Kamis, 27 Desember 2012

Gemintang

Gemintang di langit malam kelap-kelip seolah bermain mata. Terlihat riang menyapa siapa saja yang mau meletakkan pandangannya ke langit malam yang gelap. Aku suka bintang. Lebih suka bintang daripada matahari yang menyengat. Aku juga suka bulan. Tapi bintang memiliki makna tersendiri buatku. Makna khusus yang aku sendiri tak tahu artinya. Yang aku tahu, memandang gemintang di langit malam membuat suasana hatiku tenang dan nyaman.

Aku Ony. Pemuda 26 tahun yang hobi meluangkan waktu untuk meluapkan emosiku dalam bentuk rentetan aksara atau lebih seringnya goresan pensil yang kusebut sketsa. Aku memulai "hidup" sebagai diriku sendiri sejak awal kuliah, ketika Mama tinggal berjauhan denganku. Sebagai anak bungsu aku terlatih untuk menurut segala perintah orang tua. Tidak bermain dengan berandalan kampung, tidak keluyuran dengan teman-teman sekolah yang saat itu paling doyan berhamburan di jalanan kota hingga maghrib tiba. Sejak SMP, jadwalku sepulang sekolah adalah pulang, dan mengurung diri dalam kamar. Jangan heran kalau dinding kamarku saat itu penuh dengan goresan tanganku dan poster-poster kesukaanku karena aku memang menghabiskan terlalu banyak waktu bermesraan dengan kamar itu. Aku mencoba menghapus rasa kesepian itu dengan musik (jadi jangan heran kalau aku hafal sekali lagu-lagu tahun 80-an seperti Nike Ardilla, Nicky Astria, dan Inka Christy, Nugie, Katon Bagaskara, dll. LOL). Aku besar di Pekalongan, sebuah kota kecil dengan langit malam yang sehitam rambut di iklan shampo. Apalagi ketika listrik padam. Berjalan ke depan rumah dan tinggal mengangkat kepala ke atas, dan kita akan merasa seperti terhisap ke luar angkasa. Sekeliling gelap, dengan taburan bintang seperti ketombe di rambut hitam. Dulu, di depan rumahku adalah sawah. Saat malam tiba, jalan ke sawah (tidak semudah mengucapkannya karena jalan di pematang sawah hanya selebar dua tapak kaki dan sebagian berupa tanah licin yang lunak, belum lagi rasa was-was dengan ular sawah atau serangga lainnya) sangat menyenangkan. Aku dulu sering melakukannya. Seolah-olah cukup dengan mengangkat tangan saja aku bisa memeluk langit beserta gemintangnya yang begitu menggoda. 

Demikian sepenggal kecil kisah aku dan kota yang telah membesarkanku. Tapi kisah kali ini tak terlalu menyentuh ranah itu. Kisah ini tentang aku dan Rima. Settingnya ada di masa SMP menjelang SMA. Di pematang sawah sore menjelang malam. Teman sepermainanku tampaknya enggan pulang, sedangkan Mama sudah memanggilku terus. Aku sering ditakut-takuti agar pulang sebelum maghrib karena pada saat-saat tersebut, pintu neraka akan dibuka dan setan bebas berkeliaran mengganggu manusia. Aku tak tega meninggalkan Rima sendirian. Matanya seperti memohon agar aku mau menemaninya sebentar lagi. Rima tidak perlu takut dicari oleh kedua orang-tuanya. Papa dan Mama Rima tak terlalu perhatian, cenderung acuh dan kasar padanya. Tak jarang Rima datang ke sekolah dalam kondisi memar di tangan atau betisnya. Semua guru di sekolahku pasrah karena tak bisa banyak membantu. Bagaimana pun juga, itu sudah masuk masalah pribadi keluarga Rima. Aku sedih melihat temanku bernasib seperti itu. Tapi Rima sendirian tegar menghadapinya. Waktu kecil aku juga sering dipukul, saat-saat aku nakal atau membuat marah Mama. Tapi setiap selesai dipukul, mama akan mengusap-usap bekas pukulan itu. Kalau memar, mama akan segera mengolesi dengan salep. Aku merasakan kasih sayang itu, yang luput dari temanku Rima. Karena itulah aku berani menolak panggilan pulang dari Mama, aku bilang sebentar lagi saja, sampai Rima pulang. Mama tahu kondisi keluarga Rima, makanya kadang aku diberi kelonggaran demi menghibur temanku ini. Tak jarang, Mama mengajak Rima makan di rumah. Siapa yang tak akan kasihan melihat gadis belia kurus kering dengan memar yang silih berganti menghiasi beberapa bagian tubuhnya. Langit gelap gulita sekarang. Aku berlari pulang mengambil senter dan dalam sekejap sudah kembali ke samping Rima dengan sepiring pisang goreng dan sebungkus teh manis. Aku tahu Rima belum makan seharian. Aku sudah hafal ekspresi matanya ketika kedua orang-tuanya ribut besar, dan Rima terpaksa kabur ke sawah daripada menjadi sasaran kemarahan mereka. Memikirkannya saja membuat hatiku pilu tersayat-sayat. Aku sepatutnya bersyukur memiliki orang-tua yang jauh lebih baik dibanding orang-tua Rima.

"Ny... ingat gak waktu pertama kita kenalan. Kamu pernah bilang suka bintang kan ?" Rima membuka pembicaraan sambil menggigit dengan lahap pisang goreng yang sebenarnya sudah lembek itu. Seolah-olah pisang goreng itu begitu nikmat rasanya. Rima memang selalu berkata bahwa masakan Mama enak karena mengandung rasa cinta seorang Mama.

"iya, aku ingat. Kamu juga suka bintang kan ? kamu bilang begitu." Aku menjawabnya sambil mengingat saat pertama bertemu Rima di tempat ini. Saat itu ia tengah menangis tersedu-sedu habis dihajar dengan gagang sapu oleh Papanya.
"Ngomong-ngomong, kamu tahu gak nama-nama rasi bintang ?" aku melanjutkan.

"Enggak. Kenapa ?" Rima bertanya dengan nada heran.

"Kan kamu bilang suka bintang, pasti kamu banyak mencari tahu tentang bintang kan?"

Rima terdiam sejenak. Matanya sayu. Aku merasa telah mengatakan sesuatu yang telah menyakiti perasaannya. Walaupun aku tak tahu bagian mana yang salah dari pertanyaan sederhana itu.

"Kalau aku suka dengan bintang, bukan berarti aku harus tahu semuanya tentang bintang kan Ny ? Aku sudah cukup senang bisa melihat mereka kelap-kelip di atas sana." Rima menjawab pelan sambil melahap pisang goreng di tangannya, tanpa melihat ke arahku. 
 
"Ny, kalau aku adalah bintang, apa kamu juga akan mencari tahu segala sesuatu tentang aku ? Orang tuaku aja gak pernah mau tahu." 

Setelah itu, kami berdua terdiam hingga satu porsi besar pisang itu habis dimakan sendiri oleh Rima. Tak lama, ia pun pamit dan pulang. Aku sempat bertanya apa dia yakin mau pulang secepat itu, karena biasanya Rima baru akan pulang ketika larut malam tiba, ketika kedua orang-tuanya sudah terlelap karena tenaganya terkuras dalam pertempuran suami istri.  

Keesokan harinya, aku tak melihat Rima di sekolah. Begitu juga besoknya dan besoknya lagi. Aku tak pernah melihat Rima lagi di sekolah, atau pun di sawah. Aku baru tahu satu minggu setelah malam terakhir aku bertemu Rima, malam itu juga Rima bunuh diri dengan memutuskan nadinya di kamar mandi. Aku berpikir apakah mungkin karena pertanyaanku semalam. Apakah Rima bunuh diri gara-gara aku ? Sedikit banyak aku merasa bersalah atas kematian temanku Rima. Andai malam itu aku menahannya lebih lama, mungkin Rima tak akan bunuh diri. Mungkin.

Aku tumbuh besar dengan usaha melupakan gadis bernama Rima yang mati dalam usianya yang begitu muda. Gadis yang seolah terlahir untuk tersika hingga akhir hidupnya. Sekarang aku memandang gemintang ini dengan Ridwan, tetanggaku yang juga teman SMA-ku. Kami bercerita banyak sejak pertama bertemu di kelas baru. Sekarang memandang bintang semakin seru karena Ridwan jago memetik gitar sambil berdendang. Paling menyenangkan adalah masa panen ketika tanah di sawah mengering dan dipenuhi tumpukan jerami kering. Kami bisa berbaring nyaman di atasnya, seperti tidur di atas kasur dengan pemandangan langit malam dan gemintang.

"Ny, kamu kan suka bintang. Pasti kamu tahu dong, nama-nama rasi bintang di atas sana ?" Ridwan bertanya padaku sambil memetik pelan gitar di atas perutnya.

"Memangnya kalau aku suka bintang, terus aku harus mencari tahu semua tentang bintang ?" Aku teringat pertanyaan lama ini.

"Enggak sih, cuma penasaran aja." Ridwan sepertinya kecewa dengan jawaban ketus dariku.

"Wan, dulu temanku pernah bilang. Kalau kita suka dengan bintang, bukan berarti kita harus tahu semuanya tentang bintang kan ? Seharusnya kita sudah cukup senang bisa melihat mereka kelap-kelip di atas sana."

"Wuih, canggih amat bahasamu Ny." Ridwan menyindirku, dan kubalas dengan tatapan ketus (yang entah terlihat atau tidak dalam gelapnya malam).

Dan persahabatan kami berlanjut hingga akhirnya kami terpisah karena kuliah di kota yang berbeda. Awalnya kami berjanji saling menghubungi dan tidak akan putus hubungan. Tapi kenyataan berkata lain. Hanya dalam hitungan bulan, kami sudah kehilangan komunikasi.

Walaupun aku mulai melupakan masa-masa bersama Ridwan, tapi aku masih menyimpan kata-kata Rima dalam benakku, dan tak bisa kuhilangkan. Aku baru menyadari makna yang begitu dalam dari kalimat itu, hari ini. Ketika aku sedang sendiri dan memikirkan pujaan hatiku yang mungkin telah melupakan aku dan menjadi pendamping orang lain. Ketika kita begitu memuja bintang dan ingin mencari tahu, mungkin kita akan bisa menghafalkan nama mereka satu per satu, bahkan menghafal seluruh rasi bintang di atas sana. Tapi apakah dengan begitu, akan merubah indahnya kelap-kelipnya yang menenangkan ? Mungkin kita justru akan lupa dengan rasa kagum itu karena terlalu sibuk menyusun mereka dalam gugusan rasi bintang. Seharusnya aku tak perlu memikirkan pujaan hatiku itu. Biarlah ia bersinar terang walaupun ia jauh dariku seperti kerlipan bintang di atas sana. Andai aku lebih peka dan mengerti apa arti ucapan Rima malam itu. Rima adalah bintang di angkasa, yang terus bersinar terang demi menyenangkan siapa saja yang melihatnya. Sementara pedihnya, ia simpan sendiri hingga akhir hidupnya.


2 komentar:

Unknown mengatakan...

Kenyataan emg ga selalu sama dgn yg difikirkan. Trkdang Ada bagusny hny nikmati tnpa ngejudge. :)

Anonim mengatakan...

Dan jangan diabaikan :)

-ony-