Kamis, 14 September 2017

Elegi Hati yang Terbelah




Pergilah, katamu.
Aku terdiam. Senyap di antara kita seolah membekukan waktu sesaat untuk selamanya. Kusangka aku salah dengar, atau lidahmu terpeleset hingga kata itu datang darimu yang selama ini mengikatku kuat takut aku pergi dan tak kembali. Kiranya sebuah akhir dari semua cerita kita telah muncul dari balik tirai tempatnya merajuk memohon dan meniadakan kata pisah yang memang seharusnya sejak lama kita ikrarkan bersama. Lebih mencekat lagi, kata itu kau ucapkan tanpa aura yang hidup. Begitu redup. Begitu mati. Seolah tak ada rasa tersisa dalam dirimu untuk sekedar menahanku dengan hiburan nada sedih yang sendu. Mungkinkah kini kau pun telah jenuh menghadapi usahaku untuk selalu lepas darimu ?

Aku dan kamu bertemu di waktu yang begitu tepat di tempat yang teramat keramat. Tak ada momen yang begitu pas seperti ketika kita bertemu saat itu. Pandanganmu bertemu tatapku. Dua hati seketika menjalin dalam hitungan sepersekian-detik. Kita seperti tahu bahwa kita tercipta memang untuk momen itu. Tanpa perlu kata-kata rayuan untuk sekedar mengesahkan satu hubungan. Jemari kita memilin erat satu sama lain. Lebih erat dari janji-janji manis yang pernah ditulis tangan mana pun. Karena aku tahu, kamu tahu. Kita tercipta untuk bersatu.

Seperti rumput hijau di sepanjang jalan yang kita lewati setiap hari. Tak selamanya hijau itu bertahan. Tak selamanya juga ia kering kecoklatan. Pahit-manis hubungan yang saling merajut bertaut indah membentuk satu kesatuan, dan itu-lah kita. Dua insan yang tengah jatuh cinta. Kita lewati semua itu hingga perlahan semua menjadi begitu biasa. Tak ada lagi tantangan. Tak ada lagi rintangan yang terasa berarti karena kita pernah melewatinya bersama. Semua menjadi begitu datar dan hambar. Salah kah ?

Kadang saat memikirkannya, hatiku menyadari bahwa ia merindukan percikan-percikan seperti yang dulu. Adrenalin dari pertikaian konyol antara kita. Bukankah itu adalah bumbu dalam percintaan ?

Semakin hari, hati ini mulai menjeritkan kebosanan. Ia butuh suntikan nafas kehidupan. Hubungan kita tak layak dikatakan hidup. Ia seperti mesin yang bergerak tanpa diminta. Semua begitu rapi tak bercela. Kemana hilangnya kepingan puzzle yang dulu kucari setengah mati demi memuaskan rasa penasaran dan ternyata kepingan itu ada dalam dirimu. Kini puzzle itu terlihat sempurna dan membosankan karena tak lagi ada celah tersisa untuk kita isi bersama.

Diam-diam aku mulai melangkah. Menjauh perlahan darimu. Berharap kau tak menyadarinya, hingga aku telah melangkah terlalu jauh dan langkahmu tak lagi menjangkau aku. Tapi setiap usaha itu terhenti karena aku tahu bahwa aku masih cinta. Tapi apakah ini benar cinta yang sama yang pernah menyatukan kita, ataukah ini ilusi yang kucipta dari rasa takut bersendirian ?

Walau aku tahu setiap langkahku mencari jawaban itu akan menyakitimu. Menarik putus urat-urat cinta kita perlahan dan menyakitkan. Aku yakin kau diam menelan sakit itu demi melihatku bahagia. Dalam diam itu, aku masih merasakan sentuhan lembut doa-doamu agar aku sanggup bertahan melangkah di atas jejak berdarah demi menemukan apa yang kita berdua sebut dan yakini itu sebagai bahagia. Yakinlah aku pun ingin kau bahagia.

Cinta kita tak hidup dengan media hambar dan tandus seperti kita berdua. Cinta ini sudah mati sejak lama. Kita hanya tak berani mengakuinya.


Tidak ada komentar: