Minggu, 26 Januari 2020

Yang Aku Tahu, Aku Memang Tahu


Jemari lentiknya lincah menari, seolah tengah meraba senar-senar takdir yang tak kasat mata. Bibir tipisnya bergumam tak jelas. Tak ada juga yang akan perduli setiap kata yang akan tumpah dari sana. Perempuan itu menghabiskan hari-harinya dalam ruang kecil tanpa celah. Pasrah menunggu hari ketika namanya akan dipanggil. Untuk diakhiri hidupnya.

Namanya Nila. Janda karena pilihan. Ia perempuan sakti yang telah berhasil membunuh suaminya-yang berpostur tiga kali lipat darinya-dengan sebilah pisau dapur. Suaminya adalah preman buronan polisi yang telah lama dalam pelarian. Entah memang jawara atau akal-akalan petugas saja yang enggan menangkap penjahat kelas kakap yang kerap menghabisi aparat tanpa kenal ampun. Setelah pembunuhan itu, nama Nila menjadi bahan pembicaraan sampai ke pelosok negeri. Kau tahu kenapa ? karena yang dia bunuh adalah orang paling keji yang kerap membunuh tanpa pandang bulu. Lalu bagaimana mungkin seorang Nila bias membunuh bajingan itu, jika tidak memiliki kesaktian ?

Pemberitaan atas dirinya, lengkap dengan pujian-pujian di media massa yang datangnya dari keluarga korban kekejian suaminya, tidak sama sekali meringankan hukuman atas dirinya. Setiap pembelaan atas nama Nila seperti surat kepada Tuhan yang tidak pernah diketahui alamatnya. Hukum membutuhkan kambing hitam. Walau kambing itu adalah seorang Nila, perempuan yang menikah pun karena terpaksa. Ia adalah korban penculikan hanya karena parasnya yang cantik. Setelah dinikahi pun ia tak pernah merasakan Bahagia. Mulai dari perkosaan di malam pertama, kekerasan secara mental dan fisik yang datangnya setiap hari. Semua ia telan demi kelangsungan hidup kedua orang tuanya. Suaminya selalu mengancam akan membakar hidup-hidup kedua orang tua Nila di depan matanya bila ia berani mencoba kabur. Tak ada yang berani menolong seorang Nila yang teraniaya. Tak ada yang berani bahkan untuk sekedar mengobati luka di punggungnya, bekas cambukan suaminya. Melirik saja harus diam-diam karena tabiat suaminya yang sangat posesif. Hidupnya terpenjara melebihi burung dalam sangkar. Air matanya mengering perlahan dalam penderitaan berlarut-larut. Ia berhenti berdoa karena Tuhan seolah tidak melihat penderitaannya. Ia mengutuk kecantikan yang Tuhan titipkan padanya. Dulu ia kebanggaan kedua orang tuanya karena dikira kelak akan mendapat suami rupawan kaya raya anak bangsawan. Nyatanya, ia justru diculik dan diperlakukan layaknya budak nafsu belaka. Seperti bunga yang dipetik hanya untuk disia-sia.

Ruang sempit tanpa celah ini tak menjadi tempat yang aman untuk tubuh kecilnya. Tak jarang petugas hidung belang menghampirinya ketika malam tiba. Nila tak perduli juga dengan apa yang mereka perbuat pada tubuhnya yang memang telah penuh luka dari siksa suaminya. Nila menganggap kerelaannya sebagai bentuk amal sebelum ajalnya datang menjemput. Setidaknya ia bisa berguna untuk orang lain. Untuk serigala-serigala kelaparan yang kalap melahap sisa-sisa kecantikannya. Dalam hati, Nila hanya berharap semoga saja serigala-serigala itu tidak menyesali perbuatannya kelak ketika mereka tahu bahwa kembang yang mereka lahap ini adalah muara dari segala penyakit kelamin yang dititip secara paksa oleh suaminya. Andai mereka tahu, mereka tak akan mungkin sanggup menyentuhnya. Melihat saja pasti jijik dan muntah. Begitulah manusia, pikirnya. Selalu melihat dari tampilan luar saja. Mereka tak melihat bahwa di dalamnya, perempuan mungil ini hanyalah bangkai abadi. Tak lagi hidup. Bukan lagi manusia seutuhnya.

Penantian adalah pekerjaan yang sangat melelahkan. Apalagi kalau kita tidak tahu kapan berakhirnya. Sesekali Nila berdendang tak jelas, ala kadarnya. Satu-satunya penghiburan yang dia punya. Lagu nya pun terbatas, yang bisa dia ingat saja. Beberapa lagu daerah dan tembang jawa yang kerap dinyanyikan sebagai pengantar tidurnya. Apakah kedua orang tuanya tahu keadaan Nila sekarang ? kenapa mereka tidak pernah datang menjenguk ? apakah mereka tidak tahu bahwa anak perempuan mereka telah menjadi pahlawan yang telah berhasil membunuh monster legendaris ? apakah pemberitaan besar-besaran itu tidak pernah sampai pada mereka ??? atau mereka memilih untuk menjadi Tuhan yang tak lagi memiliki alamat di bumi ini sehingga berita-berita itu tak lagi menemukan jalan ke sana ? ah, peduli apa, lebih baik mereka tak tahu saja. Tak perlu menambah penderitaan mereka untuk mengetahui bahwa anak perempuan yang pernah mereka banggakan ini sebentar lagi akan meregang nyawa atas nama keadilan yang timpang sebelah. Keadilan memang hanya nama di negeri ini. Semua orang juga tahu itu. Maka dari itu mereka terus bersuara walau tak pernah didengar. Setidaknya mereka tidak diam. Tidak merelakan kebenaran disepelekan. Bukankah kebenaran selalu menang pada akhirnya ? apabila satu nyawa Nila bisa menjadi bahan bakar untuk menghidupkan bara perjuangan atas nama kebenaran, ia sangat rela. Seperti yang telah kukatakan sebelumnya. Selama masih bisa bermanfaat, ia rela.

Penantian panjang seperti tak berujung, dengan amal perbuatan hampir setiap malam, akhirnya tiba waktunya nama Nila disebut. Tanggal kepastian dibacakan. Tiga hari dari sekarang. Nila akan diperlakukan istimewa. Ia boleh makan apa pun yang dia mau. Menuliskan surat terakhir untuk nantinya dikirim ketika ia telah tiada. Beberapa lembar kertas tanpa amplop dan sebatang kecil pensil. Hanya itu yang diberikan. Tangannya sempat hampir menuliskan segalanya di atas kertas-kertas itu. Tapi diurungkan. Ia tak ingin penderitaanya tumpah dan menulari siapa saja nanti yang membacanya. Tak ada pembelaan dari bibirnya hingga akhir. Tak ada juga kata-kata memelas untuk sedikit pengampunan. ia tahu bahwa apa yang telah dilakukannya tak lebih biadab dari kelakuan suaminya. Semua orang pun tahu itu, tapi mereka memilih diam. Lalu untuk apa seorang Nila harus membela diri kalau semua yang ingin dikatakan sebenarnya telah diketahui semua orang ? tak ada gunanya. Ia memilih bungkam menunggu hingga akhir. Ia hanya berharap untuk kali terakhirnya, Tuhan sendiri yang akan datang menjemputnya, agar ia bisa mempertanyakan ketidakadilan yang telah ia terima. Tapi harapan itu tak berani ia pupuk lebih jauh. Doa saja tidak didengar, apalagi berharap untuk dijemput pulang ? terlalu lancang, pikirnya. Siapalah Nila. Hanya perempuan tanah seberang yang ternoda dan jatuh dalam kubangan dosa.

Hari yang ditentukan telah tiba. Nila hanya meminta sayur asem dengan sambal terasi dan tongkol balado, juga sepotong gaun ungu tua sebagai permintaan terakhirnya. Tanpa riasan wajah ataupun alas kaki. Santapan terakhir itu hanya disentuh satu suapan saja. Rasanya begitu nikmat. Mirip racikan ibunya. Satu suapan terakhir yang tak akan mungkin terlupakan. Lebih dari cukup. Gaun ungu dikenakan, dengan rambut diikat ala kadarnya, Nila siap menghadap ajal. Dikawal oleh dua serigala yang sering meminta jatah amal, Nila hanya menatap lurus ke depan. Tak perduli dengan apa pun di sekitarnya. Matanya kosong seperti biasa. Bibirnya bungkam. Ia dikawal hingga ke mimbar untuk menyampaikan setidaknya satu kali penyesalan atas perbuatannya. Ditonton oleh banyak orang dan media yang siap mengabadikan. Saat ia telah tiba di depan mimbar, semua mata tertuju padanya. Tak sedikit yang sesengukan menangisi nasib perempuan malang itu. Sebagian lagi menatap haru penuh rasa terima kasih atas keberaniannya membalaskan perbuatan keji suaminya terhadap keluarga mereka. Tapi semuanya tak berkata-kata. Mereka menunggu bibir Nila menyampaikan kata-kata terakhir.

“Hari ini, takdir menggiring seorang Nila ke hadapan kalian, dengan atau tanpa persetujuanku. Sama seperti takdir menyeret seorang Nila dalam kegelapan tanpa ampun. Hari ini, aku, Nila, berdiri di sini, sebagai simbol perjuangan wanita. Bahwa hidup kita tidak harus tunduk di bawah kaki pria. Bahwa aku, Nila yang kecil dan terlihat rapuh, telah menghabisi suamiku karena apa yang kalian semua tahu telah ia perbuat. Yang aku tahu, aku memang tahu. Bahwa apa yang aku lakukan tidak dapat dibenarkan secara hukum. Tapi hukum siapa yang membiarkan seorang Nila mengalami semua ini ? Keadilan yang menempatkan seorang Nila menjadi tersangka. Keadilan yang pada akhirnya akan membungkam mulut seorang Nila. Keadilan yang itu… tak akan menghentikan Nila-Nila lain di luar sana untuk berbuat yang sama seperti Nila yang berdiri di depan kalian. Jangan biarkan Nila-Nila di luar sana harus mengalami apa yang aku alami. Membiarkan, lebih keji dari perbuatan-perbuatan suamiku.”

Air mata terakhir Nila menitik. Ia turun dari mimbar. Langkah kakinya diiringi sorak riuh usai keheningan panjang yang menyelimuti seluruh saksi yang hadir. Tak lama setelahnya, takdir menuntaskan kerjanya. Tiga tembakan diletuskan, salah satunya mengakhiri hidup Nila. Tapi, kata-kata terakhirnya menjadi gelombang raksasa yang membangunkan Nila-Nila lain di luar sana.

“Karena membiarkan, sama saja dengan membenarkan.”