Senin, 22 Juni 2009

Hati

Jauh di seberang sana aku yakin kau melihat semuanya. Tapi kau memilih diam seribu bahasa. Dari balik istana tempat ragamu bersinggah, entah nuranimu masih ada ataukah sudah tak ada. Apa suara kami tak terdengar sampai kesana. Letusan gunung pun kalah, gelegar petir tersaingi. Apa benar kau tak mendengar. Mungkin kau mencoba tuli hingga kau tak perlu tahu apa yang kami jeritkan. Kami bagian darimu. Bagianmu yang kau buang jauh dari istana megah tempatmu bersinggah. Kami suara-suara dari hatimu yang terus kau redam dengan seribu cara. Kami segumpal awan kelam yang kau tiupkan hilang. Tapi kami tetap pekat dan semakin hitam. Suara kami tak akan hilang. Pekat kami siap berperang. Kami prajurit yang maju untuk mati. Walau tak akan menang tapi kami rela. Demi satu suara yang jujur kami perdengarkan. Bukan menjadi pengecut yang mencari senang di istana tenang. Kami membela hati yang terbuang.

Hatimu begitu dingin tak ada tanda kehidupan. Matamu kosong tanpa arti. Itu yang selalu kau sebut bahagia. Kami sebut itu kemunafikan. Mengkhianati nurani demi kehormatan. Sementara kau tak tahu arti kehormatan itu sendiri. Berpikir bahwa pengorbanan adalah jalan menuju bahagia, dan kau hancurkan kebahagiaan orang lain demi membuka jalan kesana. Sungguh naif dirimu, bahagia tanpa pernah tersenyum ramah. Kaulah manusia paling sesat yang pernah ada. Kaulah iman sesat di rumah Allah. Penyesalanmu kami anggap sampah.

Saat pagi tiba kami pun musnah. Sinarmu membunuh kami semua. Dan kami rela. Semua demi cinta.

"Bila kau bahagia diatas sana, hati ini kurelakan mati tanpa daya. Seberapa berat aku harus relakannya. Tapi maaf... aku tetap mengutuk pengkhianatan yang kau lakukan. Kebahagiaanmu tak akan abadi pun tak lama."


Tidak ada komentar: