Jumat, 17 Agustus 2018

Turbulensi

  Aku datang, menghadapmu. Menyodorkan seonggok hati yang penuh luka. Aku tawarkan padamu apa yang tersisa dariku. Bagian diriku yang kiranya masih manusia. Hati yang walau tak indah tapi setidaknya dia masih manusia. Satu-satunya bagian diriku yang masih hidup walau ribuan kali terluka dan hampir meregang nyawa. Aku tawarkan padamu, berharap kau mau menjaganya.

  Petang menjelang. Aku belum juga selesai menghias wajah ini dengan segala tetek-bengek-penyedap-pandang aneka warna, rupa, dan nama. Bukannya aku sengaja terus menunda, tapi memang aku ingin tampil sempurna. Agar kau tak lagi pernah lupa bahwa orang yang kau tinggal ini adalah makhluk terindah yang pernah tercipta di dunia. Berkali-kali riasan ini menempel lalu kuhapus dan kutempel ulang. Belum juga aku merasa puas. Kalau aku tak puas, maka kau pun tak akan puas. Bukankah begitu, kekasih ? Mantan kekasih. Riasan ini berulang kali hampir sempurna sebelum akhirnya rusak kembali oleh butiran air mata yang kubendung sejak lama. Sadarkah kau bahwa aku terluka, kekasih ? Mantan kekasih. Aku tak mengharapkan dirimu tetap baik ketika kau tak lagi mencintai aku seperti layaknya awal kita bertemu. Aku tak ingin kau hadir dalam hidupku hanya untuk menjadi bayang-bayang pengingat indahnya masa lalu. Air mata ini menitik lagi. Bukankah kau yang dulu berkata akan menjagaku agar tak lagi tersakiti, kekasih ? Mantan kekasih. Ketika cintamu berubah haluan, apakah kau masih mengingat janji itu, kekasih ? Mantan kekasih. Kau meniadakan bagian terakhir diriku yang masih hidup. Aku tak lagi hidup karenamu, kekasih. Mantan kekasih.

  Perjuangan panjang penuh air mata hingga setidaknya aku harus merasa puas karena jarum jam menunjukku dengan geram. Tak ada waktu panjang tersisa bagiku untuk bermutasi menjadi makhluk dalam khayalanku. Aku tetaplah aku. Wujud yang sama yang sempat membuatmu jatuh cinta. Setidaknya sudah kau nikmati hingga kau merasa bosan dan kau tinggal. Geram sekali lagi membuatku terpaku dalam diam, menatap bayangan dalam cermin yang terlihat tanpa ekspresi namun menyimpan dendam. Makhluk yang cantik. Aku puas. Seharusnya kau pun puas saat melihatku nanti. 

  Ponselku berdering, sebuah panggilan dari taksi online yang kupesan untuk mengantarkan mahluk paling indah di dunia ini ke hadapanmu, kekasih. Mantan kekasih. Aku bahkan sempat mengagumi makhluk dalam cermin ini berkali-kali sebelum kuputuskan beranjak sebelum ponselku meledak dihujam dering tiada henti, atau jarum jam di dinding meloncat dan menusukku hingga mati karena kesal terlalu lama kuabaikan. Dan lagi, makhluk terindah di dunia ini harus menghadiri pesta sekali seumur hidupmu, kekasih. Mantan kekasih. Aku pun berbalik untuk keluar dari ruangan bisu ini. Saat aku berbalik, aku merasakan kedua kaki-ku tertinggal di belakang. Mereka enggan beranjak karena tahu aku hanya akan terluka melihatmu bersanding dengan kekasih barumu di pelaminan. Dasar, kaki-kaki sok perhatian. Kemana saja kalian ketika dulu aku meminta kalian membawaku lari dari kenyataan ? Kalian sama saja dengan dia. Sok perhatian tapi nyatanya kalian tak pernah benar-benar ada untukku. Aku pun terpaksa mencubit kedua kaki manja itu agar mereka menurut dan membawaku segera keluar. Aku tahu mereka enggan, tapi mereka tak berdaya. Aku pun tak pusingkan itu. Sama seperti mereka seharusnya tak perlu memusingkan diriku, cukup menjadi alat penopang dan membawaku ke mana aku mau. Bukankah begitu, kekasih ? Mantan kekasih.

  Sepanjang perjalanan, supir taksi online terlihat melirikku dari kaca spion tengah. Matanya melirikku dengan tatapan menjijikkan. Seperti lebah mengincar kembang ranum di hadapannya. Tak tahunya kembang ini berisi racun serangga. Andai ia tahu betapa aku ingin mencungkil mata binalnya, tentu ia tak lagi berani melirikku sebegitunya. Tapi sudahlah, aku sedang berbaik hati malam ini. Aku tak ingin menghabiskan emosiku untuk seonggok sampah di hadapanku. Aku melempar senyuman manis padanya lewat pantulan kaca hingga ia tersipu-sipu malu. Entah malu atau menahan nafsu. Buatku tak terlalu mengganggu. Selama dia aman membawaku sampai kepadamu, kekasih. Mantan kekasih. Aku bersumpah, sepanjang perjalanan ini kami tak saling berbicara sepatah kata pun. Hanya lirikan nakal bersambut senyum mematikan. Jadi, kau tak perlu cemburu, kekasih. Mantan kekasih. Aku tahu dulu kau pun berlaku curang lebih parah daripada ini. Aku tak pernah menyalahkanmu juga. Jadi tolong jangan kau salahkan aku hanya karena permainan kecil ini, kekasih. Mantan kekasih. Setibanya di lokasi, aku pun turun tanpa meninggalkan jejak kemesraan. Hanya senyum manis tanpa makna dan tentunya bintang satu sebagai perpisahan untuknya.

  Kapel tua yang indah. Tempat yang sempurna untuk pernikahanmu. Dindingnya serba putih dengan hiasan bunga lili putih dan krisan kuning. Jujur saja aku iri, kekasih. Mantan kekasih. Aku iri dengan kapel cantik ini. Tapi aku benci bunga lili. Kau tahu aku tak sesuci bunga lili. Aku tentu akan memilih bunga lotus. Lambang kecantikan yang muncul dari dalam kubangan dosa. Sudahlah, toh ini bukan pernikahan kita, kekasih. Mantan kekasih. Tetap saja aku iri dengan kapel putih ini. 

  Aku duduk di barisan paling belakang, kekasih. Mantan kekasih. Agar saat kau masuk, aku lah makhluk paling bersinar yang kau tatap di ruangan ini. Bukan mempelaimu yang kau agung-agungkan di hadapanku tanpa kau jaga perasaanku. Bukan juga lampu kristal mewah nan megah di tengah-tengah kapel yang berkilauan dengan sombongnya walau hanya kristal imitasi belaka. Ingatlah, kekasih. Mantan kekasih. Malam ini aku-lah makhluk terindah yang pernah ada di dunia. Aku hadir untuk membuatmu sadar betapa bodohnya dirimu yang telah meninggalkan aku. 

  Berkali-kali aku melihat jam di lenganku. Berharap waktu tak menyiksaku terlalu lama melihat senyuman manusia-manusia di depan sana yang seolah ikut mencicipi kolam kebahagiaan kalian malam ini. Mereka bukanlah kalian berdua yang tengah dimabuk cinta hingga saling menyerahkan janji sehidup-semati dalam ikatan pernikahan. Aku teringat lagi dengan ucapanmu bahwa tak akan ada pernikahan lain untukmu selain denganku, kekasih. Mantan kekasih. Andai kau masih ingat itu. Aku berharap janji itu menjadi mimpi buruk di sisa hidupmu agar kau tau betapa aku telah kau lukai hingga tak sanggup berkata-kata. Aku mengutukmu untuk merasakan pedih yang aku rasa. Setidaknya agar kau tak mengira aku bahagia dengan semua perhatianmu setelah kita putus. Aku tersiksa karena mengharapkan kau kembali, kekasih. Mantan kekasih. Senyumku di hadapanmu seperti kuburan menganga tempatku mengintipmu dari dalam dinginnya tanah, berusaha menggapaimu tapi tak pernah bisa. Seperti itulah kita selama ini, kekasih. Mantan kekasih.

  Jam berdentang tujuh kali. Lonceng raksasa di atas kapel pun berdenting nyaring, membuatku pusing. Pintu di belakangku terbuka pelan. Kamu ternyata berdiri di sana, kekasih. Mantan kekasih. Dengan senyummu yang menempel sempurna menghiasi setelanmu yang tak kalah sempurna. Kau sempurna, kekasih. Mantan kekasih. Aku terpukau. Perlahan kau melangkah masuk ke dalam kapel. Sempat kau melempar senyum ke arahku. Jantungku berdebar-debar seolah aku lah mempelaimu malam ini. Hanya sekian detik dan kau terus melaju ke depan altar. Menatap lurus ke belakangku. Menunggu pintu jahanam itu terbuka sekali lagi dan memunculkan calon pasangan hidupmu yang kau tunggu-tunggu. Sayangnya bukan aku yang kau tunggu, kekasih. Mantan kekasih. Hingga akhirnya, penghalang itu tak lagi mampu membendung makhluk yang paling aku benci. Ia terlihat cantik. Sungguh, aku iri dengan kepolosan yang terpancar darinya. Seperti patung pualam tanpa cacat. Beda sekali dengan diriku yang seperti ampas siap dibuang. Aku malu dengan kepercayaan-diri-ku yang sempat aku banggakan dari tadi. Wajar kau memilihnya daripada aku. Dia putih polos suci seperti bunga lili. Sedangkan aku, walau cantik tapi aku hanyalah lotus yang muncul dari kubangan dosa. Aku mengerti kenapa kau meninggalkan aku untuknya. Aku menyerah, kekasih. Mantan kekasih. Air mata ini menitik pasrah menuruni lengkungan senyum di bibirku. Semua mengira aku menangis bahagia melihat kalian berpasangan malam ini. Hanya aku sendiri yang mengerti penderitaanku dalam dinginnya tanah kubur tersembunyi di balik senyum, kekasih. Mantan kekasih. Aku tak sanggup tersiksa lebih lama lagi untuk mendengarkan janji pernikahan kalian. Aku beranjak dari tempatku dan sekali ini, kedua kakiku mengantarku dalam diam. Mereka benar-benar mirip denganmu, kekasih. Mantan kekasih.
 
***
 
  Aku terbangun di kamarku. Tenggorokanku kering. Mataku sembab. Kepalaku terasa berat. Aku beranjak dari ranjangku dengan enggan menuju dapur untuk segelas air dingin dari dalam kulkas. Aku melihat jam di dinding. Kali ini tatapannya tak terlalu dingin padaku. Tangan-tangannya menunjukkan pukul sepuluh pagi. Entah jam berapa aku pulang semalam, aku tak terlalu ingat. TV masih menyala, siaran berita. Setengah sadar aku mendengarkan sambil meneguk air dingin yang langsung menghibur kerongkongan gersang ini. 

“Tadi malam... Kebakaran… Kapel… pemadam kebakaran… seluruhnya tewas.” 

  Aku tercekat. Kapel ? semalam ? 

  Selintas gambaran hadir dalam kepalaku. Tawa menggelegar. Api menyala. Kapel terbakar. Pintu terkunci dari luar. Jeritan histeris di dalam. Lampu diskotik. Tawa menggelegar sepanjang malam. Lalu seketika semuanya buyar oleh bunyi lonceng di pintu. Aku bergegas menuju pintu untuk mengintip siapa gerangan. Berdiri di depan pintu, ada petugas berseragam dengan wajah garang. Rasanya sekarang aku mengingat jelas malam terakhir kita, kekasih. Mantan kekasih.