali-kali riasan ini menempel lalu kuhapus dan kutempel ulang. Belum juga aku merasa puas. Kalau aku tak puas, maka kau pun tak akan puas. Bukankah begitu, kekasih ? Mantan kekasih. Riasan ini berulang kali hampir sempurna sebelum akhirnya rusak kembali oleh butiran air mata yang kubendung sejak lama. Sadarkah kau bahwa aku terluka, kekasih ? Mantan kekasih. Aku tak mengharapkan dirimu tetap baik ketika kau tak lagi mencintai aku seperti layaknya awal kita bertemu. Aku tak ingin kau hadir dalam hidupku hanya untuk menjadi bayang-bayang pengingat indahnya masa lalu. Air mata ini menitik lagi. Bukankah kau yang dulu berkata akan menjagaku agar tak lagi tersakiti, kekasih ? Mantan kekasih. Ketika cintamu berubah haluan, apakah kau masih mengingat janji itu, kekasih ? Mantan kekasih. Kau meniadakan bagian terakhir diriku yang masih hidup. Aku tak lagi hidup karenamu, kekasih. Mantan kekasih.

  Perjuangan panjang penuh air mata hingga setidaknya aku harus merasa puas karena jarum jam menunjukku dengan geram. Tak ada waktu panjang tersisa bagiku untuk bermutasi menjadi makhluk dalam khayalanku. Aku tetaplah aku. Wujud yang sama yang sempat membuatmu jatuh cinta. Setidaknya sudah kau nikmati hingga kau merasa bosan dan kau tinggal. Geram sekali lagi membuatku terpaku dalam diam, menatap bayangan dalam cermin yang terlihat tanpa ekspresi namun menyimpan dendam. Makhluk yang cantik. Aku puas. Seharusnya kau pun puas saat melihatku nanti. 

  Ponselku berdering, sebuah panggilan dari taksi online yang kupesan untuk mengantarkan mahluk paling indah di dunia ini ke hadapanmu, kekasih. Mantan kekasih. Aku bahkan sempat mengagumi makhluk dalam cermin ini berkali-kali sebelum kuputuskan beranjak sebelum ponselku meledak dihujam dering tiada henti, atau jarum jam di dinding meloncat dan menusukku hingga mati karena kesal terlalu lama kuabaikan. Dan lagi, makhluk terindah di dunia ini harus menghadiri pesta sekali seumur hidupmu, kekasih. Mantan kekasih. Aku pun berbalik untuk keluar dari ruangan bisu ini. Saat aku berbalik, aku merasakan kedua kaki-ku tertinggal di belakang. Mereka enggan beranjak karena tahu aku hanya akan terluka melihatmu bersanding dengan kekasih barumu di pelaminan. Dasar, kaki-kaki sok perhatian. Kemana saja kalian ketika dulu aku meminta kalian membawaku lari dari kenyataan ? Kalian sama saja dengan dia. Sok perhatian tapi nyatanya kalian tak pernah benar-benar ada untukku. Aku pun terpaksa mencubit kedua kaki manja itu agar mereka menurut dan membawaku segera keluar. Aku tahu mereka enggan, tapi mereka tak berdaya. Aku pun tak pusingkan itu. Sama seperti mereka seharusnya tak perlu memusingkan diriku, cukup menjadi alat penopang dan membawaku ke mana aku mau. Bukankah begitu, kekasih ? Mantan kekasih.

  Sepanjang perjalanan, supir taksi online terlihat melirikku dari kaca spion tengah. Matanya melirikku dengan tatapan menjijikkan. Seperti lebah mengincar kembang ranum di hadapannya. Tak tahunya kembang ini berisi racun serangga. Andai ia tahu betapa aku ingin mencungkil mata binalnya, tentu ia tak lagi berani melirikku sebegitunya. Tapi sudahlah, aku sedang berbaik hati malam ini. Aku tak ingin menghabiskan emosiku untuk seonggok sampah di hadapanku. Aku melempar senyuman manis padanya lewat pantulan kaca hingga ia tersipu-sipu malu. Entah malu atau menahan nafsu. Buatku tak terlalu mengganggu. Selama dia aman membawaku sampai kepadamu, kekasih. Mantan kekasih. Aku bersumpah, sepanjang perjalanan ini kami tak saling berbicara sepatah kata pun. Hanya lirikan nakal bersambut senyum mematikan. Jadi, kau tak perlu cemburu, kekasih. Mantan kekasih. Aku tahu dulu kau pun berlaku curang lebih parah daripada ini. Aku tak pernah menyalahkanmu juga. Jadi tolong jangan kau salahkan aku hanya karena permainan kecil ini, kekasih. Mantan kekasih. Setibanya di lokasi, aku pun turun tanpa meninggalkan jejak kemesraan. Hanya senyum manis tanpa makna dan tentunya bintang satu sebagai perpisahan untuknya.

  Kapel tua yang indah. Tempat yang sempurna untuk pernikahanmu. Dindingnya serba putih dengan hiasan bunga lili putih dan krisan kuning. Jujur saja aku iri, kekasih. Mantan kekasih. Aku iri dengan kapel cantik ini. Tapi aku benci bunga lili. Kau tahu aku tak sesuci bunga lili. Aku tentu akan memilih bunga lotus. Lambang kecantikan yang muncul dari dalam kubangan dosa. Sudahlah, toh ini bukan pernikahan kita, kekasih. Mantan kekasih. Tetap saja aku iri dengan kapel putih ini. 

  Aku duduk di barisan paling belakang, kekasih. Mantan kekasih. Agar saat kau masuk, aku lah makhluk paling bersinar yang kau tatap di ruangan ini. Bukan mempelaimu yang kau agung-agungkan di hadapanku tanpa kau jaga perasaanku. Bukan juga lampu kristal mewah nan megah di tengah-tengah kapel yang berkilauan dengan sombongnya walau hanya kristal imitasi belaka. Ingatlah, kekasih. Mantan kekasih. Malam ini aku-lah makhluk terindah yang pernah ada di dunia. Aku hadir untuk membuatmu sadar betapa bodohnya dirimu yang telah meninggalkan aku. 

  Berkali-kali aku melihat jam di lenganku. Berharap waktu tak menyiksaku terlalu lama melihat senyuman manusia-manusia di depan sana yang seolah ikut mencicipi kolam kebahagiaan kalian malam ini. Mereka bukanlah kalian berdua yang tengah dimabuk cinta hingga saling menyerahkan janji sehidup-semati dalam ikatan pernikahan. Aku teringat lagi dengan ucapanmu bahwa tak akan ada pernikahan lain untukmu selain denganku, kekasih. Mantan kekasih. Andai kau masih ingat itu. Aku berharap janji itu menjadi mimpi buruk di sisa hidupmu agar kau tau betapa aku telah kau lukai hingga tak sanggup berkata-kata. Aku mengutukmu untuk merasakan pedih yang aku rasa. Setidaknya agar kau tak mengira aku bahagia dengan semua perhatianmu setelah kita putus. Aku tersiksa karena mengharapkan kau kembali, kekasih. Mantan kekasih. Senyumku di hadapanmu seperti kuburan menganga tempatku mengintipmu dari dalam dinginnya tanah, berusaha menggapaimu tapi tak pernah bisa. Seperti itulah kita selama ini, kekasih. Mantan kekasih.

  Jam berdentang tujuh kali. Lonceng raksasa di atas kapel pun berdenting nyaring, membuatku pusing. Pintu di belakangku terbuka pelan. Kamu ternyata berdiri di sana, kekasih. Mantan kekasih. Dengan senyummu yang menempel sempurna menghiasi setelanmu yang tak kalah sempurna. Kau sempurna, kekasih. Mantan kekasih. Aku terpukau. Perlahan kau melangkah masuk ke dalam kapel. Sempat kau melempar senyum ke arahku. Jantungku berdebar-debar seolah aku lah mempelaimu malam ini. Hanya sekian detik dan kau terus melaju ke depan altar. Menatap lurus ke belakangku. Menunggu pintu jahanam itu terbuka sekali lagi dan memunculkan calon pasangan hidupmu yang kau tunggu-tunggu. Sayangnya bukan aku yang kau tunggu, kekasih. Mantan kekasih. Hingga akhirnya, penghalang itu tak lagi mampu membendung makhluk yang paling aku benci. Ia terlihat cantik. Sungguh, aku iri dengan kepolosan yang terpancar darinya. Seperti patung pualam tanpa cacat. Beda sekali dengan diriku yang seperti ampas siap dibuang. Aku malu dengan kepercayaan-diri-ku yang sempat aku banggakan dari tadi. Wajar kau memilihnya daripada aku. Dia putih polos suci seperti bunga lili. Sedangkan aku, walau cantik tapi aku hanyalah lotus yang muncul dari kubangan dosa. Aku mengerti kenapa kau meninggalkan aku untuknya. Aku menyerah, kekasih. Mantan kekasih. Air mata ini menitik pasrah menuruni lengkungan senyum di bibirku. Semua mengira aku menangis bahagia melihat kalian berpasangan malam ini. Hanya aku sendiri yang mengerti penderitaanku dalam dinginnya tanah kubur tersembunyi di balik senyum, kekasih. Mantan kekasih. Aku tak sanggup tersiksa lebih lama lagi untuk mendengarkan janji pernikahan kalian. Aku beranjak dari tempatku dan sekali ini, kedua kakiku mengantarku dalam diam. Mereka benar-benar mirip denganmu, kekasih. Mantan kekasih.
 
***
 
  Aku terbangun di kamarku. Tenggorokanku kering. Mataku sembab. Kepalaku terasa berat. Aku beranjak dari ranjangku dengan enggan menuju dapur untuk segelas air dingin dari dalam kulkas. Aku melihat jam di dinding. Kali ini tatapannya tak terlalu dingin padaku. Tangan-tangannya menunjukkan pukul sepuluh pagi. Entah jam berapa aku pulang semalam, aku tak terlalu ingat. TV masih menyala, siaran berita. Setengah sadar aku mendengarkan sambil meneguk air dingin yang langsung menghibur kerongkongan gersang ini. 

“Tadi malam... Kebakaran… Kapel… pemadam kebakaran… seluruhnya tewas.” 

  Aku tercekat. Kapel ? semalam ? 

  Selintas gambaran hadir dalam kepalaku. Tawa menggelegar. Api menyala. Kapel terbakar. Pintu terkunci dari luar. Jeritan histeris di dalam. Lampu diskotik. Tawa menggelegar sepanjang malam. Lalu seketika semuanya buyar oleh bunyi lonceng di pintu. Aku bergegas menuju pintu untuk mengintip siapa gerangan. Berdiri di depan pintu, ada petugas berseragam dengan wajah garang. Rasanya sekarang aku mengingat jelas malam terakhir kita, kekasih. Mantan kekasih.