Kamis, 29 Juli 2010

Tangisan Bulan

Cerpen 21+
Yang merasa belum cukup umur mohon tahu diri untuk tidak membaca.
Nama tokoh dan lokasi adalah fiksi semata. Bila ada kesamaan, tolong jangan ke-Ge-Er-an.




***
Pagi. Bukan tanpa alasan aku membenci pagi. Setiap masalah dimulai ketika pagi. Aku benci pagi. Mataku membuka dengan malas, menantang sorot tajam matahari yang menikam tepat di pelupul mata. Korden jendela lupa aku tutup semalam, larut dalam khayalku bersama bulan. Selimut yang menutup hanya setengah tubuhku kini kutendang jatuh dengan emosi tanpa perlu selimut itu mengandung dosa ataupun salah. Semua benda mati memang nasibnya menjadi objek emosi makhluk bernyawa. Untuk itulah mereka diciptakan.

Aku duduk dari tidurku, melihat jam meja, masih terlalu pagi. Benny tak akan pulang sepagi ini. Kekasihku yang jalang sudah tak di sini sejak semalam. Tiap akhir pekan ia bebas bergumul dengan pelacur jahanam, sabtu malam sampai malam berikutnya. Demikian perjanjian awal kami yang kini kusesali. Menyesal pun tak memberi jawaban yang pasti. Antara meneruskan hubungan yang tak jelas ini, atau kesepian tujuh hari penuh. Aku memilih ditemani lima hari dan melepasnya dua hari.

Tiga tahun bukan waktu yang sesaat, juga bukan waktu yang cukup untuk aku melihat setiap detail di diri Benny kekasihku. Sebagian ruang dalam hatinya masih abstrak. Dan aku hanya bisa menunggu waktu memperlihatkan setiap detail ruang itu. Menyerah pada waktu.

Bergegas kuangkat pantat ini sebelum jasadku menempel seutuhnya ke ranjang. Dengan malas aku melangkah ke jendela yang membatasi ruang ini dengan beranda. Apartemen kami di lantai dua puluh lima. Angka kesukaanku dan dia. Berandanya cukup untuk tempat kami bercinta tanpa perlu takut dilihat orang di bawah sana. Kalau tetangga, biarlah mereka menikmati pertunjukan gratis yang tak seberapa.

Kordennya kututup dengan gaya setengah nyawa. Lemas tak bertenaga. Sebenarnya tenaga itu ada, tapi tak cukup bergairah untuk mengeluarkannya. Mau makan pun malas, anggap saja diet satu hari. Rokok yang biasa membuatku tenang kini terlihat seperti frenchfries murahan yang tergeletak di atas meja samping ranjang. Apartemen ini terdiri satu ruang tanpa sekat, sebuah ranjang besar untuk kami berdua di tengah-tengah kamar, menghadap langsung ke jendela yang selebar dinding. Lebih tepatnya, kamar kami tak punya dinding luar. Antara kamar dengan langit di luar sana hanya terhalang jendela kaca. Di belakang ranjang adalah pintu di sudut kiri, dapur ada di sebelah kanan, lengkap dengan meja makan yang menyatu dengan kitchen-set. Selain itu adalah dinding dan dinding. Kamar mandi dan lemari pakaian ada di balik dinding. Ruang ini terlampau kosong di akhir pekan. Mungkin aku perlu membeli sebuah manekin untuk menggantikan kehadiran Benny di sini. Tapi manekin tak secentil Benny yang doyan cuap-cuap gombal. Aku suka dimanja dan Benny memang rajanya.Tubuhku kubanting ke ranjang lembut yang serba putih. Aku suka putih, walau hatiku tak sesuci warna putih. Sebagian besar benda di ruang ini berwarna putih. Aku memejamkan mata memikirkan wajahnya, wajah kekasihku yang kucinta.

***
Malam minggu waktu buatku berpesta. Bukannya aku tak punya rasa, tapi aku lelaki yang banyak gairah. Kekasihku pun boleh berlaku sama, seperti perjanjian kami di awal bersama. Tempat favoritku diskotik kota yang didatangi daun muda. Berondong istilahnya. Perawakanku masih bisa menjadi modal untuk menikmati tubuh mereka semalam dua malam. Tentu saja tanpa biaya.

Malam ini aku melihat dia, yang paling bersinar di antara kawanannya. Aku mengirimkan sinyal lewat sudut mata dan dia menanggapinya. Lima menit setelah pesan diterima, berondong itu mendekat tanpa perlu diundang. Kami berkenalan singkat.
"Panggil aku Brondy (sebutan lain untuk berondong), kalau memang cocok baru aku beri nama asli." , "Gak masalah. Berapa umurmu ?" tanyaku.
"Delapan belas tahun malam ini. Dan masih perawan." bocah itu menggodaku dengan kedipan nakal. Membuatku tak yakin dengan pengakuannya itu.
Percakapan dan berbagai kalimat gombal diluncurkan ke jantung hatinya. Seperti biasa, dengan mudah aku menguasai mereka. Sama seperti mantra yang membuat kekasihku terikat padaku.

Canda dan kedipan mata berlanjut ke sentuhan-sentuhan ringan di wajahnya. Lalu ciuman dan pelukan, makin larut dan sentuhan-sentuhan itu semakin binal. Aku yakin malam ini dialah pemenangnya. Musik membawa kami bergoyang, hingga penutupan. Tapi kisah kami tak selesai sampai di sini. Aku di ajak ke tempatnya tinggal sekarang, sebuah kontrakan. Tak bisa dibandingkan dengan apartemen tempat kekasihku dan aku tinggal selama ini, tapi aku tak akan berlama-lama di sini. Begitu pikirku semula. Tanpa banyak kata dan kami saling melucuti pakaian, bergumul dalam gelora asmara, yang palsu adanya. Rintihan, sentuhan, dan sesekali ia meringis kesakitan. Ternyata memang dia perawan, dan aku semakin senang.

***
Sulit sekali mempertahankan bayang wajah kekasihku, padahal sebelum tinggal bersama, dengan mudahnya wajah itu muncul setiap waktu. Inikah gejala yang disebabkan waktu ? penyakit bosan dan hilangnya rasa rindu. Bukan, aku bukannya tak rindu. Aku cuma kecapaian terus menunggu. Andai Benny berubah dan memutuskan perjanjian itu. Andai dua hari itu juga menjadi milikku. Aku ingin dia hanya untukku.

Tiga tahun, dan baru sekarang aku merasa dibodohi, sementara kekasihku telah tidur dengan entah berapa banyak pelacur lain di luar sana. Aku kembali duduk dari tidurku dan berjalan mengitari ruangan tanpa alas kaki, hanya kemeja yang kupakai tidur dan celana pendek berwarna hitam. Aku mendekat ke korden dan mengintip dunia luar. Masih terang benderang, matahari belum menurunkan panji perang.

Bosan, tak tahu mau kemana. Aku tak ada tujuan. Mau jalan-jalan juga tak ada niat. Teman-temanku yang dulu dekat sudah punya pasangannya sendiri-sendiri. Akhir pekan mereka tentu bersama pasangannya masing-masing. Terbalik denganku yang justru ditinggal sendiri di akhir pekan. Tapi tak masalah, karena aku kadang menikmati kesendirian ini. Teriknya matahari membuat pikiranku gerah walau suhu kamar ini normal-normal saja.

Pejamkan mata sejenak, berjalan tanpa melihat. Lalu aku tiba di sudut kiri ruangan, tempat sebuah sofa merah diletakkan, di depannya adalah televisi layar datar, lengkap dengan sound system, dan DVD player. Di samping kanan televisi adalah lemari kepingan CD dan DVD, ke sana lah aku menuju. Sebuah kepingan berisi instrument Beethoven, salah satu pujaanku. Tapi yang ini bukan permainan Beethoven melainkan Myleeene Klass. Yang paling kusuka darinya tentu saja "Moonlight Sonata", dan tanpa perlu melihat tombol di remote, aku menekan angka yang sudah biasa kutekan. Angka lima. Aku sangat suka angka lima. Dan musik favoritku mengalun menemani tubuhku yang kini menari berputar sendiri sambil melepas kancing kemeja ini satu per satu. Sebelum akhirnya kulucuti celana pendek tanpa celana di dalamnya.

***
Satu kali tak pernah cukup untuk pemula. Malam ini tiga kali kami bergumul. Yang pertama agak menyakitkan buatnya tapi dia minta aku mengulangnya. Membuatku bangga pada keahlianku memuaskan pasangan. Tapi kekasihku sendiri tak pernah meminta lebih dari sekali. Ah, mungin karena bocah ini baru pertama merasakan kenikmatan dunia. "Jadi, apa aku sudah pantas mengetahui siapa namamu sebenarnya, Brondy ?" tanyaku, menangkis tatapannya yang tanpa jedah. "Aku Tony. Tony Mulyadi." jawabnya.
"Oh, nama yang bagus, Tony. Aku Benny, dan itu nama asliku."
"Jadi, bagaimana ? apa kamu suka ?"
"Tentu, Tony. Thanks kamu sudah memberiku malam pertama." jawabku dengan senyum menggoda.
Bocah itu tersenyum manis sekali, mengingatkanku pada kekasihku. Bibir mereka seksi sekali. Dan aku kembali mengulum mesra bibir bocah ini sambil terus membayangkan kekasihku, membuat gairahku kembali memuncak. Dan kami kembali bergumul, seolah dikejar waktu. Tapi bocah ini tak tahu bahwa aku sudah punya kekasih yang menungguku pulang malam nanti.

***
Tubuhku telanjang bulat bersama lantunan "Moonlight Sonata", terus menari dan berputar seperti boneka dalam kotak musik pemberian mama. Musiknya sama. Lalu tarianku terhenti setelah musik mengulang lagi dari awal. Hanya satu musik ini yang kuputar berulang-ulang. Tak khawatir kepingannya akan rusak atau mesinnya meledak, karena aku masih punya beberapa salinan lagu ini di berbagai tempat. Dengan langkah seperti penari balet sungguhan, aku melangkah ke balik pintu kamar mandi di balik dinding. Menyalakan air ke dalam bathtub. Lagi-lagi, dengan mata terpejam sambil merasakan aliran air. Setelah air dingin cukup terisi, aku menyalakan keran air panas, lalu melangkah ke luar kamar mandi untuk mengeraskan suara musik. Saat kembali, aku mematikan keran air dan mencelupkan ujung kaki ke dalamnya, menikmati sensasi getaran yang merambat dari ujung kaki hingga ujung rambutku. Sensasi yang tak bisa kudapat dari mana pun selain sentuhan paling lembut (ralat, selain sentuhan kekasihku) dari permukaan air bathtub.

Tanganku melayang gemulai mengikuti lantunan musik mengambil sejumput garam mandi di dekat wastafel, memercikkannya ke dalam bathtub putih kesayanganku. Berputar beberapa kali, lalu memasukkan seluruh tubuhku ke dalam air hangat. Menahan nafas sambil berusaha membayangkan wajah Benny, berharap ia melakukan hal yang sama sekarang juga.

***
Pagi datang terlalu cepat, rasanya belum puas aku menikmati tubuh bocah ini. Tapi sesuai perjanjian, tubuhku boleh nakal tapi hatiku tetap terjaga untuk kekasihku. Jadi aku hanya bisa meraung dalam sangkar, berharap kekasihku sudi menerima kehadiran satu orang lagi di antara kami. Tapi aku tak cukup berani menyakiti hati kekasihku, karena aku tahu hatiku telah disimpan rapat dalam jiwanya. Aku benar-benar mencintainya. Dengan kata lain, bocah ini harus rela menjadi gundik yang bisa dilepas kapan saja.

Aku mengusap pelan poni di wajah Tony yang menghalangi kepolosan wajahnya. Wajah seorang malaikat kecil yang manis. Lagi-lagi, aku terbayang wajah kekasihku. Ada apa gerangan. Mirip pun tidak wajah mereka berdua. Aku kembali terlelap sambil memeluk Tony.

***
Mataku masih terpejam, mendengarkan alunan musik sambil melihat ke luar. Di hadapanku adalah jendela kaca seperti di ruang kamar, Sinar matahari tak mampu menerobos tirai bambu yang memang bertugas menghalangi pasukan terik itu, dan aku puas dengan kerja mereka. Alunan musik masih terus bergulir tanpa lelah. Kalau itu betul Beethoven yang sedang mainkan piano, kujamin jari-jarinya tentu sudah kram sejak tadi.

Mataku membuka pelan, memaksa otakku mencerna satu keputusan, antara terus ataukah akhiri saja hubungan yang menyakitkan ini. Aku tak butuh kelamin bekas ribuan pelacur tak tenar. Tapi aku butuh hati seperti kekasihku. Walau tubuhnya ternoda banyak dosa, hatinya putih untukku. Mataku terpejam dan jutaan suara-suara menjerit dalam kepalaku. Ada yang menertawakan, ada yang menghina, ada yang memberi semangat walau lemah. Terakhir, aku mendengar suara mama.

***
Tony membangunkanku dengan usapan lembut di pipi, lalu turun ke dada dan terus meluncur ke bawah. Bocah ini sama denganku, gairahnya liar menggebu-gebu. Aku pun tak mau kalah binal, tanganku menyentuh tengkuk lehernya, menarik tubuhnya yang seputih pualam itu mendekat, menempel jadi satu. Lalu kulayangkan ciuman di sekujur tubuhnya. Aku mendengar ia mendesah, mengerang tak tertahan. Tentu saja siksaan ini masih harus diterimanya sebagai hukuman telah membangunkanku dari tidur yang lelap. Dan saat tubuhku sedang larut dalam dosa, hatiku berlari pulang pada kekasihku di rumah. Sedang apa dia sekarang, apakah ada lelaki lain yang tengah menyentuhnya, asal bukan di ranjang kami saja. Perjanjiannya memang begitu, boleh bercinta asal tak di ranjang yang sama.

Bocah ini menggeliat tak mampu menahan siksaan yang kuberikan. Tapi aku memang tak punya perasaan, tak kubiarkan ia melawan. Tangannya kupegang erat lalu kuhentakkan ke ranjang. Matanya berbinar menyalakan api peperangan. Dia liar.

Aku pun mengalah dan membiarkannya berada di atas, bermain bebas dengan tubuhku yang polos tanpa sehelai benang. Bocah itu cepat belajar, dia sudah tahu kemana harus mencari titik rangsang. Dan aku telah menemukan pelacur idaman, yang benar-benar membuatku puas. Wajah kekasihku kini bias, terhapus desah menahan nafas.

***
Akhirnya, matahari menyerah juga dan menarik mundur pasukannya. Aku mulai menggigil kedinginan. Entah berapa lama aku berendam sambil melamun panjang. Untung Beethoven gadungan masih setia memainkan musiknya. Setidaknya itu membuktikan bahwa aku masih di alam sadar. Kulihat, telapak tanganku telah menampakkan keriputnya, lalu mataku tertuju pada kedua putingku yang juga telah membiru dan mengkerut, menjijikkan sekali bentuknya saat kedinginan. Seperti buah kurma bentuknya. Aku menyentuhnya dengan penasaran, apakah masih berfungsi saraf perasanya. Geli, tapi enak. Dan tanganku mulai menari-nari di atasnya. Pelan-pelan, mengikuti alunan musik.

Mataku berputar ke belakang seperti orang kerasukan, tubuhku mengencangkan otot-ototnya untuk dilemaskan kemudian. Ini kenikmatan yang biasa kudapat dari Benny. Tapi seorang Benny sekali pun tak akan tahu kapan harus meletakkan rangsangan di titik yang tepat. Hanya aku dan tangan-tangan pemberian Tuhan ini yang tahu. Mendesah, menggeliat dalam bathtub sambil membayangkan kekasihku yang sekarang entah di mana. Sekitar lima belas menit dan tubuhku menuntut penuntasan. Aku bangun dari bathtub dengan malas, melayang (berjalan dengan pikiran dan tatapan kosong) menuju ruang tidur, berguling sebentar di ranjang, lalu menggerakkan tanganku ke laci meja di seberangnya, mencari-cari benda pusaka hadiah dari Benny di ulang tahun 'pernikahan' kami yang kedua, aku ingat benar apa katanya. "Pakai ini saat aku tak ada." Dasar laki-laki bajingan, seenaknya saja menyuruhku bermain dengan benda mati sementara dia di luar sana menikmati hangatnya tubuh lelaki. Aku juga lelaki yang hangat, kenapa tak ia minta kehangatan itu dariku saja. Tak habis pikir, tapi tubuhku sekarang tak mau kompromi. Harus segera di beri jatah. Aku mengambil batang itu dari dalam laci, lalu berguling menjauh dari ranjang. Membuka jendela dan berjalan ke beranda, bergaya bak penari erotis di pembatas lantai yang tingginya sedikit lebih tinggi dari pantatku. Lalu kulumat batang palsu itu, memainkannya dengan lidahku, membasahinya lalu menariknya turun melewati dada dan perutku. Aku mendesah sambil membayangkan kekasihku. Kuharap ia pun sedang membayangkan aku.

***
Aku bersusah payah membalikkan bocah itu ke bawah, berusaha menyelipkan tanganku ke selangkangannya. Ia pun akhirnya menyerah pasrah. Saat itu juga kubalikkan tubuh tak berdaya itu dan memasukinya dari belakang. Punggungnya melengkung mengundang kecupan bibirku. Aku pun tak pelit untuk yang satu itu. Ia mendesah begitu kerasnya seolah baru saja menerima nafas kehidupan setelah sekian lama. Aku bergoyang, dan ia mengikuti iramanya. Bocah ini benar-benar cerdas. Cepat belajar dan tangkas.

***
Lantunan musik membawaku pada klimaks. Mataku terpejam dan punggungku menekuk ke belakang. Tepat bersamaan dengan semprotan hangat dari dalam genggamanku. Ini klimaks yang kudapat dengan sempurna. Klimaks yang seorang Benny pun tak akan pernah bisa berikan. Sudah kubilang, tak ada yang mengerti kebutuhanku selain diriku sendiri. Malam ini aku mencapai puncak bersama "Moonlight Sonata" dan bulan di belakang kepalaku. Aku mendorong tubuhku ke belakang untuk melihat lebih jelas bulan yang sempurna itu. Begitu bulat. Lalu kedua kaki-ku terlepas dari lantai, kepalaku menyesatkan aku dengan kata-kata dalam suara kekasihku. "Tenang saja, di bawah sana adalah ranjang kita"

***
Kami mencapai klimaks bersamaan, dan aku mendengar ia terisak. entah kesakitan, atau keenakan. Dan lebih lucunya, aku pun menitikkan air mata tak jelas dengan maksud apa. Keringat kami bercucuran tapi tak menghalangi aku untuk memeluknya dari belakang.

***
Aku ingat telah jatuh dari beranda dengan kepala hancur di tanah. Tapi kenapa justru hatiku yang merasakan sakitnya, melihat kekasihku telanjang bersimbah keringat dengan kelaminnya masih berada dalam tubuh pelacur tak ternama. Apa aku telah kalah dari pelacur bau kencur yang sedang dipeluknya ? dan roh-ku menitipkan air matanya dalam ruang lembab bersama kekasihku yang jalang.

***
Sekilas aku seperti melihat kekasihku duduk di atas meja sedang menatapku tajam lalu menghilang. Mungkin aku terlalu mencintainya sampai terbayang-bayang.




Kamis, 15 Juli 2010

Candy Web

Waktu aku lahir ke dunia, aku lahir tanpa warna.
Lalu aku mulai meniru berbagai warna dari sekitarku.
Tapi aku begitu pemalu dan menyembunyikan warna-warna itu.
Aku takut orang tak suka melihat aku dan warna-warnaku.
Suatu hari, datanglah dia, bidadariku.
Ia menanyakan, apa warnaku.
Aku malu...
Tapi ia begitu memaksa.
Aku minta ia berjanji tak menertawakanku.
Maka kuperlihatkan warna-warnaku.
Tanpa dosa ia mengatakan warnaku aneh.
Lalu ia pergi meninggalkanku.
Sejak itu aku menyimpan warna-warna itu
hanya untukku.
Karena warna-warnaku bukan warna biasa.
Mereka istimewa karena tak biasa.
Dan orang biasa tak mengenalnya.


Laba-Laba

Tahu kenapa aku begitu benci laba-laba?
Bentuknya yang aneh.
Cara jalannya yang menyiratkan kelicikan.
Telurnya yang menjijikkan.
Sarangnya mengotori kamar.
Mereka bergerak tanpa suara dan merayap.
Dan kau tahu apa yang kusuka dari mereka ?
Dalam siklus hidup mereka ada satu moment yang paling indah.
Saat mereka merayap di bawah kakiku.
Dan aku menginjak-injak mereka.
Sambil kubacakan doa.
"Lahirlah kembali sebagai makhluk yang lebih indah."


