Senin, 14 Juni 2010

Mural

"Ya Tuhan, aku kembali pada ketidaksiapanku."

Angin berhembus padaku dan aku terhempas menjauhi tepian gedung tinggi. Dingin angin malam telah menyadarkanku dari kekosongan sesaat yang hampir mencelakakan aku. Sekarang, yang hangat hanya tetes air mata bergulir menyentuh sudut bibirku dan menempati ujung lidahku. Asin dan hangat. Setitik kehidupan yang membuatku lupa pada dinginnya malam di ketinggian.

Esoknya, sengatan matahari menyudutkanku, mendorongku keluar dari mimpi walau kepuasan belum kudapat dari belainya mimpi. Lelah dari ulahku semalam melarang otakku bekerja pagi ini. Setidaknya untuk setengah hari. Tapi panggilan dari kantor tak akan pernah berhenti sampai baterai di ponsel terkuras habis. Aku tak akan menunggu sampai detik itu datang. Kuangkat dan kujawab sekenanya tentang keterlambatanku kali ini. Tak ada yang mau tahu apa yang kau lakukan semalam, ada di mana, dengan siapa. Yang penting, kau dibayar untuk bekerja dan perusahaan menginginkan pantatmu menempel di kursi kantor tanpa memikirkan apa yang kau kerjakan di sana. Tentu saja kau harus sadar diri tentang batasan waktu yang mereka berikan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Sebuah rutinitas yang membuatmu mual di pagi hari saat memikirkannya. Andai hidup dirancang lebih mudah, tentu semua dari kita akan lebih bahagia, dengan tubuh tambun dan senyum menganga. Sayangnya dunia bisnis tak semudah itu meletakkan belas kasihan. Siapa mau senang harus berusaha. Bekerja. Menjadi budak kesibukan tanpa henti dari hari ke hari sepanjang tahun. Beruntung masih ada hari Sabtu dan Minggu yang menjadi perhentian sementara. Tapi bagiku, perhentian itu jauh lebih menyiksa dibanding pekerjaanku sebagai pekerja seni bayaran. Untung bagiku karena proyek kali ini tak mengharuskanku selalu berada di kantor. Cukup setengah hari menjelaskan konsep pada klien dan aku boleh pulang mengejar tenggat waktu dengan bekerja sepanjang malam menyelesaikan karya-karyaku. Memuakkan.

Hari ini tak beda dengan hari-hari sebelumnya kecuali rasa kantuk yang terus menekan kepalaku. Pening dan mata agak membengkak kurasa. Bukan pertama kalinya, tapi tetap saja menyiksa. Lebih menyiksa lagi karena tak ada yang perduli dan menganggap ini sudah biasa. Setidaknya biasa untuk pekerja sepertiku. Kami dianggap manusia-manusia malam yang memang berkarya saat semua orang lelap. Padahal mereka tak tahu apa yang terjadi semalam, saat aku hampir menyerah pada hidup dan mengakhirinya. Bukan karena patah hati, juga bukan karena hutang. Aku hanya muak pada rutinitas. Muak ? kata yang terlalu manja untuk diucap oleh buruh macam diriku. Seorang budak yang tak akan bertahan hidup tanpa pekerjaan ini dan aku dengan seenaknya berkata muak. Seharusnya mulutku bersyukur dan menjilati sepatu atasanku yang masih mempertahankanku di perusahaan. Walau harus menyimpan pahitnya siksaan ketika karyaku dilecehkan. Ingin kutusuk matanya dengan pensil tajam di tangan. Apa daya, aku ini budak yang hanya bisa berkata muak.

Duduk di kursi kantor adalah siksaan. Setengah dariku menunggu waktu bergerak lebih cepat agar cepat aku pulang ke sarang. Tempat mimpi dan khayalanku dirajut oleh tangan-tangan ahli. Tanganku sendiri. Untuk itulah aku menempatkan rasa nyaman di sana. Satu-satunya tempat di dunia ini yang bebas dari beban dan kekesalan. Satu sisi lainnya adalah tekanan, tenggat waktu yang menekan pundakku ke tanah tanpa memberi kesempatan bagiku untuk bersantai. Akibatnya, otakku pecah kemana-mana. Roh ku berhamburan kesana-kemari mencari kesenangan ke segala penjuru. Sementara atasanku terus melayangkan aura gelap, membuatku makin muak. Waktu, pekerjaan, atasan. Waktu, pekerjaan, atasan. Waktu, pekerjaan, atasan.

Tenggat waktu tiba dan pekerjaan pun selesai tepat pada waktunya. Bukan terima kasih yang kuterima tapi sindiran.
"Aku pikir kamu bisa menyelesaikan itu lebih awal, Lin."

Ucapan enteng tanpa memikirkan kondisi kejiwaan karyawannya. Sungguh atasan yang patut dibanggakan. Dan lagi-lagi otakku berfantasi dengan hebatnya tentang pembunuhan keji pada atasanku. Diawali oleh adegan menjerat lehernya dengan kabel tetikus sambil meneriakkan kekesalanku dengan liar. Menghantamkan kepalanya ke sudut meja hingga berdarah-darah, kemudian melemparnya ke lantai dan menginjak muka busuknya. Lanjutkan dengan adegan melemparkan monitor komputer untuk merusakkan mukanya secara total. Adegan diakhiri dengan tertawa puas dan pandangan kaget bercampur kagum dari seisi ruang kerja. Berharap khayalanku menjadi nyata. Sayangnya khayalan hanya bertahan dalam angan. Kalau menjadi nyata, mungkin tak akan seindah bayangan. Maka, kubiarkan ia tetap pada dunianya.

Hari ini lewat dengan begitu lambatnya. Hingga akhirnya tulang-tulangku boleh lega setelah kubaringkan di atas ranjang, di dalam sarangnya. Kamarku yang paling nyaman sedunia.

Malam ini aku bermimpi. Jendela kamar terbuka dan angin berhembus masuk ke dalam ruang tidurku. Hembusannya berbisik memanggilku. Aku turun dari ranjang, lebih mirip melayang daripada jalan. Semakin dekat ke jendela. Sekejap aku sudah ada di atap, di sudut gedung dengan menatap lurus ke depan, dimana lampu kota nampak begitu indahnya. Di atas kepalaku adalah langit yang gelap dan purnama. Lalu terdengar kicau gagak yang hinggap di samping kakiku berpijak. Gagak itu seakan bertanya kapan aku akan melangkah dan menjatuhkan diri dari tepian ini. Aku mengerti dan mulai berjalan. Lagi-lagi terasa seperti melayang. Begitu ringan tapi kuat. Angin yang menghampiri tak mampu menggoyahkan langkahku. Semakin dekat ke ujung tepian dan mataku terpejam. Saat itulah aku terbangun dari mimpi dengan keringat bercucuran dan tanpa suara, tanpa gerak. Hanya mataku yang terbuka menerawang atap kamar.

Aku tak tidur setelah terbangun malam tadi. Tapi pagi ini lebih baik dari kemarin. Setidaknya siksaan rasa kantuk hari ini tak sekokoh hari kemarin. Secangkir besar kopi mampu menenggelamkannya ke dasar cangkir bersama ampas. Tak banyak ceramah juga dari atasanku. Tapi bukan berarti aku tak muak. Melihat mukanya saja mengingatkanku pada seonggok tahi. Ditambah kelakuannya yang memuakkan dan mengganggu konsentrasiku dengan berbagai pekerjaan bertubi-tubi, kurasa dia pantas mati karena telah merusak kemurnian karya-karyaku yang seharusnya bisa lebih baik dari karya-karya yang tercipta bersama emosi.

Malam tiba dan aku sempatkan berdoa sebelum tidur agar mimpi buruk menjauh dari tidurku. Sudah kupasang dreamcatcher di atas tempat tidur untuk menjaring mimpi buruk. Mataku makin sulit terpejam memperhatikan dreamcatcher di atas kepalaku. Malam semakin larut dan lelap tak juga menjemput.

Paginya aku terbangun lebih awal dari seharusnya. Jantungku berdegup kencang, takut kesiangan. Ingin tidur kembali tapi takut tak cukup beruntung untuk bangun tepat waktu. Akhirnya kupaksakan tubuhku bangun dan melakuka kegiatan tak biasanya kulakukan. Menyiapkan sarapan. Dalam kulkas ada beberapa lembar selada, telur, susu dan sosis. Jadi, menu pagi ini adalah telur dadar dan sosis. Tapi susu akan lebih baik bila diganti dengan kopi. Sarapan pun siap, tapi rasa laparku sudah hilang. Salah satu kebiasaan jelek yang harusnya sudah lama kuhilangkan. Aku sering menyiapkan makanan tanpa menyentuhnya. Semua masuk dalam tempat sampah dan membusuk di sana. Bukan karena sengaja, tapi memang begitulah keadaannya. Tiba-tiba rasa lapar itu hilang dan seakan perutku telah terisi penuh secara ajaibnya. Tak ada penjelasan dari dokter yang pernah kudatangi. Untungnya hal ini tak menjadi masalah karena tubuhku sama sekali tak memperhitungkan pasokan gizi di pagi hari.

Hari ini pekerjaan yang sama banyaknya menanti di atas meja dengan briefing seadanya. Atasanku memang suka seenaknya. Yang dia tahu hanya ego-nya bahwa pekerjaan ini "pasti" selesai pada waktunya. Andai otak atasanku tak segila itu, semua karyawan di ruang ini pasti menyapanya dengan senyum lebar yang sebenarnya. Semua takut padanya. Takut gaji tak seberapa itu dipotong, atau lebih buruknya diberhentikan dari pekerjaan memuakkan. Entah buruk atau beruntung. Yang jelas hidup tak bisa tanpa uang, dan kami semua bertahan karena itu.

Sebelum pulang, karyawan kantor mengajakku bersenang-senang nanti malam karena besok akhir pekan. Rutinitas yang menguras uang bulanan tapi setidaknya menyelamatkan mereka dari mati kebosanan. Tapi bagiku, kebosanan itu tak hilang dengan bersenang-senang. Aku cuma butuh tenang.

Malam ini kuhabiskan berfantasi dengan dinding kamar. Mural yang belum selesai kubuat kini menjadi sahabat yang paling lekat. Sedikit goresan padanya setiap malam. Mural yang tak akan pernah kelar karena fantasiku ternyata tak punya batas. Kusambung satu per satu goresan pensil mengisi sisa ruang di dinding. Rasanya aku tak pernah puas. Berulang kali kutimpa dinding kamar ini dengan lapisan putih lainnya, untuk kemudian dipenuhi oleh fantasi lainnya. Aku tak berdaya membendungnya. Aku terhanyut bersamanya. Sepanjang malam, tanpa mati kebosanan.

Pagi berikutnya menghadang, dan aku tak berdaya melawan. Terik membakar lelapku jadi arang. Pagi bukan waktu yang membuatku senang. Aku lebih bersahabat dengan malam. Termasuk pagi di waktu senggang, aku tak doyan.

Makan siang di sekitar gedung tempatku tinggal adalah pilihan tepat. Tak terlalu jauh dari kamarku yang nyaman tapi tetap memuaskan rasa lapar. Masakan di sini juga tak kalah enak dengan masakan rumah. Aku hanya masak saat aku mau. Tentu saja, tak ada yang bisa memaksaku melakukan yang satu itu. Memasak adalah hobi sekaligus satu-satunya kemerdekaan yang kudapat sejak kecil. Dengan kedua tanganku aku bisa membuat makanan apapun yang aku mau. Keajaiban kecil yang diturunkan Ibu padaku.

Malam datang tanpa kuundang. Lusa adalah hari kerja. Aku merasa sesak mengingatnya. Berharap semua berakhir malam ini juga. Aku berjalan ke lantai paling atas tempat menjemur pakaian. Berdiri di sudut paling dekat dengan kematian. Melihat sekelilingku adalah lampu kota dan dipayungi gelapnya langit malam. Angin berhembus menerpaku, dingin tapi tak sedingin roda nasib yang terus berputar tanpa menjelaskan niatnya. Dan aku, sebutir pasir diantara tak terhingga kawanannya, berusaha menjalani hidup mengikuti arus ombak dan hembus angin lautan. Kupejamkan mata dan bergerak mendekati kematian. Semakin dekat dan jantungku berdegup kian kencang, lalu kembali tenang. Kematian bukan perkara mengerikan. Hanya sebentar dan roh ku akan pulang. Berhenti dari rutinitas memuakkan.

Kaki ini pelan melangkah ke depan. Mendekati bibir kematian dan menciumnya lekat. Aku memeluknya tanpa sedikitpun rasa takut dan bimbang. Kini aku bebas berkelana setiap saat. Melihat kawan di ruang kerja tengah berhimpit dengan amuk atasan, menertawakan resleting atasanku yang lupa ditutup. Melakukan semua yang tak bisa kulakukan sewaktu hidup. Hingga malam tiba dan aku baru menyadarinya. Aku tak hanya mendapat senangnya saja. Aku juga kehilangan fungsi kedua tanganku untuk berkarya di dunia. Lukisan dan sketsa di meja kamar tergeletak tanpa tuan. Puisi di cermin yang belum mendapat kepastian. Mural kusam yang tak pernah usai.


Tidak ada komentar: