Kamis, 17 Desember 2009

Asa

Secarik kertas yang lama kusimpan, aman terselip di bawah tumpuk pakaian.
Kubuka lagi kertas lusuh berisi sejuta memori. Samar bayang-bayang itu
kembali terpanggil.

Sabtu yang kelam saat itu, kau datang sambil berlari di bawah gerimis. Sedang
aku tengah asik berlabuh dalam angan, mendengar musik sambil menghirup kopi
hangat di bawah pohon. Kopi pekat dengan sedikit gula. Hari terakhir dalam
hidupku dimana aku masih bisa menikmati hujan. Kau datang dan pelangi ku
bersinar dalam angan. Ya, kau bagian terpenting dari kepingan yang hilang.
Aku bertahan hidup karenamu.

"Sorry, gua telat." sapamu yang khas.
Tak lagi aku heran, kau tak pernah tepat waktu.
"Sudah biasa... Yuk ?" balasku.
"Hmm..."
jeda itu membuatku bingung. Tak biasanya kau menunda waktu. Kau orang
yang takut ketahuan sedang pacaran. Seperti artis-artis papan atas.

Sepucuk surat pun kau keluarkan. Setengah basah, entah karena keringatmu,

atau curahan hujan yang menimpamu. Aku makin bingung. Kau bukan tipikal
manusia romantis yang doyan bicara cinta lewat surat dan barisan puisi.
Kugenggam surat itu tanpa bicara, menunggu kau siap menyiratkan sebuah
arti. Kau pun membaca tanya di mataku. Tapi kau menghindar, dan berharap
aku tak sadar. Aku pun tetap diam.

Tak lama berselang kau pun pamit ingin pulang, bahkan sebelum rindu ini
kulepas. Tak biasanya rindumu kalah oleh sesuatu. Aku ragu. Sesuatu apa
yang sanggup membuatmu berpaling dariku. Atau mungkin aku yang semakin
redup. Sekarang kelam ini mengurungku. Rintik hujan semakin deras dan mulai
menusuk. Musik di telingaku pun jadi hambar.

Kuputuskan berjalan pulang. Aku butuh sedikit oksigen untuk mengisi

kekosongan ini. Kencan kita batal tanpa alasan. Atau setidaknya alasan itu
kau simpan sendiri untuk satu alasan lainnya. Tak lama berjalan lamunanku
terganggu bising suara kendaraan umum. Berisik. Tak bisakah aku bernafas lega
di alam pikiranku sejenak. Saat ingin tenang, dunia menjadi begitu gila
berisiknya. Atau mungkin perasaanku yang berubah manja, ingin semua berlaku
seperti yang kumau. Musik pun berbunyi makin nyaring di gendang telingaku.
Setidaknya bising yang ini membuatku lebih nyaman. Membantuku menahan
bendungan air mata. Aku tak sedih, hanya merasa tak dihargai. Rindu ini
mencekik leherku, membuatku susah menelan ludah. Lebih tepatnya, tangis
yang tertahan membuatku tak senang.

Ada pesan masuk di kantong celanaku. Handphone yang bergetar membuatku
makin kesal. Entah siapa berani mengganggu kekesalan ini. Minta mati kiranya
kalau tak penting. Kubuka pesan bertajuk namamu. Sebuah permintaan maaf
mungkin.

"Maaf.." sudah kuduga kata pertama ini.

"Kurasa kita putus saja." kalimat yang ini tak ada dalam bayangku.
"Aku harus pergi." yang ini alasan kelas teri.
Kututup handphone kesayanganku, bendungan ini akhirnya runtuh membanjiri
kerah baju.

Untung gerimis masih betah berlama-lama di bumi. Setidaknya

tangisku tak membuat malu. Apa kata orang kalau mereka tahu ada remaja
laki menangis di tengah jalan. Untung juga jalan ini sepi orang berjalan. Hanya
kendaraan umum yang tak bosan berlalu lalang menawarkan jasa angkutnya.
Aku bisa berbalik dan puaskan menangis. Tapi tidak. Aku tak butuh. Tangisan
ini boleh diakhiri sekarang juga, karena kau bukan orang pertama.

Tak sadar aku sudah di depan rumah. Suratmu masih aman tersimpan dalam

kantung celana. Niatnya kubuang tadi di jalan, sialnya aku tak ingat ada
suratmu di sana. Belum sempat aku mengingat, mama memanggilku dari dalam
rumah. Sudah terlalu lama aku berada di luar. Langit pun mulai gelap, dan
ternyata gerimis menyudahi tangisannya. Begitu pun aku yang harus
mengeringkan sisa air mataku. Berharap mama tak melihat. Dan nasib suratmu,
berakhir di bawah tumpuk pakaian dalam lemari.

Tanganku sempat terdiam menyentuh tekstur kertas di bawah tumpuk
pakaian. Seperti ada getaran yang melarangku.
"Jangan..."
Bisikan itu kuabaikan. Sudah terlalu banyak trauma dan sakit yang
berkesudahan. Kalaupun ini pertanda rasa sakit berikutnya, aku tak takut
untuk merasakannya.

Setelah kilas balik itu, aku mulai mengamati kertas yang kini agak menguning.
Tiga tahun telah berlalu, dan umur tak pernah bohong. Kertas putih itu kini
menguning. Benda mati pun tak luput dari binasa oleh waktu. Aku mengharap
memori tentangmu juga begitu. Tapi sulit menjadi nyata, karena setiap
gerimis menyapa, kau pun muncul dibaliknya. Hingga aku puas membayangkan
wajahmu dibawah gerimis, hingga detail ketika kau membalikkan tubuhmu dan
pergi meninggalkanku. Hari dimana kau telah membunuh sebagianku.

Kertas kuning itu terlipat, sisi kanan bawah terlipat ke tengah, begitu juga
sisi kanan atas, sehingga membentuk sebuah sudut di sebelah kanan mirip atap
rumah. Kubuka pelan seakan kertas itu akan menjadi abu bila aku salah
langkah. Alangkah pelitnya dirimu, hampir kosong satu halaman kertas itu.

Kuterawang lagi setiap sudutnya berharap ada kata-kata tersembunyi.
Hanya ada kata "aku" di sudut kiri dekat lipatan atas, dan "kamu" di
sudut kanan dekat lipatan bawah. Sebuah kalimat terletak persis di
persimpangan lipatan. "Kita bertemu di persimpangan ini, untuk berpisah
kemudian." Aku tak tahu apa maksudmu. Sungguh aku tak tahu. Atau mungkin
aku berharap tak tahu. Air mataku menitik tepat diatas kalimat itu.
Kebisuanku membuka kembali luka yang dalam. Luka yang kukira telah terobati
saat menertawakan kematianmu dua tahun lalu. Kebodohanku yang mengira
kau akan meninggalkanku tanpa alasan. Bukan alasan itu yang seharusnya
kupertanyakan, tapi menghargai keberanianmu menemuiku untuk
mengantarkan perpisahan ini. Kau pergi tanpa menyisakan cinta dihatiku. Kau
telah tuntaskan kewajibanmu. Saat aku menertawakan kematianmu, kuharap
kau tak sedang disampingku. Aku sangat malu menemuimu di akhirat nanti.


Persimpangan itu memisahkan kita sementara waktu. Andai aku berbalik dan
mencarimu, kita masih bisa bersama untuk semua sisa waktu. Maafkan aku...
Maafkan aku yang terlalu bisu. Asa ini kusimpan sambil menunggu waktu, saat
nanti kita bertemu.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

bertemu hanya untuk berpisah
berpisah untuk bertemu kembali
setelah itu apa?
sehidup-semati dalam jerat cinta?
bermimpi...
hanya mimpi

-IKO-

Ony mengatakan...

Berharap mimpi itu menjadi nyata
Walau berupa sekeping doa
Setidaknya ia berusaha

Bertemu kemudian berpisah, sudah terlalu biasa. Tapi tetap sulit diterima.