Kamis, 10 Maret 2011

Pagiku Bersemu

Aku dan pagiku yang lebam babak belur belum sempat tidur. Aku dan secangkir teh menanti pagi memberi sedikit semu di rona hariku. Sendiri, kata yang setiap kali terucap membuatku merasa pernah ditemani. Walau sebenarnya lebih sering aku sendiri melewati detik demi detik hariku.

Lebam belum juga tersamar, dan teh di cangkir muiai hilang hangatnya tersapu angin pagi. Pagi yang menganga, begitu luas dan kosong. Dingin dan sepi. Kenapa pagi harus begitu mati. Atau mungkin aku bangun sebelum yang hidup bangkit dari mimpi.

Pagiku di tempat yang baru. Tak lagi dari jendela tempat lamaku. Kali ini tak ada lagi nenek dan cucunya yang menjadi menu favoritku saat membuka hari. Tak ada juga siluet-siluet seksi yang sibuk mengolah tubuhnya dengan lari pagi. Tak semenarik kicau burung di pohon mangga seberang tempatku tinggal. Atau titik embun di pucuk daun yang kutanam. Daun, karena bunganya tak kunjung muncul beberapa bulan setelah kudengar janji manis penjualnya. Atau memang aku saja yang tak pandai memanjakan bunga yang jual mahal itu. Tak jadi masalah karena daunnya tak kalah indah. Masih ada lagi, yang membuatku betah berlama-lama hinggap di jendela. Sinar merah jambu yang malu-malu menembus awan kelabu, mengubah lebam menjadi semu. Sinar mentari pagi. Kuharap beda lokasi tak membuatnya acuh padaku.

Menunggu dan menunggu. Bagian mana dari hidup yang tak butuh kesabaran menunggu ? Bahkan kemunculan kita ke dunia pun harus menunggu sembilan bulan lamanya, kadang telat pula. Tapi semua itu tentu sudah kodratnya. Tak terbayang kan kalau kita sudah lahir dalam keadaan orok dan tali pusar kita masih menyangkut di rahim mama. Mungkin kita akan lahir dalam bentuk yang cepat beradaptasi gerak seperti anak rusa yang lincah melompat beberapa saat setelah menembus kelamin induknya, atau sial dan terlahir dalam bentuk tak berdaya yang terseret-seret macam anjing piaraan tersangkut tali pusar atau tewas mengenaskan terinjak heels mama. Untuk itu, aku tak lagi mempersoalkan kalau harus menunggu dalam batasan wajar, seperti menunggu munculnya merah semu di ufuk timur. Tak mungkin juga aku memaksanya keluar dengan kekuatanku yang tak lebih banyak dari tokoh 'Inem' si pelayan sexy. Lagipula, sabar itu banyak pahalanya. Itu kata guru agama. Semoga saja benar, dan pahala itu bisa menutup kebusukanku di dunia. Dan semoga doa orang busuk ini masih diterima.

Menunggu bukan pekerjaan mudah. Sambil berperang melawan kantuk yang siap menyerang ketika aku tak siaga, ditambah rasa bosan. Kita ibaratkan rasa bosan itu adalah dinding di sekelilingku yang perlahan semakin mendesak, berusaha meremukkan tubuhku dengan kekuatannya. itu lah bosan. Gerakannya perlahan tapi mematikan. Dalam porsi yang pas bisa membuat penantianku berakhir sia-sia dengan marah dan resminya pembatalan niat.

Terlalu lama berdiri dengan kedua kaki kemudian bergilir satu kaki, aku memanjat dinding pembatas teras. Tak terlalu tinggi, tapi cukup nyaman untuk duduk dan menggoyangkan kaki. Kulihat sepasang serangga centil sedang menyatukan pantat. Usilku timbul mendadak. Kutepuk pakai sandal sampai keduanya tewas bersamaan. Biarlah sepasang serangga itu menjadi cerita legenda dalam dunia mereka. Kisah Romi dan Juli yang tewas ditepuk saat bermesraan di teras. Tak terlalu menarik. Berapa lama lagi aku harus menunggu tak jelas.

Hidungku gatal, agak gatal, bertambah gatal dan merangsang jari kelingkingku bertindak. Mengupil. Banyak yang pura-pura tak suka kegiatan ini, tapi disaat sedang sendiri, dijamin mereka menagih. Tak kalah seru dari bernyanyi atau menggaruk gatalnya kulit kepala. Kegiatan mengupil bisa memberi kepuasan tersendiri. Tak heran banyak orang yang saking hobinya sampai lupa daratan, mengupil di sembarang tempat (lebih kurang ajar lagi, biasanya manusia macam ini tak lupa menebar upilnya di setiap mana kakinya berpijak).

Sayup-sayup kicau burung terdengar. Kusandarkan kepalaku ke teralis yang mengurungku seperti burung dalam sangkar. Entah untuk mencegah maling masuk atau mencegahku lompat keluar. Keduanya baik. Jadi aku tak permasalahkan.

Kupikir di tempat padat ini sudah tak ada kehidupan lain selain manusia, serangga dan pengerat. Tak kusangka dan tak kuduga, di rumah seberang sana sudah ada sarangnya burung gereja. Senang melihat ada kehidupan lain yang berbahagia di dekat rumah. Lumayan juga untuk menggantikan nenek di tempat lamaku yang suka repot mengasuh cucu. Untung juga burung itu bikin sarang di seberang rumah. Coba kalau sarangnya di teras ini. Sudah kuacak-acak sarangnya untuk melihat apa isinya. Telur mungil, atau burung kecil telanjang tanpa bulu. Agak jijik juga membayangkan bayi burung gereja yang mencicit tanpa bulu dan warnanya merah jambu. Seperti bayi tikus.

Kicau burung mengajak mataku terpejam. Pelan dan mulai rutin. Awalnya beberapa detik lalu beberapa menit dan pelan menyeretku ke dunia mimpi. Aku tertidur dalam penantianku yang tak pasti.

***
Dan merah jambu yang kutunggu berlalu tanpa permisi dan tanpa pamit. Sungguh kurang ajar, tak tahu aturan. Sudah kutunggu berlama-lama menahan kantuk sampai ku terlelap, dan aku ditinggal tanpa pesan.

Tapi, beginilah hidup. Penantian tak selalu berbuah manis. Semua butuh pengorbanan. Korban perasaan, korban waktu, korban apa saja. Dan semua pengorbanan itu tak menjadikan kita pihak yang pantas untuk protes saat hasilnya tak sesuai yang kita kira.

Aku kehilangan satu kesempatan melihat langit bersemu merah, tapi aku mendapat pipi bersemu merah, lekuknya sesuai bentuk teralis di teras rumah.


Tidak ada komentar: