Jumat, 20 September 2024

Kupu-Kupu

Sekali saja adakah matamu tertuju padaku ?

Hadirku seperti angin lalu, menyejukkanmu tapi tidak menetap di hatimu. Segala upaya untuk menarik perhatianmu, hanya gesekan lembut di pipimu yang bisa kujangkau. Sementara anganmu, harapmu, masih terpaku pada kepak sayap kupu-kupu.

Andai kau bisa sejenak berpaling dari fokusmu yang terlalu mengawang-awang. Mungkin kau bisa melihat bahwa dihadapanmu adalah manusia yang sedang tergila-gila dimabuk cinta padamu. Andainya sedikit saja kau membuka hati, mungkin dia akan berusaha masuk dan menetap di sana, menanam benih cinta dan merawatnya sebaik yang dia sanggup upayakan. Sebab ia tahu, ini adalah cinta yang patut diperjuangkan. Yang dia tidak ketahui adalah berapa lama percikan kecil itu sanggup berpijar hingga pintumu dibuka.

Cinta itu memang penuh liku. Jalannya berkelok dan penuh tipu. Jika tak jeli memperhatikan, tahu-tahu sudah terlewat. Berbahagialah mereka yang dicintai. Mengejar itu melelahkan jika dilakukan sendirian. Yang mengejar pun perlu tahu batasan, bahwa cinta sebesar apa pun tak akan ada gunanya bila diserahkan untuk orang yang tidak paham artinya menghargai dan membalas dengan rasa yang sama. Bukankan menjadi budak cinta itu melelahkan ? Jadi... belajarlah untuk berhenti memaksakan diri menjadi pemuas kebahagiaan orang.

Dirimu lebih berharga dari kepak sayap kupu-kupu yang dia harapkan. Kamu adalah getaran kecil di permukaan air yang terus meluas menjadi gelombang besar. Siapa pun yang tak siap pasti kewalahan menerima cintamu yang begitu dahsyat. Percik apimu kelak akan menjadi badai api yang meleburkan segala rasa jika tidak dikendalikan. 

Maka, ketika ia masih mendambakan kepak sayap kupu-kupu, sedangkan rasa di dadamu telah berkembang lebih dulu... pergilah... sebelum cinta tahu caranya membunuh rasa.

Ruang Untuk Rindu

Rindu ini mengular panjang tak tampak lagi ujung pangkalnya. Setiap langkah kaki ini begitu pilu, bersendirian. Yang lebih menyakitkan adalah beban rasa. Tanpa kepastian. Bukankah ketulusan tak pernah mengharapkan balasan ? Apakah artinya rasa ini tidak tulus adanya ? Aku lah yang egois ternyata. Siksaan ini adalah upah dari segala upaya yang kukira atas dasar cinta. Aku hanya mencari pengisi ruang hampa dalam dada. Bukankah Rindu butuh ruang untuk bertumbuh ? Agar akar-akarnya kuat, ia tak akan hidup pada wadah yang menghimpit. Baiknya, aku memberi jarak. Setidaknya rasa ini akan selamat. Tak lagi ia pelan-pelan sekarat menunggu hilang terkikis kecewa karena pengharapannya yang tak kunjung tiba dalam genggaman. Ia kuat karena mampu berjalan sejauh ini. Tapi tidak cukup bijak untuk menyadari bahwa ia mengejar hati yang tidak sejalan.

Kamis, 12 September 2024

Carousel


Jika setiap manusia terlahir berpasang-pasangan, maka... seharusnya aku pun tak perlu takut akan selamanya sendirian. Bukankah Semesta telah menyiapkan pasanganku bahkan sebelum aku terlahir ke dunia ? Atau mungkin... Ada juga manusia-manusia yang memang dilahirkan untuk bersendirian ? Semacam lelucon Semesta. Tidak ada yang tahu pastinya seperti apa...


Seberapa sering kita mendapatkan pengalaman di luar nalar ketika bertemu orang asing dan kita merasa telah mengenalnya begitu lama. Sebuah pertemuan yang entah bagaimana---tanpa seijin kita---masuk begitu saja lewat pintu hati dan menetap di sana. Celakanya, kita sama sekali tidak ada keinginan untuk menepis perasaan aneh ini. Kita justru terlena, berharap semua ini adalah pertanda baik bahwa Semesta telah mempertemukan kita dengan belahan jiwa, yang sekali lagi, digadang-gadang sebagai sebuah janji manis Semesta untuk setiap insan di dunia. Bahwa setiap kita terlahir dengan belahan jiwa yang kelak akan bertemu dan menjadi pasangan hidup kita hingga akhir hayat. Tapi buatku, yang saat ini sudah mendekati usia senja kepala empat, Janji itu semakin ragu di telinga. Selama tiga puluh delapan tahun, aku merasakan empat kali sensasi ini. Apakah ini berarti hatiku telah salah menangkap sinyal ? Tapi sialnya, aku begitu yakin dengan perasaanku. Dari empat kali itu, ketiganya kandas seiring berjalannya waktu. Yang terakhir ini... amatlah menyedihkan. Aku jatuh cinta pada orang yang rupanya tidak punya rasa yang sama.

Andai aku memperhatikan red flag yang berkibar-kibar di hadapanku, tentu rasanya tidak akan sesakit ini. Saat pertama kita bertemu dan kamu menyampaikan bahwa aku ini hanyalah satu dari sekian banyak orang yang memilihmu lewat aplikasi, dan pertemuan ini hanyalah bentuk respon bersahabat tanpa ada niatan lebih, harusnya aku cukup sadar diri dan tidak membiarkan perasaanku terjun bebas mengarah padamu. Tapi, melihat matamu, senyummu, dan mendengar suaramu... Segala pertahananku runtuh bahkan tanpa aku sadari. Pembicaraan kita tentang beberapa topik konyol, tawa dan canda ringan yang monoton, semua itu tak ada artinya dibanding sensasi hangat yang muncul di dadaku setiap mata ini melirik padamu. Bukan, ini bukan pandangan mesum yang berharap malam ini berlanjut di ranjang. Bukan tidak mau juga, tapi ini lebih dari itu. Lebih dalam... lebih hangat... ini mungkin, cinta pada pandangan pertama. Datangnya terlalu cepat, tapi hati ini tetap menyambutnya tanpa perlu mempertanyakan ijinku.

Pernah dengar istilah "Tahi kucing rasa coklat" ?

Itulah yang terjadi selanjutnya. Segala-galanya tentangmu adalah hal terindah yang hadir di hidupku. Sapaanmu, balasan chat mu, teleponmu, ajakan makan malam, ajakan nonton, semua terasa seperti menang undian berhadiah menggiurkan. Aku terlupa bahwa ini hanyalah ajakan persahabatan tanpa niatan lebih. Mungkin bonusnya adalah penjajakan, tapi tanpa tujuan yang jelas. Buatku, ini adalah pintu menuju imajinasi liar. Ribuan harapan tercipta dalam hitungan detik. Terlalu cepat. Andai logika yang biasa kuandalkan bisa berfungsi dengan benar ketika cinta datang mengusik. Andai aku lebih sadar bahwa cinta tidak ada artinya jika datangnya hanya satu arah. Akan ada yang merasakan kecewa, dan untungnya, itu adalah aku. Untungnya ? ya, aku tidak tahu bagaimana kalau yang merasakan ini adalah kamu. Aku tidak sanggup membayangkan kamu terluka karena aku. Sebegitu besar rasa sayang ini. Seperti tersapu derasnya bendungan runtuh. Logika ini sudah hanyut terbawa arus.

Bukan salah niat baikmu, bukan salahku juga yang memilih untuk menerjemahkan semua tanda-tanda itu sesuai dengan bahasaku. Hanya waktu saja yang tidak tepat, dan rasa, yang salah alamat. Bukankah orang yang sedang jatuh cinta pasti berharap akan balasan yang sama ? wajar... dan ketika balasan itu ternyata tidak sesuai harapan. Tapi percayalah, tidak ada yang sia-sia dari sebuah pertemuan yang telah ditentukan Semesta. Selalu ada pembelajaran di sana. Sama seperti pertemuan denganmu. Aku telah belajar banyak. Belajar mengenal diriku dan perasaanku, belajar mengenal perasaanmu dan mengenalmu. Pengalaman ini membuka mataku tentang rasa. Bukankah Semesta selalu punya cara di luar logika ? Mungkin ini salah satunya. Sakit, kecewa, tapi juga penuh makna dan perlu dirasa. Orang bilang, rasa sakit akan membuat kita belajar menjadi lebih kuat. Pertumbuhan gigi pertama pun membuat bayi menangis karena sakit dan tidak nyaman. Bukankah segala sesuatu ada harganya untuk dibayarkan ? dan, yakinlah segala sakit dan kecewa ini, adalah untuk bayaran setimpal yang telah direncanakan oleh Semesta sesuai dengan skenario-Nya, yang bahkan sudah ada sebelum tubuhmu dirancang di dunia.

Suatu hari nanti di kemudian hari, aku akan duduk termenung di sebuah kafe dekat pantai, menikmati senja, memikirkan hari ini, dan bersyukur bahwa hari ini telah membawaku pada hari itu. Bahwa hari ini telah mempersiapkan aku untuk kebahagiaan yang kemudian datang pada hari itu. Perubahan yang membuat levelku telah setara dengan pasanganku yang sesungguhnya, yang telah disiapkan untukku oleh Semesta. Bahwa, kami memang tidak dipertemukan sebelum masing-masing telah benar-benar matang lahir-batin, dan Semesta mengamini pasangan ini untuk berbagi kebahagiaan bersama hingga akhir hayat. Hari itu yang menjadi penguatku untuk melewati segala pembelajaran yang makin lama makin berat dan menyakitkan. Setidaknya, aku bertumbuh dan semakin dekat dengan kebahagiaanku.

Jadi, sampai mana kita akan bertumbuh bersama ? kurasa, aku sudah siap setelah kecewa dan air mata yang kusembunyikan darimu. Bahwa, sesungguhnya, tidak ada yang perlu disembunyikan. Darimu, aku belajar menjadi jujur dan apa adanya. Bahwa, diterima atau tidak... tidak ada yang sia-sia. Karena itu juga, aku tidak akan pernah menyesal, padamu aku pernah jatuh cinta.


Rabu, 27 Mei 2020

Luka Abadi


Dulu, kau menanamkan pedih dalam hatiku.
Sakitnya lagi, kau taburi luka menyayat itu dengan kalimat 
“Akan ada orang yang lebih baik untukmu nanti, bukan aku.”
Lalu kau beranjak, tanpa perduli.
Bertahun-tahun kemudian, rasa sakit itu tak kunjung hilang.
Bukan karena aku terpaku dalam kenangan masa lalu.
Kalimat sakti darimu saat itu, menjadi kutukan abadi yang tak bisa kuhapus dari ingatan.
Lebih mengerikan dari bayangan masa itu ketika langkahmu kian menjauh.
Kurasa, kau pun tak pernah memikirkan bagaimana hidupku berjalan tanpamu.
Aku pun tak lagi pernah mendengar kabar tentangmu.
Hanya luka ini yang tetap sama
Menjadi pengingat
Bahwa yang telah pergi, memang lebih baik tak pernah kembali.

- Ony -
090520

Minggu, 26 Januari 2020

Yang Aku Tahu, Aku Memang Tahu


Jemari lentiknya lincah menari, seolah tengah meraba senar-senar takdir yang tak kasat mata. Bibir tipisnya bergumam tak jelas. Tak ada juga yang akan perduli setiap kata yang akan tumpah dari sana. Perempuan itu menghabiskan hari-harinya dalam ruang kecil tanpa celah. Pasrah menunggu hari ketika namanya akan dipanggil. Untuk diakhiri hidupnya.

Namanya Nila. Janda karena pilihan. Ia perempuan sakti yang telah berhasil membunuh suaminya-yang berpostur tiga kali lipat darinya-dengan sebilah pisau dapur. Suaminya adalah preman buronan polisi yang telah lama dalam pelarian. Entah memang jawara atau akal-akalan petugas saja yang enggan menangkap penjahat kelas kakap yang kerap menghabisi aparat tanpa kenal ampun. Setelah pembunuhan itu, nama Nila menjadi bahan pembicaraan sampai ke pelosok negeri. Kau tahu kenapa ? karena yang dia bunuh adalah orang paling keji yang kerap membunuh tanpa pandang bulu. Lalu bagaimana mungkin seorang Nila bias membunuh bajingan itu, jika tidak memiliki kesaktian ?

Pemberitaan atas dirinya, lengkap dengan pujian-pujian di media massa yang datangnya dari keluarga korban kekejian suaminya, tidak sama sekali meringankan hukuman atas dirinya. Setiap pembelaan atas nama Nila seperti surat kepada Tuhan yang tidak pernah diketahui alamatnya. Hukum membutuhkan kambing hitam. Walau kambing itu adalah seorang Nila, perempuan yang menikah pun karena terpaksa. Ia adalah korban penculikan hanya karena parasnya yang cantik. Setelah dinikahi pun ia tak pernah merasakan Bahagia. Mulai dari perkosaan di malam pertama, kekerasan secara mental dan fisik yang datangnya setiap hari. Semua ia telan demi kelangsungan hidup kedua orang tuanya. Suaminya selalu mengancam akan membakar hidup-hidup kedua orang tua Nila di depan matanya bila ia berani mencoba kabur. Tak ada yang berani menolong seorang Nila yang teraniaya. Tak ada yang berani bahkan untuk sekedar mengobati luka di punggungnya, bekas cambukan suaminya. Melirik saja harus diam-diam karena tabiat suaminya yang sangat posesif. Hidupnya terpenjara melebihi burung dalam sangkar. Air matanya mengering perlahan dalam penderitaan berlarut-larut. Ia berhenti berdoa karena Tuhan seolah tidak melihat penderitaannya. Ia mengutuk kecantikan yang Tuhan titipkan padanya. Dulu ia kebanggaan kedua orang tuanya karena dikira kelak akan mendapat suami rupawan kaya raya anak bangsawan. Nyatanya, ia justru diculik dan diperlakukan layaknya budak nafsu belaka. Seperti bunga yang dipetik hanya untuk disia-sia.

Ruang sempit tanpa celah ini tak menjadi tempat yang aman untuk tubuh kecilnya. Tak jarang petugas hidung belang menghampirinya ketika malam tiba. Nila tak perduli juga dengan apa yang mereka perbuat pada tubuhnya yang memang telah penuh luka dari siksa suaminya. Nila menganggap kerelaannya sebagai bentuk amal sebelum ajalnya datang menjemput. Setidaknya ia bisa berguna untuk orang lain. Untuk serigala-serigala kelaparan yang kalap melahap sisa-sisa kecantikannya. Dalam hati, Nila hanya berharap semoga saja serigala-serigala itu tidak menyesali perbuatannya kelak ketika mereka tahu bahwa kembang yang mereka lahap ini adalah muara dari segala penyakit kelamin yang dititip secara paksa oleh suaminya. Andai mereka tahu, mereka tak akan mungkin sanggup menyentuhnya. Melihat saja pasti jijik dan muntah. Begitulah manusia, pikirnya. Selalu melihat dari tampilan luar saja. Mereka tak melihat bahwa di dalamnya, perempuan mungil ini hanyalah bangkai abadi. Tak lagi hidup. Bukan lagi manusia seutuhnya.

Penantian adalah pekerjaan yang sangat melelahkan. Apalagi kalau kita tidak tahu kapan berakhirnya. Sesekali Nila berdendang tak jelas, ala kadarnya. Satu-satunya penghiburan yang dia punya. Lagu nya pun terbatas, yang bisa dia ingat saja. Beberapa lagu daerah dan tembang jawa yang kerap dinyanyikan sebagai pengantar tidurnya. Apakah kedua orang tuanya tahu keadaan Nila sekarang ? kenapa mereka tidak pernah datang menjenguk ? apakah mereka tidak tahu bahwa anak perempuan mereka telah menjadi pahlawan yang telah berhasil membunuh monster legendaris ? apakah pemberitaan besar-besaran itu tidak pernah sampai pada mereka ??? atau mereka memilih untuk menjadi Tuhan yang tak lagi memiliki alamat di bumi ini sehingga berita-berita itu tak lagi menemukan jalan ke sana ? ah, peduli apa, lebih baik mereka tak tahu saja. Tak perlu menambah penderitaan mereka untuk mengetahui bahwa anak perempuan yang pernah mereka banggakan ini sebentar lagi akan meregang nyawa atas nama keadilan yang timpang sebelah. Keadilan memang hanya nama di negeri ini. Semua orang juga tahu itu. Maka dari itu mereka terus bersuara walau tak pernah didengar. Setidaknya mereka tidak diam. Tidak merelakan kebenaran disepelekan. Bukankah kebenaran selalu menang pada akhirnya ? apabila satu nyawa Nila bisa menjadi bahan bakar untuk menghidupkan bara perjuangan atas nama kebenaran, ia sangat rela. Seperti yang telah kukatakan sebelumnya. Selama masih bisa bermanfaat, ia rela.

Penantian panjang seperti tak berujung, dengan amal perbuatan hampir setiap malam, akhirnya tiba waktunya nama Nila disebut. Tanggal kepastian dibacakan. Tiga hari dari sekarang. Nila akan diperlakukan istimewa. Ia boleh makan apa pun yang dia mau. Menuliskan surat terakhir untuk nantinya dikirim ketika ia telah tiada. Beberapa lembar kertas tanpa amplop dan sebatang kecil pensil. Hanya itu yang diberikan. Tangannya sempat hampir menuliskan segalanya di atas kertas-kertas itu. Tapi diurungkan. Ia tak ingin penderitaanya tumpah dan menulari siapa saja nanti yang membacanya. Tak ada pembelaan dari bibirnya hingga akhir. Tak ada juga kata-kata memelas untuk sedikit pengampunan. ia tahu bahwa apa yang telah dilakukannya tak lebih biadab dari kelakuan suaminya. Semua orang pun tahu itu, tapi mereka memilih diam. Lalu untuk apa seorang Nila harus membela diri kalau semua yang ingin dikatakan sebenarnya telah diketahui semua orang ? tak ada gunanya. Ia memilih bungkam menunggu hingga akhir. Ia hanya berharap untuk kali terakhirnya, Tuhan sendiri yang akan datang menjemputnya, agar ia bisa mempertanyakan ketidakadilan yang telah ia terima. Tapi harapan itu tak berani ia pupuk lebih jauh. Doa saja tidak didengar, apalagi berharap untuk dijemput pulang ? terlalu lancang, pikirnya. Siapalah Nila. Hanya perempuan tanah seberang yang ternoda dan jatuh dalam kubangan dosa.

Hari yang ditentukan telah tiba. Nila hanya meminta sayur asem dengan sambal terasi dan tongkol balado, juga sepotong gaun ungu tua sebagai permintaan terakhirnya. Tanpa riasan wajah ataupun alas kaki. Santapan terakhir itu hanya disentuh satu suapan saja. Rasanya begitu nikmat. Mirip racikan ibunya. Satu suapan terakhir yang tak akan mungkin terlupakan. Lebih dari cukup. Gaun ungu dikenakan, dengan rambut diikat ala kadarnya, Nila siap menghadap ajal. Dikawal oleh dua serigala yang sering meminta jatah amal, Nila hanya menatap lurus ke depan. Tak perduli dengan apa pun di sekitarnya. Matanya kosong seperti biasa. Bibirnya bungkam. Ia dikawal hingga ke mimbar untuk menyampaikan setidaknya satu kali penyesalan atas perbuatannya. Ditonton oleh banyak orang dan media yang siap mengabadikan. Saat ia telah tiba di depan mimbar, semua mata tertuju padanya. Tak sedikit yang sesengukan menangisi nasib perempuan malang itu. Sebagian lagi menatap haru penuh rasa terima kasih atas keberaniannya membalaskan perbuatan keji suaminya terhadap keluarga mereka. Tapi semuanya tak berkata-kata. Mereka menunggu bibir Nila menyampaikan kata-kata terakhir.

“Hari ini, takdir menggiring seorang Nila ke hadapan kalian, dengan atau tanpa persetujuanku. Sama seperti takdir menyeret seorang Nila dalam kegelapan tanpa ampun. Hari ini, aku, Nila, berdiri di sini, sebagai simbol perjuangan wanita. Bahwa hidup kita tidak harus tunduk di bawah kaki pria. Bahwa aku, Nila yang kecil dan terlihat rapuh, telah menghabisi suamiku karena apa yang kalian semua tahu telah ia perbuat. Yang aku tahu, aku memang tahu. Bahwa apa yang aku lakukan tidak dapat dibenarkan secara hukum. Tapi hukum siapa yang membiarkan seorang Nila mengalami semua ini ? Keadilan yang menempatkan seorang Nila menjadi tersangka. Keadilan yang pada akhirnya akan membungkam mulut seorang Nila. Keadilan yang itu… tak akan menghentikan Nila-Nila lain di luar sana untuk berbuat yang sama seperti Nila yang berdiri di depan kalian. Jangan biarkan Nila-Nila di luar sana harus mengalami apa yang aku alami. Membiarkan, lebih keji dari perbuatan-perbuatan suamiku.”

Air mata terakhir Nila menitik. Ia turun dari mimbar. Langkah kakinya diiringi sorak riuh usai keheningan panjang yang menyelimuti seluruh saksi yang hadir. Tak lama setelahnya, takdir menuntaskan kerjanya. Tiga tembakan diletuskan, salah satunya mengakhiri hidup Nila. Tapi, kata-kata terakhirnya menjadi gelombang raksasa yang membangunkan Nila-Nila lain di luar sana.

“Karena membiarkan, sama saja dengan membenarkan.”

Rabu, 10 April 2019

In My Dreams ~Papillon



Pertama kali bertemu dengannya, gadis itu tengah berjalan dalam kegelapan yang mengelilingi antara aku dengan dirinya. Hanya sebuah lentera mungil dalam tangannya yang menjadi penerang. Dia adalah manusia pertama yang aku temui setelah kegelapan yang panjang. Aku tak mengerti tempat apa ini, begitu gelap dan dingin. Begitu sunyi hingga detak jantungku pun tak terdengar. Aku sempat berpikir apakah aku  ini masih hidup ? atau mungkin aku secara tak sadar telah mati ? Semua pertanyaan-pertanyaan itu dan berbagai pertanyaan tak penting terus aku putar dalam kepalaku, menghalau rasa takutku. Tentu saja aku takut karena sekelilingku begitu gelap hingga ujung kaki pun aku tak bisa melihatnya. Yang jelas, aku masih bernapas. Aku merasakan hembusannya di wajahku setiap kali aku melangkah maju. Aku berteriak memanggil dan  menyapa berharap akan ada yang mendengar. Nihil... Entah berapa lama, hingga muncul secercah cahaya temaram dari kejauhan. Ya, cahaya dari lentera di tangan gadis itu. Gadis aneh yang mengenakan topeng binatang dengan lentera seperti akar tanaman dengan kupu-kupu bercahaya sebagai sumber penerangan. Gadis itu mengaku bernama Naisha. Kulitnya putih pucat, dengan rambut keperakan jika dilihat dari temaram lampu. Aku tak bisa memastikannya. Matanya terlihat berwarna biru kehijauan ketika ia mengangkat lenteranya untuk melihat wajahku lebih jelas. Naisha bertanya bagaimana aku bisa sampai ke tempat ini. Aku pun bingung. Tadi aku sedang rebah di ranjang, tubuhku terasa panas dan aku ingat sepertinya berkeringat banyak sekali. Tak lama kemudian aku tertidur. ketika aku membuka mata, ternyata aku telah berdiri dalam kegelapan. Aku ketakutan dan berteriak tapi tidak ada yang mendengar. Setelah itu aku berlari entah berapa lamanya, hingga akhirnya aku menyerah dan melanjutkan dengan berjalan karena aku bahkan tidak tahu melangkah kemana. 

Gadis itu tersenyum padaku, ia berkata tenang saja karena belum waktunya aku berada di sini. Ia berjanji akan mengantar aku pulang. Entah kenapa saat itu aku percaya begitu saja. Naisha bertanya banyak hal tentang duniaku. Aku bingung, apa maksudnya. Tapi aku menceritakan keseharianku, dan dia terlihat sangat senang. Sesekali ia berbalik dengan mata berkaca-kaca seolah apa yang aku ceritakan adalah sesuatu yang mengagumkan padahal aku hanya menceritakan tentang perjalanan wisata ke kebun binatang. Naisha sepertinya begitu asing dengan dunia. Setiap kali aku bertanya tentang dirinya, Naisha selalu mengelak. Dia menuntut aku menceritakan lebih banyak lagi tentang diriku, sambil kami terus berjalan. Aku merasa jalur kami semakin lama semakin sulit. Tadi aku tidak merasakan ada kerikil yang menghalangi. Sekarang, aku sadar di sekeliling kami dipenuhi rumput dan semakin ke depan seperti memasuki hutan. Hingga paling parahnya, kami menyeberangi sungai yang tidak terdengar suara airnya padahal aku merasakan ada arus setinggi pahaku. Aku begitu takut kalau ternyata kami akan jatuh terperosok semakin dalam dan lenyap ditelan aliran sungai. Tapi Naisha meyakinkanku bahwa ia tahu betul daerah ini. Aku pun berusaha tidak menghiraukan rasa takutku karena gengsi pada keberanian gadis pemberani di hadapanku.

Setibanya di seberang sungai, aku melihat ada pendar cahaya lain dari kejauhan. Asalnya dari belakang kami, dari seberang sungai. Semakin lama semakin mendekat. Naisha menarik tanganku dan menyuruh aku untuk berlari. Ia terlihat begitu panik. Naisha bilang, itu adalah kupu-kupu kematian. Jika sampai tersentuh, aku tak akan pernah bisa kembali. Aku mulai panik dan berlari lebih kencang lagi.

Aku tidak tahu berapa lama kami berlari, yang pasti sangat lama. Aku kelelahan dan berhenti untuk menarik napas. Naisha bilang, kami sedang berada di alam bawah sadar. Dunia antara mimpi dan kenyataan. Bisa jadi lebih dalam daripada mimpi, hingga jarak yang tidak bisa ditentukan. Aku harus segera kembali ke dunia nyata sebelum 'penangkap mimpi' berwujud kupu-kupu hitam yang tadi disebut Naisha sebagai kupu-kupu kematian itu menyentuhku. Aku mulai bertanya-tanya siapa sebenarnya Naisha. Kenapa dia bisa tahu begitu banyak tentang dunia ini. Apakah dia adalah malaikat pelindungku ? dia hanya tersenyum. Kami melanjutkan perjalanan tak lama kemudian. Naisha bertanya apakah aku membawa sesuatu ke dunia ini ketika aku tidur ? aku tidak mengerti apa maksudnya. Kalau yang dia maksud adalah benda terakhir yang aku pegang ketika tidur, tentu saja selimut kesayanganku. Ia kemudian bertanya di mana kira-kira benda itu sekarang. Aku bingung. Naisha kemudian mengajarkanku bagaimana cara menemukannya. Bayangkan benda itu sambil tutup mata. Saat aku menutup mata dan membayangkannya dalam keadaan mata tertutup aku melihat bintang jatuh. Ya, di situ tempat keberadaan jalan pulang, kata Naisha. Kami pun bergegas ke arah yang terlihat olehku dalam keadaan mata tertutup. Naisha yang memandu langkahku. Saat tiba di sana, aku senang sekali. Akhirnya aku bisa keluar dari dunia ini, walau aku sedih karena Naisha tak bisa ikut. Sebagai hadiah perpisahan, ia memberiku lenteranya. Tak hanya itu, ia juga memberiku topengnya. Aku sempat terkagum sejenak melihat wajah dibalik topeng itu, ternyata Naisha gadis yang cantik dan senyumnya sangat manis. Setelah itu, Naisha kemudian mengambil selimutku dan menunjukkan bagaimana cara menggunakannya untuk pulang. Tunggu dulu... Naisha... Kenapa Naisha tiba-tiba menghilang ?  

Aku ketakutan dan terus memanggil-manggil namanya. Tidak, tak mungkin... Apakah Naisha telah menipuku ? Apakah aku terjebak di dunia ini menggantikannya ? Jangan-jangan Naisha adalah pemimpi yang terjebak di sini. Tidak, aku tak mau selamanya berada di tempat ini. Bagaimana aku bisa bertahan sendirian dari kejaran kupu-kupu kematian ? Lalu bagaimana dengan diriku di dunia nyata ? Aku menangis sejadi-jadinya... tapi tidak ada yang mendengarku. Tunggu dulu, sepertinya aku mendengar suara. Ada manusia lain... Mungkinkah ?