Kamis, 20 September 2012

Dan,...

Terik matahari siang menembus jaket hitam yang melekat di kulitku menyatu bersama debu jalanan dan keringat dari tubuhku. Masih tersisa juga jejak asap rokok semalam yang kunikmati berdua bersama kekasihku di kamarnya yang tak terlalu luas dengan ventilasi yang kurang. Satu batang rokok untuk berdua, jauh lebih romantis dari menu istimewa di restoran berbintang dengan sebatang lilin manis di tengah meja. Satu batang rokok untuk dua bibir yang kemudian bertautan dalam remang-remang kamar kos murahan. Pikiranku masih enggan beranjak dari gambaran semalam yang masih terus berbayang seolah takut terlupakan. Mana mungkin aku lupa dengan kenangan manis itu. Malam pertamaku dengan kekasihku yang baru aku kenal satu bulan. Kekasihku yang begitu manis dan semakin manis sekarang ini. Tubuhku beranjak darinya, tapi isi kepalaku menurut kemana langkah kakinya. Baru beberapa menit kami terpisah di lampu merah jalanan ibu kota. Dia harus ke kantor, sedang aku harus bergegas pulang untuk kemudian bersiap ke kampus. 

Satu hari penuh aku melayang-layang dalam angan. Kelas hari ini berlalu tanpa ada satu pun materi yang tersangkut di kepalaku. Hatiku merindu, sedang tubuhku gelisah tak karuan ingin disentuh kekasihku. Mataku tak jauh dari ponsel, berharap kekasihku akan menghubungiku, atau sekedar bualan manis lewat tulisan pesan singkat seperti yang rutin masuk selama satu bulan kami berhubungan. Sepi. Ponselku tak bersuara, lama hingga aku tertidur tanpa disengaja. Aku ingat, sebelum tidur aku sempat menitikkan air mata, berpikir kekasihku telah melupakan aku setelah satu malam kami bersama.

Tiba-tiba hari sudah siang ketika aku membuka mata. Teriknya matahari menusuk mataku lewat kaca jendela yang semalam tirainya kubiarkan terbuka agar cahaya bulan menemani kegelisahanku dan bintang-bintang menjadi saksinya. Tak lain dan tak bukan, yang pertama kusentuh adalah ponsel. Ada tiga pesan singkat di dalamnya. Segera kubuka. Satu dari Linda teman kampusku yang menanyakan keberadaanku. Satu lagi Rudy, menanyakan hal yang sama. Terakhir, ya, dari kekasihku. Ia menanyakan keadaanku setelah malam pertama kami. Ajaibnya pesan singkat ini telah mengubah kegalauan semalam menjadi riang berbinar-binar. Baru akan mengetik pesan balasan untuk kekasihku, aku teringat pesan Linda. Ya Tuhan, pagi ini aku melewatkan jadwal ujian akhir salah satu mata kuliahku.

Tak mau mengulang mata kuliah yang sama, aku segera mengurus surat ijin agar bisa mengikuti ujian susulan. Kampus memang tak pernah perduli dengan kegalauan mahasiswanya untuk urusan cinta. Bahkan untuk hari khusus seperti waktu melayat kakekku saja surat ijinnya rumit sekali. Harus ada surat dari RT setempat, dari orang tua, dan kartu keluarga. Kadang aku merasa perkuliahan ini sudah seperti kemiliteran. Segala sesuatunya dibuat begitu rumit seolah ingin membuat mahasiswanya gagal dan mengulang setiap mata kuliah. Kalau perlu DO sekalian biar jumlah lulusan berkurang dan menyelamatkan jumlah kursi lapangan kerja yang tersedia sekarang ini. Lanjut dengan perjuanganku mencari surat ijin, setengah hari aku berburu dokter baik hati yang bersedia membuatkan surat sakit palsu. Tentunya dari dokter yang tidak tercantum dalam buku hitam pihak kampus. Sudah pasti pihak kampus memiliki buku hitam semacam itu. Bayangkan saja, dari sekian ribu mahasiswa, tentu bukan hanya aku yang memalsukan surat ijin. Lelahku terbayar dengan selembar surat yang sudah aman di tangan, kutitipkan pada Linda sahabatku untuk disampaikan ke pihak kampus. Aku ijin tiga hari, dan rencananya akan kuhabiskan di kamar kos kekasihku. Aku segera mengabarinya lewat pesan singkat. Satu menit... dua menit... tiga menit... tak ada balasan, dan aku mulai kehilangan minatku pada rencanaku. Malamnya, kekasihku mengabarkan dirinya tengah berada di luar kota. Kabar yang mengagetkan karena sama sekali tak ada pemberitahuan sebelumnya. Kecewa bercampur sedih dan galau. Aku tak membalas pesannya, dan kumatikan ponselku. Aku menatap bintang di langit yang tak ditemani bulan. Air mataku menitik kembali, dan aku lupa kapan tepatnya mataku terlelap dalam kantuk.

Tiga hari berlalu tanpa kabar dari kekasihku. Aku pun tak berusaha mencarinya. Aku ingin dia yang mencariku. Bukankah seharusnya memang dia yang mencariku. Mungkin aku terlalu manja, tapi seharusnya dia tahu itu dari hubungan kami selama satu bulan. Dan, selama ini dia menerima kelakuanku, jadi tak ada alasan menjadikan sifat manja-ku untuk bungkam atau menghindar. Pikiranku makin kacau. Kuliahku mulai terpengaruh. Aku kehilangan minat dalam segala hal. Bahkan buang air besar pun aku setengah hati. Terus berpikir kenapa kekasihku sungguh tak pengertian. Apalah gunanya pacaran kalau rasanya seperti sendirian. Apa mungkin dia cuma menginginkan malam pertama itu. Aku kembali menitikkan air mata, menatap bintang yang sekarang ditemani bulan, dan kembali terlelap oleh lelahnya otakku yang tak henti mencari di mana letak kesalahanku.

Satu bulan berlalu, aku baru tahu kalau ternyata Rudy menaruh perhatian padaku. Kami pun mulai menjalin hubungan sesama jenis. Rudy jauh lebih perhatian dari kekasihku, mantan kekasih lebih tepatnya. Mereka berkelamin sama, tapi sifatnya sungguh beda. Aku bahkan berharap Rudy-lah yang bersama denganku malam itu berdua di kos murahan. Aku berharap Rudy-lah kekasihku waktu itu. Atau aku berharap kekasihku memiliki hati seperti Rudy. Yang jelas, sekarang hatiku terisi oleh seorang Rudy. Kami satu kampus dan satu jurusan, satu kelas bersama Linda. Aku bahagia sekarang, dan aku masih merindukan mantan kekasihku. Aku bingung dengan diriku sendiri. Aku sekarang pacaran dengan Rudy, dan diam-diam semalam masih menangis ditemani bulan dan bintang ketika mantanku mengirim pesan "Kok gak ada kabar ?"

Aku berpikir, betapa bodohnya mantan kekasihku yang tak mengerti isi hatiku. Atau mungkin aku yang bodoh karena tak mengerti bagaimana menyampaikan isi hatiku. Atau mungkin ego ini yang lebih pantas disalahkan. Aku bingung kenapa hati ini harus memikirkan mantanku sementara saat ini aku bahagia bersama Rudy. Atau mungkin karena sudah menemukan kebahagiaan makanya aku menganggap remeh apa yang kudapat sekarang ini. Mungkin aku akan lebih menyesalinya ketika perpisahan tiba pada waktunya nanti. Sementara otakku masih terus berpikir di mana letak kesalahanku yang dulu. Dan, aku membayangkan jawaban itu sedang dalam perjalanan ke hatiku, mungkin tersesat di hutan mistis atau terperangkap badai tsunami. Dan, tanpa sadar aku terlelap dalam letih yang mendalam.

Tidak ada komentar: