Kamis, 04 Februari 2010

Menunggu

Seribu helai daun kuhitung satu per satu
Genap mengisi penantian tak tentu
Aku diam berhitung dan menunggu

Aku rindu. Entah berapa kali kuucap dalam surat-suratku yang tak kunjung kau balas. Aku rindu ingin bertemu mendengar suara dan degup jantungmu. Aku rindu menerima peluk hangat dan bisikan sayang darimu. Aku rindu.

Bukannya aku tak tahu tentang kesibukanmu, tapi memang aku yang tak tahan sakit rindu. Andai kau tahu berapa lama sudah kuhitung, berapa lama aku menahan pilu. Berharap besok adalah saat dimana kau datang padaku membawa obat rindu. Tapi aku harus menelan pahit itu, kenyataan bahwa kau tak datang pada hari yang kusebut. Kau dimana aku tak tahu. Tapi surat-suratku tak kembali, dan aku tahu mereka tiba di alamatmu. Aku masih terus menunggu walau tak pasti kapan kau balas surat-surat itu.

Langit mulai mendung, udara makin dingin tanpa perduli di bawah sini masih ada aku yang menunggu. Seolah malas melihatku, awan-awan pun menyiramku dengan gerimis. Sebuah paksaan untukku kabur sebelum dihajar oleh hujan deras dan guntur. Lamunanku berlanjut di balik jendela bersama segelas teh seduh. Selimut hangat menemaniku duduk dekat jendela sambil mengintip langit yang seolah mengejekku. Mungkin ia bosan setiap hari melihatku duduk menunggu tanpa kepastian kapan yang ditunggu akan datang. Atau mungkin ia melihatmu di sana tak sedang dalam perjalanan pulang.

Aku bingung harus apa. Menangis pun tak guna. Aku bukan orang yang bisa menangis hanya karena menunggu. Aku orang yang selalu menunggu. Bagaimana aku bisa menangisi sesuatu yang sudah kulakukan seumur hidup. Aku selalu menunggu. Bahkan sebelum lahir pun aku menunggu. Setiap pembukaan yang membawaku lahir ke dunia. Aku menunggu dan menunggu hingga sekarang aku masih menunggu.

Mungkin seharusnya kamu kulupakan saja. Tanpa balasan surat seharusnya kuanggap kau tak lagi perduli aku ada. Andai kau layangkan selembar surat berisi kalimat perpisahan, andai kau maki aku karena terlalu bodoh menunggu tanpa kau minta. Aku berharap sebuah kepastian. Rasa sakit semacam itu tentu lebih baik bila dibanding dengan penantian tanpa rasa ini.

Hujan reda tanpa membawa serta resah yang karib dengan gundah. Seharusnya kutitipkan saja sebelum hujan mereda. Bahkan hujan sempat meledekku dengan pelanginya yang indah.

Kututup tirai jendela seketika. Aku malas melihat indah pelangi di langit senja. Seharusnya senja membawa kerinduanku semakin menggila, bukan berteman warna-warni pelangi. Malas pun menguap entah kemana. Disaat aku butuh rasa malas untuk membawaku ke alam mimpi, ia berkhianat dan kabur tanpa jejak. Terpaksa kunikmati senja ini di depan tv melihat berita tanpa banyak perduli. Hingga kulihat namamu tercantum di layar tv, nama korban yang hanyut bersama pesawat ke laut mati.

4 komentar:

Anonim mengatakan...

Bahkan dalam mautnya tak sedikitpun dia mengucapkan pisahnya...
ah jangan-jangan kau pun masi menunggu hantunya kembali padamu, sama seperti aku yang masih menanti bayangnya menemuiku...

-IKO-

Ony mengatakan...

Berpisah tanpa kata
lebih dalam menyimpan makna

Mereka yang berpisah tanpa kata
memahami arti sebuah pesan tanpa bicara

Andai sakit yang ditinggal bisa menguap seperti kata-kata

Anonim mengatakan...

menguap untuk turun lagi menjadi hujan perih maksudmu?
aku lebih bertahan menyimpan sakit itu, membekukanny jauh di dalam sudut hati...

-IKO-

Ony mengatakan...

Setidaknya kau punya jedah
Ruang untuk bernafas lega
Walau tak lama