Hujan
datang selalu di saat yang tepat. Ketika aku sedang tak siap menyambut dingin
dan sendunya. Sialnya, aku bukan makhluk super yang bisa menghentikan datangnya
hujan. Aku hanya manusia biasa yang harus pasrah menyambut datang dan perginya
tanpa diberi kesempatan untuk menawar.
Ritual
wajib ketika hujan datang selalu diawali dengan secangkir teh hangat dengan
pemanis gula aren. Aroma teh bercampur harum manis gula aren cocok untuk
membalut celah sendu yang datang bersama hujan. Yang paling menyebalkan adalah
bahwa hujan tidak pernah datang sendirian. Ia membawa serta kenangan.
Tiga tahun
lalu, ketika hujan menemani perpisahan kita di bawah jembatan Cinta, lukanya
membekas hingga saat ini dan terbuka kembali setiap kembalinya hujan. Aku yang
saat itu terluka, tidak kau hiraukan. Tak juga kau berbalik untuk sekedar
menyeka air mataku. Seolah masa-masa indah sebelumnya hanyalah cerita pengantar
tidur yang kemudian terlupakan saat terbangun keesokan harinya. Kau seperti
bunga tidur yang ingin aku lupakan tapi tak bisa. Mimpi buruk yang membekas
hingga terbawa ketika aku bangun. Bayanganmu bahkan hilir mudik mengitari
kepalaku hingga saat ini. Aku sempat berpikir bahwa aku ini gila. Aku bahkan
sempat mencari dokter jiwa untuk menghilangkan bekas-bekasmu. Mereka semua
berkata bahwa aku tidak gila, hanya butuh waktu untuk melupakan. Tapi sampai
kapan ? sementara hujan terus membawamu kembali dalam ingatan. Dan aku tak
mungkin menghapuskan hujan selamanya dari muka bumi hanya untuk menghapus
bayanganmu. Aku tak akan mampu.
Titik-titik
hujan di kaca jendela, seolah berusaha menerobos pertahananku. Hujan
mengincarku. Percikannya membuat kaca jendela menjadi buram dari sekelilingku.
Semakin buram aku dari dunia nyata, semakin mudah hujan memangsa pikiranku. Hujan bekerja diam-diam namun
tepat sasaran. Sangat jenius.
Bukan tanpa
upaya aku berusaha melupakanmu. Aku bahkan pindah dari kota asal kita berdua.
Aku meninggalkan rumah, keluarga, teman, dan saudara. Aku meninggalkan semuanya
bahkan barang-barang kesayanganku dan buku-buku yang menggunung karena tak muat
lagi di dalam rak raksasa di kamarku. Tapi dengan segala upaya itu, kenangan
akan dirimu tak juga tanggal dari kepalaku. Menancap dan seolah menjadi bagian
diriku yang mustahil dipisahkan lagi. Beberapa kota telah aku singgahi,
teman-teman baru, suasana baru, bahkan aku mengubah gaya berpakaianku, gaya rambutku,
warna kesukaanku, semuanya percuma. Kenangan itu selalu tahu keberadaanku dan
menghampiri bersaman setiap hujan datang. Aku berusaha mencari solusi dengan
menceritakan kenangan itu bersama teman-teman baruku. Sebagian besar mereka
berpendapat yang sama. Mereka menyela di tengah-tengah cerita. Tepat ketika aku
menceritakan bagian ketika kau meninggalkan aku di bawah jembatan Cinta. Mereka
bilang, kalau aku tak rela kau pergi, kenapa aku tak mengejarmu atau setidaknya
berusaha menghentikanmu. Mereka menyela tanpa tahu yang sebenarnya. Mereka
menyela karena mereka memang bukan saksi mata seperti hujan yang mendera di
antara kita.
Tiga tahun
lalu, ketika kau meninggalkan aku di sana, aku tak diam. Aku berjalan di
belakangmu menangis dan terus memanggil namamu. Tak kau hiraukan. Kau terus berjalan
menjauh menaiki anak tangga menuju parkir mobil. Kau benar-benar membulat
dengan keputusanmu. Tak ada alasan yang masuk akal bagiku untuk perpisahan ini.
Kau bilang tak ada restu dari kedua orang tuamu. Bukankah saat kita memulai pun
kau sudah tahu itu. Kau bilang akan memperjuangkan aku. Itu juga alasan kenapa
aku bersedia menjadi pendampingmu. Tapi kau melanggar janji itu. Kau berubah
haluan. Tak kau sebut pihak ketiga tapi aku tahu, kau telah menemukan orang
lain yang lebih pantas untukmu. Aku tahu itu dari teman-temanmu. Aku memilih
diam awalnya, berharap kau pun akan diam dan bersedia membagi cintamu dengan
adil. Tapi harapanku tak mewujud nyata. Kau memilih dia. Ketika aku memanggil
pun kau tak berbalik untuk mendekapku erat seperti dulu ketika kita bertengkar
hebat. Aku yakin kali itu berbeda. Kali itu adalah akhirnya.
Air mataku
menitik jatuh. Aku benci kenangan itu. Aku benci setiap kali ia datang bersama
hujan. Aku memalingkan wajah dari jendela, menyembunyikan tangisanku dari
hujan. Tiga tahun bukan waktu yang singkat terutama ketika kita tidak bisa
melupakan. Satu cangkir… dua cangkir… tiga cangkir… teh menemaniku dari hujan
gerimis berubah jadi deras lalu mereda. Aku perhatikan sisa-sisa titik hujan di
kaca jendela hingga bosan. Setelahnya, aku meraih jaket dan dompet untuk
beranjak mencari makanan terdekat.
Kaki ini
melangkah melompati genangan kecil air. Walau aku benci hujan, tapi aku suka
dengan udara sehabis hujan. Ada bau tanah basah, bau segar rumput basah, sejuk
melegakan. Beberapa belokan dari rumah, aku pun tiba di persimpangan jalan
raya. Hari sudah mulai senja, ditambah cuaca sehabis hujan membuat hari ini
lebih cepat tua. Di dekat persimpangan ini ada tempat makan kesukaanku. Mereka menjual
ayam bakar dengan bumbu pedas asam manis. Rasanya unik di lidah. Ditambah sepiring
nasi hangat dan lalapan petai goreng tentu nikmatnya tiada tara apalagi sehabis
hujan dan air mata. Perutku berbunyi seketika aku terbayang menu barusan. Tak jauh
dari persimpangan, aku melihat ada keramaian. Banyak orang berkumpul di satu
sudut jalan. Terdengar mereka panik dan beberapa diantaranya sibuk mengambil
gambar dengan ponsel. Tampaknya terjadi kecelakaan. Jalanan di sini memang
terkenal berbahaya karena adanya persimpangan ditambah lagi sehabis hujan
jalanan biasanya licin. Mungkin pengemudinya sedang terburu-buru dan tidak
mengurangi kecepatan. Entahlah. Aku mendekat untuk sekedar melihat dan mungkin
membantu bila aku mampu, setidaknya atas nama kemanusiaan aku tidak akan
ikut-ikut mengambil gambar untuk masuk di media sosial. Korbannya seorang pria
paruh baya, istrinya menangis histeris sambil memeluk jasad suaminya. Pengemudi
mobil terlihat berlutut menangis dan memohon ampun, tanpa diindahkan oleh istri
korban. Melihat pemandangan itu, kepalaku pening. Tiba-tiba rasanya seperti mau
pecah. Aku terduduk di jalanan, seolah tiba-tiba aku teringat sesuatu yang
tidak seharusnya aku ingat. Tak lama, aku menjerit histeris dan menangis
sekeras-kerasnya. Semua orang tiba-tiba melihat ke arahku. Bahkan mereka yang
semenjak tadi sibuk mengambil gambar, sekarang mengarah padaku. Hanya istri
korban yang tak beranjak. Lalu, semua menjadi gelap. Aku hilang kesadaran.
Tiga tahun
lalu, ketika hujan datang, kau pergi meninggalkan aku di bawah jembatan Cinta. Aku
mengikutimu berjalan di belakang sambil terus memanggilmu. Tapi kau tak
menghiraukan. Aku tak tahu apakah saat itu kau menangis, atau kau benar-benar
tak lagi memiliki rasa. Kau terus berjalan menaiki anak tangga menuju parkir
mobil. Aku, saat itu… Aku ketika itu… Aku… Aku tahu saat itu bahwa aku telah
kehilanganmu selamanya. Aku berhenti mengikutimu. Langkahku berbalik
meninggalkanmu sambil tak henti-hentinya menangis. Aku mendengar kau berteriak
dari dalam mobil agar aku pulang segera ke rumah. Tapi aku pun tak lagi ingin
mendengarmu. Aku berjalan terus menjauh, kemudian semakin lama semakin ke
tengah jalan. Aku tak lagi ingin hidup. Aku melihat dari kejauhan ada truk
melaju kencang. Setelah itu, semua menjadi gelap. Aku berpikir bahwa hidupku
telah berakhir. Nyatanya, ketika aku membuka mata, aku melihat wajahmu
terbaring di sampingku… bersimbah darah.
Tak ada
perih melebihi sakitnya kehilangan. Tak ada kehilangan yang lebih menyakitkan
dari perpisahan yang tak tuntas. Yang pergi dan yang ditinggalkan, sama-sama
merasakan pahitnya kenangan yang menghampiri bersama hujan datang.