Minggu, 11 Juli 2010

Lisa

Titik-titik air dari dinding gelap menjadi satu-satunya sumber bunyi dalam ruangan tempat Lisa di sekap. Hanya ada pendar lampu bohlam dari ruang sebelah, tempat penjahat itu tersenyum mengerikan dengan liur menitik dari ujung bibirnya. Gadis malang itu sudah satu minggu disekap seusai pulang sekolah. Tak pernah terbayang bahwa dirinya kan menjadi korban penculikan. Lebih parah lagi karena penculiknya adalah orang gila dengan pikiran yang tidak tertebak. Lisa melihatnya berubah-ubah setiap saat. Lebih sering penjahat itu duduk di kursi dengan ekspresi seperti sekarang, senyum mengerikan yang membuat Lisa merinding. Lisa, gadis berusia sebelas tahun itu ditelanjangi dan dikurung di kamar gelap yang terpisah jeruji dari ruang tempat penjahat itu duduk. Gadis itu diperlakukan seperti binatang peliharaan yang tak disayang. Satu minggu Lisa tak diberi makan dan minum. Sekarang, untuk menangis pun ia kesulitan. Kamar itu bercampur antara bau kotoran manusia, bangkai, dan pesingnya air seni. Penculik itu nampak menikmati semua yang ada di dalam ruangan. Sesekali ia pergi ke luar membawa pulang sekantung makanan tapi tak pernah membaginya sedikit pun pada Lisa. Tampaknya ia tidak benar-benar gila. Hanya terobsesi pada gadis kecil. Ia suka melihat korbannya mati kelaparan secara perlahan.

Dingin, lapar, dan ketakutan. Gadis itu meringkuk di lantai berharap akan ada belas kasihan dari penculik itu.

Hari demi hari terlewat. Gadis malang itu makin kurus dan lemas. Sadar ajalnya kian dekat tanpa harapan akan datangnya penolong ataupun belas kasihan si pelaku, Lisa hanya bisa diam menangis walau sekarang menangis pun amat sulit baginya. Bibirnya kering dan kulitnya pecah-pecah berdarah. Tubuhnya kotor dan bau kotoran. Penculik itu masih bisa makan dengan lahapnya dalam ruang penuh bau kotoran dan bangkai seperti ini. Lisa terisak kembali mengingat kebebasan terakhir yang dinikmatinya sebelum penculikan. Ia sempat mengecap es krim paling enak di sekolahnya, tertawa riang bersama teman-teman sekelas seusai sekolah. Dalam hatinya, ia bertanya-tanya apa salahnya hingga menjadi korban penculikan. Setiap saat ia berharap akan ada orang yang berhasil menemukannya atau mungkin tebusannya telah dilunasi sehingga ia boleh bebas kembali. Tapi melihat tingkah pelakunya, Lisa tahu ini bukan soal tebusan. Pelakunya hanya mencari kepuasan. Lisa tak bisa berharap terlalu banyak.

Ruangan itu terasa makin dingin dan gelap. Tapi tak lama. Seperti tertidur yang sangat nyenyak lalu terbangun dalam keadaan bugar. Lisa merasakan jemarinya terasa begitu ringan, tubuhnya juga demikian. Ia berdiri dengan kedua kakinya dengan mudah. Gadis itu segera bergegas mendekat ke pintu keluar, jeruji-jeruji besi. Tapi segera langkahnya terhenti. Ada yang aneh dengan jeruji-jeruji itu. Dari bayangan salah satu jeruji itu muncul benang berwarna putih dan berkilau temaram. Benang itu terus memanjang keluar dari dalam bayangan dan membentuk kumparan. Tak lama kemudian kumparan itu telah menyatu, membentuk sebuah balon gas. Bentuknya unik, seperti balon gas yang biasa dijual di taman bermain. Pada pangkal balon itu terdapat sebuah bulatan sebesar bola tenis. Gadis itu memperhatikan lebih dekat bola itu, yang ternyata adalah sebuah mata. Mata balon itu terbuka dan menatap lurus ke arah Lisa. Di sekeliling mata balon itu terdapat urat-urat halus yang menggeliat, warnanya sama seperti benang temaram tadi. Balon itu berbicara dengan suara anak kecil, suara seorang gadis usia sepuluh tahun. "Lisa, kenalkan. Aku Oni." Lisa kaget dan mundur mendekat ke dinding. Lalu terdengar suara di sampingnya "Tak perlu takut, Lisa. Aku dan Oni bukan penjahat." Di samping Lisa telah berdiri gadis belia yang cantik, dari tubuhnya berpendar cahaya temaram sama seperti Oni. "Aku Anna, dan kamu sudah mati."

Gadis itu bicara dengan suara tenang dan anggun, mata dan wajahnya seolah tanpa ekspresi. Tapi lebih ramah dari senyum mengerikan dari pria yang menculik Lisa. Yang jelas keduanya sama-sama tak enak dilihat. "Aku Lisa. Apa benar aku sudah mati ? Apa kalian malaikat penjemputku ?" Anna menunjuk ke arah tubuh Lisa yang tergeletak tak bernyawa di lantai. Lisa menatap tubuhnya dengan sedih. "Kami datang karena arwahmu tak bisa kembali ke Roh-Bumi. Kau harus melepas emosi yang tersisa di dunia sebelum kembali ke sana, kami akan membantumu." Oni menjelaskan maksud kedatangan mereka. "Bagaimana caranya ?"
"Sisa emosi yang tertinggal dari dunia ini adalah emosi, kamu dendam pada pria itu. Aku bisa bantu kamu menyelesaikannya. Tinggal ulurkan tanganmu, dan aku akan membantu." Anna menjelaskan. Tanpa berpikir panjang, Lisa mengulurkan tangannya menyambut tangan Anna. Sekejap itu juga Lisa menjerit kesakitan. Jari-jari tangan Lisa merekah dan memanjang, Lisa merasakan kulitnya sobek dan tulang-tulangnya mencuat keluar. Kuku-kuku tangannya meruncing dan nampak mengerikan. Rahangnya berbunyi seperti gemeretak kerikil di aspal. Sakit sekali sampai gadis itu tak berhenti menjerit. Ternyata arwah pun masih bisa merasakan sakit. "Selesaikan yang tertunda, kami akan menunggu sampai kamu puas." Anna nampaknya sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini. Begitu juga Oni.

Lama setelah itu, pintu ruang gelap dan lembab dibuka. Bau bangkai yang menyengat tak membatalkan niat lelaki itu untuk melangkah lebih ke dalam. Baru beberapa langkah, pintu di belakangnya tertutup dan mengunci tanpa disentuh. Bahkan manusia berjiwa sakit sepertinya masih memiliki naluri untuk takut. Tak ada yang luput dari rasa takut. Dan takut memicu mereka untuk gugup. Mata lelaki itu memburu pelaku yang tadi menutup pintu. Tak ada satu pun bayangan di ruang itu yang terlihat cukup hidup untuk dijadikan pelaku. Degup jantungnya mulai tenang, otaknya memberi bisikan-bisikan bahwa mungkin saja tadi hanya ulah angin. Tapi mana mungkin angin memutar kunci di pegangan pintu ? Belum sempat ia mendapat jawaban yang tak menyalahi logika, ia melihat sekelebat bayangan yang bergerak cepat. Tak jelas tapi nampak seperti manusia. Bau bangkai kini membuat kepalanya pening dan berkeringat dingin. Tangannya mulai gemetaran.


(wait ya . . . pergi main sama kunang-kunang di taman)

Kamis, 01 Juli 2010

Juni 2010 yang lalu

Bulan Juni datang dan pergi tanpa pamit. Secepat Mei dan bulan sebelum-sebelumnya. Seolah melayang tanpa beban ibarat kapas terbang oleh sentuhan angin pelan. Bulan Juni pergi tak menyisakan sedikit pun rasa. Semua direnggut dengan lahapnya. Mungkin lebih tepat dibilang serakah. Tak adil bagiku yang ditinggal tanpa sisa.

Rasa letih setelah berbulan-bulan meniti hari tanpa jeda melintasi gulungan materi perkuliahan, tiba juga saatnya mengistirahatkan jasadku. Bukan letih dengan kuliahnya, tapi renggangan waktu yang begitu panjang telah membuatku bosan menunggu terlalu lama. Andai semua waktu yang terbuang bisa dimampatkan, tentu tak melelahkan seperti sekarang. Wahai junior-juniorku sekalian, baca dan renungkan ucapanku ini.

"Waktu gak bisa ditarik kembali. Sekali lewat, maka tamatlah sudah."

Berapa pun banyaknya uang yang kau bayar tak akan mampu mengembalikan waktu. Sekarang bisa bersantai tapi di kemudian hari akan terbirit-birit. Aku merasakan beratnya beban ini. Menunggu kapan tiba waktunya aku berdiri di panggung menerima piagam kelulusan di sambut senyum bangga dari Papa dan Mama. Aku sangat berharap bisa kembali ke masa awal kuliah, menyelesaikan semua mata kuliah dengan tekun tanpa sedetikpun bersantai. Tak meremehkan jumlah mata kuliah yang telah dimampatkan demikian padat hingga tak ada ruang untuk melamun barang sejenak. Sekarang adalah sebaliknya. Di saat aku ingin semua mata kuliah ini dimampatkan, aku diberi ruang kosong demikian luas hingga aku bingung sendiri mau kuapakan. Dunia memang tak adil, harus kita sendiri yang berusaha semampu kita berjuang menyelesaikan teka-teki kehidupan. Perkuliahan hanyalah sebagian kecil, level amatiran dari apa yang ada di depan sana. Bertahan saja tak akan pernah cukup. Kita harus melibas, menerjang dan menerkam untuk bisa maju. Di sini, hukum rimba berlaku dengan adil.

Juni 2010 kini telah berlalu. Begitu cepatnya sampai aku merinding membayangkan bertambahnya usiaku. Baru kemarin aku merasakan jadi mahasiswa baru, sekarang sudah lima tahun lewat. Sungguh tak adil kenapa penyesalan selalu datang terlambat. Tapi dari kesalahan itu muncul pembelajaran. Selalu melihat segala sesuatu dengan lebih dekat, lebih cermat agar kita tak terjebak pandangan yang buram tentang semua yang terjadi dalam hidup. Dari semua yang baik hingga yang paling buruk, sama-sama mengandung nilai positif. Kembali pada kita, bagaimana menanggapi semua itu. Apakah kita akan jatuh dan terus terperosok atau bangkit dari kepedihan itu. Kakakku bilang, jangan dengarkan mereka yang menghinamu, karena sebenarnya mereka perduli dan sedang mendukungmu. Ucapan mereka sakit di telinga tapi menjadi cambuk yang ampuh untuk menyadarkanmu walau kadang mereka tak tahu berapa banyak cambukan yang sudah kau terima. Perihmu melebihi luka yang tertuang garam, tapi tak melebihi remuknya tulang belulang. Tangismu membasahi bantal setiap malam tapi tak mampu mengairi sawah. Di atas semua itu masih ada tingkat selanjutnya yang akan menantang untuk dilewati. Jalan kita tak berhenti sampai di sini, masih akan terus ada lanjutannya hingga ketika kita telah mencapai finish. Saat di mana hasil jerih payah kita akan terbayar lunas. Di sana, di ujung perjalanan panjang kita. Tapi bukan sekarang saatnya. Jangan sekali-kali berpikir untuk menyerah. Kita tidak berhak menyerah begitu mudah.

Juni melintas bersama ilusi sesaat. Juli datang membawa batu loncatan. Melompatlah bersamanya menuju ke depan. Tinggalkan penyesalan dan kekesalah itu di belakang, tak perlu kau bawa ke ujung jalan. Biarkan menjadi penanda saat nanti kita berjalan pulang. Bahwa di sana terdapat jurang, semak duri, atau gurun sahara yang menyengat. Bahwa di sana kita pernah terluka, pernah merasakan derita. Tapi itu sudah kita lewati dan kita boleh berbangga.

Juni, kutitip bebanku denganmu.





Tentang Juni :
Bulan juni, namanya diambil dari bahasa latin Iuniores yang berarti "yang muda", Juni diambil dari nama Juno (dewi Hera). Sebagaimana dewi Hera adalah dewi pelindung perkawinan dan rumah tangga, pada bulan Juni terjadi banyak sekali pernikahan. :)